“Punten, Pak.” Saya, Imel. Tak sengaja mendengar omongan Pakde tadi.”Keduanya menoleh, sekilas terlihat shock. Tentu saja kaget, aku tiba-tiba muncul dari belakang saat mereka tengah berbisik-bisik.“Neng, pekerja baru, ya? Ngapain ngintip-ngintip pembicaraan orang tua? Enggak baik loh.” balasnya setengah memaki. Kubungkukkan tubuhku sembari mengulang maaf, “Aku cucunya Eyang. Bukan maksud aku mau menguping, tapi, aku ingin tahu juga, apa yang Pakde ini tahu tentang rumah Eyang dulu.”Bapak yang disapa Den itu memicingkan mata, gegalaknya tegas, namun sirat matanya ragu. Sementara yang satu masih mematung. “Pakde?”“Oh-eh. Mm, kami tak tahu banyak. Yang kami tahu hanya yang kamu dengar barusan. Iya, toh, Kang?" Pakde yang satu mengangguk pelan.“Lalu, Santoso itu, siapa, Pak?” tanyaku lagi.“Duh, ora kenceng-kenceng!”Aku sedikit sarkastik. “Ini masalah serius, Pakde.”“Kami bukannya mau membahas yang sudah-sudah. Kami juga tak tahu banyak, kamu tidak mau kan orang-orang kembali ngu
Pupil bola mata Eyang mengecil, uratnya memerah seperti menahan perih yang luar biasa. Lehernya tertarik 160 derajat ke belakang. Saat itu, Eyang seperti bertemu dahsyatnya sakaratul maut. "Astaga. Eyang!"Suara tegas dari belakang masih tak membuat tubuhku mampu bergerak. Rere berteriak histeris, gayung di tangannya terlepas menumpahkan isinya. Seketika, tubuh kecilnya terhuyung, ia melompat menuju Eyang yang mengerang-erang seperti kambing digorok lehernya. Untung saja, leher Eyang sudah tak berputar seperti tadi. Kalau Rere sampai melihat kondisi Eyang sebelumnya, Rere pasti sudah pingsan.Seketika aku merasa dibawa kendali sesuatu, tubuhku, pandanganku, mataku, telingaku, semuanya merasakan hal berbeda.Saat itu, aku mendengar Rere memanggilku. Rere semakin mendekat, tapi aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Kenapa Rere berubah? Ia tiba-tiba tertawa sinis."Mbak bau!" bisiknya. Rere benar-benar berpaling mengejekku. "Kenapa menyebutku bau?"Silih berganti wajah Rere berubah
Hari itu. Hari terakhir dimana aku makan dengan Sabrina. Terakhir. Terakhir sebelum Sabrina ternyata akan meninggalkan dunia. Malam ini, baru saja aku makan malam, aku makan semua jenis makan di meja itu tanpa sedikitpun curiga. Aku baru sadar saat bangun tidur di sepertiga malam. Itupun karena aku teringat Eyang di rumah. Biasanya, di waktu seperti ini Eyang bangun sholat malam di ruang tengah.Eyang. Beliau bukan cuma sekali dibuatkan makanan jadi dari Bibi. Jarak tempat ini ke rumah Eyang juga sangat jauh. Bibi selalu bawa makanan jadi sampai ke Siliwangi tanpa pernah basi.'Yang jadi pertanyaan, benarkah Bibi menaruh sesuatu di makanan itu? Kata Ibu muda tadi Bibi adalah dukun. Apa benar Bibi memberi sesuatu lewat perantara makanan lalu semua teror terjadi di rumah Eyang sampai aku juga akan dibun*h?'"Hah. Astaghfirullah. Tidak sepatutnya aku begini. Bibi adalah keluarga Eyang, beliau mana tega berbuat yang tidak-tidak seperti itu. Kalau pun seperti dugaanku, aku sudah pasrah,
Meski angin tidak berhembus tapi Siliwangi begitu dingin siang itu. Aku coba memanggil Umi. Namun, tenggorokanku tertahan, sementara keadaan ingin aku segera menemukan pertolongan. Andai sesuatu terjadi pada Rere, bagaimana bisa aku tenang dikemudian hari? Jika tanda kematian itu benar adanya, aku pastikan sisa hidupku akan terus merasa tak berguna.“Darahmu banyak keluar, Mbak enggak bisa nunggu lama.”Erat sekali saat aku menyempatkan diri memeluk tubuhnya. Ku bilang berkali-kali jika aku sangat menyesal meninggalkannya beberapa hari yang lalu ke Demanloak. Rumput basah seperti jadi saksi bagaimana langkah lebarku takut menghabiskan waktu bahkan sedetik saja. Aku berlari menuju Masjid karena Umi ternyata tak ada di rumahnya. Saat Eyang melihatku muncul di pagar Masjid, beliau langsung keluar. Hanya sempat ku sampaikan bahwa Rere harus segera dapat pertolongan, maka, Eyang turut berlari sesudah menyuruh seseorang memanggil Mantri, di Balai kesehatan.Siang hingga sore kami akhirnya
'Astaghfirullah. Ada apa ini?'Suara teriakan itu sontak membuatku menoleh. Posisiku saat itu lumayan jauh dari bibir pintu. Untuk itu, dengan penuh kepanikan aku kembali berlari menerobos teras dapur."Yang, nyebut, Yang!"Eyang masih tergugu dalam posisinya yang mematung. Mulutnya seperti terkunci, tak tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar Rere sepeninggalku semenit yang lalu."Pocong! Dia bukan adikmu, Neng!""Gara-gara Rere bakar mukenah itu, Yang! Imel nyesal suruh Rere ngelakuin hal sembarangan. Imel harus cari mukenahnya, kalau tidak, Rere tidak akan berhenti kayak pocong."Eyang masih mematung setelah kuperiksa tak ada luka serius di tubuhnya, hanya saja bekas gigitan di tangannya itu sedikit berdarah. Memar, kehitaman. Besoknya baru Eyang bercerita, seandainya kata Eyang, ia tidak mendorong tubuh Rere sekuat tenaga, gigitan pocong itu tidak akan bisa terlepas. Kodrat manusia yang telah yang meninggal dunia. Ada yang bilang, ketika orang mati saat menggapai kayu penyangga
"Ada yang pernah mati? Matinya dimana?" Bang Hasim menatap Eyang sekilas, menunggu jawaban, lalu membuang wajah dengan nafas memburu.Tangan putih Eyang berhamburan menarik kembali kertas yang berserakan di sudut lantai. Mata memicing tajam, mengerjap-ngerjap, seperti takut apa yang dilihatnya itu adalah nyata, bahwa memang itu pernah terjadi di rumahnya sendiri.طَلَبُا لْاِالْمِ...buluh dar.. pe... patah tulang belak.../berserakan. Antre ... ... ... malam Sukra. Terdiri ... 21 santri..ti.(... Itu sudah terhalang noda, termakan usia.)Eyang membalikkan kertas, mengikuti arah tanda panah. Sebuah gambar tersinggap, bercak noda memenuhi segala ruang kertasnya dengan keterangan Doc. 85. .. .22: .. 3 di sudut kiri. Begitu juga tulisan yang ada di seberang, kebanyakan tak jelas di lihat mata. Sketsa jasad itu seperti berada dalam ruang kamar yang tak asing meskipun dindingnya masih terbilang sederhana. Yang nampak membuat kami terkesiap adalah, ada gambar capture kecil yang disobek dar
"Kemarin ada beberapa orang mengubur mayat di sebuah desa bagian timur Taman Pemakaman Umum Coblong. Sesudah itu mereka duduk-duduk santai di sebuah tempat. Tidak jauh dari tempat mereka, ada beberapa ekor kambing yang merumput."Suara siapa barusan?Gelap. Tubuhku terapit dalam mimpi yang gelap. Kupalingkan wajah, namun, tak ada siapa-siapa di dekatku. Tanganku seolah meraba-raba, tapi, tak kutemukan manusia. Lalu, siapa yang berbicara di dekatku?Siapa yang berbicara? Siapa yang ada di dekatku?Suara itu seperti suara layaknya sedang bercerita ringan. Ia seperti tak melihatku di dekatnya. Padahal aku sedang merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku berpikir, jika aku pasti sedang bermimpi buruk lagi."Mendadak, ada seekor kambing yang berlari menghampiri kubur tersebut. Ia mendekatkan telinganya seolah-olah sedang mendengarkan suara. Setelah itu ia lari terbirit-birit ke tempatnya semula dan bergabung dengan teman-temannya."Mendengar kalimat yang persis seperti hikayat zaman dahulu,
بسم الله الرحمن الرحيم‘Allahumma inna nas aluka salamatan fiddin, wa ‘afiyatan fil jasad, wa ziyadatan fil ‘ilmi, wa barokatan firrizqi, wa taubatan qoblal maut, warahmatan ‘indal maut, wa maghfirotan ba’dal maut, Allahumma hawwin ‘alaina fii sakarotil maut, wa najaatan minannari, wal ‘afwa ‘indal hisab.’*Salah satu kejadian yang di alami –aku, Ajeng Imelda Ningtiyas– pada pertengahan tahun 1983, hingga pada tahun 1985 membuatku trauma/cacat psikis.***Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin mataku tak salah lihat? Di atas ventilasi yang tingginya hampir mencapai lima meter dariku, memunculkan wajah. Wajah itu mengucapkan sesuatu yang tak aku pahami, tangannya melambai, pelan, seperti memanggilku agar segera keluar.‘Allahumma inna naj’aluka fi nuhurihim wa na’udzubika min syururihim!’Seluruh tubuhku bergetar. Apa yang aku saksikan benar-benar sudah tidak di batas wajar. Bagaimana bisa ‘Eyang’ ada di dua tempat berbeda. Yang satu sedang tidur di dekatku, sementara yang lain sedang m
Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y
Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar
Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari
"Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta
"Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me
“Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me
Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik
“Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma
Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku