Meski angin tidak berhembus tapi Siliwangi begitu dingin siang itu. Aku coba memanggil Umi. Namun, tenggorokanku tertahan, sementara keadaan ingin aku segera menemukan pertolongan. Andai sesuatu terjadi pada Rere, bagaimana bisa aku tenang dikemudian hari? Jika tanda kematian itu benar adanya, aku pastikan sisa hidupku akan terus merasa tak berguna.“Darahmu banyak keluar, Mbak enggak bisa nunggu lama.”Erat sekali saat aku menyempatkan diri memeluk tubuhnya. Ku bilang berkali-kali jika aku sangat menyesal meninggalkannya beberapa hari yang lalu ke Demanloak. Rumput basah seperti jadi saksi bagaimana langkah lebarku takut menghabiskan waktu bahkan sedetik saja. Aku berlari menuju Masjid karena Umi ternyata tak ada di rumahnya. Saat Eyang melihatku muncul di pagar Masjid, beliau langsung keluar. Hanya sempat ku sampaikan bahwa Rere harus segera dapat pertolongan, maka, Eyang turut berlari sesudah menyuruh seseorang memanggil Mantri, di Balai kesehatan.Siang hingga sore kami akhirnya
'Astaghfirullah. Ada apa ini?'Suara teriakan itu sontak membuatku menoleh. Posisiku saat itu lumayan jauh dari bibir pintu. Untuk itu, dengan penuh kepanikan aku kembali berlari menerobos teras dapur."Yang, nyebut, Yang!"Eyang masih tergugu dalam posisinya yang mematung. Mulutnya seperti terkunci, tak tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar Rere sepeninggalku semenit yang lalu."Pocong! Dia bukan adikmu, Neng!""Gara-gara Rere bakar mukenah itu, Yang! Imel nyesal suruh Rere ngelakuin hal sembarangan. Imel harus cari mukenahnya, kalau tidak, Rere tidak akan berhenti kayak pocong."Eyang masih mematung setelah kuperiksa tak ada luka serius di tubuhnya, hanya saja bekas gigitan di tangannya itu sedikit berdarah. Memar, kehitaman. Besoknya baru Eyang bercerita, seandainya kata Eyang, ia tidak mendorong tubuh Rere sekuat tenaga, gigitan pocong itu tidak akan bisa terlepas. Kodrat manusia yang telah yang meninggal dunia. Ada yang bilang, ketika orang mati saat menggapai kayu penyangga
"Ada yang pernah mati? Matinya dimana?" Bang Hasim menatap Eyang sekilas, menunggu jawaban, lalu membuang wajah dengan nafas memburu.Tangan putih Eyang berhamburan menarik kembali kertas yang berserakan di sudut lantai. Mata memicing tajam, mengerjap-ngerjap, seperti takut apa yang dilihatnya itu adalah nyata, bahwa memang itu pernah terjadi di rumahnya sendiri.طَلَبُا لْاِالْمِ...buluh dar.. pe... patah tulang belak.../berserakan. Antre ... ... ... malam Sukra. Terdiri ... 21 santri..ti.(... Itu sudah terhalang noda, termakan usia.)Eyang membalikkan kertas, mengikuti arah tanda panah. Sebuah gambar tersinggap, bercak noda memenuhi segala ruang kertasnya dengan keterangan Doc. 85. .. .22: .. 3 di sudut kiri. Begitu juga tulisan yang ada di seberang, kebanyakan tak jelas di lihat mata. Sketsa jasad itu seperti berada dalam ruang kamar yang tak asing meskipun dindingnya masih terbilang sederhana. Yang nampak membuat kami terkesiap adalah, ada gambar capture kecil yang disobek dar
"Kemarin ada beberapa orang mengubur mayat di sebuah desa bagian timur Taman Pemakaman Umum Coblong. Sesudah itu mereka duduk-duduk santai di sebuah tempat. Tidak jauh dari tempat mereka, ada beberapa ekor kambing yang merumput."Suara siapa barusan?Gelap. Tubuhku terapit dalam mimpi yang gelap. Kupalingkan wajah, namun, tak ada siapa-siapa di dekatku. Tanganku seolah meraba-raba, tapi, tak kutemukan manusia. Lalu, siapa yang berbicara di dekatku?Siapa yang berbicara? Siapa yang ada di dekatku?Suara itu seperti suara layaknya sedang bercerita ringan. Ia seperti tak melihatku di dekatnya. Padahal aku sedang merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku berpikir, jika aku pasti sedang bermimpi buruk lagi."Mendadak, ada seekor kambing yang berlari menghampiri kubur tersebut. Ia mendekatkan telinganya seolah-olah sedang mendengarkan suara. Setelah itu ia lari terbirit-birit ke tempatnya semula dan bergabung dengan teman-temannya."Mendengar kalimat yang persis seperti hikayat zaman dahulu,
بسم الله الرحمن الرحيم‘Allahumma inna nas aluka salamatan fiddin, wa ‘afiyatan fil jasad, wa ziyadatan fil ‘ilmi, wa barokatan firrizqi, wa taubatan qoblal maut, warahmatan ‘indal maut, wa maghfirotan ba’dal maut, Allahumma hawwin ‘alaina fii sakarotil maut, wa najaatan minannari, wal ‘afwa ‘indal hisab.’*Salah satu kejadian yang di alami –aku, Ajeng Imelda Ningtiyas– pada pertengahan tahun 1983, hingga pada tahun 1985 membuatku trauma/cacat psikis.***Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin mataku tak salah lihat? Di atas ventilasi yang tingginya hampir mencapai lima meter dariku, memunculkan wajah. Wajah itu mengucapkan sesuatu yang tak aku pahami, tangannya melambai, pelan, seperti memanggilku agar segera keluar.‘Allahumma inna naj’aluka fi nuhurihim wa na’udzubika min syururihim!’Seluruh tubuhku bergetar. Apa yang aku saksikan benar-benar sudah tidak di batas wajar. Bagaimana bisa ‘Eyang’ ada di dua tempat berbeda. Yang satu sedang tidur di dekatku, sementara yang lain sedang m
Dua cangkir teh terhidang di teras kayu, yang dulunya jadi tempat bermainku bersama Ibu. Pakde, baru saja mengantar Tante Mita (istri yang menyewa rumah orang tuaku) ke kota membeli beberapa obat sesuai resep Mantri sebelum Pakde berangkat kerja."Teguknya sekali saja sehari, kecuali yang itu, itu tiga kali sehari, pagi satu kali, siang dan sebelum tidur.""Neng, Eyangmu tuh ora opo-opo disana. Ada Hasim, orang tuanya, juga si Tami. Utami yo pasti jaga Eyangmu. Manut apa kata Pakdemu, Neng. Pakdemu wes khawatir. Jangan sampai kamu dirawat ke balai lagi kan ruwet, Neng." Wanita paru baya itu menekukkan alis, kesedihan jelas tergambar di raut wajahnya.Mengingat beberapa hari ini aku tidak nafsu makan, semua orang pantas merasa khawatir. Aku selalu gelisah, aku juga mudah emosi. Bagaimana jika sesuatu terjadi lagi nanti? Bagaimana aku bisa menghadapinya? Malam-malamku hanya terisi gambaran kejadian yang aku alami di rumah Eyang. Kejadian itu adalah mimpi yang paling mengerikan dalam hi
*Ada sebuah memori dari masa lalu yang masih meninggalkan memar dalam dadaku. Puing-puing kenangan yang mungkin tidak akan pernah terlupakan hingga akhir hayatku. Lagu ‘Duka Pasti Berlalu’ dari penyanyi legendaris –Nike Ardilla– aku persembahkan untuk salah satu orang yang paling berharga dalam hidup ini. Liriknya mengisahkan tentang dia yang pantang menyerah saat mengalami kegagalan panjang. Namun, tekadnya tidak pernah pupus mengejar kebahagian hingga ajal memasung usianya tanpa belas kasih.Luar biasa hatiku tersayat, keheningan malam terpecah oleh lautan air mata. Segalanya seolah terkejut mendengar kabar kematian seseorang yang begitu gemar menyejukkan hati. Pagar dan tunas di teras rumah seakan ikut berbela sungkawa. Semuanya turut menyaksikan kendaraan yang datang beriringan bunyi sirine panjang. Rasanya bumiku penuh junusan tombak air mata. Siliwangi kala itu berdarah.Setiap waktu kudengar lagu keabadian itu, aku seolah mampu merasakan kembali hadirnya di sampingku, hangat
Bang Oar bergumam kecil saat tengah melihatku linglung. Tubuhku nyaris jatuh mendengar semua yang baru saja Andi, dan kawannya ucapkan."Dek?!" Bang Hasim memanggil panik.Tangan kekar milik Bang Oar sekekita terangkat, ia mengirim sinyal pada Bang Hasim bahwa aku baik-baik saja. Padahal dadaku seperti terhantam benda berat mendengar kenyataan jika Bagas baru saja meninggal dunia.Bang Hasim dibantu yang lain menuntunku ke bale kecil, sedikit berjarak dari kawannya duduk. Disodorkannya sebotol mineral, lalu beliau memberiku minyak obat pendera sakit kepala."Tapi, Imel yakin sekali semalam yang datang ke halaman rumah Eyang mirip Bagas, Bang. Demi Allah, aku berani sumpah.""Bagas meninggal kemarin sore, Dek. Kamu mungkin berhalusinasi.""Kamu jangan merasa bersalah dan menyangkut pautkan kematiannya dengan rumah Eyang. Kematian itu sudah jauh digariskan oleh Allah. Bagas meninggal di usia mudanya karena terjadi penggumpalan darah di organ jantung." Bang Hasim seperti memberi wejangan
Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y
Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar
Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari
"Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta
"Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me
“Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me
Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik
“Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma
Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku