*Ada sebuah memori dari masa lalu yang masih meninggalkan memar dalam dadaku. Puing-puing kenangan yang mungkin tidak akan pernah terlupakan hingga akhir hayatku. Lagu ‘Duka Pasti Berlalu’ dari penyanyi legendaris –Nike Ardilla– aku persembahkan untuk salah satu orang yang paling berharga dalam hidup ini. Liriknya mengisahkan tentang dia yang pantang menyerah saat mengalami kegagalan panjang. Namun, tekadnya tidak pernah pupus mengejar kebahagian hingga ajal memasung usianya tanpa belas kasih.Luar biasa hatiku tersayat, keheningan malam terpecah oleh lautan air mata. Segalanya seolah terkejut mendengar kabar kematian seseorang yang begitu gemar menyejukkan hati. Pagar dan tunas di teras rumah seakan ikut berbela sungkawa. Semuanya turut menyaksikan kendaraan yang datang beriringan bunyi sirine panjang. Rasanya bumiku penuh junusan tombak air mata. Siliwangi kala itu berdarah.Setiap waktu kudengar lagu keabadian itu, aku seolah mampu merasakan kembali hadirnya di sampingku, hangat
Bang Oar bergumam kecil saat tengah melihatku linglung. Tubuhku nyaris jatuh mendengar semua yang baru saja Andi, dan kawannya ucapkan."Dek?!" Bang Hasim memanggil panik.Tangan kekar milik Bang Oar sekekita terangkat, ia mengirim sinyal pada Bang Hasim bahwa aku baik-baik saja. Padahal dadaku seperti terhantam benda berat mendengar kenyataan jika Bagas baru saja meninggal dunia.Bang Hasim dibantu yang lain menuntunku ke bale kecil, sedikit berjarak dari kawannya duduk. Disodorkannya sebotol mineral, lalu beliau memberiku minyak obat pendera sakit kepala."Tapi, Imel yakin sekali semalam yang datang ke halaman rumah Eyang mirip Bagas, Bang. Demi Allah, aku berani sumpah.""Bagas meninggal kemarin sore, Dek. Kamu mungkin berhalusinasi.""Kamu jangan merasa bersalah dan menyangkut pautkan kematiannya dengan rumah Eyang. Kematian itu sudah jauh digariskan oleh Allah. Bagas meninggal di usia mudanya karena terjadi penggumpalan darah di organ jantung." Bang Hasim seperti memberi wejangan
Nyaris saja kaki Eyang terbentur, anak tangga yang bisa dihitung jari itu terasa sangat panjang saat lengan Eyang kuseret masuk. Tak peduli lagi dengan omongan orang yang katanya aku sedang berhalusinasi, karena demi Allah, di ujung halaman itu memang ada sosok yang menyerupai Bagas.“Cepat sedikit, Yang!”Saat itu, aku tidak tahu apakah Eyang menyadari ada yang datang atau memang beliau tidak melihatnya sama sekali. “Kamu tuh kenapa, Neng? Duh, ss!”Eyang masih menengok ke belakang sembari mengeluhkan lengannya. Sementara bang Oar hanya kebingungan, tidak juga banyak tanya. Untung saja lelaki itu tak banyak protes sampai aku mencapai pintu rumah.“Abang pasti juga enggak percaya kalau dia itu kawan bang Hasim.”“Yang kamu maksud itu ada dimana?” tanyanya terheran. Keningnya turut mengerut, sama seperti Eyang. Tidak kusangka, bang Oar juga tidak percaya denganku. Pintu segera kukunci, lalu bergegas ke arah jendela. Kesekian kali aku ingin yakinkan mereka jika sosok Bagas memang ada
Saat penulis memberi QnA, dia pernah bilang hanya aku yang bisa memecahkan siapa di balik sosok bermukenah putih itu. Sejujurnya, ada seseorang yang paling kunanti-nanti selama setahun belakangan ini. Putri, anak Mbak Yauya, anak manis itu pasti punya sebuah cerita dari peristiwa yang menimpaku di masjid dulu. Sayang sekali, dia dibawa pulang ke Bandung dan kami tak sempat bertemu lagi.*Kita kembali lagi pada suatu hari saat kami menuju pulang dibawa oleh dua buah andong. Pagi sebelum Ibu Desi datang menjengukku ke Siliwangi.Sepanjang jalan Rere sibuk mencungkil kacang tanah rebus dari kulitnya sembari menyeletuk percakapanku dengan Kang sopir. Luas perkebunan kopi membuat kelopak mataku enggan berpaling. Jika siang ia memberi nuansa rindang, tak tahu kalau malam.Banyak orang yang bilang padaku kalau aku teramat bodoh harus manut Eyang pulang ke Siliwangi. Mereka tidak tahu kalau hatiku sudah mengikrarkan diri agar ikut kemana Eyang pergi. Sepanjang percakapan kami menjadikan momen
"Jangan percaya takhayul!"Eyang menahan Rere dengan suara tegas, rahangnya yang mulai keriput terlihat menegang saat aku hendak mencari kebenaran tentang apa Rere lihat. Benarkah Pakde datang? Bagaimana bisa Pakde (saudara Eyang) datang kemari?"Kok Eyang marah gitu? Rere serius! Kalau enggak percaya lihat saja sendiri." Rere beranjak menjauh sembari menghempaskan nafas kasar. Baru kali ini aku melihat Rere seperti itu pada Eyang. "Pakdemu sedang bekerja. Luar kota, jauh. Mana mungkin dia bisa datang kemari? Kalaupun dia mau datang, pasti ngirim surat dulu jauh-jauh hari.""Sudah-sudah. Imel akan periksa sendiri."Dengan menenteng pijar di meja belajar Rere aku segera meluruskan langkah. Menuju pintu dengan tatapan nyalang. Di luar sana angin berhembus seperti biasa, dingin, tapi tidak mampu menembus dinding rumah ini. Karena penasaran, aku berjalan menuju ujung teras. Kugoyangkan pelita ke segela arah agar cahayanya menyoroti halaman rumah. Namun, tidak ada tanda-tanda Pakde datang
Malam itu beberapa kali Eyang terbangun. Beliau memeriksa keadaan Rere yang sesekali meringis, sesekali mengigau. Sementara itu, gerimis membawa keheningan sepanjang waktu. Rasa cemas bercampur dengan ketakutan seperti tali pada ranting yang saling menjerat satu sama lain."Tidur saja. Jangan sampai kamu ikut sakit. Eyang mau nunggu subuh.""Enggak bisa merem, Yang. Imel mau cepat-cepat ketemu pagi. Kalau tidur takut mimpi.""Kamu jangan kerasa kepala, Neng. Kamu sakit juga Eyang yang repot," Eyang bersikukuh. Akhirnya, aku merebahkan diri di samping Rere sementara Eyang, dia melangkah ke sudut ruang, mungkin ingin tadarus lagi.Benar. Soal mimpi. Kalau aku coba mengulang dari awal. Mimpi yang beruntun seperti serial film terus datang, lebih lagi saat aku tidur dalam tubuh kelelahan. Mimpi yang seperti menarikku dalam sebuah masa lalu seseorang, sangat suram dan penuh penderitaan. Mimpi yang seolah-olah bisa menjadikan keadaan di sekelilingku seperti sangat nyata. "Yang, apa sering
‘Watri? Siapa Watri?’ Aku tak tahu apa maksud istri Pak Yono menyebutku dengan nama Watri. Suaranya begitu berat dan aku yakin saat itu aku tidak salah dengar.“Saya Imel, bukan Watri, Bukde.”“Watri. Wis teka.”(Watri. Sudah datang).“Siapa Watri?” tanyaku semakin merasa heran saat mendengar ia berbisik-bisik. Dia menyahut namun tak menoleh sedari tadi, wanita paruh baya di sampingku itu terus memandang bacaannya dengan mata tertunduk. Kutunggu beberapa saat tak ada jawaban. Semua orang seperti sedang khusuk membaca Al-Quran.“Imel mau ketemu Eyang dulu ke belakang. Permisi,” ucapku dengan bibir bergetar.Di detik itu, aku merasakan hal berbeda dalam diriku, semakin aku berjalan semakin tubuhku terasa ringan. Pekat salivaku, tegang urat di sekujur lenganku. Tubuhku tiba-tiba seperti helai kain yang terbang. Sementara, wanita yang menyebutku Watri tadi terlihat kembali acuh, dia sama sekali tidak menghiraukanku. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat dari penjuru sudut ruang. Termasuk
Manis sekali dipandang. Namun, ada yang aneh saat aku mendengarnya berbisik. Aku tidak berani menatap nenek itu lebih lama, hanya mencuri pandang. Surat yang tadi masih ada di tanganku segera kumasukkan ke dalam saku. Sejenak hening, terasa mencekam kala tubuh rentah di hadapanku itu bergumam pelan."Mlebu, Cah." Sembari tersenyum.(Masuk, Nak.)"Nggih, Nek."Tidak sadar bibirku mengucap dan membalas. Kemudian aku melihat ia berjalan dan berbungkuk. Namun saat aku membalas ucapannya, tiba-tiba nenek itu terseot-seot ke belakang hingga ia menembus dinding rumah Bang Oar. Aku tercekat, sekujur tubuhku gemetar hebat. Baru sedetik saja aku mengambil nafas, kembali lagi terdengar suara derap langkah di dalam rumah, menuju pintu. Saat itu, aku seperti seorang tamu yang menunggu lama agar dibukakan pintu. Suara langkahnya sangat terburu-buru. Hal itu membuat tungkai lututku semakin lemas."Ya Allah, demit," umpatku sebelum aku akhirnya berlari terbirit-birit. Sialnya lagi, satu sendalku ya
Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y
Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar
Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari
"Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta
"Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me
“Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me
Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik
“Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma
Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku