"Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta
Read more