"A--apa maksudnya?" Aku tercekat lantas segera berdiri. Merinding, itulah yang aku rasakan. "Duduk dulu, Neng. Eyang bukannya mau nakutin. Sekarang ini, ketakutan itu pantasnya sudah jadi kebiasaan. Kamu harus cari tahu sedikit demi sedikit opo persoalannya, termasuk setiap mimpi yang Eyang lihat.""Mimpi? Eyang mimpi apa tentang aku?""Bukan kamu, tapi iki adikmu. Dia jalan jauh sekali tapi tidak pernah berhenti. Bayangannya hilang, sering muncul tapi kebalek. Rere jalan ke kanan, bayangannya jalan ke kiri. Itu, menandakan kalau adikmu benar-benar sudah dikuasai oleh perempuan itu. Kamu kirim surat ke Utami, suruh ke sini. Pakdemu, Pur juga."Eyang terlihat lengah, ucapan dan tugas kecilku itu seakan-akan adalah jadi kalimat yang paling berat untuk aku terima. Aku tahu bahwa kini, Eyang Ratu sudah berada dalam kondisi yang lemah. Tapi, dia tidak mampu berbuat banyak. Sama seperti aku yang hanya bisa meredam semuanya. "Imel pengen samperin Bang Oar, Yang. Tapi Rere enggak bisa ditin
Baca selengkapnya