All Chapters of JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU: Chapter 51 - Chapter 60

67 Chapters

Pertengkaran Mulut

*Semalam sebelum Eyangku dipulangkan ke Siliwangi, kurang lebih enam bulan sebelum Eyang wafat. Aku merawat Eyang didetik-detiknya pergi, hanya aku, hanya aku dan segala teror di rumah ini. Hanya aku yang tahu bagaimana rasanya ….Jika ada yang ingin tahu rupa Eyang saat muda seperti apa, sekali lagi aku mau bertaruh jika ia sangat mirip Gloria Stuart muda, pipinya yang empuk, dagunya yang terbelah dua juga mata bulat begitu membuat siapa saja akan terpukau. Wanita yang kusebut Eyang … Lantas pergi meninggal kami begitu saja, meninggalkan suara sepatunya yang pelan dikejauhan tanpa seraut kesedihan atau pun kepuasan.Sementara aku sudah terengah-engah, lidahku menjulur meneteskan liur dan darah, mengerang dengan suara lengkingan panjang mengucap asma Allah. Saat aku melihat tubuhku tak bergerak, tiba-tiba siluet putih berganti hitam. Aku sadar dan kembali di ruang kegelapan.Kembali melihat pelita yang mengeluarkan asap juga kolom ranjang tidurku. Ternyata aku baru saja bermimpi. Aku
Read more

Dipulangkannya Eyang

Pakde melawan keras dan meminta bukti, dia bilang selama ini tak tahu menahu soal kejadian di rumah ini. Bersikeras jika apa yang aku tuduhkan itu salah karena Eyangku sendiri yang tak mau menjual rumah sedari dulu. “Ratu itu wis pencen saka keras kepala! Wis dibilangin ojo nyembeh wong mate! Mula dheweke saben dina ngimpi Ki’ Babah teka amarga bojone iku nyuruh dheweke tobat! Jangan terus-terusan nyalahil aku, aku terus!”(Ratu itu dari dulu memelihara demit! Makanya dia tiap hari memimpikan Ki’ Babah karena suaminya itu nyuruh dia tobat! Suruh buang saja benda yang dia sembah itu, jangan terus nyalahin aku, aku terus!)“Berbelik saja terus,” cibir Bang Hasim.“Has, sing tenan, Hasim.”“Kudu tenang kepriye maneh, Bu? Ngenteni Eyang Ratu meninggal, hah? Enggak ada loh orang yang berani berbuat sesuatu selain dia. Dari dulu pemuja setan ini yang selalu kalian agung-agungkan, selalu dipercaya, selalu merasa harus dibenarkan!”“Rere dulu pernah lihat Pakde datang malam-malam, Pakde datan
Read more

Tolong!

Eyang melesat saat sadar aku tengah memperhatikannya diam-diam. Detik itu aku mulai cemas, apa yang akan terjadi? Apa yang akan terjadi setelah ini?Kututup pintu dengan keras, memberinya kode agar jangan menakutiku. Dengan langkah pelan kususul ia ke dalam kamar, pintu yang tadi terbuka sempit sedikit demi sedikit melebar.Dengan jantung mulai bergemuruh kusibak tirai kamar Eyang, nampak ia membelakangiku dengan tubuh mendongak ke arah cermin. Kebaya yang Eyang kenakan masih rapi, sanggulnya pun masih sama seperti tadi.Tapi, sikap Eyang yang seperti inilah membuatku was-was. ‘Lagi apa, Eyang?’Kusingkirkan rasa takut dan cemasku, niatku tetap gigih untuk mengajak Eyang bicara. Sengaja langkahku bising, namun kakiku terhenti ketika aku sudah berada tepat di belakang kursinya.Eyang tiba-tiba mulai menyanyikan tembang kuno, persis dengan lirik tembang yang menyambut kedatanganku dulu saat pertama kali datang kesini. Cepat kuundurkan langkahku, aku memegang sandaran daun pintu saat tem
Read more

Surat Bagas

Gemerincing tali pelita menemaniku melintasi dapur dengan langkah kencang. Nafasku kian memburu, dadaku berdegup kencang, entah dari mana ingatanku tiba-tiba terulang kembali pada kejadian itu, kejadian saat kawan Bang Hasim datang dan mengalami peristiwa besar. Bagas tak cukup beberapa jam di rumah ini, tapi nyawanya turut melayang. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa orang lain jadi korban?Paklik terlihat terkejut melihatku berlari, dia menyuruhku masuk ke pendopo saat tahu aku sedang panik. “Pak, surat Bagas sudah dateng!”“Surat opo, Neng?” tanyanya menyernyit. Beliau tergopoh-gopoh ke bibir pintu hendak membantuku menaiki anak tangga. Jariku yang kebas karena terlalu sering bergetar terulur, gelisah, takut dan penasaran seperti terikat dalam tubuhku.“Bismillah, kita baca ya, Neng,” tukas Paklik dengan wajah tenang setelah ia melihat jelas sampulnya.Surat itu seperti air mengalir di mulut kami, tak ada kalimat pasti yang merujuk pada kecurigaan Bagas semasa ia datang malam itu. Pup
Read more

Ramalan Putri & Djoko Suyanto

Dengan santainya anak ini menunjuk pekarangan rumah. Aku tahu, tak hanya sebatas tumpukan sampah yang ia lihat.“Ayo kita jalan saja, nanti Mbak nyuruh Paklik bersihin.”Matahari semakin melambung tinggi, teriakan pedagang asongan di jalan Rumpang satu membuat suasana semakin hidup. Tak lama setelah itu, Putri bertemu Bundanya, mereka menyuruhku ikut karena aku masih asing di pasar tua ini. Tugas ke pasar biasanya Bibi Lija yang tangani, jarang sekali Eyang kemari.“Bunda denger-denger Eyangmu lagi sakit, Neng? Kata orang sakitnya sudah lama, ya?”“Eyangku … udah baikan, Bun.” Terpaksa aku bohong.“Alhamdulillah kalau sudah baikan, Bunda nih ngurus pemberakatan Ayahnya Putri ke Bandung lagi jadi belum bisa kesana jengukin Eyangmu. Insha Allah malam nanti kesana, ya, Put, ya?”“Enggak, ah. Putri enggak ikut,” cerocos gadis itu.Aku dan Bundanya saling bertatapan, anak itu menggeleng santai padahal bersamaku tadi ia amat ceria. “Kan jenguk saja, Nak. Gak lama kok.”Putri terus berjalan,
Read more

Tahun 1875, Cerita Sebelum Tewasnya Watri

Siliwangi, 1875Orang-orang yang datang ke dalam mimpiku seolah menarikku ke masa silam. Tahun ketika Siliwangi menjadi saksi bisu kehidupan keras Watri dan Ibunya.Siliwangi di tahun itu sangat panas, jika malam begitu dingin seperti mereka sedang tinggal di puncak gunung. Pekarangan saat itu digunakan untuk membangun rumah petak panjang untuk perluasan pondok yang bersisihan dengan mushalah.Jika dilihat dari luar, pondok menjadi pusat perhatian, begitu dikagumi, begitu diidamkan bagi orang tua yang ingin menyekolahkan anak-cucunya. Apalagi tahu betul bagaimana buyut dari suami Tasmirah Parababan (ayahnya Kakung) menggayuh pendidikan sampai ke puncak kejayaan. Satu persyaratan agar anak mereka bisa menempuh pendidikan di pondok itu adalah mampu mengerahkan tenaga secara suka rela, menjadi buruh tak berupah, kuli tak berupah juga pelayan tak berupah. Pada lelaki dan wanita tua bertugas mengumpulkan pasir, sebagian bertugas membawa kayu dari hutan agar utuhnya bahan pembuatan ruang
Read more

Peristiwa Jurit Malam

Kita buka kembali part 41 tentang cerita Kakek Suko yang tinggal bersebelahan dengan sungai tempat Watri mencuci kain sebelum hilang selama lima minggu.Aku bertemu Uwak Djoko Suyanto, sebelum Eyangku meninggal dunia.***Cut Ma'lela atau Laila sudah sejak lama dijadikan tumbal oleh mereka. Semakin kokoh bangunan itu maka semakin membutuhkan tumbal baru. Setelah Cut Ma’lela hilang, ada jeda satu tahun sebelum Watri meninggal. Watri yang merupakan anak Laila adalah tumbal berikutnya karena ia lahir pada jumat, kubra (kliwon). Setahun lamanya Watri yang malang bertahan di pondok, ia ingin belajar tekun tapi sulit menyeimbangi keadaan karena dirinya keterbelakangan mental.Watri tertindas oleh kerasnnya lingkungan, terpuruk tanpa dukungan. Ia bertahan karena menunggu Ibunya pulang dari Sembahlitan dan membawanya pergi dari pondok.Suatu hari ia ketahuan ngompol dikasur (ada bilik khusus yang terpisah untuk dia tinggal), darah haidnya mengucur, perutnya melilit karena sakit. Watri tengah
Read more

Detik-detik Kematian Eyang

Langit gelap saat pintu rumah Wak Djoko kutinggalkan, selain satu-satunya saksi yang aku temui, ternyata beliau juga pernah mengirimi Eyang surat undangan sewaktu anaknya ingin menikah. Undangan itu hampir saja mempertemukan aku dengannya lebih awal, tapi takdir Allah berkata lain, aku lebih dulu harus menyaksikan Bibi Lija dan Rere menderita dan kehilangan nyawa.Segera kusapu jalan dengan langkah lebar menuju bibir kota. Walau pun perasaanku ragu pulang ke Siliwangi, tapi pikiranku tetap saja tertuju pada … kondisi Paklik di rumah.“Tutup, Lek! Bentar lagi hujan kencang,” teriak pemilik kios campuran pada seorang anak lelakinya. Teriakan itu membuatku tersadar dan segera mempercepat langkah, semoga saja andong masih ada yang beroperasi dijam-jam surup begini.Waktu berlalu dengan segenap upayaku mencari kendaraan dan melepas napas longgar karena andong telah mengantarku pulang dengan sehat wal’afiat. Saat menengok rumah Eyang, tak ada satu pun obor depan menyala, buru-buru kusodor
Read more

Eyang Tutup Usia

Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku
Read more

Kejujuran Dan Air Mata

“Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status