Semua Bab JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU: Bab 31 - Bab 40

67 Bab

Cerita Eyang Tentang Kematian Rere

Eyang yang melahirkan Ayahku, beliau sosok wanita yang sangat adil dan bertanggung jawab atas hidup anak dan saudaranya. Aku merupakan cucu yang sebatang kara, cucu yang dulunya begitu dirindukan kehadirannya, karena rumah Ayah yang paling jauh. Semenjak aku kembali ke Rumpang, Eyang jarang menyuruhku untuk tidur bersama. Tapi, nyaris tiap hari aku di ajak Eyang seranjang … Semenjak teror itu selalu datang.Teror itu membuat aku sering berhalusinasi, kadang kala aku bisa melihat wajah Eyangku yang putih menjadi gosong, tubuhnya seakan-akan hidup di tubuh orang lain. Aku sering bertanya-tanya, mengapa wajah bersahaja itu kerap berwujud pocong dan bermukenah putih? Dia sering ikut dengan kami salat di tengah malam, juga selalu merasuki tubuhku hingga aku merasakan hampa yang mendalam.Sering hatiku berkata, suatu saat penghuni rumah Eyang akan menembus dinding nadiku hingga aku mati seperti Rere. Pertanyaannya adalah, pocong itu mirip dengan Eyang. Dia adalah Eyang? Atau Eyang adalah …
Baca selengkapnya

Ada Siapa Di Depanku?

“Neng milih saja. Balek kampung besok sama Pakdemu iki kalau mau. Eyang panggil adiknya Hasim saja tinggal di sini. Kakungmu selalu berpesan jangan biarkan rumah kosong, Neng.”“Imel sudah janji mau ngikut Eyang.”Nekat. Jujur saja, rasanya aku tidak bisa di sisi Eyang. Kesempatan ini juga sudah berpihak kepadaku, Paman Tuwuh sudah memutuskan semuanya. Aku bisa meninggalkan Eyang atau tidak. Tapi, bagaimana dengan setelah aku pergi? “Yang, rumah ini tidak bisa dijual, ya?”Begitu pelan aku berbicara. Setengah berbisik, setengah lagi membujuk. Di sana ada hanya satu penghalang, yaitu penghuni kamar tidurku. Dia sudah hidup dan berkuasa di banding pemilik tanah ini sendiri. Eyang bahkan sudah merasa terjebak dihuniannya.“Siapa yang menjamin orang-orang dikemudian hari bisa selamat kalau rumah ini berpindah tangan Neng? Adikmu itu cerminan baru untuk perjalanan hidup orang lain. Jangan sampai sembrono, sebelum kita berusaha keras. Eyang akan mati di tanah Kakungmu sendiri bila tiba wak
Baca selengkapnya

Watri Atau Eyang?

*Aku melanjutkan kisahku, kisah yang sudah lama, namun masih berada di halaman pertama. Menemani bayangku, kekuatanku, nekadku dan mimpiku, aku akan terus berada di rumah ini ... Bersama Eyang. Kala itu, rintangan silih berganti datang. Jika ada yang mencari-cari di mana letak inti segala masalahku, jangan cari itu di hari ini. Karena semuanya seperti slide video yang berulang-ulang kali terulang. Teror yang sebenarnya baru di mulai ....***Bang Oar.Suara lelaki itu terdengar entah dari mana. Aku menoleh ke anak tangga di mana Eyang masih berdiri bersama wajah-wajah baru lainnya. Kucari keberadaan Bang Oar tetapi tak ada. Sontak kuarahkan tubuhku, kembali ingin berlari dengan sekuat tenaga.Saat itulah, nadiku berhenti berdetak, sosok pocong sudah berdiri tak berjarak dari wajahku. Mungkin, tak ada bisa melukiskan bagaimana aku menghadapi situasi terumit di detik berikutnya. Saat aku dibius bau bangkai dari sekujur tubuhnya. Kafan yang sangat amis, belatung juga kaki seribu, sepert
Baca selengkapnya

Ganitri

“Eyang?” Langkahku perlahan maju, entah apa yang sudah terjadi sejak aku meninggalkan rumah kurang dari dua puluh empat jam lalu. Aku terus melangkah pelan ke arah beliau karena ia memanggilku setengah berbisik. Dengar, dengar suara itu, suara Eyang seperti gendang yang terpantul di sudut-sudut ruang kosong. “Teka kene lan ndeleng, Watri ndedonga. Watri. Watri … “(Kemari dan lihat, Watri berdoa.)“Ngomong opo toh, Yang? Watri siapa?” tanggapku segera. Aku terus menjawab bisikan Eyang, sementara langkahku terasa ragu membelah ruang.KREEEKKK“Allahu Akbar.”Benar ada wanita di dalam kamarku, seperti yang dikatakan Eyang, sosok itu tengah mengangkat keduanya tangannya sembari mengumandangkan takbiratul ihram. Besar suaranya, tubuhnya pun sangat mirip dengan … Eyangku. Sontak rasanya tungkai lulutku jatuh, ‘Watri’ yang dibisikkan Eyang sudah hidup seperti teramat nyata di hadapanku. Suara kain berpadu bungkusan kue jatuh berserakan, jantungku berdentum hebat, bibirku mulai melupakan ra
Baca selengkapnya

Eyang Sakit

*Dua hari sebelum kedatangan Bang Hasim dari lokasi proyek. Bacanya tidak mesti terburu-buru.***Kita kembali pada malam ketika aku mulai terbiasa memegang alat dapur dan mengenal bumbu masakan, tanpa arahan Eyang. Eyang hanya duduk di kamar, sepanjang hari hanya termenung menenun kain, bibirnya saja yang tak berhenti menyuruhku mengerjakan pekerjaan rumah. Biasanya beliau tak suka berlama-lama seperti itu, dia sangat aktif, dia juga tidak mengizinkanku mengolah tungku api berlama-lama. Hujan tidak pernah mengguyuri tanah Rumpang hampir sebulan lamanya, hanya saja angin kencang selalu datang merambah disepanjang bangunan siang dan malam.Aku tediam cukup lama sewaktu Eyang menyuruhku menurunkan kain gorden dari talinya, sore itulah aku melihat puluhan orang berjalan beriringan ke arah barat mengikuti senja. Karena posisi teras dan jalan raya sangat jauh, makanya aku hanya bisa memperhatikan dari balik jendela. Mereka mengenakan sarung batik, sarungnya disanggul rapi hingga menutupi
Baca selengkapnya

Meninggalkan Rumah Eyang

Rumpang di penghujung tahun.Keringatku menetes deras mengikuti ritme jantung yang seakan masih memburu. Mimpi aneh itu kembali berulang seperti potongan serial sinema yang berantakan. Beberapa saat aku memperbaiki perasaan. Aku membelalakkan mata saat pintu kamarku tiba-tiba diketuk pelan. Suara Eyang yang tadinya hanya menepuk kasur terhenti lantas berganti sapaan. Ia datang sembari mendorong pintu dengan deritan pelan. Kukira sudah lewat tengah malam, tapi, alarm panjang dari ruang tengah tiba-tiba terdengar. Dan ini artinya malam masih sangat panjang.Kepalaku masih sangat sakit, ngilunya menjalar turun ke pelipis. Ingatanku perlahan terkumpul, aku ingat saat Eyang memukuliku hingga aku terbanting ke dasar lantai.“Neng,” sapanya dengan suara parau.Bisakah aku percaya dengan Eyang saat ini? Rasanya sangat berat memutuskan siapa yang sedang aku hadapi. Seandainya aku benar meninggalkan Eyang ke masjid, mungkin tadi Eyang sudah dibun*h. Membayangkan gerak-geriknya di pojok lemari i
Baca selengkapnya

Eyang Tidak Di Rumah

*Om Tuwuh disebut Paman juga. Om Tuwuh suaminya Tante Mita, tidak ada hubungan keluarga denganku atau Ayahku. Hanya saja Om Tuwuh pernah bekerja lama dengan almarhum Ayah dulu, sering berkunjung ke rumahku sampai Ayah suka berpesan pada mereka agar selalu menjagaku. *Pakde dari saudara Eyang bernama Raden Purnomo, kakak dari Pur Linggi, adik dari Raden Ratu –Eyangku. Mereka hanya tiga bersaudara; Eyang, Pakde dan Oma Pur. Ayah Bang Hasim bernama Raden Mukti, Sri Utami nama istrinya yang bersaudara dengan Ayahku dan Ibu Rere. Utami punya tiga anak, Bang Hasim, Hasan dan si bungsu yang meninggal saat masih dalam kandungan. Selebihnya, aku dan Rere sama-sama tunggal. *Kang Agus yang aku sebutkan saat bermusyawarah di rumah Rere adalah saudara Ayahnya Rere, mereka punya lima suadara yang tinggal diberbagai daerah. Dia dan keluarganya sangat percaya mitos, sama seperti Pakde yang menghendaki adanya jin di dalam mukenah yang selalu tergantung. Kata saudara Ibuku dulu, keluarga besar itu
Baca selengkapnya

Kumpulan Mayat

“Seriusan, Bang?” Bang Hasim meminta diyakinkan. Awalnya terpengangah, lalu menatapku dengan wajah tegang. Dia melewatiku dengan raut penuh kepanikan, dirinya tak menunggu respon Bang Oar lagi dan berlari ke teras depan. Baru saja ingin menyusul, sebuah cekalan di tanganku membuatku sontak terhenti.“Jangan panik, siapa tahu Eyangmu keluar."“Eyang keluar? Tapi kok tidak mengunci rumah?”“Iya, memang pintu depan tadi tertutup tapi tidak terkunci.”“Kenapa, Neng?” Bapak tua itu terlihat bingung. Ia meletakkan golok juga perkakasnya saat melihat Bang Hasim tergesa-gesa pergi.“Subuh tadi, Eyang … “ Kalimatku seketika terjeda, teriakan Bang Hasim membuatku menoleh dengan pupil melebar. Aku menyusuri petak rumah yang begitu menyeramkan, gelap sekali di sini, hanya ada satu pelita yang terletak di meja tengah, mungkin Bang Oar yang menyalakan. Kasur Eyang masih ada di tengah ruang sama seperti saat aku meninggalkannya subuh tadi. Kecuali pocong yang telentang di atasnya. Pocong itu sudah
Baca selengkapnya

Pesan Dari Watri

“Mungkin sudah sadar?” bisik Bang Oar. Pria berwajah tirus itu berbisik di telingaku seolah meminta pendapat, lalu menggeleng seperti menemukan jawabannya sendiri. Paklik membelok. Melesat ke arah pintu dengan pelita yang tersisa. Seseorang yang sedari tadi mematung tiba-tiba saja menoleh. “Jangan dibuka, Pak!”Teriakan itu membuat tubuh Eyang tiba-tiba bergerak pelan, meraba-raba dinding dengan menyebut dan memanggil nama Bang Hasim. Detik itu kami berhamburan kembali, mengerumuni Eyang dan menjauh dari pintu. Semburat cahaya dari celah jendela memasung bibir, kami terhenti dan seolah menghentikan waktu manakala Bang Oar menuntun kami berdzikir. Ayo berdoa dengan tenang, bisiknya. Eyang mengamit lenganku dengan tubuh hangatnya, dia mengulang doa-doa yang aku sudah pelajari dulu. Katanya jangan berhenti, sampai angin berhenti berhembus kencang. Paklik memerika pintu dengan seksama, mengunci ganda dan menempelkan balok di kedua sisinya. Tak lupa kain gorden ia beri lapisan saput ya
Baca selengkapnya

Kakek Suko, Saksi Masa Lalu

Bunyi sendok dan gemerincing gelas terdengar, Bang Hasim menaruhnya sebelum membalas ucapanku.“Siapa yang perduli? Mama sibuk kerja, mereka enggak ada waktu kemari. Kalau bukan Abang yang bertindak, siapa lagi yang mau?”“Bang, saudara Eyang masih perduli semua. Kalau kita kirim surat kalau Eyang sakit pasti Oma akan datang. Oma, sama Pakde kalau tahu ada orang lain yang tinggal di sini pasti marah.”“Kamu tidak usah takut kena semprot, ‘kan Abang ada jaga kamu. Paklik juga ada.”“Paklik tinggal di pendopo belakang, enggak bareng sama kita.”Aku sempat kesal mendengar sepupuku itu meminta Bang Oar tinggal bersama. Bang Hasim bahkan tidak minta bayaran apa-apa karena merasa kami yang butuh bantuan. Aku hanya kurang setuju kalau dia tidak meminta izin dari keluarga. Jangankan Oma atau Pakde, Eyang saja tidak diberitahu. Siapa yang akan tanggung jawab kalau sesuatu hal buruk terjadi dengannya? Aku tidak habis pikir. Aku hanya merasa, pendapatku tidak diperlukan di sini. Keputusan itu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status