Bunyi sendok dan gemerincing gelas terdengar, Bang Hasim menaruhnya sebelum membalas ucapanku.“Siapa yang perduli? Mama sibuk kerja, mereka enggak ada waktu kemari. Kalau bukan Abang yang bertindak, siapa lagi yang mau?”“Bang, saudara Eyang masih perduli semua. Kalau kita kirim surat kalau Eyang sakit pasti Oma akan datang. Oma, sama Pakde kalau tahu ada orang lain yang tinggal di sini pasti marah.”“Kamu tidak usah takut kena semprot, ‘kan Abang ada jaga kamu. Paklik juga ada.”“Paklik tinggal di pendopo belakang, enggak bareng sama kita.”Aku sempat kesal mendengar sepupuku itu meminta Bang Oar tinggal bersama. Bang Hasim bahkan tidak minta bayaran apa-apa karena merasa kami yang butuh bantuan. Aku hanya kurang setuju kalau dia tidak meminta izin dari keluarga. Jangankan Oma atau Pakde, Eyang saja tidak diberitahu. Siapa yang akan tanggung jawab kalau sesuatu hal buruk terjadi dengannya? Aku tidak habis pikir. Aku hanya merasa, pendapatku tidak diperlukan di sini. Keputusan itu
Orang-orang dahulumu melewati banyak kisah saat mereka masih belum mengenal abjad. Pahit-manis, asin-tawar hidup sudah dirasakannya hingga lama berbekas. Kadang kala usia membuatnya menyerah, dipisahkan kenangan, dipisahkan pula oleh kematian. Bukan secara kebetulan aku bertemu dengan Kakek Suko, tapi aku merasa Tuhan telah menyulam tali sambung temu kami dalam suratan takdir. Si Mbok yang merupakan saudara Kakek Suko bercerita, jika sebenarnya semua warga Talaga Ciung tahu akan peristiwa kelam ini. Puluhan kepala keluarga pernah mendiami wilayah terpencil ini sebelum mereka membeli tanah di wilayah luas yang layak. “Mbok? Kenapa melamun?” tegurku.Ada dua menit terjeda, Si Mbok yang tadinya sedang melebarkan tikar untuk kami beristirahat, tiba-tiba saja terdiam. Aku menunggu beliau melanjutkan ceritanya, mengupas singkong rebus yang sebagian isinya sudah hangus akibat jatuh ke pawon.“Mbok?” ulang Bang Oar.“Ah? Aa. Kalian iki sebenarnya … Siapa? Kenapa mau tahu masa’alah yang lam
*Djoko Suyanto pernah mengirim undangan ke rumah Eyang, buka bab 24 untuk kembali mengingat sang tokoh. Tapi, rencana untuk bertemu beliau terhalang kondisi sulit di tahun 1983-1985.***"Pakde!" teriak seseorang. Darahku seakan mendidih ketika Pakde menampar orang seperti itu, apalagi Bang Hasim adalah keponakannya sendiri. Aku mendahului Hasan berlari ke sudut dapur di mana Bang Hasim sudah tergolek lemas. Lebam di sudut bibirnya mulai membiru, badannya basah kuyup, ia juga terlihat pucat.Ternyata Bang Hasim baru saja ditampar di depan mata adiknya sendiri. Hasan sampai mendorong meja sekuat tenaga, berteriak dengan penuh amarah."Ayahku akan segera datang!" "Diam, Hasan!" Pakde menggeram.Dengan langkah lebar ia menarik tubuhku ke atas. Aku masih tak mengerti apa yang sudah terjadi, Pakde terlihat marah besar dan membuatku ketakutan. "Dan kau. Saiki wis wani pacaran tekan nginep ing jabaning omah?! mrene saiki!"(Dan kau? Sekarang sudah berani pacaran sampai bermalam di luar ru
Assalamualaikum, Dek.Gimana kabar di sana, sehat? Minggu lalu ada mantri yang datang memeriksa Eyang, Eyang sudah agak pulih. Tapi, dia terus cari barangnya itu. Masalahnya, Abang sudah bakar, karena kata kawanku itu buhul santet. Buah yang kita kira ganitri itu ternyata jimat, Abang tidak tahu siapa yang kasih itu ke Eyang dulu pertama kali dan bilang kalau itu obat penangkal sihir.Semenjak Eyang bangun, mereka sering terdengar berselisih jadi rumah sering ribut karena Pakde terus bertengkar. Dari yang Abang dengar, Pakde mau tanah rumah Eyang dipindah namakan, Eyang bersikukuh tidak mau menjual rumahnya, karena rumah ini sudah atas nama Ayahmu, Paman Raden Wicaksono.Harus Abang sampaikan juga satu hal karena Abang rasa kamu perlu tahu tentang ini. Bibi Lija kabarnya meninggal, tempo hari ada kerabatnya datang ke rumah memberitahu kami. Abang sudah wakilkan Eyang untuk ziarah kubur, tapi, tak sempat menginap di rumah beliau karena Eyang suruh cepat pulang. Nanti kalau ada kesempat
“Iya, si Halija, Neng.”“Siapa lagi selain dia, Neng?” ejek Bang Uki. “Pengasuh rumah Eyang ‘kan banyak, Bang. Kata Bang Hasim, ada yang namanya Santoso, juga ada tukang giling padi, mana tahu sebelum Bibi datang, ada yang duluan kerja,” kilahku menerangkan. Tak sadar, wajah Bang Husain dan Bang Uki berubah tegang, mereka seperti terkejut mendengarku menyebut nama pengasuh Eyang yang lama.“Kenapa? Kok kaget?”“Tanyakan saja sama si Mbah sendiri, Neng. Kami engga tahu kalau soal itu, ya ‘kan Ki?”“I-iya, Kang! Tapi, kira-kira siapa lagi yang kerja setelah Halija mati, ya?”“Sudah ada kok, Bang. Kami sudah dapat pekerja lagi, namanya Palikman. Paklik sudah kerja sebelum Imel pulang ke rumah Ayah.”“Hah?” Bang Husain melotot. Mereka tercekat, membuatku semakin penasaran. “Kok, kaget? Apa yang salah?”“Neng, begini. Ini memang hanya rumor, tapi terlepas dari nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, kami cuma mau berpendapat ... Jika sebaiknya, tidak usah cari pekerja lagi buat rumah s
Sekali lagi lenganku disikut Sekali lagi lenganku disikut Bang Hasim, dia sedikit melotot tapi masih dengan cara dingin. “Apa sih, Bang?” Tatapannya sudah persis teka-teki silang, sulit di cerna.“Silahkan, Pak. Di baris ke dua,” Seraya mendorong pena Pak Lurah menunjuk deretan nama di daftar warga yang di sana sudah tertulis nama lengkap Eyang. Pakde lalu memberikan selebaran tunai. Nominalnya jauh dengan yang sering aku dan Eyang bayar. Sangat pelit. Aku bisa lihat raut wajah Pak Lurah seperti tertekan sebelum beliau pamit pulang.“Hasim, buatkan air panas dua cangkir, suruh adikmu makan siang sebelum mengirimnya pulang.” Pakde yang masih duduk dengan rahang mengeras membuat Bang Hasim mengepalkan tangan. Aku masih terpaku dalam diam, merasa tak diterima lagi di rumah Eyang. Tapi, entah mengapa bibirku tak berani berkutip. “Pakde, Bang Oar itu kawanku, aku sudah kenal dia dari sejak kuliah semeter satu. Dia tidak mungkin … ““Kau, duduklah.” Pakde memotong pembicaraan, seolah baru saja
“Misi, Pak. Misi, Buk.” Anak bersorban hitam dengan tahi lalat mirip tompel naik ke pintu kereta sedetik saat sebelum gerbong di tutup oleh Kang kondektur.Langkahnya tak kalah lebar, disusul oleh dua lelaki muda lainnya, celananya modelan baggy dengan warna khakis, tangan baju dilipat memamerkan otot lengannya yang kurus.“Maju, Bung!” teriak kawannya yang sudah siap memetik senar. Sementara suara bising dari mulut para penumpang seolah tersetel diam.🎶🎶🎶Seribu rambutmu yang hitam teruraiSeribu cemara seolah menderaSeribu duka nestapa di wajah nan ayuSeribu luka yang nyeri di dalam dadaku …Di sana kutemukan bukit yang terbukaSeribu cemara halus mendesahSebatang sungai membelah huma yang cerahBerdua kita bersama tinggal di dalamnya ...Nampaknya tiada lagi yang diresahkanDan juga tak digelisahkanKecuali dihayatiSecara syahdu bersama, oohSelamanya, bersama selamanya …Di sana kutemukan bukit yang terbukaSeribu cemara halus mendesahSebatang sungai membelah huma yang cer
“Sebenarnya kamu ngomong apa, sih, Bang? Memang susah ya mengerti rumus pola pikir orang tua, dibaca sepuluh kali pun otakku tidak akan bisa mencerna.”Pernah satu hari dia kesal karena aku tidak segera membuka pintu rumah, posisi saat itu Bang Hasim kebetulan masih di pabrik, sementara Eyang sakit. Bang Oar berteriak belasan kali, sementara aku yang masih jengkel dengannya malah pura-pura tuli. “Mel! Imel!” Kala itu suaranya semakin naik oktav demi oktav sampai level dua belas. Sampai-sampai pintu itu kalau bisa ngomong pasti dia juga teriak, budek beneran baru tahu rasa kau!Pintu yang sepertinya sudah hampir retak akhinya kubuka, dengan tampang tak berdosa aku menyambut Bang Oar sambil mengemut permen. “Oh, kamu, Bang? Kirain siapa.”“Oh? Kirain siapa?” Dia mengulang kata-kataku dengan nada ditekan, lalu aku menaikkan alisku dan berpura-pura tak mengerti.“Saya sudah minta maaf soal semalam tadi pagi, oh, soal ceruputmu yang robek itu udah saya suruh Hasim ganti, masalahnya apa la
Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y
Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar
Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari
"Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta
"Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me
“Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me
Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik
“Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma
Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku