Share

Tanda-tanda Kematian Eyang

Penulis: zolepena
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Iya, si Halija, Neng.”

“Siapa lagi selain dia, Neng?” ejek Bang Uki.

“Pengasuh rumah Eyang ‘kan banyak, Bang. Kata Bang Hasim, ada yang namanya Santoso, juga ada tukang giling padi, mana tahu sebelum Bibi datang, ada yang duluan kerja,” kilahku menerangkan. Tak sadar, wajah Bang Husain dan Bang Uki berubah tegang, mereka seperti terkejut mendengarku menyebut nama pengasuh Eyang yang lama.

“Kenapa? Kok kaget?”

“Tanyakan saja sama si Mbah sendiri, Neng. Kami engga tahu kalau soal itu, ya ‘kan Ki?”

“I-iya, Kang! Tapi, kira-kira siapa lagi yang kerja setelah Halija mati, ya?”

“Sudah ada kok, Bang. Kami sudah dapat pekerja lagi, namanya Palikman. Paklik sudah kerja sebelum Imel pulang ke rumah Ayah.”

“Hah?” Bang Husain melotot. Mereka tercekat, membuatku semakin penasaran.

“Kok, kaget? Apa yang salah?”

“Neng, begini. Ini memang hanya rumor, tapi terlepas dari nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, kami cuma mau berpendapat ... Jika sebaiknya, tidak usah cari pekerja lagi buat rumah s
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Vid
hahah..iaa parahh
goodnovel comment avatar
ian
mahal amet buka nya 34 koin rampok koin ini 🥲🥲
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Tahun 1985-1986 Saat Aku Tak Menulis Kisah

    Sekali lagi lenganku disikut Sekali lagi lenganku disikut Bang Hasim, dia sedikit melotot tapi masih dengan cara dingin. “Apa sih, Bang?” Tatapannya sudah persis teka-teki silang, sulit di cerna.“Silahkan, Pak. Di baris ke dua,” Seraya mendorong pena Pak Lurah menunjuk deretan nama di daftar warga yang di sana sudah tertulis nama lengkap Eyang. Pakde lalu memberikan selebaran tunai. Nominalnya jauh dengan yang sering aku dan Eyang bayar. Sangat pelit. Aku bisa lihat raut wajah Pak Lurah seperti tertekan sebelum beliau pamit pulang.“Hasim, buatkan air panas dua cangkir, suruh adikmu makan siang sebelum mengirimnya pulang.” Pakde yang masih duduk dengan rahang mengeras membuat Bang Hasim mengepalkan tangan. Aku masih terpaku dalam diam, merasa tak diterima lagi di rumah Eyang. Tapi, entah mengapa bibirku tak berani berkutip. “Pakde, Bang Oar itu kawanku, aku sudah kenal dia dari sejak kuliah semeter satu. Dia tidak mungkin … ““Kau, duduklah.” Pakde memotong pembicaraan, seolah baru saja

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Santoso 1

    “Misi, Pak. Misi, Buk.” Anak bersorban hitam dengan tahi lalat mirip tompel naik ke pintu kereta sedetik saat sebelum gerbong di tutup oleh Kang kondektur.Langkahnya tak kalah lebar, disusul oleh dua lelaki muda lainnya, celananya modelan baggy dengan warna khakis, tangan baju dilipat memamerkan otot lengannya yang kurus.“Maju, Bung!” teriak kawannya yang sudah siap memetik senar. Sementara suara bising dari mulut para penumpang seolah tersetel diam.🎶🎶🎶Seribu rambutmu yang hitam teruraiSeribu cemara seolah menderaSeribu duka nestapa di wajah nan ayuSeribu luka yang nyeri di dalam dadaku …Di sana kutemukan bukit yang terbukaSeribu cemara halus mendesahSebatang sungai membelah huma yang cerahBerdua kita bersama tinggal di dalamnya ...Nampaknya tiada lagi yang diresahkanDan juga tak digelisahkanKecuali dihayatiSecara syahdu bersama, oohSelamanya, bersama selamanya …Di sana kutemukan bukit yang terbukaSeribu cemara halus mendesahSebatang sungai membelah huma yang cer

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Santoso 2

    “Sebenarnya kamu ngomong apa, sih, Bang? Memang susah ya mengerti rumus pola pikir orang tua, dibaca sepuluh kali pun otakku tidak akan bisa mencerna.”Pernah satu hari dia kesal karena aku tidak segera membuka pintu rumah, posisi saat itu Bang Hasim kebetulan masih di pabrik, sementara Eyang sakit. Bang Oar berteriak belasan kali, sementara aku yang masih jengkel dengannya malah pura-pura tuli. “Mel! Imel!” Kala itu suaranya semakin naik oktav demi oktav sampai level dua belas. Sampai-sampai pintu itu kalau bisa ngomong pasti dia juga teriak, budek beneran baru tahu rasa kau!Pintu yang sepertinya sudah hampir retak akhinya kubuka, dengan tampang tak berdosa aku menyambut Bang Oar sambil mengemut permen. “Oh, kamu, Bang? Kirain siapa.”“Oh? Kirain siapa?” Dia mengulang kata-kataku dengan nada ditekan, lalu aku menaikkan alisku dan berpura-pura tak mengerti.“Saya sudah minta maaf soal semalam tadi pagi, oh, soal ceruputmu yang robek itu udah saya suruh Hasim ganti, masalahnya apa la

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Santoso 3

    Tatapan jasad itu seolah mengunci kakiku di bawah. Demi Tuhan, penampakan seonggok tubuh berbalut kain kafan kotor sedang menganga seolah ingin membun*hku saat ini juga. Dengan menyebut nama Allah aku berlari ke lorong dapur, membawa getar di sekujur tubuhku dengan air mengucur deras. Saat itu, yang aku ingat entah mengapa adalah Hasan, dengan nafas tersengal aku memanggil namanya berulang kali, berlari menerobos pintu dapur seolah pocong tadi melompat tepat di belakangku.Hasan yang sekelebat tertangkap di mataku membuat menghentikan langkah, ternyata dia sedang mengikis rumput di halaman pendopo belakang. Tubuhnya sedang terbungkuk ke arah semak-semak yang memang terlihat lebat. Aku tak pikirkan lagi tas di pundakku, ia kulempar begitu saja ke lantai lalu memanggil Hasan dengan lantang.“Hasan ada mayit di kamar Eyang!”Anehnya saat itu, lelaki yang kupikir adalah Hasan hanya mengepakkan kapan dan tidak sama sekali mendengarku. Langkahku yang sudah tak mampu terayun lagi-lagi tersed

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Pengakuan Palikman (Saat Aku Kembali Ke Siliwangi)

    “Sini, Paklik tunjukkan posisi surat ini waktu ditemukan Hasim.”Paklik membawaku masuk ke Kamar Kakung. Entah mengapa Paklik berubah menjadi seperti itu, dia terlihat sangat was-was dengan keadaan rumah ini. Apa selama ini Paklik sering diperlihatkan juga apa yang sudah kulihat tadi? Aku akan bertanya nanti.“Kopor di balik keramik ini bukan semen, tapi pasir. Dalamnya lima jengkal dari permukaan tempat surat itu dikubur,” tutur Paklik. “Sewaktu diadakan pengajian, Bibi Lija benar-benar masuk kemari kata Eyang, Eyang kira Bibi menyusupkan barang berbahaya.”“Halija mungkin sudah leluasana masuk ke kamar ini, Neng. Karena dia mungkin dipercayakan untuk sebuah hal oleh seseorang. Sudah bertahun-tahun ia bekerja di rumah ini. Tapi, kenapa tidak bertanya langsung, Neng?”“Bang Oar bilang jangan langsung menuduh orang, dia bilang kita musti pura-pura tak tahu segala sesuatu tentangnya karena dia bisa membaca pikiran kita.”“Kalau begitu, kamu sudah salah menuduh, Neng.”Paklik mendengar

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Pondok Semasa Eyang Berkiprah

    Bantal menghangati tengkorak kepalaku, namun mataku belum berniat terpejam sedari tadi, sedari Paklik mengantarku ke kamar dan memastikan pintu kamarku terkunci rapat.Bayang-bayang pocong itu mengusikku setiap aku berkedip, ia muncul seolah menjadi bunga tidur yang datang setiap saat, masuk tanpa aba-aba, masuk mengulik kaca netraku yang sudah sangat lelah. Kamarku begitu berantakan, kain yang dulu Eyang mainkan masih berserak di penjuru ruang seolah ingin berteriak bahwa mereka tak sabar dirapikan. Aku capek, rasanya ingin langsung tidur pulas. Namun, lagi-lagi suara dengung halus membuatku tertahan. Telingaku panas seolah ingin tahu dimana pocong itu berada. Doaku tak pernah terputus seperti api di tungku pelita yang setiap saat ingin terpancar dalam kegelapan malam. Beberapa saat setelah suara itu berbunyi, aku mencoba untuk beristirahat karena besok tenaga ini akan kugunakan untuk membereskan kamar. Entah apa yang sudah Eyang lakukan disini. Kamarku yang dulunya bersih berubah

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Pertengkaran Mulut

    *Semalam sebelum Eyangku dipulangkan ke Siliwangi, kurang lebih enam bulan sebelum Eyang wafat. Aku merawat Eyang didetik-detiknya pergi, hanya aku, hanya aku dan segala teror di rumah ini. Hanya aku yang tahu bagaimana rasanya ….Jika ada yang ingin tahu rupa Eyang saat muda seperti apa, sekali lagi aku mau bertaruh jika ia sangat mirip Gloria Stuart muda, pipinya yang empuk, dagunya yang terbelah dua juga mata bulat begitu membuat siapa saja akan terpukau. Wanita yang kusebut Eyang … Lantas pergi meninggal kami begitu saja, meninggalkan suara sepatunya yang pelan dikejauhan tanpa seraut kesedihan atau pun kepuasan.Sementara aku sudah terengah-engah, lidahku menjulur meneteskan liur dan darah, mengerang dengan suara lengkingan panjang mengucap asma Allah. Saat aku melihat tubuhku tak bergerak, tiba-tiba siluet putih berganti hitam. Aku sadar dan kembali di ruang kegelapan.Kembali melihat pelita yang mengeluarkan asap juga kolom ranjang tidurku. Ternyata aku baru saja bermimpi. Aku

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Dipulangkannya Eyang

    Pakde melawan keras dan meminta bukti, dia bilang selama ini tak tahu menahu soal kejadian di rumah ini. Bersikeras jika apa yang aku tuduhkan itu salah karena Eyangku sendiri yang tak mau menjual rumah sedari dulu. “Ratu itu wis pencen saka keras kepala! Wis dibilangin ojo nyembeh wong mate! Mula dheweke saben dina ngimpi Ki’ Babah teka amarga bojone iku nyuruh dheweke tobat! Jangan terus-terusan nyalahil aku, aku terus!”(Ratu itu dari dulu memelihara demit! Makanya dia tiap hari memimpikan Ki’ Babah karena suaminya itu nyuruh dia tobat! Suruh buang saja benda yang dia sembah itu, jangan terus nyalahin aku, aku terus!)“Berbelik saja terus,” cibir Bang Hasim.“Has, sing tenan, Hasim.”“Kudu tenang kepriye maneh, Bu? Ngenteni Eyang Ratu meninggal, hah? Enggak ada loh orang yang berani berbuat sesuatu selain dia. Dari dulu pemuja setan ini yang selalu kalian agung-agungkan, selalu dipercaya, selalu merasa harus dibenarkan!”“Rere dulu pernah lihat Pakde datang malam-malam, Pakde datan

Bab terbaru

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Extra Part Terakhir (Kesimpulan Cerita)

    Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Sebelum Berangkat Ke Siliwangi Untuk Pertama Kali (Prolog)

    Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ektra Part

    Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ekrta Part

    "Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   SELESAI

    "Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Eyang

    “Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Rahasia Eyang

    Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kejujuran Dan Air Mata

    “Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Eyang Tutup Usia

    Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku

DMCA.com Protection Status