All Chapters of JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU: Chapter 41 - Chapter 50

67 Chapters

Watri, Darah Daging Kakungku

Orang-orang dahulumu melewati banyak kisah saat mereka masih belum mengenal abjad. Pahit-manis, asin-tawar hidup sudah dirasakannya hingga lama berbekas. Kadang kala usia membuatnya menyerah, dipisahkan kenangan, dipisahkan pula oleh kematian. Bukan secara kebetulan aku bertemu dengan Kakek Suko, tapi aku merasa Tuhan telah menyulam tali sambung temu kami dalam suratan takdir. Si Mbok yang merupakan saudara Kakek Suko bercerita, jika sebenarnya semua warga Talaga Ciung tahu akan peristiwa kelam ini. Puluhan kepala keluarga pernah mendiami wilayah terpencil ini sebelum mereka membeli tanah di wilayah luas yang layak. “Mbok? Kenapa melamun?” tegurku.Ada dua menit terjeda, Si Mbok yang tadinya sedang melebarkan tikar untuk kami beristirahat, tiba-tiba saja terdiam. Aku menunggu beliau melanjutkan ceritanya, mengupas singkong rebus yang sebagian isinya sudah hangus akibat jatuh ke pawon.“Mbok?” ulang Bang Oar.“Ah? Aa. Kalian iki sebenarnya … Siapa? Kenapa mau tahu masa’alah yang lam
Read more

Kabar Dari Rumah Eyang Setelah Aku Pergi

*Djoko Suyanto pernah mengirim undangan ke rumah Eyang, buka bab 24 untuk kembali mengingat sang tokoh. Tapi, rencana untuk bertemu beliau terhalang kondisi sulit di tahun 1983-1985.***"Pakde!" teriak seseorang. Darahku seakan mendidih ketika Pakde menampar orang seperti itu, apalagi Bang Hasim adalah keponakannya sendiri. Aku mendahului Hasan berlari ke sudut dapur di mana Bang Hasim sudah tergolek lemas. Lebam di sudut bibirnya mulai membiru, badannya basah kuyup, ia juga terlihat pucat.Ternyata Bang Hasim baru saja ditampar di depan mata adiknya sendiri. Hasan sampai mendorong meja sekuat tenaga, berteriak dengan penuh amarah."Ayahku akan segera datang!" "Diam, Hasan!" Pakde menggeram.Dengan langkah lebar ia menarik tubuhku ke atas. Aku masih tak mengerti apa yang sudah terjadi, Pakde terlihat marah besar dan membuatku ketakutan. "Dan kau. Saiki wis wani pacaran tekan nginep ing jabaning omah?! mrene saiki!"(Dan kau? Sekarang sudah berani pacaran sampai bermalam di luar ru
Read more

Surat Dari Bang Hasim

Assalamualaikum, Dek.Gimana kabar di sana, sehat? Minggu lalu ada mantri yang datang memeriksa Eyang, Eyang sudah agak pulih. Tapi, dia terus cari barangnya itu. Masalahnya, Abang sudah bakar, karena kata kawanku itu buhul santet. Buah yang kita kira ganitri itu ternyata jimat, Abang tidak tahu siapa yang kasih itu ke Eyang dulu pertama kali dan bilang kalau itu obat penangkal sihir.Semenjak Eyang bangun, mereka sering terdengar berselisih jadi rumah sering ribut karena Pakde terus bertengkar. Dari yang Abang dengar, Pakde mau tanah rumah Eyang dipindah namakan, Eyang bersikukuh tidak mau menjual rumahnya, karena rumah ini sudah atas nama Ayahmu, Paman Raden Wicaksono.Harus Abang sampaikan juga satu hal karena Abang rasa kamu perlu tahu tentang ini. Bibi Lija kabarnya meninggal, tempo hari ada kerabatnya datang ke rumah memberitahu kami. Abang sudah wakilkan Eyang untuk ziarah kubur, tapi, tak sempat menginap di rumah beliau karena Eyang suruh cepat pulang. Nanti kalau ada kesempat
Read more

Tanda-tanda Kematian Eyang

“Iya, si Halija, Neng.”“Siapa lagi selain dia, Neng?” ejek Bang Uki. “Pengasuh rumah Eyang ‘kan banyak, Bang. Kata Bang Hasim, ada yang namanya Santoso, juga ada tukang giling padi, mana tahu sebelum Bibi datang, ada yang duluan kerja,” kilahku menerangkan. Tak sadar, wajah Bang Husain dan Bang Uki berubah tegang, mereka seperti terkejut mendengarku menyebut nama pengasuh Eyang yang lama.“Kenapa? Kok kaget?”“Tanyakan saja sama si Mbah sendiri, Neng. Kami engga tahu kalau soal itu, ya ‘kan Ki?”“I-iya, Kang! Tapi, kira-kira siapa lagi yang kerja setelah Halija mati, ya?”“Sudah ada kok, Bang. Kami sudah dapat pekerja lagi, namanya Palikman. Paklik sudah kerja sebelum Imel pulang ke rumah Ayah.”“Hah?” Bang Husain melotot. Mereka tercekat, membuatku semakin penasaran. “Kok, kaget? Apa yang salah?”“Neng, begini. Ini memang hanya rumor, tapi terlepas dari nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, kami cuma mau berpendapat ... Jika sebaiknya, tidak usah cari pekerja lagi buat rumah s
Read more

Tahun 1985-1986 Saat Aku Tak Menulis Kisah

Sekali lagi lenganku disikut Sekali lagi lenganku disikut Bang Hasim, dia sedikit melotot tapi masih dengan cara dingin. “Apa sih, Bang?” Tatapannya sudah persis teka-teki silang, sulit di cerna.“Silahkan, Pak. Di baris ke dua,” Seraya mendorong pena Pak Lurah menunjuk deretan nama di daftar warga yang di sana sudah tertulis nama lengkap Eyang. Pakde lalu memberikan selebaran tunai. Nominalnya jauh dengan yang sering aku dan Eyang bayar. Sangat pelit. Aku bisa lihat raut wajah Pak Lurah seperti tertekan sebelum beliau pamit pulang.“Hasim, buatkan air panas dua cangkir, suruh adikmu makan siang sebelum mengirimnya pulang.” Pakde yang masih duduk dengan rahang mengeras membuat Bang Hasim mengepalkan tangan. Aku masih terpaku dalam diam, merasa tak diterima lagi di rumah Eyang. Tapi, entah mengapa bibirku tak berani berkutip. “Pakde, Bang Oar itu kawanku, aku sudah kenal dia dari sejak kuliah semeter satu. Dia tidak mungkin … ““Kau, duduklah.” Pakde memotong pembicaraan, seolah baru saja
Read more

Surat Santoso 1

“Misi, Pak. Misi, Buk.” Anak bersorban hitam dengan tahi lalat mirip tompel naik ke pintu kereta sedetik saat sebelum gerbong di tutup oleh Kang kondektur.Langkahnya tak kalah lebar, disusul oleh dua lelaki muda lainnya, celananya modelan baggy dengan warna khakis, tangan baju dilipat memamerkan otot lengannya yang kurus.“Maju, Bung!” teriak kawannya yang sudah siap memetik senar. Sementara suara bising dari mulut para penumpang seolah tersetel diam.🎶🎶🎶Seribu rambutmu yang hitam teruraiSeribu cemara seolah menderaSeribu duka nestapa di wajah nan ayuSeribu luka yang nyeri di dalam dadaku …Di sana kutemukan bukit yang terbukaSeribu cemara halus mendesahSebatang sungai membelah huma yang cerahBerdua kita bersama tinggal di dalamnya ...Nampaknya tiada lagi yang diresahkanDan juga tak digelisahkanKecuali dihayatiSecara syahdu bersama, oohSelamanya, bersama selamanya …Di sana kutemukan bukit yang terbukaSeribu cemara halus mendesahSebatang sungai membelah huma yang cer
Read more

Surat Santoso 2

“Sebenarnya kamu ngomong apa, sih, Bang? Memang susah ya mengerti rumus pola pikir orang tua, dibaca sepuluh kali pun otakku tidak akan bisa mencerna.”Pernah satu hari dia kesal karena aku tidak segera membuka pintu rumah, posisi saat itu Bang Hasim kebetulan masih di pabrik, sementara Eyang sakit. Bang Oar berteriak belasan kali, sementara aku yang masih jengkel dengannya malah pura-pura tuli. “Mel! Imel!” Kala itu suaranya semakin naik oktav demi oktav sampai level dua belas. Sampai-sampai pintu itu kalau bisa ngomong pasti dia juga teriak, budek beneran baru tahu rasa kau!Pintu yang sepertinya sudah hampir retak akhinya kubuka, dengan tampang tak berdosa aku menyambut Bang Oar sambil mengemut permen. “Oh, kamu, Bang? Kirain siapa.”“Oh? Kirain siapa?” Dia mengulang kata-kataku dengan nada ditekan, lalu aku menaikkan alisku dan berpura-pura tak mengerti.“Saya sudah minta maaf soal semalam tadi pagi, oh, soal ceruputmu yang robek itu udah saya suruh Hasim ganti, masalahnya apa la
Read more

Surat Santoso 3

Tatapan jasad itu seolah mengunci kakiku di bawah. Demi Tuhan, penampakan seonggok tubuh berbalut kain kafan kotor sedang menganga seolah ingin membun*hku saat ini juga. Dengan menyebut nama Allah aku berlari ke lorong dapur, membawa getar di sekujur tubuhku dengan air mengucur deras. Saat itu, yang aku ingat entah mengapa adalah Hasan, dengan nafas tersengal aku memanggil namanya berulang kali, berlari menerobos pintu dapur seolah pocong tadi melompat tepat di belakangku.Hasan yang sekelebat tertangkap di mataku membuat menghentikan langkah, ternyata dia sedang mengikis rumput di halaman pendopo belakang. Tubuhnya sedang terbungkuk ke arah semak-semak yang memang terlihat lebat. Aku tak pikirkan lagi tas di pundakku, ia kulempar begitu saja ke lantai lalu memanggil Hasan dengan lantang.“Hasan ada mayit di kamar Eyang!”Anehnya saat itu, lelaki yang kupikir adalah Hasan hanya mengepakkan kapan dan tidak sama sekali mendengarku. Langkahku yang sudah tak mampu terayun lagi-lagi tersed
Read more

Pengakuan Palikman (Saat Aku Kembali Ke Siliwangi)

“Sini, Paklik tunjukkan posisi surat ini waktu ditemukan Hasim.”Paklik membawaku masuk ke Kamar Kakung. Entah mengapa Paklik berubah menjadi seperti itu, dia terlihat sangat was-was dengan keadaan rumah ini. Apa selama ini Paklik sering diperlihatkan juga apa yang sudah kulihat tadi? Aku akan bertanya nanti.“Kopor di balik keramik ini bukan semen, tapi pasir. Dalamnya lima jengkal dari permukaan tempat surat itu dikubur,” tutur Paklik. “Sewaktu diadakan pengajian, Bibi Lija benar-benar masuk kemari kata Eyang, Eyang kira Bibi menyusupkan barang berbahaya.”“Halija mungkin sudah leluasana masuk ke kamar ini, Neng. Karena dia mungkin dipercayakan untuk sebuah hal oleh seseorang. Sudah bertahun-tahun ia bekerja di rumah ini. Tapi, kenapa tidak bertanya langsung, Neng?”“Bang Oar bilang jangan langsung menuduh orang, dia bilang kita musti pura-pura tak tahu segala sesuatu tentangnya karena dia bisa membaca pikiran kita.”“Kalau begitu, kamu sudah salah menuduh, Neng.”Paklik mendengar
Read more

Pondok Semasa Eyang Berkiprah

Bantal menghangati tengkorak kepalaku, namun mataku belum berniat terpejam sedari tadi, sedari Paklik mengantarku ke kamar dan memastikan pintu kamarku terkunci rapat.Bayang-bayang pocong itu mengusikku setiap aku berkedip, ia muncul seolah menjadi bunga tidur yang datang setiap saat, masuk tanpa aba-aba, masuk mengulik kaca netraku yang sudah sangat lelah. Kamarku begitu berantakan, kain yang dulu Eyang mainkan masih berserak di penjuru ruang seolah ingin berteriak bahwa mereka tak sabar dirapikan. Aku capek, rasanya ingin langsung tidur pulas. Namun, lagi-lagi suara dengung halus membuatku tertahan. Telingaku panas seolah ingin tahu dimana pocong itu berada. Doaku tak pernah terputus seperti api di tungku pelita yang setiap saat ingin terpancar dalam kegelapan malam. Beberapa saat setelah suara itu berbunyi, aku mencoba untuk beristirahat karena besok tenaga ini akan kugunakan untuk membereskan kamar. Entah apa yang sudah Eyang lakukan disini. Kamarku yang dulunya bersih berubah
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status