“Neng milih saja. Balek kampung besok sama Pakdemu iki kalau mau. Eyang panggil adiknya Hasim saja tinggal di sini. Kakungmu selalu berpesan jangan biarkan rumah kosong, Neng.”“Imel sudah janji mau ngikut Eyang.”Nekat. Jujur saja, rasanya aku tidak bisa di sisi Eyang. Kesempatan ini juga sudah berpihak kepadaku, Paman Tuwuh sudah memutuskan semuanya. Aku bisa meninggalkan Eyang atau tidak. Tapi, bagaimana dengan setelah aku pergi? “Yang, rumah ini tidak bisa dijual, ya?”Begitu pelan aku berbicara. Setengah berbisik, setengah lagi membujuk. Di sana ada hanya satu penghalang, yaitu penghuni kamar tidurku. Dia sudah hidup dan berkuasa di banding pemilik tanah ini sendiri. Eyang bahkan sudah merasa terjebak dihuniannya.“Siapa yang menjamin orang-orang dikemudian hari bisa selamat kalau rumah ini berpindah tangan Neng? Adikmu itu cerminan baru untuk perjalanan hidup orang lain. Jangan sampai sembrono, sebelum kita berusaha keras. Eyang akan mati di tanah Kakungmu sendiri bila tiba wak
*Aku melanjutkan kisahku, kisah yang sudah lama, namun masih berada di halaman pertama. Menemani bayangku, kekuatanku, nekadku dan mimpiku, aku akan terus berada di rumah ini ... Bersama Eyang. Kala itu, rintangan silih berganti datang. Jika ada yang mencari-cari di mana letak inti segala masalahku, jangan cari itu di hari ini. Karena semuanya seperti slide video yang berulang-ulang kali terulang. Teror yang sebenarnya baru di mulai ....***Bang Oar.Suara lelaki itu terdengar entah dari mana. Aku menoleh ke anak tangga di mana Eyang masih berdiri bersama wajah-wajah baru lainnya. Kucari keberadaan Bang Oar tetapi tak ada. Sontak kuarahkan tubuhku, kembali ingin berlari dengan sekuat tenaga.Saat itulah, nadiku berhenti berdetak, sosok pocong sudah berdiri tak berjarak dari wajahku. Mungkin, tak ada bisa melukiskan bagaimana aku menghadapi situasi terumit di detik berikutnya. Saat aku dibius bau bangkai dari sekujur tubuhnya. Kafan yang sangat amis, belatung juga kaki seribu, sepert
“Eyang?” Langkahku perlahan maju, entah apa yang sudah terjadi sejak aku meninggalkan rumah kurang dari dua puluh empat jam lalu. Aku terus melangkah pelan ke arah beliau karena ia memanggilku setengah berbisik. Dengar, dengar suara itu, suara Eyang seperti gendang yang terpantul di sudut-sudut ruang kosong. “Teka kene lan ndeleng, Watri ndedonga. Watri. Watri … “(Kemari dan lihat, Watri berdoa.)“Ngomong opo toh, Yang? Watri siapa?” tanggapku segera. Aku terus menjawab bisikan Eyang, sementara langkahku terasa ragu membelah ruang.KREEEKKK“Allahu Akbar.”Benar ada wanita di dalam kamarku, seperti yang dikatakan Eyang, sosok itu tengah mengangkat keduanya tangannya sembari mengumandangkan takbiratul ihram. Besar suaranya, tubuhnya pun sangat mirip dengan … Eyangku. Sontak rasanya tungkai lulutku jatuh, ‘Watri’ yang dibisikkan Eyang sudah hidup seperti teramat nyata di hadapanku. Suara kain berpadu bungkusan kue jatuh berserakan, jantungku berdentum hebat, bibirku mulai melupakan ra
*Dua hari sebelum kedatangan Bang Hasim dari lokasi proyek. Bacanya tidak mesti terburu-buru.***Kita kembali pada malam ketika aku mulai terbiasa memegang alat dapur dan mengenal bumbu masakan, tanpa arahan Eyang. Eyang hanya duduk di kamar, sepanjang hari hanya termenung menenun kain, bibirnya saja yang tak berhenti menyuruhku mengerjakan pekerjaan rumah. Biasanya beliau tak suka berlama-lama seperti itu, dia sangat aktif, dia juga tidak mengizinkanku mengolah tungku api berlama-lama. Hujan tidak pernah mengguyuri tanah Rumpang hampir sebulan lamanya, hanya saja angin kencang selalu datang merambah disepanjang bangunan siang dan malam.Aku tediam cukup lama sewaktu Eyang menyuruhku menurunkan kain gorden dari talinya, sore itulah aku melihat puluhan orang berjalan beriringan ke arah barat mengikuti senja. Karena posisi teras dan jalan raya sangat jauh, makanya aku hanya bisa memperhatikan dari balik jendela. Mereka mengenakan sarung batik, sarungnya disanggul rapi hingga menutupi
Rumpang di penghujung tahun.Keringatku menetes deras mengikuti ritme jantung yang seakan masih memburu. Mimpi aneh itu kembali berulang seperti potongan serial sinema yang berantakan. Beberapa saat aku memperbaiki perasaan. Aku membelalakkan mata saat pintu kamarku tiba-tiba diketuk pelan. Suara Eyang yang tadinya hanya menepuk kasur terhenti lantas berganti sapaan. Ia datang sembari mendorong pintu dengan deritan pelan. Kukira sudah lewat tengah malam, tapi, alarm panjang dari ruang tengah tiba-tiba terdengar. Dan ini artinya malam masih sangat panjang.Kepalaku masih sangat sakit, ngilunya menjalar turun ke pelipis. Ingatanku perlahan terkumpul, aku ingat saat Eyang memukuliku hingga aku terbanting ke dasar lantai.“Neng,” sapanya dengan suara parau.Bisakah aku percaya dengan Eyang saat ini? Rasanya sangat berat memutuskan siapa yang sedang aku hadapi. Seandainya aku benar meninggalkan Eyang ke masjid, mungkin tadi Eyang sudah dibun*h. Membayangkan gerak-geriknya di pojok lemari i
*Om Tuwuh disebut Paman juga. Om Tuwuh suaminya Tante Mita, tidak ada hubungan keluarga denganku atau Ayahku. Hanya saja Om Tuwuh pernah bekerja lama dengan almarhum Ayah dulu, sering berkunjung ke rumahku sampai Ayah suka berpesan pada mereka agar selalu menjagaku. *Pakde dari saudara Eyang bernama Raden Purnomo, kakak dari Pur Linggi, adik dari Raden Ratu –Eyangku. Mereka hanya tiga bersaudara; Eyang, Pakde dan Oma Pur. Ayah Bang Hasim bernama Raden Mukti, Sri Utami nama istrinya yang bersaudara dengan Ayahku dan Ibu Rere. Utami punya tiga anak, Bang Hasim, Hasan dan si bungsu yang meninggal saat masih dalam kandungan. Selebihnya, aku dan Rere sama-sama tunggal. *Kang Agus yang aku sebutkan saat bermusyawarah di rumah Rere adalah saudara Ayahnya Rere, mereka punya lima suadara yang tinggal diberbagai daerah. Dia dan keluarganya sangat percaya mitos, sama seperti Pakde yang menghendaki adanya jin di dalam mukenah yang selalu tergantung. Kata saudara Ibuku dulu, keluarga besar itu
“Seriusan, Bang?” Bang Hasim meminta diyakinkan. Awalnya terpengangah, lalu menatapku dengan wajah tegang. Dia melewatiku dengan raut penuh kepanikan, dirinya tak menunggu respon Bang Oar lagi dan berlari ke teras depan. Baru saja ingin menyusul, sebuah cekalan di tanganku membuatku sontak terhenti.“Jangan panik, siapa tahu Eyangmu keluar."“Eyang keluar? Tapi kok tidak mengunci rumah?”“Iya, memang pintu depan tadi tertutup tapi tidak terkunci.”“Kenapa, Neng?” Bapak tua itu terlihat bingung. Ia meletakkan golok juga perkakasnya saat melihat Bang Hasim tergesa-gesa pergi.“Subuh tadi, Eyang … “ Kalimatku seketika terjeda, teriakan Bang Hasim membuatku menoleh dengan pupil melebar. Aku menyusuri petak rumah yang begitu menyeramkan, gelap sekali di sini, hanya ada satu pelita yang terletak di meja tengah, mungkin Bang Oar yang menyalakan. Kasur Eyang masih ada di tengah ruang sama seperti saat aku meninggalkannya subuh tadi. Kecuali pocong yang telentang di atasnya. Pocong itu sudah
“Mungkin sudah sadar?” bisik Bang Oar. Pria berwajah tirus itu berbisik di telingaku seolah meminta pendapat, lalu menggeleng seperti menemukan jawabannya sendiri. Paklik membelok. Melesat ke arah pintu dengan pelita yang tersisa. Seseorang yang sedari tadi mematung tiba-tiba saja menoleh. “Jangan dibuka, Pak!”Teriakan itu membuat tubuh Eyang tiba-tiba bergerak pelan, meraba-raba dinding dengan menyebut dan memanggil nama Bang Hasim. Detik itu kami berhamburan kembali, mengerumuni Eyang dan menjauh dari pintu. Semburat cahaya dari celah jendela memasung bibir, kami terhenti dan seolah menghentikan waktu manakala Bang Oar menuntun kami berdzikir. Ayo berdoa dengan tenang, bisiknya. Eyang mengamit lenganku dengan tubuh hangatnya, dia mengulang doa-doa yang aku sudah pelajari dulu. Katanya jangan berhenti, sampai angin berhenti berhembus kencang. Paklik memerika pintu dengan seksama, mengunci ganda dan menempelkan balok di kedua sisinya. Tak lupa kain gorden ia beri lapisan saput ya
Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y
Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar
Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari
"Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta
"Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me
“Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me
Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik
“Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma
Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku