Share

JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU
JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU
Penulis: zolepena

Mukenah Siapa Ini, Eyang?

Penulis: zolepena
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

#Horor #RumahEyang

"Mukenah siapa ini, Yang?"

"Mungkin mukenah Sabrina, Neng."

"Tapi kok keliatan besar, ya?"

Mukenah itu lantas berpindah tangan ke tanganku. Aku lantas menyibak sedikit dan mencoba memperhatikan ukurannya. Tapi, belum selesai tanganku menyibak, mukenah itu sudah kulempar jauh.

"Lah kok kamu lempar gitu, ambil lagi, taroh di keranjang kotor."

"Ih, bau banget, Yang!"

Magrib itu aku dan Eyang sudah siap ke masjid. Kami memang selalu rutin magriban di masjid, karena rumah Eyang termasuk rumah yang paling dekat.

Segera kutarik ujung mukenah putih itu, nampaknya bersih, tak ada noda, mirip mukenah ibuku tempo dahulu, tapi kenapa bau sekali? Aku meletakkannya sesuai perintah Eyang. Lantas mengambil mukenah milikku di dinding kamar lalu menyusul beliau keluar. Namun, baru saja melangkah dari bilik, tiba-tiba dari dalam terdengar suara dinding di pukul keras.

BUGH BUGGGHH

"Cepat, Imel!" teriak Eyang.

Aku yang hendak memeriksa seketika terkejut mendengar suara Eyang teriak dari pagar. Akhirnya, kakiku tidak meneruskan langkah menuju suara itu, melainkan meneruskan langkah keluar rumah.

Semenjak sibuk bekerja, baru kali ini aku berkunjung ke rumah Eyang selama belasan tahun. Alasannya karena aku tak punya Ibu dan Bapak, jadi rumah peninggalan orang tuaku sudah disewakan pada keluarga. Sementara aku pulang ke kampung Siliwangi, rumah Eyang yang berdiri di tengah-tengah rumpun warga Siliwangi dari sejak ayahku kecil.

Eyang menyuruhku tinggal di sana saja, katanya lebih untung karena aku bisa dapat uang dari rumah sewa milikku, juga bisa merawat Eyang.

Sebenarnya aku dulunya ngontrak di kota tempatku bekerja, hanya saja saat ini Ibu bos yang mempekerjakan aku sebagai baby sitter sedang ada perjalanan keluar negeri sampai selesai bulan ramadhan. Anak yang aku asuh sementara waktu dijaga oleh keluarga pihak ayahnya karena beliau akan menjalani operasi di Malaysia.

"Yang, Imel pulang sehabis isya sama yang lain."

"Iya, langsung pulang ya, Mel."

"Iya, Yang."

Muadzin selesai beriqamah, para jemaah sudah tak sabar menggelar sajadah begitu pun orang-orang yang masih di luar area. Mereka berlari kecil menuju pintu dengan wajah berseri-seri dan mengenakan pakaian terbaiknya.

Setelah salat magrib, aku dan para ibu-ibu seperti biasa akan melakukan pengajian, hari jumat akan diganti tauziah. Hari ahad rutin kita adakan seperti menggelar acara lomba.

Lomba baca surah pendek, lomba muadzin, lomba qosidah, lomba tilawatil al-qur'an, juga beberapa lomba lainnya. Rutinitas indah ini sudah aku lakoni dari kecil. Sayangnya, di kota sangat jarang ada yang seperti ini.

Pukul 09:12 salah isya dan kegiatan kita ditutup. Aku pulang bersama beberapa orang yang kebetulan adalah tetangga Eyang, betapa terkejutnya aku saat sampai di depan pagar rumah. Eyang tergeletak di teras dengan keadaan masih menggunakan mukenah.

"Astaghfirullah! Eyang!"

Beberapa orang yang menyaksikan ikut histeris. Kami segera masuk, melewati rumput kecil sepanjang halaman yang minim penerangan. Ini sudah jaman modern, jalan sudah mengkilap, hanya saja penerangan masih minim karena masih termasuk pelosok. Lampu hanya bertumpu dari minyak tanah, padahal jika pemerintah setempat mau membangun pusat energi listrik aku yakin orang disini sudah cukup mampu memenuhi segi biaya.

Kami berlari sambil berteriak histeris. Lalu segera umi Lasmi menyuruh yang lain menggendong tubuh Eyang, lalu kami baringkan dia di kamarnya.

"Coba kuperiksa dulu, Mel."

"Silahkan, Um."

Syukurlah keadaan Eyang katanya baik-baik saja, akhirnya beberapa orang izin pulang setelah membuatkan Eyang teh hangat.

Selama lima belas menit rasanya hatiku dilanda rasa khawatir teramat, takut Eyang kenapa-napa, takut Eyang meninggal, takut, takut, takut. Sampai aku menghembuskan nafas lega saat beliau pelan-pelan membuka mata.

Aku terperanjat, segera kuhampiri Eyang, beliau memegang keningnya, lalu memperhatikan keadaan di sekeliling.

"Neng, aduuh. Kepala Eyang sakit."

"Eyang, alhamdulillah, sudah sadar."

Kubantu Eyang bangun, sementara beliau masih meringis kesakitan. Lebam di kepalanya sedikit berbekas, membuatku semakin penasaran dengan apa yang sudah terjadi.

"Neng, dimana Eyang ini?"

"Di kamar, Yang. Tadi kami dapatin Eyang tidur di teras, tak kira Eyang kenapa-napa. Eyang kok bisa pingsan di luar?"

Eyang sedikit terkejut mendengarkan ucapanku. Bukannya menjawab, malah ia buru-buru bangun, mengintip keluar, lalu berlari lagi masuk ke kamar.

"Yang?"

"Sst! Tadi itu pas Eyang balek ke rumah, rencana mau langsung ke dapur ambil masakan juga mau manasin sop ayam yang kamu buat. Tiba-tiba pas lewatin kamarmu, ada kamu di dalem, lagi salat munggungin pintu."

Bulu kudukku langsung merinding. Enggak mungkin Eyang abis praktek sinetron terus keterusan akting. Aku mengedarkan pandangan, lalu mendekat diri ke tubuh Eyang. Jadilah kami saling berbisik-bisik, sementara tempo di jantungku berdegup kencang.

"Se-seriusan?"

"Demi Allah, Neng. Untung Eyang enggak mati di tempat waktu liat kembaran kamu tiba-tiba rukuk lebih dari rukuk orang biasa, kepalanya lewatin lutut terus lewat celah lututnya liatin Eyang sambil nyengir lebar!"

"Hah! Astaghfirullah!"

"Kamarmu terbuka sendiri, tidak tertutup seperti sekarang, Neng."

Malam itu Eyang mengajakku kembali ke dapur. Tak lupa aku berlari kecil menutup pintu rumah dan mengunci semua jendela. Aku tahu beliau masih shock, begitupun juga aku, saat ini kami sangat ketakutan.

'Lantas, bagaimana dengan diriku? Apa harus masuk ke kamarku setelah makan?'

Aku segera memanaskan kembali sop ayam, ikan, dan membuat acar. Setelah hidangan siap, Eyang dan aku makan, kami makan tak seperti biasanya yang heboh penuh lelucon. Malam ini, kami makan dengan suasana hening.

"Apa yang terjadi setelah itu, Yang?"

"Ya, lari. Yang Eyang ingat hanya lari, lutut Eyang lemas sampai di teras udah pingsan," bisiknya.

"Emang mirip Imel, Yang?"

"Tinggi sedikit, karena dia pakai mukenah puteh, enggak terlalu nampak!"

"Mukenah putih?"

"Iya. Mukenah puteh ujungnya kain rendah puteh juga ... "

Tak sempat Eyang melanjutkan kalimat, kami berdua saling tercengang. Mukenah putih, yang baru saja aku simpan di keranjang cucian? Itukah? Astaghfirullah. Astaghfirullah.

Akhirnya kami melanjutkan makan malam dengan pikiran berkecamuk, takut, kaget, semua campur jadi satu. Kuminta Eyang menemaniku bereskan dapur, mencuci piring, juga meletakkan piring di tempatnya. Sehabis itu, dengan berbekal nekat, Eyang dan aku berjalan keluar, posisi kami jika ke kamarku harus melewati kamar Eyang, lorong sempit sekitar satu meter lebih sampai ke kamarku yang berhubung ke ruang tamu.

"Eyang, serius mau buka? Dah lah, Imel malam ini tidur bareng Eyang aja."

"Kamu bisa tidur nyenyak tanpa periksa dulu?"

Aku menggeleng. Raut wajah Eyang seketika mencelos, kami terpaksa harus membuka kamarku yang di dalamnya sangat gelap. Aku harus masuk dulu jika mau menyalakan lampu pijar.

KREEEKKKK

Derit panjang terdengar. Segera Eyang masuk menyalakan lampu dan memeriksa ruangannya. Nihil. Tidak ada siapa-siapa disana, kamarku berantakan seperti aku meninggalkannya magrib tadi, beberapa jaket dan mukenah ganti berwarna cerah tergantung dekat pintu, juga meja dan kursi tak bergeser dari tempatnya.

"Enggak yang berubah, mungkin Eyang cuma berhalusinasi."

"Kamu pikir Eyang ini sudah tua amat? Eyang baru enam puluh lima, Neng! Enggak mungkin salah liat, apalagi wujud itu menatap Eyang cukup lama!"

"Ya sudah, Imel tidur dengan Eyang, ya."

Kami melangkah keluar, hendak mematikan lampu. Hanya saja, aku sempat tertegun, perlahan kutarik Eyang kembali dengan tubuh mendadak tegang.

"Siapa yang gelar sajadah, Yang?"

Tanganku terulur sangat pelan, kutunjuk di samping kasur, ternyata ada sajadah panjang, ukurannya lebih panjang dari sajadah kami di rumah ini, sajadah itu tergelar persis selurus dengan pintu. Bersama dengan itu bau khas mayat busuk menyeruak di rongga hidung, sama seperti bau mukenah yang kupegang tadi. Aku dan Eyang segera berlari, membiarkan pintu kamarku yang tak sempat kututup lagi.

Baru saja hendak mengatur nafas. Kami dikejutkan dengan suara lirih dari seberang kamar Eyang, persis dari kamar ku.

"Eyang," pekikku tertahan.

"Berdoa, Neng!"

Suara lirih perempuan, sedang menyayikan sesuatu yang aku tak tahu itu tembang apa. Tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang keluar sambil membuka pintu kamarku, padahal jelas-jelas baru saja kami berlari tanpa menutup pintu.

Suara langkah itu terhenti, tepat di depan kamar Eyang. Nyaris saja aku pingsan, jika Eyang tak menarikku naik ke kasur dengan tangan bergetar hebat. Hal yang membuat kami tercengang saat suara orang di luar itu tiba-tiba berbicara hingga membuat kedua lututku terkulai lemas.

"Cah ayu. Mukenah kowe cari paku."

Bab terkait

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Lari Ke Kamar!

    Waktu terus berlalu selepas sosok itu berbicara. Langkahnya terdengar menyusuri lorong, lantas suaranya yang terus meminta paku perlahan hilang. “Yang, mungkinkah itu Bibi Lija?”“Ngomong apa toh, Neng? Lija hanya datang pagi sampai sohor.”Saat ini yang aku lakukan hanya duduk, enggan menarik selimut, enggan menyentuh bantal seperti biasa. Cukup lama aku jadi patung, tiba-tiba Eyang kembali seperti belut kesetrum listrik. Dering panjang dari ruang tengah penyebabnya, membuatku seketika ikut was-was.“Duh, Gusti!”“Tenang, cuma alarm salat tahajjud, Yang.” Eyang tak lagi menyahut, dia malah seperti kelimpungan lalu turun dari kasur. “Itu dia, alarm sudah bunyi, Neng.”“Lah, terus?”“Terus, ya, ayo ikut salat.”Saat ini, aku berpikir lebih baik aku pingsan sampai pagi daripada harus melawan ketakutan sepanjang malam. Akhirnya mau tak mau aku mesti nurut, ini sudah jadi aturan di rumah Eyang, dini hari harus bangun, salat, tadarus, salat, berdzikir.Sensasi di luar pintu kamar dingin

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Bibi Lija Siapa Yang Kamu Maksud?

    Umi Lasmi menyuruhku segera pulang. Beliau bersama suaminya ikut panik setelah tahu Eyang pingsan lagi. Saat kami menerobos pintu, Eyang masih pingsan di dekat kursi. Rasanya aku ingin menangis kencang, mengumpat pada siapa saja yang tega melakukan hal itu pada kami.Namun, lagi-lagi aku hanya mematung, menahan ruah emosi rapat-rapat dalam dada. Akhirnya, mereka yang belum tahu kejadiannya membantuku membaringkan Eyang ke kamar. Saat melewati kamarku, pintu kamar masih seperti tadi. Hanya saja di dalamnya sudah kosong."Tunggu, Umi periksa dulu.""Silahkan, Um.""Sebenarnya, Eyangmu kenapa toh, Mel? Kok sering pingsan begini? Dia kerja opo kalau siang?" selidik Umi. Umi sepertinya sudah khawatir."Kata Eyang mangkas rumput, Um.""Suaramu bergetar gitu toh, Mel. Nih, minum dulu."Umi bilang Eyang tak apa-apa, hanya suhu tubuhnya yang hangat. Tapi, aku menyuruh beliau agar memanggil mantri dari balai kesehatan. Aku lihat jam lebar di ruang tengah, angkanya masih menunjukkan angka sembi

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Pengajian Apa, Umi?

    “Kain? Kamu ngigo sambil jalan terus tidur ... ““Isa enggak ngigo, Mbak.” Isa memotong ucapanku, suaranya begitu dingin dan tertekan.“Karena hari kedua Isa sama yang lain capek jalan terus, jadi malam itu kita bertiga cepat tidur. Posisi tidurnya, Rere di kamar Eyang, Isa di kamar Mbak, terus Hasim tidur di ruang tamu. Isa sadar waktu itu belum tengah malam, Isa ketindihan, tubuh Isa seperti di angkat rame-rame tapi enggak bisa gerak.” Eyang yang melihat raut serius di wajah kami segera berhenti membersihkan ayam potong.“Isa kenapa toh, Mel?”“Katanya ketindihan sampai tidur deket pintu, Yang.” Aku mengelus sebelah pundak Isa lantas menyuruhnya minum sebelum lanjut bercerita.“Rasanya tubuh Isa bergetar, Isa kaget sambil beristighfar terus, akhirnya Isa sadar dan bangun tapi enggak ada apa-apa. Isa baca doa dan lanjut tidur lagi. Sampai tiba-tiba tengah malem denger alarm bunyi, disitu Isa ketindihan lagi.”“Tubuh Isa merasa banyak yang ngangkat, seperti melayang sampai dibawa kelu

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Salat Subuh Bersama Jin

    “Sumpah, Re! Bukan Mbak yang nyahut di depan.” Rere mencibir, padahal aku sedari tadi memasang wajah serius. Saat aku masuk sudah ada Eyang di meja makan. beliau nampak sibuk menata piring, aku jadi terlihat pekok sendiri. Mungkinkah mereka memang mengira aku habis lari-larian atau petak umpet? Astaga.“Yang! Rumah Eyang di belakang besok-besok di kasih obor atau lampu gantung ya.”“Ngomong opo toh, Neng?”“Itu loh, Yang. Imel hampir mati ketakutan gara-gara liat sesuatu.”Rere menoleh ke arahku, lalu mencibir lagi. “Ngeyel, teroos.”“Seriusan, Re. Mbak tadi enggak usil. Kualat baru rasa, kamu.”“Udah-udah! Besok Eyang beli lampu di pasar. Kalian makan dulu.”“Oma mana, Yang?”“Masih di kamarmu sama Isa. Mereka lagi bersih-bersih. Makanya toh, Neng, Rere, ada cucian, ada sampah, jangan langsung lempar sana-sini. Dengar tuh, Oma kamu mulutnya enggak bisa di rem.” Eyang memberi nasehat.“Remnya udah putus, Eyang. Enggak bisa di benerin … ““Hush! Kamu tuh ya.” Aku segera memotong ucapa

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Suara Gamelan

    Ini adalah rumahku. Tapi, mengapa setiap hari aku selalu dihantui rasa takut? Seperti pagi ini, aku yang lupa mengambil dompet harus berlari, berkeliling rumah yang panjangnya dua kali dari lapangan volly, lalu bersikap seperti maling yang takut ketahuan nyuri barang.“Huft! Gusti, aku enggak bisa kayak gini.”Anak kunci saling berbenturan, artinya pintu belakang sudah kembali terkunci rapat. Segera aku mengambil ancang-ancang, menarik nafas dalam, lalu berlari sampai pagar luar yang jaraknya seperti setengah lapangan bola. Sebenarnya sosok itu beberapa hari ini sudah jarang muncul, terakhir dia nampak saat bikin aku pingsan. Tapi, sudah hampir seminggu, rumah terlihat aman. Bahkan, sudah dua hari aku bisa tidur siang bersama Rere.“Imel, andongnya nunggu kok, enggak usah lari maraton.” Tegur Oma dengan bibirnya yang merah, beliau hari ini sudah pulang, aku dan Eyang mengantarnya sampai perbatasan Siliwangi, di pasar lima-lima.“Imel tak tahu kapan Imel mulai suka berolahraga, Oma.”“

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Gantung Mukenah Di Balik Pintu

    “Astaghfirulahaladzim.” Sekujur tubuhku bergetar.Sosok berjubah panjang itu sepertinya menyadari keberadaan teman Bang Hasim. Suara jeritan salah satu dari mereka berhenti berganti dengan riuh angin dari segala penjuru. Hening. Begitu hening.“Bang, kita pergi saja.” Bisikku. “Tidak, harus periksa ke belakang dulu.”“Tapi, Bang.”Bang Hasim bilang harus memeriksa Eko dan yang lainnya, apapun yang sedang terjadi. Pukul sepuluh, rumah Eyang dengan segala rahasia di dalamnya terasa mencekam. Aku seperti berada dalam dimensi lain yang harus berdiri di lorong gelap ditemani kesunyian. Tak ada mulut yang bersuara, tapi aku bisa merasakan ritme jantung berdetak lebih cepat dari detak jantung normal manusia. Degub jantung ini, seperti tidak lagi berfungsi normal.Bang Hasim melangkah meninggalkan kami bertiga, ia menuju dapur. Sialnya, dapur di belakang terlihat gelap, mungkin lampu gantung di meja makan mati. Sepupuku itu terlihat meraba-raba dinding, dan sepanjang dia melangkah tak kude

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Lari Ke Dapur!

    “Ana kidung rumeksa ing wengi. Teguh hayu luputa ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jim setan datang purun … “Rasanya masih beberapa menit yang lalu aku menyentuh bantal. Apa sekarang aku sudah di alam mimpi? Di depanku sangat terlihat jelas. Wajah hancur penuh belatung itu berada dalam jarak satu meter di tepian kasur. Dia duduk, menatap pintu, menyamping dari posisiku.“Rere.”“Rere, lihat ke bawah, Re.” Aku berbisik sangat pelan, nafasku bahkan takut mengeluarkan suara.“Rere, tolong bangun.” Pekikku membatin.Suaraku seperti sudah sangat tegas. Tapi, kenapa Rere tak bangun-bangun juga? Aku frustasi, rongga mulutku terus merapal doa tapi sosok itu tak ingin enyah. Aku ingat beberapa teman di kota pernah bilang, jin Muslim lebih pandai dari pada manusia. Saking cerdiknya jin itu, dia bahkan seribu lebih tahu dan fasih membaca dan mendalami Al-Quran. “Peneluhan tan ana wani. Miwah penggawe ala. Gunaning wong luput.”Lagi-lagi ia melantuntan tembang kuno. Lagu yang nyaris membuatku terc

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Lari Dari Rumah

    Bang Oar. Tinggal sendiri di ujung kompleks Melati dua sudah berpuluh-puluh tahun. Berawal dari kerja serabutan sampai kini dia kerja di sebuah bengkel. Hidup membujang dan sendirian seperti ini sudah menjadi takdir, kata Bang Oar. Alasannya karena bukan tak ingin menikah, tapi Allah belum memberi rezeki berumahtangga padanya. Kontrakan yang ditempatinya cukup untuk hidup sendiri, ruang tiga petak, sepetak dapur, kamar dan ruang tamu. Ruang tamunya membuatku berdecak kagum, sedikit eksotik, penuh alat tempur muncak."Suka nanjak, Bang?"Lelaki yang berambut gondrong itu tertawa sumbang, "Kalau lagi kosong, terakhir bareng sepupumu, ke Mahameru." Ia melempar dagu, ke Bang Hasim. Hasim tersenyum, membuatku canggung. "Kok Abang betah tinggal di tempat sepi begini?" "Sebenarnya, terpaksa."Aku mengerutkan hening, "Terpaksa?""Hidup di zaman begini mulai serba uang, cari kontrakan murah, susah. Kebetulan bos saya punya ladang di sebelah situ, saya ditugaskan menjaga dan bersihin tiap min

Bab terbaru

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Extra Part Terakhir (Kesimpulan Cerita)

    Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Sebelum Berangkat Ke Siliwangi Untuk Pertama Kali (Prolog)

    Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ektra Part

    Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ekrta Part

    "Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   SELESAI

    "Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Eyang

    “Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Rahasia Eyang

    Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kejujuran Dan Air Mata

    “Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Eyang Tutup Usia

    Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku

DMCA.com Protection Status