Share

Salat Subuh Bersama Jin

Author: zolepena
last update Last Updated: 2022-11-01 21:37:15

“Sumpah, Re! Bukan Mbak yang nyahut di depan.” Rere mencibir, padahal aku sedari tadi memasang wajah serius.

Saat aku masuk sudah ada Eyang di meja makan. beliau nampak sibuk menata piring, aku jadi terlihat pekok sendiri. Mungkinkah mereka memang mengira aku habis lari-larian atau petak umpet? Astaga.

“Yang! Rumah Eyang di belakang besok-besok di kasih obor atau lampu gantung ya.”

“Ngomong opo toh, Neng?”

“Itu loh, Yang. Imel hampir mati ketakutan gara-gara liat sesuatu.”

Rere menoleh ke arahku, lalu mencibir lagi. “Ngeyel, teroos.”

“Seriusan, Re. Mbak tadi enggak usil. Kualat baru rasa, kamu.”

“Udah-udah! Besok Eyang beli lampu di pasar. Kalian makan dulu.”

“Oma mana, Yang?”

“Masih di kamarmu sama Isa. Mereka lagi bersih-bersih. Makanya toh, Neng, Rere, ada cucian, ada sampah, jangan langsung lempar sana-sini. Dengar tuh, Oma kamu mulutnya enggak bisa di rem.” Eyang memberi nasehat.

“Remnya udah putus, Eyang. Enggak bisa di benerin … “

“Hush! Kamu tuh ya.” Aku segera memotong ucapannya.

Gadis ajaib itu melanjutkan aktifitas, ia menguliti daging ayam hingga menembus tulangnya. Nafsu makannya terlihat berlipat ganda. Karena tak tahan lagi melihat Rere melahap makanan lezat itu sendirian, Eyang buru-buru beranjak, ia menuju kamarku untuk memanggil Oma dan Isa agar segera menuju dapur.

Malam itu pikiranku terus terusik tentang peracakapanku dengan Umi Lasmi. Bagaimana jika aku benar-benar ingin di bun*h? Lalu semua orang akan melakukan pengajian di rumah ini? Semua hal itu terus memenuhi rongga kepalaku. Akan ada hal apa di malam jumat nanti? Apa benar aku akan mati? Lalu semua itu menjadi firasat akan di adakannya pengajian?

‘Astaghfirullah, ya Allah, lindungi aku dari segala keburukan.’

***

“Neng, kapan kamu balek ke kota?” Itu suara Oma, beliau membuyarkan lamunanku.

“Em, belom tahu, Oma.”

“Ora usah ke kota toh, Neng. Tinggal aja sama Eyang, kerja di daerah sini saja.”

Eyang yang mendengar itu lantas menyahut, “Lah iya, Pur, tapi balek lagi ke gajinya. Gaji Imel di kota gede.”

“Gaji gede tapi ora iso balek ke sini kan, susah. Eyangmu tuh sendiri, harus ada yang jaga. Gimana kalau sakit lagi, pingsan enggak ada yang lihat.”

“Bener, tuh, Mbak. Ntar lu jadi pewaris Eyang, gila aje nih rumah berapa milyar duit, ya?” celetuk Rere di ujung kursi. Dia ternyata menyimak perdebatan Eyang dan Oma. Eyang dan Oma pun naik pitan, sebentar lagi ada sesuatu dari mulutnya akan meledak.

“Hush! Rem mulutmu yang ternyata putus, Re!” tegurku seketika.

“Mana bisa kamu menceritakan warisan di depan orang yang masih hidup, cucu ed*n.” Oma memasang wajah sangar, sementara kulihat Eyang hanya mengelus dada. Isa hanya terdiam, pura-pura kalem padahal ikut emosi juga. Ha Ha Ha

“Seng, sabar, Oma. Besok udah puasa loh,” rayuku.

Suasanapun berubah, perlahan berganti tawa. Di sela tawa, kami di kejutkan sesuatu dari luar. Karena posisi Rere yang saat itu pertama selesai makan, maka dengan santai dia keluar.

“Siapa, Re?”

“Enggak ada orang, Yang.”

Tak ada sahutan lagi, Rere pasti tidur kembali. Setelah makan, aku dan Isa mencuci piring sementara Eyang dan Oma melenggang pergi usai memeriksa sisa makanan untuk di santap sahur.

“Isa denger tadi ada yang mainin pintu, Mbak.”

“Kamu juga denger?”

Isa menyahut iya. Sepanjang mencuci, aku tak sengaja menceritakan peristiwa yang aku alami magrib tadi. Di luar dugaan, Isa malah berhenti cuci piring, dia mendekap tubuhku, sampai ritual cucian kita selesai.

“Isa merinding, Mbak. Itu pocong?”

“Bukan! Dia pakai mukenah putih. Malah, Mbak pernah megang mukenahnya.”

Isa tiba-tiba histeris setelah mendengar kalimatku, “Astagirullah. Serius, Mbak?”

Aku mengangguk, “Aku jadi berpikir, gimana kalau nanti pas aku liat mukenah itu aku suruh Eyang bakar aja?”

“Bener juga, Mbak. Kalau Mbak di ganggu terus, jangan didiemin,” gigih Isa. Entah dari mana kekuatan itu muncul dari mulutnya.

Dapur akhirnya bersih. Aku menenteng lampu pijar keluar ruang. Oma menyuruhku berkumpul di ruang tengah, katanya masih ingin bercerita panjang lebar. Isa yang tak ingin lepas dari lenganku ikut juga.

“Hasim kok enggak ikut, Oma?”

Eyang masuk ke dapur lalu datang meletakkan wedang jahe lantas ikut menambahkan, “Iya, anak itu biasanya ngekor teros.”

“Enggak tahu loh, Neng. Kemarin ogah-ogahan. Padahal dulu pengen banget liat kamu. Katanya penasaran sudah lama ora ketemu Imel.” Mendengar Oma, aku jadi sedikit tersipu.

“Nanti Oma suruh kesini, yo.” Begitu Oma menambahkan. Beliau menuju lampu yang aku gantung tadi, menambahkan minyak dari cergen kemudian menuju rak buku Kakung.

“Dulu, almarhum kakungmu pernah juga jadi guru ngaji di Desa Rentemario (kampung bapak Hasim). Kakungmu di segani orang banyak, Neng.”

Aku ikut memegang buku Kakung, judul dari berbagai bahasa jawa kuno, kitab kuning, dan buku zuhur lainnya mengisi hampir seluruh rak disini. “Bener, Oma? Kakung seperti Kiyai gitu?” Oma mengiayakan, sementara Eyang hanya tersenyum menanggapi.

“Sebelum mempersunting Eyang, kakungmu sudah terkenal luas di kalangan masyarakat Siliwangi, dia punya banyak murid ngaji. Tiap hari anak-anak didiknya mengaji di rumah belakang.”

Aku yang mendengar itu sedikit terkejut, “Rumah belakang, ini?”

Oma mengangguk, “Iya. Dulu, rumah panjang itu di dirikan yayasan dari sekolah kakungmu untuk menjadi wadah anak desa dididik juga belajar ngaji.”

“Eyang santrinya kakungku juga?”

Beliau menggeleng, “Eyang kan pendatang, satu sekolah sama kakungmu.”

“Terus, rumah belakang itu posisinya dimana dulu, Yang?”

“Rumah itu persis di pendopo, dulu disitu dibangun rumah buka, petaknya panjang, tempat anak-anak ngaji.”

Cerita panjang itu terus berlanjut hingga sekitar pukul 10:11 malam. Alih-alih kita tidur di ruang tengah, Oma malah membantah. Ada kamar kok mesti dingin-dinginan di lantai? Begitu ia memprotes.

Wedang jahe sudah tandas, dengan terpaksa aku menyuruh Isa tidur di kamar Eyang bersamaku karena kamarku sudah terkunci dari dalam, Rere yang sudah tidur pulas tidak akan bangun membuka kunci meski kita memohon-mohon sampai mati.

***

Waktu pun berlalu begitu cepat. Semua orang selesai menyantap makan sahur. Kami berbenah lalu siap salat berjamaah di ruang tengah. Tak sadar jika Oma, Eyang, Rere sudah ke kamar mandi. Aku yang tertinggal mengambil air wudhu segera buru-buru ke dapur. Kulihat Isa berjalan dari dapur sudah menyusul Oma keluar.

“Isa, kok enggak bangunin Mbak, sih?” tegurku melewati Isa yang berjalan ke ruang tengah.

“Udah dari tadi, Mbak. Jadi Isa tinggal.”

Aku terpaksa melenggang ke dapur, melewati lorong kecil. Posisi saat itu, aku melewati lorong bersejejeran sudut kamar. Mataku menangkap di sudut lorong seperti ada yang berdiri, namun dengan nekat yang masih melekat aku teruskan langkah menuju kamar mandi.

Aku berpikir tadi itu hanya bayangan lemari. Namun, setelah selesai dengan berjalan keluar kamar mandi menuju lorong tadi, disitulah darahku tiba-tiba mendesir, ujung mataku melihat sosok Eyang, berdiri, menatapku lurus, memakai mukenah putih, tangan disedekap di dada, mirip seikat pocong. Sementara jarakku dengan sosok itu hanya terbentang tiga langkah, aku seperti ingin berteriak kencang, tapi lagi-lagi mulutku terkunci.

Aku melangkah perlahan, mencoba bersikap tenang, hingga tiba-tiba ia menyeletuk pelan.

“Cah ayu, aku seng pingin jadi imam kowe.”

Nyaris saja aku pingsan saat kuseret langkahku hingga ke ruang tengah. Semua orang sudah berdiri, tinggal aku yang tidak mengisi sajadah.

Kukhusyukkan kembali diri. Subuh itu terasa sangat lama, padahal hanya dua rakaat. Aku yang berdiri merasakan hal janggal, lantas kulirik di sebelahku, tapi benar dia adalah Oma. Disebelah kanan Oma sudah pasti Isa. Lantas di depanku sudah pasti Eyang.

Sepuluh menit, dua puluh menit, sampai memakan waktu tiga puluh menit Eyang di depan masih tak rukuk. Malah, samar-samar aku mendengar Eyang membaca satu surah, tapi kok aneh? Ayat yang dibaca terbalik-balik? Tiba-tiba dari pintu belakang terdengar suara mengucap salam.

Aku yang tercengang, seketika menoleh.

“Assalamualaikum?”

Pintu berderik dan terbuka lebar, Eyang masuk menerobos pintu. Sebelum kesadaranku hilang, aku sempat melihat Eyang berteriak panik, memanggil namaku dengan suara lantang.

***

Pagi itu kudapati diriku terbaring di ruang tengah. Kulihat Oma duduk menaruh handuk, sementara Eyang memijit kepalaku. Aku terbangun, memeriksa keadaan ruangan, seperti kembali menayangkan kejadian yang aku alami subuh tadi.

“Astaghfirullah.”

“Kamu toh kenapa, Neng?”

“Imel tadi sholat, Yang.”

“Iya, Eyang juga lihat kamu salat tiba-tiba pingsan.”

“Oma nunggu kamu nyusul ke masjid malah salat di rumah, karena lama, Eyangmu tak suruh balek,” kata Oma.

“Imel sholat sama jin, Oma.”

Sontak saja Oma terhenyak, begitu pula dengan Eyang.

“Sama jin gimana, Neng?”

“Jin itu suka menyerupai Eyang, tadi bahkan Imel salat sama Eyang, Oma sama Isa.”

“Pur, sudah lama gangguan kecil itu terjadi, tapi tak sampai parah seperti ini, aku takut cucuku tak berani datang kemari, orang akan takut juga kesini. Imel sudah jadi korbannya, kasihan cucuku ini.” Eyang menangis. Sementara itu, Oma seperti tak bisa berkata-kata, mungkin beliau masih berpikir keras.

Aku menghela nafas gusar, “Eyang, lain kali jangan tinggalin Imel sendiri di rumah.” Eyang memelukku dengan wajah sendu, lalu berucap maaf berkali-kali.

Lalu dari sana aku terpaksa menceritakan dari awal soal sosok bermukenah itu pada Oma. Oma mendengarkan setengah tak percaya, tapi, beliau menyarankan aku untuk tidak perlu takut di rumah sendiri.

“Tunggu Rere pulang nemenin Isa nyari kontrakan, Oma akan suruh si Rere tinggal disini. Tak perlu takut, Pakdemu akan kesini memeriksa, nanti Oma kirimkan surat.”

Aku beranjak membersihkan diri. Pagi itu, Eyang dan Oma akan mengajakku ke taman Raya, sekedar cuci mata sambil mengenal jenis hewan dari seluruh nusantara. Dulu, tak ada namanya karcis, karena sumber makanan untuk hewan masih disediakan oleh para relawan dari berbagai kota atau kami membawa makanan untuk mereka yang dibeli dari pasar atau kebun.

Siang hari hingga menjelang sore, kami baru keluar dan menunggu mobil besar, menumpang sampai ke batas desa lalu naik andong ke rumah Eyang.

Sedikit terkejut, kami melihat Rere di teras sambil selojoran sesaat mengira Rere pingsan. Ternyata dia sedang menulis. Karena dipicu rasa penasaran, aku segera menghampiri.

“Assalamualaikum? Tumben anak perawan ini nyampe duluan?”

“Eits, club mekar lansia abis jalan-jalan, nih!” sahutnya kalem, tanpa membalas salam.

“Bocah s*mprul,” sahut Oma dari belakang.

“Cucu, bukannya jawab salam malah bikin naik darah.” Eyang duduk di kursi, melewati badan Rere yang tidur melentang.

“Atur mental bos, Rere nih, si kembang desa!”

Kuintip dari belakang, dia ternyata sedang membalas surat mesra, mungkin dari pacarnya, kakinya menendang-nendang petakilan sambil senyum-senyum tak jelas. Suratnya pun ada tiga atau enggak empat kalau aku tak salah lihat.

“Isa mana, Re?”

“Isa udah dapet kontrakan, Mbak.”

“Oh, gitu. Padahal Mbak masih mau cerita banyak.”

Rere menoleh, dia menaikkan bibirnya. “Tenang, ada Rere. Rere kan mau tinggal disini, Mbak.”

“Awas jangan kayak jalangkung ya, Re. Pergi pulang semaunya, Mbak enggak suka.”

“Siap! Asal suruh si Nyai Ndoro itu enggak cerewet ya, Mbak. Kalau enggak, bakal Rere usir dia dari sini.” Padahal yang punya rumah sedang mendengarnya sendiri.

“Suka-suka kamu, Re. Mbak cuma penasarannya aja, surat cinta buat siapa lagi itu?”

“Ada babang mahasiswa deket sini, Mbak. Kami lagi memprogres hati supaya tetap adem sampai pelaminan! Eak! Nanti Rere bawa kesini, waseek.”

“Jadi itu alasannya Rere pengen tinggal disini?” Ia menggangguk lantang. Bikin Oma dan Eyang dongkol.

Mereka berdua berjalan masuk, menenteng pisang kapok yang di beli tadi untuk dijadikan menu buka puasa.

“Mbak, ngomong-ngomong, kamarmu kayaknya ada bangke tikus! Suer, bau banget. Makanya Rere pindah kesini.” Omelnya sambil terus melipat surat, dia menyelipkan gambaran hati di sampul depannya.

“Terus, kamu ngeliat apa, Re?”

“Tadikan Rere nyanyi, Mbak. Senggol dong, Mas. Senggol dong, ah. Eh tau-tau bau kentut mayat muncul! Ogah periksa. Jijik,” lanjutnya sembari mengerutkan hidung.

Aku yang gemas berpikir sosok itu terganggu karena Rere pasti berteriak-teriak.

Bagaimana mungkin ada bangkai padahal semalam Oma sudah membersihkan kamar? Aku terhenyak, mungkin Rere belum sadar, di antara mukenah tergantung ada satu mukenah yang suka muncul tiba-tiba dan hilang tiba-tiba. Mukenah rasa bangkai manusia, enggak pernah nyentuh sabun, padahal warnanya putih cerah.

“Kalau Rere cium bau bangkai, entah itu kain atau sampah, kasih Mbak aja, biar Mbak bakar, ya.” Aku sengaja meninggikan volume suaraku, menantang siapa saja yang berdiri di ambang pintu kamarku, agar dia segera hilang dari hidupku.

“Serahkan pada Rere si ratu kepedulian lingkungan!” sahut anak nakal ini ngasal.

Related chapters

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Suara Gamelan

    Ini adalah rumahku. Tapi, mengapa setiap hari aku selalu dihantui rasa takut? Seperti pagi ini, aku yang lupa mengambil dompet harus berlari, berkeliling rumah yang panjangnya dua kali dari lapangan volly, lalu bersikap seperti maling yang takut ketahuan nyuri barang.“Huft! Gusti, aku enggak bisa kayak gini.”Anak kunci saling berbenturan, artinya pintu belakang sudah kembali terkunci rapat. Segera aku mengambil ancang-ancang, menarik nafas dalam, lalu berlari sampai pagar luar yang jaraknya seperti setengah lapangan bola. Sebenarnya sosok itu beberapa hari ini sudah jarang muncul, terakhir dia nampak saat bikin aku pingsan. Tapi, sudah hampir seminggu, rumah terlihat aman. Bahkan, sudah dua hari aku bisa tidur siang bersama Rere.“Imel, andongnya nunggu kok, enggak usah lari maraton.” Tegur Oma dengan bibirnya yang merah, beliau hari ini sudah pulang, aku dan Eyang mengantarnya sampai perbatasan Siliwangi, di pasar lima-lima.“Imel tak tahu kapan Imel mulai suka berolahraga, Oma.”“

    Last Updated : 2022-11-18
  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Gantung Mukenah Di Balik Pintu

    “Astaghfirulahaladzim.” Sekujur tubuhku bergetar.Sosok berjubah panjang itu sepertinya menyadari keberadaan teman Bang Hasim. Suara jeritan salah satu dari mereka berhenti berganti dengan riuh angin dari segala penjuru. Hening. Begitu hening.“Bang, kita pergi saja.” Bisikku. “Tidak, harus periksa ke belakang dulu.”“Tapi, Bang.”Bang Hasim bilang harus memeriksa Eko dan yang lainnya, apapun yang sedang terjadi. Pukul sepuluh, rumah Eyang dengan segala rahasia di dalamnya terasa mencekam. Aku seperti berada dalam dimensi lain yang harus berdiri di lorong gelap ditemani kesunyian. Tak ada mulut yang bersuara, tapi aku bisa merasakan ritme jantung berdetak lebih cepat dari detak jantung normal manusia. Degub jantung ini, seperti tidak lagi berfungsi normal.Bang Hasim melangkah meninggalkan kami bertiga, ia menuju dapur. Sialnya, dapur di belakang terlihat gelap, mungkin lampu gantung di meja makan mati. Sepupuku itu terlihat meraba-raba dinding, dan sepanjang dia melangkah tak kude

    Last Updated : 2022-11-18
  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Lari Ke Dapur!

    “Ana kidung rumeksa ing wengi. Teguh hayu luputa ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jim setan datang purun … “Rasanya masih beberapa menit yang lalu aku menyentuh bantal. Apa sekarang aku sudah di alam mimpi? Di depanku sangat terlihat jelas. Wajah hancur penuh belatung itu berada dalam jarak satu meter di tepian kasur. Dia duduk, menatap pintu, menyamping dari posisiku.“Rere.”“Rere, lihat ke bawah, Re.” Aku berbisik sangat pelan, nafasku bahkan takut mengeluarkan suara.“Rere, tolong bangun.” Pekikku membatin.Suaraku seperti sudah sangat tegas. Tapi, kenapa Rere tak bangun-bangun juga? Aku frustasi, rongga mulutku terus merapal doa tapi sosok itu tak ingin enyah. Aku ingat beberapa teman di kota pernah bilang, jin Muslim lebih pandai dari pada manusia. Saking cerdiknya jin itu, dia bahkan seribu lebih tahu dan fasih membaca dan mendalami Al-Quran. “Peneluhan tan ana wani. Miwah penggawe ala. Gunaning wong luput.”Lagi-lagi ia melantuntan tembang kuno. Lagu yang nyaris membuatku terc

    Last Updated : 2022-11-18
  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Lari Dari Rumah

    Bang Oar. Tinggal sendiri di ujung kompleks Melati dua sudah berpuluh-puluh tahun. Berawal dari kerja serabutan sampai kini dia kerja di sebuah bengkel. Hidup membujang dan sendirian seperti ini sudah menjadi takdir, kata Bang Oar. Alasannya karena bukan tak ingin menikah, tapi Allah belum memberi rezeki berumahtangga padanya. Kontrakan yang ditempatinya cukup untuk hidup sendiri, ruang tiga petak, sepetak dapur, kamar dan ruang tamu. Ruang tamunya membuatku berdecak kagum, sedikit eksotik, penuh alat tempur muncak."Suka nanjak, Bang?"Lelaki yang berambut gondrong itu tertawa sumbang, "Kalau lagi kosong, terakhir bareng sepupumu, ke Mahameru." Ia melempar dagu, ke Bang Hasim. Hasim tersenyum, membuatku canggung. "Kok Abang betah tinggal di tempat sepi begini?" "Sebenarnya, terpaksa."Aku mengerutkan hening, "Terpaksa?""Hidup di zaman begini mulai serba uang, cari kontrakan murah, susah. Kebetulan bos saya punya ladang di sebelah situ, saya ditugaskan menjaga dan bersihin tiap min

    Last Updated : 2022-11-18
  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kontrakan Bang Oar

    “Punten, Pak.” Saya, Imel. Tak sengaja mendengar omongan Pakde tadi.”Keduanya menoleh, sekilas terlihat shock. Tentu saja kaget, aku tiba-tiba muncul dari belakang saat mereka tengah berbisik-bisik.“Neng, pekerja baru, ya? Ngapain ngintip-ngintip pembicaraan orang tua? Enggak baik loh.” balasnya setengah memaki. Kubungkukkan tubuhku sembari mengulang maaf, “Aku cucunya Eyang. Bukan maksud aku mau menguping, tapi, aku ingin tahu juga, apa yang Pakde ini tahu tentang rumah Eyang dulu.”Bapak yang disapa Den itu memicingkan mata, gegalaknya tegas, namun sirat matanya ragu. Sementara yang satu masih mematung. “Pakde?”“Oh-eh. Mm, kami tak tahu banyak. Yang kami tahu hanya yang kamu dengar barusan. Iya, toh, Kang?" Pakde yang satu mengangguk pelan.“Lalu, Santoso itu, siapa, Pak?” tanyaku lagi.“Duh, ora kenceng-kenceng!”Aku sedikit sarkastik. “Ini masalah serius, Pakde.”“Kami bukannya mau membahas yang sudah-sudah. Kami juga tak tahu banyak, kamu tidak mau kan orang-orang kembali ngu

    Last Updated : 2022-11-18
  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Dhemank Loak

    Pupil bola mata Eyang mengecil, uratnya memerah seperti menahan perih yang luar biasa. Lehernya tertarik 160 derajat ke belakang. Saat itu, Eyang seperti bertemu dahsyatnya sakaratul maut. "Astaga. Eyang!"Suara tegas dari belakang masih tak membuat tubuhku mampu bergerak. Rere berteriak histeris, gayung di tangannya terlepas menumpahkan isinya. Seketika, tubuh kecilnya terhuyung, ia melompat menuju Eyang yang mengerang-erang seperti kambing digorok lehernya. Untung saja, leher Eyang sudah tak berputar seperti tadi. Kalau Rere sampai melihat kondisi Eyang sebelumnya, Rere pasti sudah pingsan.Seketika aku merasa dibawa kendali sesuatu, tubuhku, pandanganku, mataku, telingaku, semuanya merasakan hal berbeda.Saat itu, aku mendengar Rere memanggilku. Rere semakin mendekat, tapi aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Kenapa Rere berubah? Ia tiba-tiba tertawa sinis."Mbak bau!" bisiknya. Rere benar-benar berpaling mengejekku. "Kenapa menyebutku bau?"Silih berganti wajah Rere berubah

    Last Updated : 2022-11-18
  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Detik-detik Kejadian 1

    Hari itu. Hari terakhir dimana aku makan dengan Sabrina. Terakhir. Terakhir sebelum Sabrina ternyata akan meninggalkan dunia. Malam ini, baru saja aku makan malam, aku makan semua jenis makan di meja itu tanpa sedikitpun curiga. Aku baru sadar saat bangun tidur di sepertiga malam. Itupun karena aku teringat Eyang di rumah. Biasanya, di waktu seperti ini Eyang bangun sholat malam di ruang tengah.Eyang. Beliau bukan cuma sekali dibuatkan makanan jadi dari Bibi. Jarak tempat ini ke rumah Eyang juga sangat jauh. Bibi selalu bawa makanan jadi sampai ke Siliwangi tanpa pernah basi.'Yang jadi pertanyaan, benarkah Bibi menaruh sesuatu di makanan itu? Kata Ibu muda tadi Bibi adalah dukun. Apa benar Bibi memberi sesuatu lewat perantara makanan lalu semua teror terjadi di rumah Eyang sampai aku juga akan dibun*h?'"Hah. Astaghfirullah. Tidak sepatutnya aku begini. Bibi adalah keluarga Eyang, beliau mana tega berbuat yang tidak-tidak seperti itu. Kalau pun seperti dugaanku, aku sudah pasrah,

    Last Updated : 2022-11-18
  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Detik-detik Kejadian 2

    Meski angin tidak berhembus tapi Siliwangi begitu dingin siang itu. Aku coba memanggil Umi. Namun, tenggorokanku tertahan, sementara keadaan ingin aku segera menemukan pertolongan. Andai sesuatu terjadi pada Rere, bagaimana bisa aku tenang dikemudian hari? Jika tanda kematian itu benar adanya, aku pastikan sisa hidupku akan terus merasa tak berguna.“Darahmu banyak keluar, Mbak enggak bisa nunggu lama.”Erat sekali saat aku menyempatkan diri memeluk tubuhnya. Ku bilang berkali-kali jika aku sangat menyesal meninggalkannya beberapa hari yang lalu ke Demanloak. Rumput basah seperti jadi saksi bagaimana langkah lebarku takut menghabiskan waktu bahkan sedetik saja. Aku berlari menuju Masjid karena Umi ternyata tak ada di rumahnya. Saat Eyang melihatku muncul di pagar Masjid, beliau langsung keluar. Hanya sempat ku sampaikan bahwa Rere harus segera dapat pertolongan, maka, Eyang turut berlari sesudah menyuruh seseorang memanggil Mantri, di Balai kesehatan.Siang hingga sore kami akhirnya

    Last Updated : 2022-11-18

Latest chapter

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Extra Part Terakhir (Kesimpulan Cerita)

    Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Sebelum Berangkat Ke Siliwangi Untuk Pertama Kali (Prolog)

    Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ektra Part

    Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ekrta Part

    "Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   SELESAI

    "Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Eyang

    “Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Rahasia Eyang

    Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kejujuran Dan Air Mata

    “Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Eyang Tutup Usia

    Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status