Share

Pengajian Apa, Umi?

Author: zolepena
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Kain? Kamu ngigo sambil jalan terus tidur ... “

“Isa enggak ngigo, Mbak.” Isa memotong ucapanku, suaranya begitu dingin dan tertekan.

“Karena hari kedua Isa sama yang lain capek jalan terus, jadi malam itu kita bertiga cepat tidur. Posisi tidurnya, Rere di kamar Eyang, Isa di kamar Mbak, terus Hasim tidur di ruang tamu. Isa sadar waktu itu belum tengah malam, Isa ketindihan, tubuh Isa seperti di angkat rame-rame tapi enggak bisa gerak.” Eyang yang melihat raut serius di wajah kami segera berhenti membersihkan ayam potong.

“Isa kenapa toh, Mel?”

“Katanya ketindihan sampai tidur deket pintu, Yang.” Aku mengelus sebelah pundak Isa lantas menyuruhnya minum sebelum lanjut bercerita.

“Rasanya tubuh Isa bergetar, Isa kaget sambil beristighfar terus, akhirnya Isa sadar dan bangun tapi enggak ada apa-apa. Isa baca doa dan lanjut tidur lagi. Sampai tiba-tiba tengah malem denger alarm bunyi, disitu Isa ketindihan lagi.”

“Tubuh Isa merasa banyak yang ngangkat, seperti melayang sampai dibawa keluar, ditidurin terus ditutup kain. Isa berteriak manggil Rere, manggil Hasim sambil nangis, panik, takut, sampai semua doa sudah Isa baca. Enggak tahu berapa lama, akhirnya Isa bangun. Hasim sudah berdiri, dia manggil Rere kalau Isa ngingo sampai tidur tanpa alas dekat pintu. Padahal sebelumnya Isa liat tubuh Isa di tutup kain putih sampai leher.” Gadis itu terus melirih, aku yang mendengarnya semakin cemas.

'Ketindihan sampai di luar nalar? Ya Allah, sosok itu sudah keterlaluan.'

Akhirnya tak mau terus membuat Isa berlarut takut, Eyang menyuruh kita lanjut bekerja. Isa mengupas pepaya muda sementara aku menyiapkan bumbu lainnya. Ayam kari, daging rendang, sumur jengkol, ikan pepes dan hidangan kecil lainnya adalah menu wajib di keluarga Eyang saat menyambut bulan suci ramadhan pada zaman itu.

“Mbak, boleh nanya enggak, ya?” tanyanya. Keadaan sudah kondusif, Isa sudah terlihat ceria.

“Kecuali nanya kapan ke KUA, boleh aja, sih.”

Isa malah melepas tawa, “Emang Mbak belom ada pacar?”

“Tuh kan, baru aja dibilangin,” ketusku. Isa tiba-tiba gelagapan.

“Masa kalah sama si Rere, padahal cantikan Mbak Imel sama Isa.”

“Rere kan ahli di bidang itu, Is. Emang Isa udah punya?”

“Iya sih, Mbak. Rere tuh punya kostan laki-laki. Kalau Isa mah takut gonta-ganti, setia kan lebih baik,” celetuk Isa. Tangannya sibuk menyingkirkan getah pepaya.

Dari arah belakang Rere melayangkan handuk ke arah Isa, “Woi ember banget tuh mulut! Lu tuh ya, enggak bisa jaga kartu orang dikit aja, apa-apa di aduin!”

Rere mengerucutkan bibir sambil memungut handuk kembali. Tiba-tiba dari arah pintu depan samar-samar terdengar suara, aku yang kebetulan berdiri segera berlari kecil. Suara yang mirip banget sama Eyang tapi ini lebih nyaring bikin aku enggak sabar buka pintu. Benar saja, seketika pintu terbuka lebar menampilkan sosok Oma Pur dengan barang bawaan yang begitu banyak.

Aku yang merasa senang segera berhampuran memeluknya. Oma langsung membalas pelukanku sebelum kami melakukan takzim.

“Loh loh loh loh! Yang tadi siapa, Mel?”

Sambil melepas tangan Oma lantas aku menyahut, "Tadi siapa, Oma?”

“Itu di jendela ada yang lambaikan tangan, tangannya manggil-manggil Oma keliatan seneng!”

Jendela Eyang ada empat, di sisi kiri pintu ada dua, begitu juga di sisi kanan pintu. Jendela Eyang berbentuk segi panjang, ukuran panjang lebarnya sangat pas dengan posisi satu orang berdiri. Sementara pintu rumah, lebar dua kali dari ukuran pintu biasa. Aku yang segera sadar tak ada siapa-siapa di ruang tengah, lantas memberi alasan pada Oma jika itu adalah teman Rere.

“Oma masuk aja, biar Imel yang bawa.”

Bawaan Oma ketika berkunjung ke saudara memang banyak. Seperti di depanku ini, satu kardus yang berisi toples kue, satunya lagi berisi makanan jadi dan seikat karung berukuran besar yang berisi pisang, sayur dan buah pala. Oma akhirnya masuk, sementara di jalan utama, kernek andong yang membantu Oma tadi sudah beranjak pergi.

Rasa rindu seketika terbayar dengan logat Oma dan cerita lucunya, sama dengan watak Eyang, Oma Pur Lingga sangat cerewet. Hanya saja, cara bicara beliau lebih tegas di banding yang lain.

Menjelang surup, aktifitas di dapur sudah hampir selesai. Kami berbenah diri, mengambil air wudhu, lantas bersiap menuju masjid. Kecuali Rere, selesai mandi sore, sepupuku itu kembali tidur, Oma segera masuk ke kamarku, tentunya mulai mengomeli cucunya yang paling luar biasa itu.

“Oalah, Gusti. Bangun kau! Nih kamar sudah bukan kapal pecah tapi mirip gunung meletus! Baju bertumpukan mirip jemuran susun! Sampah berserakan sampai ke kolom lemari! Bangun!” teriak Oma naik pitan. Oma mengomeli Rere padahal baju tumpukan di kasur itu separuhnya punya aku.

“Males,” bisik Rere. Kakinya yang menjuntai menendang-nendang tumpukan baju, terlihat malas menanggapi.

Semenjak banyak kejadian, rasanya aku makin jarang masuk ke kamar. Baju bertumpukan di kasur, banyak yang tergantung gara-gara tak sempat di cuci.

“Males dengkulmu! Bangun atau Oma sembur mulutmu pakai air liur!” Akhirnya gadis itu beranjak, mengambil air wudhu lalu mengekori kami ke masjid.

***

Sepulang dari masjid, Eyang menyuruhku mampir ke warung sementara beliau dan yang lain pulang lebih dulu. Posisi warung itu bersebelahan dengan masjid, rumah yang lain masih jarang dan di batasi lahan kosong.

“Imel? Beli apa?”

Ternyata Umi Lasmi, aku yang kebetulan sudah selesai sontak berhenti, “Nih, Um. Eyang suruh beli minyak. Umi, beli apa?”

“Oalah, ini Umi mau sediakan obat nyamuk, kalau sahur nyamuk di rumah juga bangun nyari makan!” sahut Umi, kami pun tertawa.

Sambil berjalan, Umi memberitahuku kalau puasa tahun ini terpaksa berdua saja sama suami. Anaknya masih di Kalimantan, tidak dapat cuti.

Saat di depan pagar rumah, Umi tiba-tiba berhenti. “Jadi, kita bikin kue apa nanti, Mel?”

Aku yang mendengarnya seketika tertegun, “Kue? Untuk apa, Um?”

“Oh, temenmu belum mampir toh? Minggu yang lalu, ada satu temenmu datang. Katanya mau adakan pengajian. Makanya Umi tanya, kue nanti mau buat seperti apa?”

Aku saat itu berpikir jika teman remaja masjid mengundangku pengajian rutin, dan biasanya hal itu kita sering lakukan di masjid.

“Nanti besok Imel tanyakan sama panitianya, Um.”

“Kok panitia? Tanya sama Eyangmu toh, Mel. Kan pengajiannya di rumah.”

“Oh, temenku bilang gitu, Um?”

“Lah iya, Mel. Katanya pengajiannya malam jumat.”

“Temenku yang mana ya, Um?”

Aku lihat Umi berpikir sejenak, “Enggak tau, Mel. Mukanya pekat canning (hitam manis), sebagian tak nampak soalnya pake tutupan.”

“Tutupan? Kayak apa, Um?”

Obrolan kembali berlanjut dengan sedikit membuatku penasaran. Apa itu Aiswa? Atau Rahma? Karena teman panitia perempuan cuma mereka berdua.

Jantungku nyaris meloncat, saat Umi menunjuk jendela rumah Eyang selepas aku bertanya. Sosok itu melambai, memanggilku dengan kedua tangannya.

“Lah, itu, Mel! Temenmu kayaknya baru mampir.”

Aku melihat Umi Lasmi pergi setelah berpamitan. Sementara langkahku masih terhenti. Nafasku tercekat, seluruh tubuhku bergetar. Sosok itu, berdiri jauh di balik jendela, namun, dia mampu menembus jarak dan membuatku ketakutan.

Aku berdiri, melangkah ragu, berjalan di tengah rumput dengan pijar yang temaran. Pandanganku menyapu seluruh keadaan rumah kokoh di depanku. Ada apa di rumah ini? Apa yang salah selama ini?

Aku menghentikan langkah, aku melihat lagi jendela itu. Rupanya masih ada sosok yang bermukenah putih dengan mata melototiku, giginya nampak semua. Tenagaku masih belum sepenuhnya terkuras, segera aku berlari, berbelok arah, menuju samping rumah Eyang lalu mengelilinya.

Ternyata, tak sampai disitu ketakutanku. Rumah dengan segala isinya itu ternyata sangat besar dan luas. Kakiku semakin bergetar, tapi aku tak ingin pingsan disini.

“Eyang! Eyang!” Tak ada sahutan.

Aku semakin was-was sembari terus berlari. Hatiku semakin menciut, rumah Eyang jika malam ternyata sepuluh kali lipat menyeramkan, pendopo tempat Bibi juga sangat besar dan kokoh, belukar di seberang pagar terpampang luas tanpa batas.

“Haruskah aku pingsan disini?” umpatku dalam hati, dzikir memenuhi rongga mulutku.

“Eyang! Buka, Imel di belakang!”

Tiba-tiba pintu belakang terbuka lebar. Ternyata, Rere yang datang. Bukannya khawatir, gadis itu malah memarahiku.

“Orang malam-malam itu istirahat! Bukan main petak umpet sama lari-larian!”

Rere bilang baru saja membukakan pintu dari depan, karena Rere dengar aku memanggilnya sambil tertawa mengejek.

Sepanjang makan malam aku terus dihantui rasa penasaran. Pengajian apa yang akan terjadi? Apa yang akan terjadi padaku di malam jumat yang akan datang?

Beberapa tahun kemudian aku baru menyadari, trauma yang aku alami sepanjang sisa hidupku ternyata berasal dari kejadian itu.

Related chapters

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Salat Subuh Bersama Jin

    “Sumpah, Re! Bukan Mbak yang nyahut di depan.” Rere mencibir, padahal aku sedari tadi memasang wajah serius. Saat aku masuk sudah ada Eyang di meja makan. beliau nampak sibuk menata piring, aku jadi terlihat pekok sendiri. Mungkinkah mereka memang mengira aku habis lari-larian atau petak umpet? Astaga.“Yang! Rumah Eyang di belakang besok-besok di kasih obor atau lampu gantung ya.”“Ngomong opo toh, Neng?”“Itu loh, Yang. Imel hampir mati ketakutan gara-gara liat sesuatu.”Rere menoleh ke arahku, lalu mencibir lagi. “Ngeyel, teroos.”“Seriusan, Re. Mbak tadi enggak usil. Kualat baru rasa, kamu.”“Udah-udah! Besok Eyang beli lampu di pasar. Kalian makan dulu.”“Oma mana, Yang?”“Masih di kamarmu sama Isa. Mereka lagi bersih-bersih. Makanya toh, Neng, Rere, ada cucian, ada sampah, jangan langsung lempar sana-sini. Dengar tuh, Oma kamu mulutnya enggak bisa di rem.” Eyang memberi nasehat.“Remnya udah putus, Eyang. Enggak bisa di benerin … ““Hush! Kamu tuh ya.” Aku segera memotong ucapa

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Suara Gamelan

    Ini adalah rumahku. Tapi, mengapa setiap hari aku selalu dihantui rasa takut? Seperti pagi ini, aku yang lupa mengambil dompet harus berlari, berkeliling rumah yang panjangnya dua kali dari lapangan volly, lalu bersikap seperti maling yang takut ketahuan nyuri barang.“Huft! Gusti, aku enggak bisa kayak gini.”Anak kunci saling berbenturan, artinya pintu belakang sudah kembali terkunci rapat. Segera aku mengambil ancang-ancang, menarik nafas dalam, lalu berlari sampai pagar luar yang jaraknya seperti setengah lapangan bola. Sebenarnya sosok itu beberapa hari ini sudah jarang muncul, terakhir dia nampak saat bikin aku pingsan. Tapi, sudah hampir seminggu, rumah terlihat aman. Bahkan, sudah dua hari aku bisa tidur siang bersama Rere.“Imel, andongnya nunggu kok, enggak usah lari maraton.” Tegur Oma dengan bibirnya yang merah, beliau hari ini sudah pulang, aku dan Eyang mengantarnya sampai perbatasan Siliwangi, di pasar lima-lima.“Imel tak tahu kapan Imel mulai suka berolahraga, Oma.”“

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Gantung Mukenah Di Balik Pintu

    “Astaghfirulahaladzim.” Sekujur tubuhku bergetar.Sosok berjubah panjang itu sepertinya menyadari keberadaan teman Bang Hasim. Suara jeritan salah satu dari mereka berhenti berganti dengan riuh angin dari segala penjuru. Hening. Begitu hening.“Bang, kita pergi saja.” Bisikku. “Tidak, harus periksa ke belakang dulu.”“Tapi, Bang.”Bang Hasim bilang harus memeriksa Eko dan yang lainnya, apapun yang sedang terjadi. Pukul sepuluh, rumah Eyang dengan segala rahasia di dalamnya terasa mencekam. Aku seperti berada dalam dimensi lain yang harus berdiri di lorong gelap ditemani kesunyian. Tak ada mulut yang bersuara, tapi aku bisa merasakan ritme jantung berdetak lebih cepat dari detak jantung normal manusia. Degub jantung ini, seperti tidak lagi berfungsi normal.Bang Hasim melangkah meninggalkan kami bertiga, ia menuju dapur. Sialnya, dapur di belakang terlihat gelap, mungkin lampu gantung di meja makan mati. Sepupuku itu terlihat meraba-raba dinding, dan sepanjang dia melangkah tak kude

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Lari Ke Dapur!

    “Ana kidung rumeksa ing wengi. Teguh hayu luputa ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jim setan datang purun … “Rasanya masih beberapa menit yang lalu aku menyentuh bantal. Apa sekarang aku sudah di alam mimpi? Di depanku sangat terlihat jelas. Wajah hancur penuh belatung itu berada dalam jarak satu meter di tepian kasur. Dia duduk, menatap pintu, menyamping dari posisiku.“Rere.”“Rere, lihat ke bawah, Re.” Aku berbisik sangat pelan, nafasku bahkan takut mengeluarkan suara.“Rere, tolong bangun.” Pekikku membatin.Suaraku seperti sudah sangat tegas. Tapi, kenapa Rere tak bangun-bangun juga? Aku frustasi, rongga mulutku terus merapal doa tapi sosok itu tak ingin enyah. Aku ingat beberapa teman di kota pernah bilang, jin Muslim lebih pandai dari pada manusia. Saking cerdiknya jin itu, dia bahkan seribu lebih tahu dan fasih membaca dan mendalami Al-Quran. “Peneluhan tan ana wani. Miwah penggawe ala. Gunaning wong luput.”Lagi-lagi ia melantuntan tembang kuno. Lagu yang nyaris membuatku terc

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Lari Dari Rumah

    Bang Oar. Tinggal sendiri di ujung kompleks Melati dua sudah berpuluh-puluh tahun. Berawal dari kerja serabutan sampai kini dia kerja di sebuah bengkel. Hidup membujang dan sendirian seperti ini sudah menjadi takdir, kata Bang Oar. Alasannya karena bukan tak ingin menikah, tapi Allah belum memberi rezeki berumahtangga padanya. Kontrakan yang ditempatinya cukup untuk hidup sendiri, ruang tiga petak, sepetak dapur, kamar dan ruang tamu. Ruang tamunya membuatku berdecak kagum, sedikit eksotik, penuh alat tempur muncak."Suka nanjak, Bang?"Lelaki yang berambut gondrong itu tertawa sumbang, "Kalau lagi kosong, terakhir bareng sepupumu, ke Mahameru." Ia melempar dagu, ke Bang Hasim. Hasim tersenyum, membuatku canggung. "Kok Abang betah tinggal di tempat sepi begini?" "Sebenarnya, terpaksa."Aku mengerutkan hening, "Terpaksa?""Hidup di zaman begini mulai serba uang, cari kontrakan murah, susah. Kebetulan bos saya punya ladang di sebelah situ, saya ditugaskan menjaga dan bersihin tiap min

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kontrakan Bang Oar

    “Punten, Pak.” Saya, Imel. Tak sengaja mendengar omongan Pakde tadi.”Keduanya menoleh, sekilas terlihat shock. Tentu saja kaget, aku tiba-tiba muncul dari belakang saat mereka tengah berbisik-bisik.“Neng, pekerja baru, ya? Ngapain ngintip-ngintip pembicaraan orang tua? Enggak baik loh.” balasnya setengah memaki. Kubungkukkan tubuhku sembari mengulang maaf, “Aku cucunya Eyang. Bukan maksud aku mau menguping, tapi, aku ingin tahu juga, apa yang Pakde ini tahu tentang rumah Eyang dulu.”Bapak yang disapa Den itu memicingkan mata, gegalaknya tegas, namun sirat matanya ragu. Sementara yang satu masih mematung. “Pakde?”“Oh-eh. Mm, kami tak tahu banyak. Yang kami tahu hanya yang kamu dengar barusan. Iya, toh, Kang?" Pakde yang satu mengangguk pelan.“Lalu, Santoso itu, siapa, Pak?” tanyaku lagi.“Duh, ora kenceng-kenceng!”Aku sedikit sarkastik. “Ini masalah serius, Pakde.”“Kami bukannya mau membahas yang sudah-sudah. Kami juga tak tahu banyak, kamu tidak mau kan orang-orang kembali ngu

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Dhemank Loak

    Pupil bola mata Eyang mengecil, uratnya memerah seperti menahan perih yang luar biasa. Lehernya tertarik 160 derajat ke belakang. Saat itu, Eyang seperti bertemu dahsyatnya sakaratul maut. "Astaga. Eyang!"Suara tegas dari belakang masih tak membuat tubuhku mampu bergerak. Rere berteriak histeris, gayung di tangannya terlepas menumpahkan isinya. Seketika, tubuh kecilnya terhuyung, ia melompat menuju Eyang yang mengerang-erang seperti kambing digorok lehernya. Untung saja, leher Eyang sudah tak berputar seperti tadi. Kalau Rere sampai melihat kondisi Eyang sebelumnya, Rere pasti sudah pingsan.Seketika aku merasa dibawa kendali sesuatu, tubuhku, pandanganku, mataku, telingaku, semuanya merasakan hal berbeda.Saat itu, aku mendengar Rere memanggilku. Rere semakin mendekat, tapi aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Kenapa Rere berubah? Ia tiba-tiba tertawa sinis."Mbak bau!" bisiknya. Rere benar-benar berpaling mengejekku. "Kenapa menyebutku bau?"Silih berganti wajah Rere berubah

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Detik-detik Kejadian 1

    Hari itu. Hari terakhir dimana aku makan dengan Sabrina. Terakhir. Terakhir sebelum Sabrina ternyata akan meninggalkan dunia. Malam ini, baru saja aku makan malam, aku makan semua jenis makan di meja itu tanpa sedikitpun curiga. Aku baru sadar saat bangun tidur di sepertiga malam. Itupun karena aku teringat Eyang di rumah. Biasanya, di waktu seperti ini Eyang bangun sholat malam di ruang tengah.Eyang. Beliau bukan cuma sekali dibuatkan makanan jadi dari Bibi. Jarak tempat ini ke rumah Eyang juga sangat jauh. Bibi selalu bawa makanan jadi sampai ke Siliwangi tanpa pernah basi.'Yang jadi pertanyaan, benarkah Bibi menaruh sesuatu di makanan itu? Kata Ibu muda tadi Bibi adalah dukun. Apa benar Bibi memberi sesuatu lewat perantara makanan lalu semua teror terjadi di rumah Eyang sampai aku juga akan dibun*h?'"Hah. Astaghfirullah. Tidak sepatutnya aku begini. Bibi adalah keluarga Eyang, beliau mana tega berbuat yang tidak-tidak seperti itu. Kalau pun seperti dugaanku, aku sudah pasrah,

Latest chapter

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Extra Part Terakhir (Kesimpulan Cerita)

    Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Sebelum Berangkat Ke Siliwangi Untuk Pertama Kali (Prolog)

    Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ektra Part

    Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ekrta Part

    "Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   SELESAI

    "Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Eyang

    “Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Rahasia Eyang

    Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kejujuran Dan Air Mata

    “Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Eyang Tutup Usia

    Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku

DMCA.com Protection Status