Beranda / Thriller / JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU / Bibi Lija Siapa Yang Kamu Maksud?

Share

Bibi Lija Siapa Yang Kamu Maksud?

Penulis: zolepena
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Umi Lasmi menyuruhku segera pulang. Beliau bersama suaminya ikut panik setelah tahu Eyang pingsan lagi. Saat kami menerobos pintu, Eyang masih pingsan di dekat kursi. Rasanya aku ingin menangis kencang, mengumpat pada siapa saja yang tega melakukan hal itu pada kami.

Namun, lagi-lagi aku hanya mematung, menahan ruah emosi rapat-rapat dalam dada.

Akhirnya, mereka yang belum tahu kejadiannya membantuku membaringkan Eyang ke kamar. Saat melewati kamarku, pintu kamar masih seperti tadi. Hanya saja di dalamnya sudah kosong.

"Tunggu, Umi periksa dulu."

"Silahkan, Um."

"Sebenarnya, Eyangmu kenapa toh, Mel? Kok sering pingsan begini? Dia kerja opo kalau siang?" selidik Umi. Umi sepertinya sudah khawatir.

"Kata Eyang mangkas rumput, Um."

"Suaramu bergetar gitu toh, Mel. Nih, minum dulu."

Umi bilang Eyang tak apa-apa, hanya suhu tubuhnya yang hangat. Tapi, aku menyuruh beliau agar memanggil mantri dari balai kesehatan. Aku lihat jam lebar di ruang tengah, angkanya masih menunjukkan angka sembilan malam, semoga masih ada yang bersedia datang ke rumah Eyang.

Beberapa saat seorang pria berkopiah muda datang. Beliau kami persilahkan masuk karena Eyang sudah sadar. Kata dokter Haedar, Eyang hanya mengalami kelelahan, tensinya menurun dan suhu tubuhnya hangat.

Lantas beliau menyarankan untuk merujuk Eyang ke balai. Tapi, aku bilang akan membawanya pulang ke rumah Pakde (saudara Eyang yang kedua), kebetulan rumah Pakde paling dekat dari Siliwangi, sampai kesehatan Eyang pulih kembali.

***

Setelah peristiwa itu. Eyang terbaring lemah hingga berhari-hari. Berat badannya semakin menurun karena nafsu makannya berkurang. Sampai suatu ketika, salah satu saudara Eyang mengirimkan surat. Menanyakan keadaan beliau, juga berjanji akan datang menjenguk Eyang jika sudah pulang ke Siliwangi.

Dari surat itu, ternyata tanpa aku dan Eyang ketahui, si Rere dan Hasim pernah datang ke rumah dan menginap selama dua hari. Sontak saja aku terkejut bukan kepalang. Untuk itu, aku sudah berpikir kalau Rere sudah pasti tak mau tinggal di Rumah Eyang selama puasa.

Baru sehari rasanya aku ingin pindah, bagaimana dengan dua hari atau sebulan? Bagaimana dengan Rere? Apa dia mengalaminya juga? Ah. Memikirkan itu bikin aku semakin takut.

"Yang? Gimana keadaan Eyang?"

Suatu pagi aku melihat Eyang sudah tidak pucat. Hanya kantung matanya yang semakin bengkak tanda Eyang tak pernah tidur nyenyak. Kasihan Eyang, kejadian di rumah pasti membuatnya berpikir keras, ada apa sebenarnya? Apa yang sedang terjadi?

"Udah baikan, Neng. Eyang hanya mengingat rumah. Rumah jangan pernah lama di tinggal kosong, itu pesan kakungmu dulu," lirihnya.

"Tapi, Yang. Kondisi rumah sekarang beda. Eyang tidak berpikir menjualnya saja? Ayo kita ajak Pakde bermusyawarah, Yang. Eyang jual rumah itu lalu membeli yang baru di sekitar rumahku dulu." Ternyata reaksi Eyang terlihat berbeda. Beliau menggeleng cepat, lalu kekeh tak mau menjual rumah yang Kakung tinggalkan.

"Rumah itu akan kalian jual jika Eyang sudah mati, makanya jangan di jual dulu," katanya lagi.

"Eyang, jangan lagi ngomong begitu. Imel enggak suka."

Melewati pemulihan beberapa hari akhirnya aku dan Eyang kembali ke Rumah. Kami seperti bersuka cita karena besok sudah memasuki bulan suci ramadhan. Dengan menggunakan mobil pick up, Pakde mengantar kami sampai perbatasan. Kami selalu mampir di tengah kota, menemani Eyang belanja kebutuhan ramadhan di pasar lima-lima.

Melalui Pakde, kukabarkan pada Rere jika Eyang sudah pulang agar dia segera datang. Begitu juga saudara Eyang, Oma Pur Linggi namanya. Beliau merupakan saudara Eyang yang paling muda dan terakhir.

"Cukup segini, Yang?"

"Tambah setengah kilo, Neng. Nantikan bisa dibagi sama Umi Lasmi." Belanja Eyang mirip seperti buat acara nikahan, banyak dan berat-berat. Aku enggak yakin belanja itu habis hanya dalam satu bulan.

"Kalau cabai, Yang?"

"Cukuplah itu. Ayo, kita ke toko kerudung, Neng, keburu siang!"

Aku segera beranjak, menenteng barang belanjaan menuju parkiran. Lalu mengekori Eyang menuju toko kerudung. Suasana haru terlukis di wajah para warga yang berbelanja, ada yang tergesa-gesa, ada yan berjalan santai, ada pula yang sibuk menenangkan anaknya.

Sementara puas mencuci mata dan membeli dua buah kerudung, Eyang dan aku akhirnya kembali, kami naik andong menuju rumah dengan perasaan yang tidak biasa.

Jam empat sore. Eyang dan aku baru saja sampai. Lelah dan penat membuatku ingin segera menyentuh air. Sementara Eyang langsung merapikan barang bawaan, lantas menunaikan ibadah ashar. Selesai mandi, aku memutuskan kembali memeriksa kamar. Kamar luas itu masih berantakan seperti terakhir kali ku tinggalkan.

Aku duduk di tepi kasur, sudah lama rasanya tak berada di sini. Semenjak peristiwa itu, entah kenapa aku jarang betah lama-lama di kamarku. Padahal, di kontrakan dulu, aku paling suka rebahan apalagi kalau ada komik keluaran terbaru. Di rumah Eyang, boro-boro sempat baca komik, rasanya komik sudah terganti sama ayat kursi.

"Permisi! Eyang! Mbak Imel!"

Suara cempreng dari luar membuatku terkejut. Aku seperti kedatangan seorang presiden, rasanya girang sekali, untung enggak guling-guling. Aku berlari melenggang menuju ke pintu lantas buru-buru membukanya.

"Rere!"

"Mbak! Aduh capek banget gila!"

Tiba-tiba Eyang tergopoh-gopoh dari dalam sembari mengomel, "Gadis ini, bukannya ngucap salam malah tereak-tereak!"

"Enggak liat apa Rere capek mikul beras, udah kayak kuli semen, dikiranya Rere laki-laki tulen, apa? Nih! Bantuin!"

"Oalah, hehe. Bawa beras toh, Re?" jawab Eyang. Rere seketika memutar bola matanya, bikin aku tertawa geli.

"Loh, siapa itu, Re?"

"Oh, ini temen Rere, Mbak. Masuk dulu, Bel, kita bicara di dalem!"

Eyang mempersilahkan tamu baru Rere masuk. Seorang gadis muda berjilbab hitam dengan hidung mancung, matanya sipit, manis sekali. Dia mengangguk sopan, tapi terlihat olehku jika gadis itu ragu dan sedikit sungkan. Akhirnya, dengan keramahan Eyang membuat gadis itu luluh. Senyumnya merekah, semakin memperjelas raut kelembutan dari wajahnya.

"Oh, jadi mau nyari kontrakan?"

"Iya, Mbak. Temenku ini yang kemarin aku temenin ke daerah sini sama si Hasim," sahut Rere.

Di tangannya sudah menenteng air putih. Eyang berteriak mengomel lagi dari dapur, katanya jangan air putih, harus bikin teh.

Mulailah jantungku berulah lagi, berdetak kencang menunggu sepupuku yang tomboi itu menceritakan hal mistis selama disini. Namun, sampai beberapa menit berlalu. Aku belum juga mendengar Rere membicarakan hal itu.

"Oh, kenapa Isabela enggak tinggal disini sampai nemu kontrakan?"

Gadis itu malah tersenyum kecil, "Mbak, namaku Isa, bukan Isabela."

'Bukankah tadi Rere memanggilnya Isabela?'

Aku menoleh ke Rere dan mengirim kode kesal, sementara yang dikode hanya cengengesan.

"Kampungan banget kalau Isa! Aku gabungin Bela aja biar enak, ya enggak, cuy?" Rere mengerling nakal ke arah Isa.

"Jadi si pe'a ini udah Rere tawarin tinggal disini, cuma dia katanya enggak enak sama Eyang, takut merepotkan. Gayamu merepotkan! Gaya lu banyak duit."

"Astaghfirullah, Rere! Baru semenit tinggal disini sudah bikin Eyang emosi." Eyang lagi-lagi muncul dengan piring berisi nasi bakar isi cumi.

Isa hanya tertawa mendengar kami, mungkin menganggap omongan kawannya hal biasa. Sementara aku membantu Eyang meletakkan jamuan.

"Eyang mana repot, Is. Malah Mbak dan Eyang seneng. Betul kan, Yang?"

"Iya toh, Is. Pikir-pikir dulu, kamu sudah seminggu keliling Siliwangi masih enggak nemu-nemu toh!" timpal Eyang. Tapi, gadis cantik itu bersikeras tak mau.

Sepanjang obrolan ringan aku hanya memperhatikan Rere dan Isa. Rere menceritakan perjalanannya menemani Isa mencari kontrakan murah (dulu di seberang daerah ini ada Kampus), sampai terjebak malam di Siliwangi.

Untung ada rumah Eyang yang bisa jadi penyelamat, mereka bertiga akhirnya memutuskan menginap disini. Rere memang sudah sering ke rumah Eyang, urusan izin atau tidak sudah jadi kebiasaan dia. Untuk itu, Eyang selalu tak membawa kunci rumah, melainkan menyimpannya di bawah karpet teras untuk memudahkan cucu-cucunya ketika datang.

"Terus, kok tahu Eyang enggak di rumah?"

"Lah, si Lija yang ngasih tau Rere."

"Hah! Serius kamu?!"

Mataku terbelalak kala Rere menyebut nama Bibi Lija, begitu juga ekspresi Eyang. Wajahnya sudah merah padam. Segera kami mengatur nafas, lalu berpura-pura tidak mempermasalahkan semua omongan Rere.

"Lah, mukanya santai aja dong, Mbak! Kayak denger berita kiamat aja." Begitu santai Rere mengunyah nasi bakar dan cumi seperti omongannya itu.

"Eh, Bel. Lu pengen bertobat kan? Tinggal aja disini sekamar ama si Lija pengasuh Eyang, hahaha. Bakal bungkuk lu dalam sebulan!" Rere tertawa lagi, kali ini menular ke Isabela. Entah apa yang mereka maksud.

Akhirnya aku pura-pura ikut tertawa, "Kok ngomong gitu, Re?"

"Gini, Mbak. Rere jahil banget, orang lagi salat malah banting pintu. Abis gitu dia terbirit-birit sambil ketawa kencang ngumpet di dapur." Kali ini Isa yang menjelaskan kelakuan Rere.

"Lah, abisnya si Lija salat udah kayak latihan mati! Jadi gini loh, Mbak, waktu itu Rere sama kedua monyet ini kan sampai pas magrib, awal lewatin kamarmu, ada si Lija lagi salat, berdiri gitu."

"Orang sholat ya berdiri, Re. Masa koprol," potong Isa.

"Kupret. Dengerin dulu, pas Rere ngeliat si Lija posisinya berdiri, Rere waktu itu kan mau mandi. Mandi nih ya, bukan cuma cebokin muka. Nah, pas selesai mandi selama sepuluh menitan, si Lija masih berdiri. Dalem hati Rere ngomong, si Lija nih pasti lupa baca niat apa gimana? Kok berdiri terus, kalau dia pengen pipis udah kencing dari tadi dia."

"Teruslah Rere ke kamar Eyang ganti baju, nemenin Isa nulis sementara Hasim keluar beli makan. Sepuluh menitan, karena minyak tanah habis, Rere keluar lagi, lewatin kamar Mbak, liat si Lija sudah duduk. Oke, kataku dalam hati. Salatnya udah bener tuh pasti," lanjut Rere.

Dia seperti tak henti-hentinya menertawakan bibi Lija sampai terpingkal-pingkal di kursi.

"Nah pas Rere balik. Seettt, masih ada tuh si Lija, duduk kayak tadi, tapi anehnya, tangannya masih dilipat gitu, kakinya yang bikin gue sakit perut pengen nampol. Kakinya lurus wae, padahal lagi salat nih ya."

"Terus, kamu banting pintu gitu?!"

Rere menggeleng. Dia malah mengisyaratkan aku agar diam sambil melanjutkan omongannya, "Paling kesel aku pas si Lija baca al-fatihah, tapi kok posisinya sudah duduk, kakinya lurus, tangannya dilipet di dada."

"Akhirnya kakiku gatel langsung masuk, terus gue bisikin, 'Bik! Allahu Akbar bukan al-fatihah, ya elah!' karena Rere takut dosa, kutinggalin aja dia, soalnya waktu itu Hasim udah manggil-manggil persis bayi minta nenen. Eh, astaghfirullah."

"Tapi, pas selesai makan, selesai cupir, selesai cerita pacar masing-masing, Rere yang lewat lagi masih liat tuh si Lija! Dia masih duduk kayak tadi. Gila enggak tuh? Tobat gue, Rere langsung ngacir sambil banting pintu kamarnya biar kapok."

Tiba-tiba Isa menyeletuk, "Tapi, anehnya nih Re, pengasuh Eyang tiba-tiba ngilang gitu loh pas kita di ruang tengah."

"Alah! Mungkin kesel Rere isengin."

Padahal ketika aku dan Eyang sampai tadi, Umi Lasmi menyampaikan surat Bibi Lija yang izin pulang saat mengetahui Eyang pergi ke rumah Pakde. Lalu, Bibi Lija siapa yang dimaksud mereka?

"Bibi Lija? Tukang bersihnya Eyang?"

"Lah, siapa lagi, Mbak?"

Eyang lantas memberontak, "Eh, cucu emas, kalau sama orang tua harus manggil bibi, tante, oma, jangan langsung manggil nama. Gereget loh Eyang lama-lama!" Eyang memasang wajah galak, Rere langsung menaikkan tangannya, ia melambai lalu beranjak menuju kamarku.

"Males debat ama Nyai Ndoro, cerewet!"

"Belum sehari loh, Mel!" sahut Eyang. Sementara Isa hanya tertawa.

"Seng sabar, Yang."

Setelah berbenah. Isa kami ajak ke dapur, kecuali Rere. Isa bilang menginap hanya semalam, besok akan pindah ke tempat kawannya yang lain.

"Iya, enggak apa-apa, Is. Kalau pengen main kesini, kesini aja ya."

"Makasih, Mbak. Pasti Isa sering dateng, kok. Tapi, kita semua tidurnya di ruang tengah aja ya, Mbak?"

Aku menyernyit heran, "Kok gitu, Is?"

Belum sempat aku mendengar jawaban, Isa malah menangis sesenggukan. "Isa disini enggak pernah bisa tidur sebenarnya. Jam satu malam tiba-tiba Isa udah tidur di dekat pintu sambil ditutup kain, Mbak."

Bab terkait

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Pengajian Apa, Umi?

    “Kain? Kamu ngigo sambil jalan terus tidur ... ““Isa enggak ngigo, Mbak.” Isa memotong ucapanku, suaranya begitu dingin dan tertekan.“Karena hari kedua Isa sama yang lain capek jalan terus, jadi malam itu kita bertiga cepat tidur. Posisi tidurnya, Rere di kamar Eyang, Isa di kamar Mbak, terus Hasim tidur di ruang tamu. Isa sadar waktu itu belum tengah malam, Isa ketindihan, tubuh Isa seperti di angkat rame-rame tapi enggak bisa gerak.” Eyang yang melihat raut serius di wajah kami segera berhenti membersihkan ayam potong.“Isa kenapa toh, Mel?”“Katanya ketindihan sampai tidur deket pintu, Yang.” Aku mengelus sebelah pundak Isa lantas menyuruhnya minum sebelum lanjut bercerita.“Rasanya tubuh Isa bergetar, Isa kaget sambil beristighfar terus, akhirnya Isa sadar dan bangun tapi enggak ada apa-apa. Isa baca doa dan lanjut tidur lagi. Sampai tiba-tiba tengah malem denger alarm bunyi, disitu Isa ketindihan lagi.”“Tubuh Isa merasa banyak yang ngangkat, seperti melayang sampai dibawa kelu

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Salat Subuh Bersama Jin

    “Sumpah, Re! Bukan Mbak yang nyahut di depan.” Rere mencibir, padahal aku sedari tadi memasang wajah serius. Saat aku masuk sudah ada Eyang di meja makan. beliau nampak sibuk menata piring, aku jadi terlihat pekok sendiri. Mungkinkah mereka memang mengira aku habis lari-larian atau petak umpet? Astaga.“Yang! Rumah Eyang di belakang besok-besok di kasih obor atau lampu gantung ya.”“Ngomong opo toh, Neng?”“Itu loh, Yang. Imel hampir mati ketakutan gara-gara liat sesuatu.”Rere menoleh ke arahku, lalu mencibir lagi. “Ngeyel, teroos.”“Seriusan, Re. Mbak tadi enggak usil. Kualat baru rasa, kamu.”“Udah-udah! Besok Eyang beli lampu di pasar. Kalian makan dulu.”“Oma mana, Yang?”“Masih di kamarmu sama Isa. Mereka lagi bersih-bersih. Makanya toh, Neng, Rere, ada cucian, ada sampah, jangan langsung lempar sana-sini. Dengar tuh, Oma kamu mulutnya enggak bisa di rem.” Eyang memberi nasehat.“Remnya udah putus, Eyang. Enggak bisa di benerin … ““Hush! Kamu tuh ya.” Aku segera memotong ucapa

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Suara Gamelan

    Ini adalah rumahku. Tapi, mengapa setiap hari aku selalu dihantui rasa takut? Seperti pagi ini, aku yang lupa mengambil dompet harus berlari, berkeliling rumah yang panjangnya dua kali dari lapangan volly, lalu bersikap seperti maling yang takut ketahuan nyuri barang.“Huft! Gusti, aku enggak bisa kayak gini.”Anak kunci saling berbenturan, artinya pintu belakang sudah kembali terkunci rapat. Segera aku mengambil ancang-ancang, menarik nafas dalam, lalu berlari sampai pagar luar yang jaraknya seperti setengah lapangan bola. Sebenarnya sosok itu beberapa hari ini sudah jarang muncul, terakhir dia nampak saat bikin aku pingsan. Tapi, sudah hampir seminggu, rumah terlihat aman. Bahkan, sudah dua hari aku bisa tidur siang bersama Rere.“Imel, andongnya nunggu kok, enggak usah lari maraton.” Tegur Oma dengan bibirnya yang merah, beliau hari ini sudah pulang, aku dan Eyang mengantarnya sampai perbatasan Siliwangi, di pasar lima-lima.“Imel tak tahu kapan Imel mulai suka berolahraga, Oma.”“

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Gantung Mukenah Di Balik Pintu

    “Astaghfirulahaladzim.” Sekujur tubuhku bergetar.Sosok berjubah panjang itu sepertinya menyadari keberadaan teman Bang Hasim. Suara jeritan salah satu dari mereka berhenti berganti dengan riuh angin dari segala penjuru. Hening. Begitu hening.“Bang, kita pergi saja.” Bisikku. “Tidak, harus periksa ke belakang dulu.”“Tapi, Bang.”Bang Hasim bilang harus memeriksa Eko dan yang lainnya, apapun yang sedang terjadi. Pukul sepuluh, rumah Eyang dengan segala rahasia di dalamnya terasa mencekam. Aku seperti berada dalam dimensi lain yang harus berdiri di lorong gelap ditemani kesunyian. Tak ada mulut yang bersuara, tapi aku bisa merasakan ritme jantung berdetak lebih cepat dari detak jantung normal manusia. Degub jantung ini, seperti tidak lagi berfungsi normal.Bang Hasim melangkah meninggalkan kami bertiga, ia menuju dapur. Sialnya, dapur di belakang terlihat gelap, mungkin lampu gantung di meja makan mati. Sepupuku itu terlihat meraba-raba dinding, dan sepanjang dia melangkah tak kude

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Lari Ke Dapur!

    “Ana kidung rumeksa ing wengi. Teguh hayu luputa ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jim setan datang purun … “Rasanya masih beberapa menit yang lalu aku menyentuh bantal. Apa sekarang aku sudah di alam mimpi? Di depanku sangat terlihat jelas. Wajah hancur penuh belatung itu berada dalam jarak satu meter di tepian kasur. Dia duduk, menatap pintu, menyamping dari posisiku.“Rere.”“Rere, lihat ke bawah, Re.” Aku berbisik sangat pelan, nafasku bahkan takut mengeluarkan suara.“Rere, tolong bangun.” Pekikku membatin.Suaraku seperti sudah sangat tegas. Tapi, kenapa Rere tak bangun-bangun juga? Aku frustasi, rongga mulutku terus merapal doa tapi sosok itu tak ingin enyah. Aku ingat beberapa teman di kota pernah bilang, jin Muslim lebih pandai dari pada manusia. Saking cerdiknya jin itu, dia bahkan seribu lebih tahu dan fasih membaca dan mendalami Al-Quran. “Peneluhan tan ana wani. Miwah penggawe ala. Gunaning wong luput.”Lagi-lagi ia melantuntan tembang kuno. Lagu yang nyaris membuatku terc

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Lari Dari Rumah

    Bang Oar. Tinggal sendiri di ujung kompleks Melati dua sudah berpuluh-puluh tahun. Berawal dari kerja serabutan sampai kini dia kerja di sebuah bengkel. Hidup membujang dan sendirian seperti ini sudah menjadi takdir, kata Bang Oar. Alasannya karena bukan tak ingin menikah, tapi Allah belum memberi rezeki berumahtangga padanya. Kontrakan yang ditempatinya cukup untuk hidup sendiri, ruang tiga petak, sepetak dapur, kamar dan ruang tamu. Ruang tamunya membuatku berdecak kagum, sedikit eksotik, penuh alat tempur muncak."Suka nanjak, Bang?"Lelaki yang berambut gondrong itu tertawa sumbang, "Kalau lagi kosong, terakhir bareng sepupumu, ke Mahameru." Ia melempar dagu, ke Bang Hasim. Hasim tersenyum, membuatku canggung. "Kok Abang betah tinggal di tempat sepi begini?" "Sebenarnya, terpaksa."Aku mengerutkan hening, "Terpaksa?""Hidup di zaman begini mulai serba uang, cari kontrakan murah, susah. Kebetulan bos saya punya ladang di sebelah situ, saya ditugaskan menjaga dan bersihin tiap min

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kontrakan Bang Oar

    “Punten, Pak.” Saya, Imel. Tak sengaja mendengar omongan Pakde tadi.”Keduanya menoleh, sekilas terlihat shock. Tentu saja kaget, aku tiba-tiba muncul dari belakang saat mereka tengah berbisik-bisik.“Neng, pekerja baru, ya? Ngapain ngintip-ngintip pembicaraan orang tua? Enggak baik loh.” balasnya setengah memaki. Kubungkukkan tubuhku sembari mengulang maaf, “Aku cucunya Eyang. Bukan maksud aku mau menguping, tapi, aku ingin tahu juga, apa yang Pakde ini tahu tentang rumah Eyang dulu.”Bapak yang disapa Den itu memicingkan mata, gegalaknya tegas, namun sirat matanya ragu. Sementara yang satu masih mematung. “Pakde?”“Oh-eh. Mm, kami tak tahu banyak. Yang kami tahu hanya yang kamu dengar barusan. Iya, toh, Kang?" Pakde yang satu mengangguk pelan.“Lalu, Santoso itu, siapa, Pak?” tanyaku lagi.“Duh, ora kenceng-kenceng!”Aku sedikit sarkastik. “Ini masalah serius, Pakde.”“Kami bukannya mau membahas yang sudah-sudah. Kami juga tak tahu banyak, kamu tidak mau kan orang-orang kembali ngu

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Dhemank Loak

    Pupil bola mata Eyang mengecil, uratnya memerah seperti menahan perih yang luar biasa. Lehernya tertarik 160 derajat ke belakang. Saat itu, Eyang seperti bertemu dahsyatnya sakaratul maut. "Astaga. Eyang!"Suara tegas dari belakang masih tak membuat tubuhku mampu bergerak. Rere berteriak histeris, gayung di tangannya terlepas menumpahkan isinya. Seketika, tubuh kecilnya terhuyung, ia melompat menuju Eyang yang mengerang-erang seperti kambing digorok lehernya. Untung saja, leher Eyang sudah tak berputar seperti tadi. Kalau Rere sampai melihat kondisi Eyang sebelumnya, Rere pasti sudah pingsan.Seketika aku merasa dibawa kendali sesuatu, tubuhku, pandanganku, mataku, telingaku, semuanya merasakan hal berbeda.Saat itu, aku mendengar Rere memanggilku. Rere semakin mendekat, tapi aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Kenapa Rere berubah? Ia tiba-tiba tertawa sinis."Mbak bau!" bisiknya. Rere benar-benar berpaling mengejekku. "Kenapa menyebutku bau?"Silih berganti wajah Rere berubah

Bab terbaru

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Extra Part Terakhir (Kesimpulan Cerita)

    Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Sebelum Berangkat Ke Siliwangi Untuk Pertama Kali (Prolog)

    Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ektra Part

    Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ekrta Part

    "Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   SELESAI

    "Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Eyang

    “Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Rahasia Eyang

    Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kejujuran Dan Air Mata

    “Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Eyang Tutup Usia

    Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku

DMCA.com Protection Status