Share

Suara Gamelan

Penulis: zolepena
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ini adalah rumahku. Tapi, mengapa setiap hari aku selalu dihantui rasa takut? Seperti pagi ini, aku yang lupa mengambil dompet harus berlari, berkeliling rumah yang panjangnya dua kali dari lapangan volly, lalu bersikap seperti maling yang takut ketahuan nyuri barang.

“Huft! Gusti, aku enggak bisa kayak gini.”

Anak kunci saling berbenturan, artinya pintu belakang sudah kembali terkunci rapat. Segera aku mengambil ancang-ancang, menarik nafas dalam, lalu berlari sampai pagar luar yang jaraknya seperti setengah lapangan bola. Sebenarnya sosok itu beberapa hari ini sudah jarang muncul, terakhir dia nampak saat bikin aku pingsan. Tapi, sudah hampir seminggu, rumah terlihat aman. Bahkan, sudah dua hari aku bisa tidur siang bersama Rere.

“Imel, andongnya nunggu kok, enggak usah lari maraton.” Tegur Oma dengan bibirnya yang merah, beliau hari ini sudah pulang, aku dan Eyang mengantarnya sampai perbatasan Siliwangi, di pasar lima-lima.

“Imel tak tahu kapan Imel mulai suka berolahraga, Oma.”

“Bagus juga, Neng. Apalagi puasa-puasa, gini. Duh, enaknya makan cindol tape. (cendol tape)”

“Cendol liwet di simpang lima itu, Pur. Nanti singgah yo!” Dukung Eyang.

”Lah, kita lagi puasa, Yang!” Sahutku, mereka malah tertawa, menular ke kernek andongnya.

Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan sawah dan kincir angin. Siliwangi begitu indah, pesonanya luar biasa. Tak heran, banyak pariwisata yang berkunjung saat hari libur. Eyang terus memepet Oma agar Pakde datang, meskipun Oma menasehati agar Eyang dan aku tidak perlu khawatir lagi.

“Kamu toh liat sendiri, kamar sudah bersih, wangi, di pel tiga kali sehari, jin dalam rumah pasti tidak betah. Jin itu suka rumah dalam keadaan kotor.” Ucap Oma.

“Apa yang Oma bilang itu benar?”

“Iya, ya, Neng. Selama ini si Lija enggak pernah bersih-bersih dalam rumah, dia cuma Eyang suruh bersihin pekarangan sama bantu nyuci.” Kini Eyang menimpali, wajahnya berbinar.

“Kalau gitu suruh Bibi Lija bersihin dalam rumah juga ya, Yang. Imel bantu.” Sungutku.

“Jangan lah, Neng. Nanti kek mana si Lija kalau capek.”

“Kan enggak tiap hari, Yang. Besok bersih di luar, besoknya lagi bersih di dalem. Lagipula, rumah sebesar itu enggak bisa sekaligus juga dibersihin tiap hari.”

Kulirik Eyang, aku tahu beliau pasti menimbang-nimbang. Bibi Lija sudah jadi keluarga bagi Eyang, makanya pasti Eyang enggak enak minta ke Bibi. “Tenang, Yang. Imel bakal bantu kok, Imel juga bisa nambahin gaji Bibi. Gimana?”

“Nanti kita bicarakan lagi, Neng.” Ucap Eyang membuatku sedikit lega.

Dua jam perjalanan sampailah kami di perbatasan. Oma langsung menuju pelataran stasiun, sementara aku membantu menjinjing tas pakaiannya. Beliau berjanji akan ke rumah Eyang bersama keluarga yang lain saat Idul Fitri seperti yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Karena Eyang paling tua, sudah jadi tradisi bagi kami untuk berkumpul di rumah beliau.

“Oma titip salam buat Om dan Tante, ya.”

Oma memelukku, bergantian dengan Eyang sebelum melakukan takzim. “Pasti, Neng. Kalau Hasim?”

“Em, sekalian Oma.”

Oma terkekeh, sedikit mengejek. Sebelum pergi, Oma memberiku selembar uang tunai berwarna merah. Dulu, lembar uang itu sangat banyak nilainya, bisa makan jajan seminggu pas teraweh. “Makasih Oma, hati-hati di jalan.”

Oma berpindah tempat ke mobil, sementara Eyang dan aku beranjak pergi. Kami berencana mampir ke pasar lima-lima, pasar penuh momen bersejarah buat pribadi aku sendiri. Selain ramai, pasar itu sudah menemani langkahku dan Eyang selama bertahun-tahun. “Nah, loh, Eyang lupa kertas belanja di andong.”

“Loh, terus piye saiki, Yang?

“Kamu jalan duluan aja, tau penjual tape toh?” Aku mengangguk. Jadilah kami berpisah. Eyang keluar dan untuk pertama kali aku berani jalan sendiri di tengah pasar.

Sepuluh menit menunggu Eyang bikin kakiku keram, aku lantas mencari tempat kosong untuk sekedar merenggangkan kaki. Tiba-tiba, seseorang mendekat ke arahku dan berhenti tepat di depanku. 

“Dek?”

“Ya?” 

Lelaki itu membuka helm, seperti orang yang menyodorkan diri untuk segera aku kenali. Orang itu tinggi, rahangnya sedikit menonjol.

“Kamu cucunya Eyang Ratu?”

“Loh?”

Ia tertawa pelan, sementara dari jauh sudah muncul Eyang.

“Punten, Eyang, tak kira siapa ternyata Imel.” Sapa lelaki itu.

“Hah! Hasim? Oma-mu sudah pergi ngikut rombongan si Santoso!”

Hasim? Hasim sepupuku? Aku kira sepupuku ini berubah, ternyata tidak sama sekali. Dia masih tampan, mukanya bening.

“Udah tahu, Yang. Diberitahu Kang Juarni. Hasim kesini lagi ada projek tugas tapi tinggal bareng kawan sekelompok.”

Eyang sedikit kecewa, beliau pasti mengira Hasim akan tinggal bersama kami. Tapi, Hasim bilang akan sering mampir selama ia masih disini karena projeknya ada di Siliwangi, tak jauh dari rumah Eyang. Akhirnya karena waktunya singkat, kami berpisah di toko buah setelah aku membeli tape, sementara Hasim menuju perabot rumah.

“Yang, kata Hasim malam ini mau mampir ke rumah. Imel mau buat es buah, ya?”

“Owalah, Eyang lupa kalau kamu suka banget sama es buah. Yowess, besok juga boleh bikin es buah.”

Meskipun bahannya cuma semangka, melon, sama pepaya tapi menu itu paling bikin aku ketagihan. Selesai belanja, kami mampir membeli lampu pijar, ukurannya lumayan dengan tiga buah pijar nantinya akan aku letakkan sesuai posisi aku berlari di kelagapan malam jika sedang menghadapi bahaya. Astaga! Aku ternyata berlarut memikirkan hari Jumat yang ternyata sudah di depan mata. Meski keadaan rumah baik-baik saja, tapi tetap saja pikiran buruk selalu menghantuiku.

Sore hari akhirnya kami sampai. Rumah terlihat lengang, pasti Rere masih sibuk mencari jati diri di tengah jalanan. Huff, aku juga bingung bagaimana orang tua Rere bisa mendidik putrinya yang seperti anak bujang. Pagi sudah keluyuran, sore malas-malasan, malam tepar-teparan. Untung kalau anak itu bisa puasa.

“Ngapain toh, Neng? Sok, bantuin Eyang masak!”

“Iya, Yang. Bentar.”

Dari arah luar terdengar orang mengetuk pintu. Aku yang posisinya sudah ganti baju segera ke pintu. Ternyata benar itu Rere. Tidak seperti kemarin dulu, raut wajah anak itu kini terlihat lemas. “Kamu enggak acting kan?”

“Oalah, Mbak. Seriusan Rere ini puasa.” Dia melempar tas tipisnya, lalu masuk ke kamar. Aku tertawa kecil, meskipun dia nakal tapi tetap bisa menjalani kewajiban.

Sore itu angin berhembus sedikit kencang, aku yang sedang mengupas buah seketika tertarik menengok belakang rumah Eyang. Rumah yang diisi lahan kosong, hamparan rumput, di sebelahnya juga, kebun milik Kakung hanya berisi pohon kayu dan rumput makanan sapi. Kata Bibi, rumput itu di tanam bagi petani sapi. Sangat luas. Pasti pemiliknya punya sapi berpuluh-puluh ekor.

“Mungkin mau hujan ini ya?” Eyang menyeletuk.

“Mungkin Eyang.”

Menjelang Maghrib aku merasa rumah Eyang semakin sepi. Padahal kami bertiga, tapi mengapa aku merasa sangat kesepian? Sampah berserakan menandakan angin masih berhembus kencang. Sementara aku yang baru saja bersiap mandi berjalan keluar. Ruang tengah jauh lebih lengang, samar-samar terdengar tembang.

Yah. Lagu tembang, pikiranku saat itu ada yang mengadakan hajatan. Jadi aku langsung ke kamar, memeriksa keadaan Rere. Ternyata sudah kosong, mungkin anak itu sedang mandi. Saat keluar, suara hajatan itu berganti nada, seketika bulu kudukku merinding. Aku yang tak ingin mendengarnya lama-lama akhirnya berlari kecil, mencari keberadaan Eyang.

“Yang! Cepet keluar, ada suara gamelan!”

“Ngomong opo toh, Neng? Banyak di daerah sini ngadain hajatan ya pasti adalah.”

Akhirnya aku mengalah. Aku disuruh Eyang mempersiapkan makanan buka puasa. Hingga selesai, kami bertiga duduk di meja. Suara gamelan itu masih ada. Hingga sore itu berganti Adzan Maghrib.

“Alhamdulillah.”

“Es buahnya dikit amat, Mbak!” Padahal dua mangkok sudah tandas.

“Nanti perutmu brojol, Re. Bentar lagi ya, kita sholat dulu.”

Malam itu suara gamelan terus terdengar, ada tembang, ada gamelan, ada tembang, lalu berganti gamelan lagi. Aku terus berpikir ada acara di dekat rumah Eyang karena suaranya kadang jauh, kadang dekat, kadang jauh sekali, kadang pula sangat dekat.

***

Sampai pukul Sembilan malam selepas kami teraweh. Aku mendapati teras rumah Eyang penuh orang. Salah satu dari mereka sudah aku kenal, ternyata Hasim yang datang. Eyang langsung menyuruh teman-teman Hasim masuk dengan wajah gembira.

“Dek, aku kira kamu di rumah tadi.” Ucap Hasim setengah berbisik.

“Loh, aku sama Eyang abis dari Masjid tarwih, Bang.”

Kulihat lelaki itu mematung, barulah ia mengangguk saat aku memanggil namanya berulang-ulang. “Yaudah, Bang. Masuk dulu.”

Rere malam ini jadi penjamu tamu. Biasanya anak itu bersemayam di balik selimut. “Hasim! Temen kamu ganteng-ganteng amat!” Teriak Rere dari luar.

“Biasa aja kali, Rere Centamani Kusnaedi! Jangan malu-maluin!” Tegur Hasim, tangannya sibuk memasang lampu yang aku beli tadi.

Malam itu Rere ternyata ingin mengundang pacarnya juga, jadi dia pergi meminjam motor Hasim dengan alasan ingin membeli sesuatu juga. Jadilah rumah Eyang seperti pasar. Eyang menyuruh Hasim segera membeli kue di luar, tapi motor Hasim masih di pakai Rere membeli kartu d*mino. 

Posisi aku masih di dalam, cangkir teh belum terisi semua. Tiba-tiba salah satu teman Hasim yang perempuan datang, ia menawarkan diri untuk membantu.

“Aku Sani, Mbak. Kawan Hasim juga tapi dari fakultas lain.”

“Aku Imel. Seneng ketemu kamu.” Setelah selesai aku keluar, sementara Sani pamit dulu ke kamar mandi.

Baru beberapa saat aku melihat Sani keluar, tiba-tiba ada yang nyahut. “Tak kira tadi lagi acara disini!” Yang lain saling menyahut iya.

“Lu juga denger, Ko?” Lelaki keriting yang dipanggil Eko mengangguk.

“Emang kenapa, Bas?”

Perbincangan itu sempat terpotong. Salah satu dari mereka datang, membawa bungkusan rokok, minuman kaleng juga makanan. Hasim yang tak jadi keluar karena sudah ada yang membeli lantas membujukku untuk bergabung. Kami ditawarkan martabak. Beberapa saat aku melihat mereka menikmati hembusan kretek di tangannya.

“Ada suara gamelan! Persis dari rumah ini. Ya kan, Ko? Eko lagi-lagi menyahut iya.

Perasaanku ini semakin tak enak. Suara tawa tiba-tiba seketika berhenti. Benar yang aku dengar, ada suara gamelan tapi entah dari mana. Tiba-tiba Sani yang sedari terdiam, langsung berbisik.

“Bang! Acaranya ada di belakang rumah!” Sembari menunjuk belakang rumah Eyang. Aku semakin tercekat, begitu juga Hasim. Ia lantas bangkit mencari Eyang.

Tidak ada yang merasa aneh pada kami, karena mungkin yang lain mengira di belakang rumah Eyang ada rumah. Kecuali Sani, gadis itu terlihat pucat saat kembali dari dapur. Entah apa yang sudah lihat Sani disana. Yang aku tahu pasti, gadis itu terlihat sangat ketakutan.

“Kita tengok, yuk! Siapa tahu ada sinden!”

“Gila sih, lu, Ndi! Tau aja yang gua pikirin!”

Saat itu, keadaan rumah Eyang riuh kembali. Sorak sorai teman Hasim meminta izin ke Eyang untuk menuju tempat belakang. Baru sampai di jendela rak buku Kakung, Hasim tiba-tiba datang membekap mulutku, ia menyisyaratkanku agar tenang dan diam. Sementara Eyang dan Sani hanya bisa berdiri mematung. Mungkin mereka juga kaget dengan apa yang baru saja kami lihat. Pendopo, tempat peristihatan Bibi Lija berubah jadi panggung. Ada banyak orang dengan pakaian putih mirip kebaya tapi seperti jubah. Mereka berlenggak-lenggok, sangat kontras dengan musik tambang yang terdengar memekakkan telinga.

“Mana yang lain, Hasim?!”

“Mereka ke belakang, Yang!”

Tiba-tiba suara khas teman Hasim terdengar menjerit. Aku yang masih berdiri di jendela rak buku segera melihat ke arah panggung itu. Betapa terkejutnya aku saat melihat orang berjubah putih, jubahnya menjuntai hingga menyentuh tanah, yang berjumlah puluhan itu berhenti berlenggak-lenggok. Seperti slow motion, kepala itu berbalik arah, mengarah persis ke arah dapur Eyang.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yeni Rosdiani
Naha bulan puasa teh Aya jurig...
goodnovel comment avatar
Hilman Herdian
Nitip jejak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Gantung Mukenah Di Balik Pintu

    “Astaghfirulahaladzim.” Sekujur tubuhku bergetar.Sosok berjubah panjang itu sepertinya menyadari keberadaan teman Bang Hasim. Suara jeritan salah satu dari mereka berhenti berganti dengan riuh angin dari segala penjuru. Hening. Begitu hening.“Bang, kita pergi saja.” Bisikku. “Tidak, harus periksa ke belakang dulu.”“Tapi, Bang.”Bang Hasim bilang harus memeriksa Eko dan yang lainnya, apapun yang sedang terjadi. Pukul sepuluh, rumah Eyang dengan segala rahasia di dalamnya terasa mencekam. Aku seperti berada dalam dimensi lain yang harus berdiri di lorong gelap ditemani kesunyian. Tak ada mulut yang bersuara, tapi aku bisa merasakan ritme jantung berdetak lebih cepat dari detak jantung normal manusia. Degub jantung ini, seperti tidak lagi berfungsi normal.Bang Hasim melangkah meninggalkan kami bertiga, ia menuju dapur. Sialnya, dapur di belakang terlihat gelap, mungkin lampu gantung di meja makan mati. Sepupuku itu terlihat meraba-raba dinding, dan sepanjang dia melangkah tak kude

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Jangan Lari Ke Dapur!

    “Ana kidung rumeksa ing wengi. Teguh hayu luputa ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jim setan datang purun … “Rasanya masih beberapa menit yang lalu aku menyentuh bantal. Apa sekarang aku sudah di alam mimpi? Di depanku sangat terlihat jelas. Wajah hancur penuh belatung itu berada dalam jarak satu meter di tepian kasur. Dia duduk, menatap pintu, menyamping dari posisiku.“Rere.”“Rere, lihat ke bawah, Re.” Aku berbisik sangat pelan, nafasku bahkan takut mengeluarkan suara.“Rere, tolong bangun.” Pekikku membatin.Suaraku seperti sudah sangat tegas. Tapi, kenapa Rere tak bangun-bangun juga? Aku frustasi, rongga mulutku terus merapal doa tapi sosok itu tak ingin enyah. Aku ingat beberapa teman di kota pernah bilang, jin Muslim lebih pandai dari pada manusia. Saking cerdiknya jin itu, dia bahkan seribu lebih tahu dan fasih membaca dan mendalami Al-Quran. “Peneluhan tan ana wani. Miwah penggawe ala. Gunaning wong luput.”Lagi-lagi ia melantuntan tembang kuno. Lagu yang nyaris membuatku terc

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Lari Dari Rumah

    Bang Oar. Tinggal sendiri di ujung kompleks Melati dua sudah berpuluh-puluh tahun. Berawal dari kerja serabutan sampai kini dia kerja di sebuah bengkel. Hidup membujang dan sendirian seperti ini sudah menjadi takdir, kata Bang Oar. Alasannya karena bukan tak ingin menikah, tapi Allah belum memberi rezeki berumahtangga padanya. Kontrakan yang ditempatinya cukup untuk hidup sendiri, ruang tiga petak, sepetak dapur, kamar dan ruang tamu. Ruang tamunya membuatku berdecak kagum, sedikit eksotik, penuh alat tempur muncak."Suka nanjak, Bang?"Lelaki yang berambut gondrong itu tertawa sumbang, "Kalau lagi kosong, terakhir bareng sepupumu, ke Mahameru." Ia melempar dagu, ke Bang Hasim. Hasim tersenyum, membuatku canggung. "Kok Abang betah tinggal di tempat sepi begini?" "Sebenarnya, terpaksa."Aku mengerutkan hening, "Terpaksa?""Hidup di zaman begini mulai serba uang, cari kontrakan murah, susah. Kebetulan bos saya punya ladang di sebelah situ, saya ditugaskan menjaga dan bersihin tiap min

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kontrakan Bang Oar

    “Punten, Pak.” Saya, Imel. Tak sengaja mendengar omongan Pakde tadi.”Keduanya menoleh, sekilas terlihat shock. Tentu saja kaget, aku tiba-tiba muncul dari belakang saat mereka tengah berbisik-bisik.“Neng, pekerja baru, ya? Ngapain ngintip-ngintip pembicaraan orang tua? Enggak baik loh.” balasnya setengah memaki. Kubungkukkan tubuhku sembari mengulang maaf, “Aku cucunya Eyang. Bukan maksud aku mau menguping, tapi, aku ingin tahu juga, apa yang Pakde ini tahu tentang rumah Eyang dulu.”Bapak yang disapa Den itu memicingkan mata, gegalaknya tegas, namun sirat matanya ragu. Sementara yang satu masih mematung. “Pakde?”“Oh-eh. Mm, kami tak tahu banyak. Yang kami tahu hanya yang kamu dengar barusan. Iya, toh, Kang?" Pakde yang satu mengangguk pelan.“Lalu, Santoso itu, siapa, Pak?” tanyaku lagi.“Duh, ora kenceng-kenceng!”Aku sedikit sarkastik. “Ini masalah serius, Pakde.”“Kami bukannya mau membahas yang sudah-sudah. Kami juga tak tahu banyak, kamu tidak mau kan orang-orang kembali ngu

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Dhemank Loak

    Pupil bola mata Eyang mengecil, uratnya memerah seperti menahan perih yang luar biasa. Lehernya tertarik 160 derajat ke belakang. Saat itu, Eyang seperti bertemu dahsyatnya sakaratul maut. "Astaga. Eyang!"Suara tegas dari belakang masih tak membuat tubuhku mampu bergerak. Rere berteriak histeris, gayung di tangannya terlepas menumpahkan isinya. Seketika, tubuh kecilnya terhuyung, ia melompat menuju Eyang yang mengerang-erang seperti kambing digorok lehernya. Untung saja, leher Eyang sudah tak berputar seperti tadi. Kalau Rere sampai melihat kondisi Eyang sebelumnya, Rere pasti sudah pingsan.Seketika aku merasa dibawa kendali sesuatu, tubuhku, pandanganku, mataku, telingaku, semuanya merasakan hal berbeda.Saat itu, aku mendengar Rere memanggilku. Rere semakin mendekat, tapi aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Kenapa Rere berubah? Ia tiba-tiba tertawa sinis."Mbak bau!" bisiknya. Rere benar-benar berpaling mengejekku. "Kenapa menyebutku bau?"Silih berganti wajah Rere berubah

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Detik-detik Kejadian 1

    Hari itu. Hari terakhir dimana aku makan dengan Sabrina. Terakhir. Terakhir sebelum Sabrina ternyata akan meninggalkan dunia. Malam ini, baru saja aku makan malam, aku makan semua jenis makan di meja itu tanpa sedikitpun curiga. Aku baru sadar saat bangun tidur di sepertiga malam. Itupun karena aku teringat Eyang di rumah. Biasanya, di waktu seperti ini Eyang bangun sholat malam di ruang tengah.Eyang. Beliau bukan cuma sekali dibuatkan makanan jadi dari Bibi. Jarak tempat ini ke rumah Eyang juga sangat jauh. Bibi selalu bawa makanan jadi sampai ke Siliwangi tanpa pernah basi.'Yang jadi pertanyaan, benarkah Bibi menaruh sesuatu di makanan itu? Kata Ibu muda tadi Bibi adalah dukun. Apa benar Bibi memberi sesuatu lewat perantara makanan lalu semua teror terjadi di rumah Eyang sampai aku juga akan dibun*h?'"Hah. Astaghfirullah. Tidak sepatutnya aku begini. Bibi adalah keluarga Eyang, beliau mana tega berbuat yang tidak-tidak seperti itu. Kalau pun seperti dugaanku, aku sudah pasrah,

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Detik-detik Kejadian 2

    Meski angin tidak berhembus tapi Siliwangi begitu dingin siang itu. Aku coba memanggil Umi. Namun, tenggorokanku tertahan, sementara keadaan ingin aku segera menemukan pertolongan. Andai sesuatu terjadi pada Rere, bagaimana bisa aku tenang dikemudian hari? Jika tanda kematian itu benar adanya, aku pastikan sisa hidupku akan terus merasa tak berguna.“Darahmu banyak keluar, Mbak enggak bisa nunggu lama.”Erat sekali saat aku menyempatkan diri memeluk tubuhnya. Ku bilang berkali-kali jika aku sangat menyesal meninggalkannya beberapa hari yang lalu ke Demanloak. Rumput basah seperti jadi saksi bagaimana langkah lebarku takut menghabiskan waktu bahkan sedetik saja. Aku berlari menuju Masjid karena Umi ternyata tak ada di rumahnya. Saat Eyang melihatku muncul di pagar Masjid, beliau langsung keluar. Hanya sempat ku sampaikan bahwa Rere harus segera dapat pertolongan, maka, Eyang turut berlari sesudah menyuruh seseorang memanggil Mantri, di Balai kesehatan.Siang hingga sore kami akhirnya

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Detik-detik Kejadian 3

    'Astaghfirullah. Ada apa ini?'Suara teriakan itu sontak membuatku menoleh. Posisiku saat itu lumayan jauh dari bibir pintu. Untuk itu, dengan penuh kepanikan aku kembali berlari menerobos teras dapur."Yang, nyebut, Yang!"Eyang masih tergugu dalam posisinya yang mematung. Mulutnya seperti terkunci, tak tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar Rere sepeninggalku semenit yang lalu."Pocong! Dia bukan adikmu, Neng!""Gara-gara Rere bakar mukenah itu, Yang! Imel nyesal suruh Rere ngelakuin hal sembarangan. Imel harus cari mukenahnya, kalau tidak, Rere tidak akan berhenti kayak pocong."Eyang masih mematung setelah kuperiksa tak ada luka serius di tubuhnya, hanya saja bekas gigitan di tangannya itu sedikit berdarah. Memar, kehitaman. Besoknya baru Eyang bercerita, seandainya kata Eyang, ia tidak mendorong tubuh Rere sekuat tenaga, gigitan pocong itu tidak akan bisa terlepas. Kodrat manusia yang telah yang meninggal dunia. Ada yang bilang, ketika orang mati saat menggapai kayu penyangga

Bab terbaru

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Extra Part Terakhir (Kesimpulan Cerita)

    Seorang cucu bernama Imelda pulang setelah mendapat sebuah surat dari Eyangnya yang berisi permintaan cuti jelang ramadhan.Kepulangannya menjadi bumerang baru dalam hidup Imel dimana harus melewati malam-malam mengerikan dari teror hantu bermukenah putih. Teror itu berkesinambungan dengan mimpi-mimpi aneh yang seperti scene film selama ia berkiprah di rumah itu. Kian hari ia terus saja mencurigai orang-orang terdekat Eyangnya, termasuk seorang pengasuh rumah Eyangnya, Bibi Lija, yang kerap kali bertingkah aneh juga tiba-tiba meminta cuti. Kematian anak tiri Bibi Lija membuat kecurigaan Imel terhenti, berpindah pada keluarganya yang lain. Kematian itu terus terjadi pada orang-orang disekeliling Imel, sampai ia bertemu dengan seorang montir yang memiliki kemampuan khusus dan berpesan pada Imel agar pelaku teror itu adalah seorang penganut ilmu sesat. Imel kemudian menggali masa lalu buyut dan rumah yang didirikan Eyangnya itu, melalui seorang saksi mata dari tragedi pondok pesantren y

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Sebelum Berangkat Ke Siliwangi Untuk Pertama Kali (Prolog)

    Ombak di sepanjang pesisir Moana mengejar langkah kami yang sedang asyik bermain gobak sodor. Penat karena tenunan bakulku tak jadi-jadi sementara perut sudah keroncongan menunggu Jintang yang masih bergelantungan di atas pohon kelapa. Moana hari itu telah menemani fajar menyingsing ke ufuk barat, angin laut Sumatera tak terdengar riuh karena ada kami yang menggantikannya. Setiap Sabtu sore, memang tempat Jintang ramai dikunjungi siswi-siswi hanya untuk sekadar melepas penat atau ikut menyulam bakul. Termasuk Cici, Cici salah satu siswa yang gemar ikut menenun di bawah pengarahan Nenek Jintang. Perjalanan kota ke kampung Jintang memakan waktu yang tak sedikit. Oleh karena itu, neneknya menyuruh kami menginap karena Jintang masih belum pulih dan belum bisa ikut bekerja di awal pekan nanti. “Cepet, Uda!” teriak Cici berulang kali. “Woi, ini cara turunnya gimana?!” teriak Jintang. Bukan menolong, kami malah tepuk jidat. Kok bisa, bisa manjat tidak bisa turun? Kami terpaksa berpencar

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ektra Part

    Bang Oar terus mengikis jarak dengan langkahnya yang santai. Mata elangnya begitu tajam, membuat sekujur tubuhku seketika menciut di sudut meja. Keheningan sesaat itu meredupkan keberanianku, padahal aku bisa saja berteriak memanggil Oma atau Pakde.“Siapa laki-laki pirang tadi?” tanyanya berlanjut. Aku mencelos saat kedua lengan kokohnya mengunciku di antara meja dan tubuhnya.“Itu … Kawan Mbak Mayang. Bukan siapa-siapa, kami memang ketemu di atas kereta api tapi Imel enggak pernah bilang suka,” balasku tanpa pikir panjang. Karena ia tak bergeming, dengan gesit kudorong dada bidangnya agar segera menjauh. Rupanya dia menahan marah sedari siang hanya gara-gara Bang Burhan. Bang Oar lalu menarik kursi solo setelah berganti baju, ia menyuruhku segera menghabiskan makanan karena adzan Isya sudah berkumandang.Aku menghirup napas lega karena lelaki itu tak menyulitkanku lagi dengan tingkahnya yang menakutkan. Meski rasanya terganggu karena sedari tadi masih saja duduk di ranjang sembari

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Ekrta Part

    "Yang tinggi itu loh, keker badannya. Jenenge, Oar."Bukan senang, aku malah seperti tersambar petir di siang bolong. "Ganteng dari mananya? Brewok begitu kok dibilang ganteng. Imel kan sukanya dibantu saja, dibantu belum bentu cinta Oma."Oma terlihat kesal, "Wes, wes! Tahu opo iki soal cinta? Pokoknya Oma mau kamu duluan nikah dari pada si Hasim biar Mukti iku ngiri hati."Enggak, Imel enggak mau. Oma, Imel mau sekolah aja dibanding nikah sama orang asing.""Orang asing gimana toh kamu sama dia udah jalan bareng ke Talaga Ciung? Sudahlah, Neng, manut kata Oma. Dia itu kata Hasim orang kaya di kampung, disini juga dia punya bengkel gede. Oma yakin dia bisa ngidupin kamu.""Tapi dia sudah tua Oma," tegasku tak mau kalah. Oma malah menoyor jidatku ke belakang."Kamu juga dewasa, Neng. Umurmu dua puluh lebih. Umur bukan masalah, sing penting sama-sama serasi. Kamu cantek, dia tampan."“Eyang dulu enggak pernah noyor Imel!” Napasku memburu begitu liar begitu Oma minggat dari hadapanku ta

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   SELESAI

    "Laki-laki itu cuma nyusahin aku." Aku berasumsi sembari terus mematung, “Dia bilang Pakde ngelarang dia ketemu aku, padahal dia sudah nikah?”Aku tertawa sinis dan mendadak semriwing rasanya, ingin menghilang tapi aku bukan black widow. Rencana aku ingin segera pulang tapi lelaki dewasa itu ternyata sudah menangkap basah keberadaanku. Dia menatapku datar seolah sibuk beradu dengan pikirannya yang menanyakan apa aku demit atau bukan.Karena keadaan terpaksa membuatku akhirnya mendekat. Padahal Bang Oar tidak menyambutku, senyum saja tak ada.“Bang, anu … “Alias tebalnya sedikit terangkat sementara tangan yang tadinya sibuk bermain alat besi kini telah kosong. “Itu … Imel nyari Bang Hasim, disuruhin Oma.”“Kamu dari Mess?”“Imel kirain ada disini.”“Duduk dulu,” tuturnya sembari melempar pandangan ke deret bambu kosong.Kalimatku pun belum sempurna mengucapkan terimakasih tiba-tiba saja ia beranjak masuk, akhirnya, aku hanya bisa menelan air liur. Dari pada dia duduk dan menanyakan me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Surat Eyang

    “Nah, nah, kan. Kamu tuh kalau dikasi tau yo mesti gesit toh, Neng. Kain bertumpuk begitu kamu ora kasihan seandainya Eyangmu masih ada? Jangan malas kamu.” Oma mulai menyenandungkan wejangannya, padahal aku baru selesai cuci piring dan mengepel lantai dapur. Sejujurnya aku tak enak badan, kepalaku masih ingin menyentuh bantal tapi pekerjaan seolah tak ada habis-habisnya.Pinggangku saja sudah mau patah. Bayangkan saja aku harus membersihkan dapur sepanjang delapan meter belum lagi kembali di pel kain basah. Ada sekat sepanjang tiga meter untuk naruh barang mentah dari kampung yang selalu wajib di bersihkan juga. Ingin rasanya aku berteriak ‘capek’ tapi aku tinggal sendiri di rumah ini. Mau mengadu sama siapa lagi?Aku mulai melipat satu persatu baju Eyang dan kainnya. Sebagian cucian lama, sebagian ada yang baru Tanteku cuci. Belum pertengahan tersentuh jariku, tiba-tiba aku terhenti pada sebuah teplok yang menyala kecil di nakas rias Eyang. Dalam hatiku berkata, mungkin Oma yang me

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Rahasia Eyang

    Seketika aku terhenyak, salah tingkah dan akhirnya lari menerobos jejeran kursi di teras rumah. Nasib paling sialnya, kakiku tak sengaja menendang nampan yang di atasnya masih terdapat satu gelas berisi kopi milik tamu.Bapak-bapak juga gerombolan pemuda yang awalnya asik mengobrol tiba-tiba terpaku, hening sebelum 'aku' mengubah segalanya menjadi bising. “Oo … Owwalah Gusti! Kopiku!” pekik salah seorang Bapak yang perutnya gembul. Tergopoh-gopoh ia menolong gelas kopinya yang sudah terjungkal jauh, padahal aku yang seharusnya ditolong. Kakiku terkena air panas.Aku bersungut mencari kain lap agar orang tua itu berhenti berteriak. Sedetik kemudian pandanganku tak sengaja teralih kembali ke semak remang-remang tadi. Disana, Bang Oar masih berdiri, berkacak pinggang sebelah, sembari tertawa kecil. Setelah meminta maaf beribu-ribu kali dan berhasil jadi bual-bualan warga, aku akhirnya pamit ke kamar. Malam itu aku tak ikut pengajian karena Tante Mita menyuruhku istirahat, Wardi juga ik

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Kejujuran Dan Air Mata

    “Abang sudah tahu semuanya?” tanyaku, lantas ia tak bergeming. Keheningan menyelimuti kami sesaat, sampai ketika Bang Hasim melepas rengkuhannya.Lelaki yang sudah tak memakai tongkat ini memperhatikan keriuhan di luar ruangan, ia menerawang sekilas, “Pakde luruskan semuanya, Ayah Ibumu juga meninggal karena sering dihasut sama Eyang. Semua yang mati di rumah ini ulahnya Eyang, ajaran yang ia gandrungi dari Kakung. Tumbal yang berawal kasus sengketa lahan sebelum didirikannya mushalah pondok, dari situ Eyang musti nyiapin nyawa … satu tumbal dari tahun ke tahun.”“Mungkin kehilangan Om Raden Wicaksono sudah bikin Eyang nyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Tumbal sudah nggak bisa dihentikan sampai keturunannya habis. Sebab kekokohan pondok, kursi kejayaan juga tanah dan uang diperoleh dari perjanjian setan berasal dari tali penghubung yang bernama buhul, arwah tumbal hidup senang dalam mukenah yang tergantung di balik kamar.”Aku tiba-tiba ingat ucapan Pakde dihari aku kembali dari Suma

  • JANGAN GANTUNG MUKENAH DI BALIK PINTU   Eyang Tutup Usia

    Tentang kenangan wasiat kecil Eyangku ada di part 34. Sejujurnya waktu itu, ada kecemasan di hatiku mendengar Eyang bercerita banyak tentang kematian.Siliwangi, pertengahan tahun 1987Teriakan kasar dan umpatan dari mulutku sudah di luar kendali, saat Eyang tiba-tiba melambaikan tangan kurang dari jarak dua meter. Sialnya, sesuatu seperti magnet menarikku terus mendekat. Eyang masih memakai sanggul dan kebaya tapi dirinya sudah bukan seperti layaknya ‘Eyang’ yang selama ini bersamaku. Dingin menusuk tulang begitu Eyang mengelus-elusku dengan mimik wajah datar. Kata Paklik, Eyangku sudah tak bisa kembali sadar, begitu seterusnya ia menjalani hari yang suram bersama bayang-bayang keluarganya di masa dulu. Hal itu membuat rasa sakit dan kecewaku semakin besar, aku rasanya ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian kedua orang tuaku. Tubuhku begitu lama semakin ringan, aku ditidurkan Eyang, jangan tanya rasanya seperti apa, sengatan wangi serimpi seperti merobek lobang hidungku

DMCA.com Protection Status