Semua Bab Hasrat Wanita Kedua: Bab 1 - Bab 10

28 Bab

PROLOG

Sambungan telepon tidak dapat membatasi mereka untuk saling menggoda. Keduanya sibuk dengan kegiatan pelepasan hasrat mereka.“Lula, jangan menyiksaku,” kata pria itu di seberang sana.Ah, sepertinya hanya satu orang saja yang sibuk di sana. Sementara satunya, mencoba mempermainkannya di tempat yang berbeda.Segera setelah mendengar suara dari ujung sana, Lula segera mematikan sambungan telepon. Dia mengabaikan permintaan tunangan saudari tirinya itu. Melihat pria itu memohon, Lula begitu senang.Perempuan itu tersenyum simpul dan berkata pada dirinya sendiri, “Mari kita lihat apakah hidup putri kesayangan ayah itu akan sempurna selamanya?”Hanya membayangkan kehancuran hidup keluarga cemara itu, Lula tersenyum puas.
Baca selengkapnya

Tak terlihat

“Jangan pernah menemuiku lagi.”“Kenapa? Aku putrimu. Kenapa aku tidak boleh menemuimu lagi, Dad?”Pria itu berbalik, tangannya masuk ke dalam saku celana kainnya. Helaan napas terdengar samar.“Aku sudah memiliki keluarga lain. Kau harus mengerti, Lula.”“Aku juga keluargamu. Aku putrimu! Apa aku salah menemuimu sebagai anak?”“Salah! Istriku tidak menyukaimu. Dia tidak ingin aku berhubungan dengan masa lalu.”Lula hanya bisa berdecak. “Tapi aku masih anakmu, Dad! Sampai kapan pun, aku akan tetap anakmu. Bukan masa lalu!”“Ini pertemuan terakhir kalinya. Jangan pernah menemuiku lagi atau datang ke rumahku seperti kemarin.”Setelah berkata demikian, pria tua itu pergi begitu saja. Lula tetap memandang punggungnya yang menjauh, matanya memanas, rahangnya mengeras, dan buku jarinya mengepal. “Aku membencimu.”“Lula!”Wanita itu tersentak dari lamunannya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati wanita pirang yang duduk di belakangnya. “Emil?”“Kamu kenapa? Pak Rey memanggilmu sejak tadi. Di
Baca selengkapnya

Berdebar

Di atas kasur, Lula meregangkan tubuhnya. Semalaman, dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Karena Rey, yang terus mendesak, kepalanya semakin pening. Rey meminta pekerjaan diselesaikan malam itu juga, dengan kabar yang mendadak.Wanita itu bangkit dan membenahi rambutnya yang berantakan. Dia menjepit rambutnya dengan jepit berwarna putih dan mengarahkannya ke atas. Lalu, wanita itu turun dari kasur, mengenakan sandalnya menuju ke dapur.Mengingat hari ini adalah hari Minggu, Lula tidak memiliki rencana apa pun selain bersantai di apartemennya. Namun, niat tersebut harus ditunda setelah dia melihat isi kulkas yang kosong, hanya terdapat beberapa botol mineral."Ah, sial. Aku belum berbelanja rupanya."Niat hati untuk bersantai menjadi gagal. Dia harus terpaksa mencari sarapan dan berbelanja bulanan nantinya.Wanita itu kembali naik ke atas, membersihkan diri sebelum pergi berbelanja. Dia berendam di bath up, membasuh rambutnya yang sudah mulai lepek. Setelah tiga puluh menit, dia selesa
Baca selengkapnya

Mabuk

"Dad, aku mau es krim!""Es krim? Putriku mau es krim? Tentu saja. Daddy akan segera membawakannya.""Yeay, terima kasih, Dad!"Pria itu pergi dan kembali dengan membawa es krim untuknya. Anak perempuan tadi yang merengek, menerimanya dan menjadi sangat gembira. Dia dengan senang meraih cone es krim."Terima kasih, Dad! Daddy adalah pahlawan untuk Lula!" teriaknya."Ya, tentu saja."Samar-samar, memori lama itu muncul kembali. Mengapa dia masih merindukannya? Oh, pria itu jelas sudah membuang dirinya. Untuk apa masih merindukannya?Lula memalingkan wajahnya. Dia tidak bisa terus merindukan masa lalunya. Dia harus melanjutkan hidup. Dia tidak membutuhkan siapa pun dalam hidupnya. Dia bisa hidup sendiri.Lula bangkit dan memutuskan untuk pergi. Namun, saat langkahnya bergerak, suara televisi membuatnya terhenti."Saya sangat bangga dengan putri saya. Margareth sangat menyayangi saya. Dia adalah putri tunggal saya, yang sangat saya cintai. Pertunangannya adalah kebahagiaan saya juga, seba
Baca selengkapnya

Menunggu

Lula baru saja membuka pintu apartemennya ketika Emil datang berlari, napasnya tersengal-sengal. Dengan rambut pirang yang sedikit berantakan, Emil tampak terdesak, seperti orang yang ingin segera bicara. "Lula! Tunggu sebentar!" Emil berseru sambil mengatur napasnya. Lula menatap Emil dengan alis terangkat, bingung dengan sikap temannya itu. “Emil? Kenapa kamu di sini? Ada apa?” Emil, yang sudah menenangkan dirinya, meletakkan kedua tangan di pinggangnya, wajahnya penuh tanda tanya dan sedikit marah. “Seharusnya aku yang tanya! Semalam kamu di mana? Kamu enggak pulang, kan?” Lula memiringkan kepala, terkejut dengan pertanyaan itu. "Dari mana kamu tahu aku enggak pulang?" “Siapa lagi kalau bukan Pak Rey!” jawab Emil cepat, nada bicaranya terdengar seperti tuntutan. Mata Lula melebar. “Pak Rey?” Rey, bosnya, mencarinya? Kenapa dia sampai menelepon Emil? “Iya, Rey. Semalam dia nelepon terus, nanya kamu di mana. Dikira aku tahu. Padahal, jelas-jelas kita enggak tinggal bareng. Aneh
Baca selengkapnya

Bertemu dengannya

Lula memeriksa ponselnya, tapi tak ada balasan dari Rey. Sudah hampir setengah jam sejak pria itu memintanya menunggu di kantor. Dia melirik jam di layar laptopnya. Hampir pukul tujuh malam, dan hari mulai gelap. “Kenapa Pak Rey suruh nunggu kalau akhirnya nggak datang juga?” gumam Lula, mulai merasa jengkel. Rasa kesal mulai menguasai pikirannya. Dia sudah selesai dengan pekerjaannya sejak beberapa jam yang lalu, tapi Rey belum kembali. Dia hanya mengiriminya pesan singkat sebelum akhirnya hilang tak ada kabar. Lula juga sudah mengiriminya balasan, namun sampai sskarang Bosnya tak kunjung membalas. Wanita itu akhirnya bangkit dari kursi, dan mengambil tas di meja, lalu dia berjalan keluar kantor. "Mending balik," pikirnya. Dia menyusuri koridor yang kosong. Kantor sudah sepi, hanya beberapa lampu yang masih menyala di ruang-ruang kosong. Lobi pun lengang, satu atau dua staf yang tersisa sudah bergegas pulang. Setelah sampai di basement, Lula segera masuk ke mobilnya dan m
Baca selengkapnya

Mencoba Menggoda?

Mata Lula bertemu dengan sosok pria yang terasa familiar di ingatannya. Ada keterkejutan yang jelas tergambar di wajahnya ketika melihat siapa yang baru saja datang. “Jack! Mengapa kamu terlambat? Mom pikir kamu tidak akan datang karena sibuk dengan pekerjaanmu,” ujar Eve, suaranya mengandung rasa lega sekaligus menuntut. Pria itu tersenyum tipis, sedikit canggung. “Maaf, Mom. Tadi aku hampir lupa. Namun, Ben mengingatkan aku untuk segera pulang. Benar begitu, Ben?” katanya sambil melirik pria di sampingnya. “Tentu saja! Aku selalu menjadi pengingatnya, Mom. Dia memang sudah mulai tua, sepertinya,” sahut Ben dengan nada bercanda. Jack mendengus, kemudian menatap Ben dengan ekspresi tidak suka. “Tutup mulutmu, Ben. Omong kosongmu itu tidak ada gunanya.” Eve tertawa pelan melihat interaksi antara Jack dan Ben. Namun, tatapan Jack tiba-tiba teralih ke sosok lain di meja makan. Ada keheranan di matanya. Dia mengernyit, seakan berusaha mengingat sesuatu. Tanpa berkata apa pun, tatapann
Baca selengkapnya

Lingkar kesempatan

"Sial!" Lula merutuk dalam hati, merasa malu karena baru menyadari bahwa bra-nya terlihat jelas di balik kaos yang dikenakannya. Pakaian yang tadinya rapi, kini rusak gara-gara minuman yang ditumpahkan Eve. Dia keluar dari kamar mandi dengan perasaan tidak nyaman, menundukkan pandangannya saat kembali menuju sofa di ruang tamu. Eve masih duduk di sana, tampak asyik menonton televisi tanpa memperhatikan situasi yang dialami Lula. Merasa sofa di sebelahnya bergoyang, Eve menoleh dengan santai, tersenyum lebar. "Sudah selesai ganti baju?" "Iya, terima kasih," jawab Lula sambil mengusap rambutnya yang sedikit lembab. "Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya,” lanjutnya. Eve tertawa kecil. "Jangan khawatir, nggak perlu buru-buru. Kamu bisa kembalikan kapan pun kamu punya waktu." Lula tersenyum canggung. "Baiklah," katanya, meskipun rasa tidak enak itu belum sepenuhnya hilang. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan memfokuskan perhatian pada televisi di depannya, meski
Baca selengkapnya

Diantar pulang

Malam itu, Lula duduk tenang di kursi penumpang, menyandarkan tubuhnya pada jok kulit yang dingin. Jack, yang berada di balik kemudi, tampak sepenuhnya fokus pada jalan di depan. Udara dalam mobil terasa berat, hampir tidak ada obrolan yang mengalir di antara mereka. Jack tetap diam seperti patung, matanya lurus menatap ke depan. Tak ingin larut dalam suasana hening, Lula memutuskan untuk berbicara. "Terima kasih sudah mau mengantar," katanya dengan nada lembut, berharap bisa membuka percakapan. Namun, Jack tetap diam, seolah tak mendengar ucapannya. Lula menghela napas pelan, merasa tak ada gunanya memaksa. Dia memilih diam, menatap keluar jendela, mengamati gemerlap lampu kota yang berlalu. Meski ada keinginan untuk berbicara lebih banyak, sikap Jack membuatnya mundur. Mereka melaju dalam keheningan hingga tiba-tiba, mobil yang mereka kendarai melambat, kemudian berhenti di pinggir jalan. Lula, yang terkejut, langsung menoleh ke arah Jack, matanya penuh tanda tanya. "Ada apa?" t
Baca selengkapnya

Ciuman Panas

Malam semakin larut, Jack dan Lula terpaksa mencari tempat berteduh ketika hujan turun deras. Mereka berlari menembus derasnya air hujan, hingga akhirnya menemukan sebuah gubug kosong. Basah kuyup dan kedinginan, mereka masuk ke dalam gubug yang sempit dan dingin. Lula mengusap lengannya dengan cepat, berusaha menghangatkan tubuhnya yang basah. Tanpa disadari, gerakan itu memperlihatkan siluet tubuhnya melalui baju yang basah. Jack, yang tak sengaja melihat, menahan napasnya. Pemandangan itu, meski tidak disengaja, memicu dorongan yang tak tertahan dalam dirinya. “Jack, ada apa? Kamu juga kedinginan?” tanya Lula, suaranya terdengar penuh kebingungan di tengah hujan yang deras. “Malam ini sangat dingin sekali. Apalagi setelah menembus hujan deras.” Jack menatap Lula, bukan pada ucapannya, tetapi pada bibirnya yang bergerak lembut. “Iya, udara memang dingin. Tapi, ada sesuatu yang bisa menghangatkannya,” jawab Jack dengan nada penuh makna. Kebingungan melintas di wajah Lula. “Hangat?
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status