Di atas kasur, Lula meregangkan tubuhnya. Semalaman, dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Karena Rey, yang terus mendesak, kepalanya semakin pening. Rey meminta pekerjaan diselesaikan malam itu juga, dengan kabar yang mendadak.
Wanita itu bangkit dan membenahi rambutnya yang berantakan. Dia menjepit rambutnya dengan jepit berwarna putih dan mengarahkannya ke atas. Lalu, wanita itu turun dari kasur, mengenakan sandalnya menuju ke dapur.
Mengingat hari ini adalah hari Minggu, Lula tidak memiliki rencana apa pun selain bersantai di apartemennya. Namun, niat tersebut harus ditunda setelah dia melihat isi kulkas yang kosong, hanya terdapat beberapa botol mineral.
"Ah, sial. Aku belum berbelanja rupanya."
Niat hati untuk bersantai menjadi gagal. Dia harus terpaksa mencari sarapan dan berbelanja bulanan nantinya.
Wanita itu kembali naik ke atas, membersihkan diri sebelum pergi berbelanja. Dia berendam di bath up, membasuh rambutnya yang sudah mulai lepek. Setelah tiga puluh menit, dia selesai dan berganti pakaian yang tidak terlalu formal, hanya hoodie dan celana jeans pendek di atas lutut.
Baru saja dia keluar dari apartemennya, Lula berpapasan dengan Rey, yang kini menjadi tetangga apartemennya.
"Pagi."
Lula yang melihat Rey tersenyum tipis. "Pagi, Pak Rey. Bapak sudah mulai pindah?"
Rey terlihat mengangguk. "Kemarin. Saya kebetulan baru saja jalan-jalan di sekitar. Kamu mau ke mana dengan tas sebesar itu?"
Lula melirik tas yang dia pegang. "Oh ini, saya mau berbelanja kebutuhan bulanan, Pak. Sekalian mau cari sarapan."
"Kebetulan sekali. Saya juga belum sarapan. Bagaimana kalau kita cari sarapan bersama? Saya tadi lihat di ujung sana ada bubur ayam. Kamu suka?"
Lula tersenyum canggung. “Em, suka, Pak.”
"Ya sudah, ayo!"
Lula menahan Rey untuk bergerak dari posisinya. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Pak, sepertinya saya tidak bisa. Saya akan berbelanja terlebih dahulu, baru sarapan."
"Ya sudah. Lagian saya juga bisa ikut berbelanja. Saya kan baru pindah ke apartemen. Sekalian saja. Kita naik mobil saya saja. Ayo!"
Rey pergi meninggalkan Lula yang terbengong. "Kok malah jadi begini?"
—---
Di dalam mobil, Lula terdiam. Rasa canggung menyelimutinya, meski Rey beberapa kali mencoba mengajak berbincang. Pikirannya masih memikirkan situasi yang menjebaknya seperti ini.
"Saya minta maaf."
Lula menoleh ke sisi kanan, di mana Rey mengemudikan mobil. "Minta maaf kenapa, Pak?"
"Membebani kamu. Semalam saya terus mendesak kamu untuk menyelesaikan proposal."
Lula tersenyum tipis. "Jangan minta maaf, Pak. Itu sudah tugas saya untuk menyelesaikan pekerjaan. Saya dibayar untuk bekerja. Wajar sih, Pak."
Mendengar jawaban Lula, Rey tersenyum. Lula melihat senyuman pria itu sangat manis, terutama lesung pipitnya. Rey, atasannya itu sangat tampan. Lula tidak bisa menipu dirinya sendiri bahwa atasannya sangat menarik, meskipun ada beberapa isu menyebalkan saat bekerja.
"Sudah sampai."
Lula yang masih menatap Rey, tidak menyadari pria itu berbicara. Melihat wanita itu melamun, Rey mendekatkan tangannya di depan wajah Lula, dan menggerakkannya ke atas dan ke bawah seperti melambai.
"Kamu melamun?"
Teguran Rey berhasil membuat Lula tersadar. Dia menggaruk tengkuknya dan memalingkan wajah yang pasti memerah. "Ah, maaf, Pak. Saya sedikit kurang fokus."
"Tidak apa-apa. Ayo, turun. Sudah sampai."
"Iya, Pak."
Keduanya turun dan mulai memasuki mall. Lula mendekati troli dan mencoba menariknya. Namun, dia mengalami kesulitan.
Rey, melihat Lula kesulitan, sigap mendekat. Tangan pria itu dengan cepat mengambil alih troli dan menariknya. Terlihat dari satu sisi, Rey mengelilingi tubuh Lula ketika pria itu membantunya.
Lula tertegun, menyadari posisi mereka yang begitu dekat. Dia meneguk saliva dengan gugup. "Lain kali, bilang kalau merasa kesulitan. Jangan sungkan, La."
Senyuman Rey sangat manis. Bahkan, debaran di dadanya semakin menggelora. Semua ini karena ulah Rey, membuat Lula merasa gugup dan salah tingkah.
Rey, yang masih tersenyum, tertawa tipis melihat Lula yang tegang. Dengan gemas, Rey mengelus rambut Lula pelan. "Jangan terlalu sering melamun. Tidak baik."
Kemudian, pria itu menarik diri dan mengambil trolinya, mendorongnya lebih dahulu meninggalkan Lula.
"Gawat. Pak Rey bisa membuatku gila!" gumam Lula khawatir.
Wanita itu menggelengkan kepalanya. Dia harus sadar, tidak seharusnya dia merona hanya karena Rey.
Lula melangkah dan menyusul pria itu dengan trolinya. Terlihat, Rey sedang mengambil beberapa barang dan memasukkannya ke dalam trolinya. Begitu juga dengan Lula, dia melakukan hal yang sama.
Saat Lula sedang melihat harga barang, Rey mendekat. Pria itu menyodorkan dua produk di depan Lula.
"Menurut kamu, yang mana lebih harum, yang kanan atau kiri? Saya ingin mencoba wangi yang berbeda. Parfum yang lama sudah bosan."
"Parfum, Pak? Boleh saya coba aroma aromanya?"
"Tentu."
Rey memberikan salah satu parfum terlebih dahulu kepada Lula. Wanita itu menerimanya dan menyemprotkan ke tangannya, lalu mencium aromanya. Parfum pertama yang Rey berikan harum sekali. Lula menyukainya.
"Bau parfum ini sangat enak. Saya suka, aroma kayu cendanya kuat. Terkesan sangat maskulin jika Bapak menggunakannya. Apalagi, tidak hanya itu. Saya menghirup aroma mint yang tidak membuat pusing ketika digunakan. Pasti Bapak juga akan suka—"
Belum selesai Lula berbicara, tangannya sudah ditarik oleh Rey. Rey mendekatkan tangan wanita itu dua sentimeter di depan hidungnya dan menghirupnya.
"Benar kata kamu. Saya suka."
Lula bisa merasakan sapuan napas pria itu di kulitnya. Sapuan napas Rey membuat Lula menahan napas sejenak.
Rey menarik dirinya, melepaskan tangan Lula. "Saya ambil yang ini saja."
"Tapi yang satunya—"
Rey mengembalikan parfum satunya dan memasukkan parfum yang pertama ke dalam trolinya. "Saya terlanjur suka. Saya tidak akan membandingkan dengan yang lainnya karena percuma. Saya akan kembali ke pilihan pertama."
Lula mengerjapkan matanya. Rey cukup aneh baginya. Jika dia menyuruh wanita itu membandingkan, lalu kenapa hanya satu yang dia coba hirup? Bukankah itu bukan sebuah opsi?
***
Sebelum pulang, Rey memaksa Lula untuk makan. Kebetulan mereka berhenti di salah satu restoran Nusantara yang cukup nyaman dan tidak terlalu ramai. Duduk saling berhadapan, hanya terpisah oleh hidangan yang sudah tersaji di antara keduanya.
"Kamu sudah berapa lama bekerja di perusahaan saya?" tanya Rey tiba-tiba.
Lula yang sedang minum, menoleh ke arah Rey. "Bapak tanya berapa lama?"
Rey dengan santai mengangguk. "Iya."
"Serius? Bapak tidak tahu? Saya karyawan Bapak loh. Masa tidak ingat?"
"Pekerja saya kan tidak hanya kamu saja, tapi ribuan. Masa saya harus menghafal berapa lama kalian mengabdi di perusahaan saya? Tidak kan?"
"Saya sudah lumayan lama. Dari sebelum kenaikan gaji, sampai gajinya akhirnya naik," kata Lula sambil tersenyum.
"Oh iya? Berarti sudah ada dua tahunan, La?"
"Lebih sih, Pak."
"Kamu suka saya?" tanya Rey tiba-tiba.
"Uhuk!"
Lula tersedak mendengar pertanyaan tersebut. "Su— suka?"
Rey tersenyum. "Maksud saya, kamu suka saya sebagai atasan kamu?"
Lula menggigit bibir bawahnya dan tersenyum. Baru saja dia hampir salah paham. Tapi Rey sudah menjelaskan terlebih dahulu.
"Oh, suka-suka saja sih, Pak."
"Terima kasih. Silakan lanjutkan makanan kamu. Maaf jika saya menyela," ujar Rey sambil tersenyum.
Lula yang merasa canggung hanya menunduk dan kembali melanjutkan makannya. "Tidak apa-apa, Pak," ujarnya pelan.
"Pak Rey memang kadang membuat jantung berdebar. Heran..."
"Dad, aku mau es krim!""Es krim? Putriku mau es krim? Tentu saja. Daddy akan segera membawakannya.""Yeay, terima kasih, Dad!"Pria itu pergi dan kembali dengan membawa es krim untuknya. Anak perempuan tadi yang merengek, menerimanya dan menjadi sangat gembira. Dia dengan senang meraih cone es krim."Terima kasih, Dad! Daddy adalah pahlawan untuk Lula!" teriaknya."Ya, tentu saja."Samar-samar, memori lama itu muncul kembali. Mengapa dia masih merindukannya? Oh, pria itu jelas sudah membuang dirinya. Untuk apa masih merindukannya?Lula memalingkan wajahnya. Dia tidak bisa terus merindukan masa lalunya. Dia harus melanjutkan hidup. Dia tidak membutuhkan siapa pun dalam hidupnya. Dia bisa hidup sendiri.Lula bangkit dan memutuskan untuk pergi. Namun, saat langkahnya bergerak, suara televisi membuatnya terhenti."Saya sangat bangga dengan putri saya. Margareth sangat menyayangi saya. Dia adalah putri tunggal saya, yang sangat saya cintai. Pertunangannya adalah kebahagiaan saya juga, seba
Lula baru saja membuka pintu apartemennya ketika Emil datang berlari, napasnya tersengal-sengal. Dengan rambut pirang yang sedikit berantakan, Emil tampak terdesak, seperti orang yang ingin segera bicara. "Lula! Tunggu sebentar!" Emil berseru sambil mengatur napasnya. Lula menatap Emil dengan alis terangkat, bingung dengan sikap temannya itu. “Emil? Kenapa kamu di sini? Ada apa?” Emil, yang sudah menenangkan dirinya, meletakkan kedua tangan di pinggangnya, wajahnya penuh tanda tanya dan sedikit marah. “Seharusnya aku yang tanya! Semalam kamu di mana? Kamu enggak pulang, kan?” Lula memiringkan kepala, terkejut dengan pertanyaan itu. "Dari mana kamu tahu aku enggak pulang?" “Siapa lagi kalau bukan Pak Rey!” jawab Emil cepat, nada bicaranya terdengar seperti tuntutan. Mata Lula melebar. “Pak Rey?” Rey, bosnya, mencarinya? Kenapa dia sampai menelepon Emil? “Iya, Rey. Semalam dia nelepon terus, nanya kamu di mana. Dikira aku tahu. Padahal, jelas-jelas kita enggak tinggal bareng. Aneh
Lula memeriksa ponselnya, tapi tak ada balasan dari Rey. Sudah hampir setengah jam sejak pria itu memintanya menunggu di kantor. Dia melirik jam di layar laptopnya. Hampir pukul tujuh malam, dan hari mulai gelap. “Kenapa Pak Rey suruh nunggu kalau akhirnya nggak datang juga?” gumam Lula, mulai merasa jengkel. Rasa kesal mulai menguasai pikirannya. Dia sudah selesai dengan pekerjaannya sejak beberapa jam yang lalu, tapi Rey belum kembali. Dia hanya mengiriminya pesan singkat sebelum akhirnya hilang tak ada kabar. Lula juga sudah mengiriminya balasan, namun sampai sskarang Bosnya tak kunjung membalas. Wanita itu akhirnya bangkit dari kursi, dan mengambil tas di meja, lalu dia berjalan keluar kantor. "Mending balik," pikirnya. Dia menyusuri koridor yang kosong. Kantor sudah sepi, hanya beberapa lampu yang masih menyala di ruang-ruang kosong. Lobi pun lengang, satu atau dua staf yang tersisa sudah bergegas pulang. Setelah sampai di basement, Lula segera masuk ke mobilnya dan m
Mata Lula bertemu dengan sosok pria yang terasa familiar di ingatannya. Ada keterkejutan yang jelas tergambar di wajahnya ketika melihat siapa yang baru saja datang. “Jack! Mengapa kamu terlambat? Mom pikir kamu tidak akan datang karena sibuk dengan pekerjaanmu,” ujar Eve, suaranya mengandung rasa lega sekaligus menuntut. Pria itu tersenyum tipis, sedikit canggung. “Maaf, Mom. Tadi aku hampir lupa. Namun, Ben mengingatkan aku untuk segera pulang. Benar begitu, Ben?” katanya sambil melirik pria di sampingnya. “Tentu saja! Aku selalu menjadi pengingatnya, Mom. Dia memang sudah mulai tua, sepertinya,” sahut Ben dengan nada bercanda. Jack mendengus, kemudian menatap Ben dengan ekspresi tidak suka. “Tutup mulutmu, Ben. Omong kosongmu itu tidak ada gunanya.” Eve tertawa pelan melihat interaksi antara Jack dan Ben. Namun, tatapan Jack tiba-tiba teralih ke sosok lain di meja makan. Ada keheranan di matanya. Dia mengernyit, seakan berusaha mengingat sesuatu. Tanpa berkata apa pun, tatapann
"Sial!" Lula merutuk dalam hati, merasa malu karena baru menyadari bahwa bra-nya terlihat jelas di balik kaos yang dikenakannya. Pakaian yang tadinya rapi, kini rusak gara-gara minuman yang ditumpahkan Eve. Dia keluar dari kamar mandi dengan perasaan tidak nyaman, menundukkan pandangannya saat kembali menuju sofa di ruang tamu. Eve masih duduk di sana, tampak asyik menonton televisi tanpa memperhatikan situasi yang dialami Lula. Merasa sofa di sebelahnya bergoyang, Eve menoleh dengan santai, tersenyum lebar. "Sudah selesai ganti baju?" "Iya, terima kasih," jawab Lula sambil mengusap rambutnya yang sedikit lembab. "Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya,” lanjutnya. Eve tertawa kecil. "Jangan khawatir, nggak perlu buru-buru. Kamu bisa kembalikan kapan pun kamu punya waktu." Lula tersenyum canggung. "Baiklah," katanya, meskipun rasa tidak enak itu belum sepenuhnya hilang. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan memfokuskan perhatian pada televisi di depannya, meski
Malam itu, Lula duduk tenang di kursi penumpang, menyandarkan tubuhnya pada jok kulit yang dingin. Jack, yang berada di balik kemudi, tampak sepenuhnya fokus pada jalan di depan. Udara dalam mobil terasa berat, hampir tidak ada obrolan yang mengalir di antara mereka. Jack tetap diam seperti patung, matanya lurus menatap ke depan. Tak ingin larut dalam suasana hening, Lula memutuskan untuk berbicara. "Terima kasih sudah mau mengantar," katanya dengan nada lembut, berharap bisa membuka percakapan. Namun, Jack tetap diam, seolah tak mendengar ucapannya. Lula menghela napas pelan, merasa tak ada gunanya memaksa. Dia memilih diam, menatap keluar jendela, mengamati gemerlap lampu kota yang berlalu. Meski ada keinginan untuk berbicara lebih banyak, sikap Jack membuatnya mundur. Mereka melaju dalam keheningan hingga tiba-tiba, mobil yang mereka kendarai melambat, kemudian berhenti di pinggir jalan. Lula, yang terkejut, langsung menoleh ke arah Jack, matanya penuh tanda tanya. "Ada apa?" t
Malam semakin larut, Jack dan Lula terpaksa mencari tempat berteduh ketika hujan turun deras. Mereka berlari menembus derasnya air hujan, hingga akhirnya menemukan sebuah gubug kosong. Basah kuyup dan kedinginan, mereka masuk ke dalam gubug yang sempit dan dingin. Lula mengusap lengannya dengan cepat, berusaha menghangatkan tubuhnya yang basah. Tanpa disadari, gerakan itu memperlihatkan siluet tubuhnya melalui baju yang basah. Jack, yang tak sengaja melihat, menahan napasnya. Pemandangan itu, meski tidak disengaja, memicu dorongan yang tak tertahan dalam dirinya. “Jack, ada apa? Kamu juga kedinginan?” tanya Lula, suaranya terdengar penuh kebingungan di tengah hujan yang deras. “Malam ini sangat dingin sekali. Apalagi setelah menembus hujan deras.” Jack menatap Lula, bukan pada ucapannya, tetapi pada bibirnya yang bergerak lembut. “Iya, udara memang dingin. Tapi, ada sesuatu yang bisa menghangatkannya,” jawab Jack dengan nada penuh makna. Kebingungan melintas di wajah Lula. “Hangat?
Lula terbangun lebih awal dari biasanya, terkejut oleh bunyi alarm yang memekakkan telinga. Dengan mata setengah terpejam, dia meraih tombol pematikan dan mematikan bunyi nyaring itu, mengusir rasa kantuk dan memaksa dirinya untuk bergerak. Pagi ini, dia merasa harus memberikan yang terbaik—dan dia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang penuh tantangan. Dengan malas, dia menuju kamar mandi. Air dingin yang menyentuh wajahnya membantu mengusir sisa-sisa kelelahan dari tubuhnya. Sambil mengeringkan wajah, dia memikirkan penampilannya hari ini, berusaha memastikan bahwa dia siap menghadapi segala sesuatu dengan percaya diri. Di depan cermin, Lula berdiri dengan tangan memegang sisir, menata rambutnya dengan hati-hati. Hari ini, dia memilih tampilan yang berbeda. Ujung rambut pirangnya yang biasanya lurus dia curly untuk memberikan tampilan yang lebih segar dan elegan. Hasilnya adalah gelombang lembut yang mengalir di sekitar wajahnya. Setelah selesai, dia memoles wajahnya den
Lula menghela napas lega saat roda pesawat menyentuh landasan. Perjalanan dinas bersama Jack selama beberapa hari terakhir benar-benar menguras energi dan pikirannya. Meski pekerjaannya belum selesai sepenuhnya, ada rasa nyaman saat tahu dirinya kembali ke rumah. Ketika keluar dari pintu kedatangan, pandangannya langsung tertuju pada sosok Emily yang berdiri di antara kerumunan, melambai dengan senyum lebarnya. “Lula! Akhirnya kamu pulang juga!” seru Emily sambil menghampirinya, tanpa basa-basi langsung mengambil alih koper yang Lula tarik. “Gimana perjalananmu sama Pak Jack? Capek banget, ya?” Lula mengangguk sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang tampak jelas di wajahnya. “Lumayan. Banyak hal yang harus dicek di lapangan, tapi ya, semuanya berjalan lancar.” Emily menaikkan alis sambil menatap Lula dengan ekspresi menggoda. “Oh, lancar ya? Seru dong jalan bareng bos ganteng?” Lula mendengus kecil, malas menanggapi. “Seru apanya, Em? Aku ikut cuma b
Saat Lula terbangun keesokan paginya, cahaya matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai, langsung menyilaukan matanya. Ia mengerjap, perlahan menyadari bahwa selimut yang membungkus tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya.Memandang sekeliling, kepalanya masih terasa kabur. Matanya terarah pada sosok Jack yang terbaring di sampingnya, tidur dengan tenang, napasnya teratur. Wajahnya tampak damai, tapi justru itu yang membuat jantung Lula berdetak lebih cepat.Lula perlahan bangkit, merubah posisinya dan menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. Rasa sakit di kepalanya semakin terasa, dan ia mengerang pelan, mencoba menenangkan diri.Namun, saat matanya menyapu tubuhnya sendiri, ia terkejut. Di bawah selimut, dia tidak mengenakan apapun. Tubuh polosnya hanya terbungkus oleh selimut yang dia gunakan."Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya, gelisah.Lalu matanya kembali tertuju pada Jack yang masih terlelap. Tanpa sadar, pikirannya langsung melompat pada kemungkinan terburuk."Apa,
Lula memandang Jack di seberangnya, seolah waktu di antara mereka melambat. Kehangatan anggur yang mengalir dalam tubuhnya memberinya keberanian lebih. Wanita tak sadar, bahwa dia terlalu banyak minum malam ini. Kepalanya terasa sakit, sedikit berdenyut, dan dia mulai merasa pusing. Pandangannya lambat laun mulai mengabur, membuatnya kesal. “Sepertinya aku terlalu banyak minum,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Tanpa disadarinya, Jack sudah ada di sampingnya, menatapnya dengan khawatir. Dia menatap Lula dengan penuh kelembutan, hingga membuatnya kehilangan kata. Lula dapat merasakan kehangatan napas Jack menyapu di pipinya. Wanita itu terkekeh menatapnya. Jemarinya terulur menekan pipi pria itu.“Kenapa dunia begitu tidak adil padaku?” Lula mengeluh, nada suaranya mencerminkan rasa frustrasinya.Pria itu hanya membiarkannya meluapkan emosi, hingga ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya yang membuatnya terdiam.“Terkadang bibir ini berbicara sembarangan. Aku tidak menyukainya!”
Lula mencoba menenggelamkan perasaannya yang campur aduk dan berusaha fokus pada menu yang telah disiapkan Jack. Saat piring berisi hidangan mulai disajikan, aroma menggugah selera menyeruak ke udara. Makanan itu terlihat cantik, dihias dengan rapi dan menggiurkan.“Ini adalah salad dengan dressing lemon dan ikan salmon panggang,” kata Jack, menunjuk ke piring. “Dan untuk pencuci mulut, kami punya kue coklat yang sangat lezat.”Lula mengangguk, berusaha menikmati hidangan tersebut. Namun, saat dia mengambil suap pertama, dia membulatkan matanya. Hidangan ini sangat lezat.“Bagaimana rasanya?” tanya Jack, matanya tajam menilai reaksinya.“Rasanya enak,” jawab Lula dengan senyum yang dipaksakan. “Salad ini segar, dan salmonnya dimasak dengan sempurna.”“Baguslah,” kata Jack, tampak puas. “Saya ingin kamu memberi tahu saya secara jujur tentang semuanya. Ini adalah langkah dalam pengembangan resort.”“Baik. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan masukan, Pak,” jawab Lula samb
Gladys terbangun dengan kepala yang terasa berat. Dia mengerutkan kening sambil memijat pelipisnya, merasakan kehangatan dari dalam selimut tebal yang menutupi tubuh telanjangnya. Di sampingnya, lengan Rey masih melingkar di pinggangnya. Gladys membuka mata dan mendapati wajah Rey yang terlelap di dekatnya. Dia mendesah dalam hati, bertanya-tanya apakah keputusan ini benar. Dengan hati-hati, ia berusaha untuk melepaskan lengan Rey yang menahannya. Namun, lengan itu terasa menempel erat, seolah enggan untuk dilepaskan. Rey, yang merasa gerakan tersebut, membuka matanya. Maniknya menatap Gladys dengan senyuman lembut. “Selamat pagi,” ucapnya dengan suara parau. “Aku harus pergi. Singkirkan tanganmu,” kata Gladys dengan nada tegas, berusaha menyembunyikan rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Gladys terus berusaha melepaskan diri, namun Rey tetap menahannya. “Kenapa terburu-buru? Masih pagi, Dis,” katanya, suaranya santai dan tenang. “Kau gila?! Bagaimana jika Eve datang tiba-tib
“Halo Jack?” “Hai, apa kabar?” Gladys memejamkan matanya, merasakan detak jantungnya berdetak cepat. Dia takut Jack akan mencurigai sesuatu. “Dis, kamu baik-baik saja?” “Ah, ya, tentu. Aku baik-baik saja, Jack. Ada apa? Ada masalah di sana?” “Tidak. Aku hanya merindukan kamu, Dis.” “Aku juga sangat merindukanmu. Setelah semuanya beres, mari kita bertemu dan melepas rindu.” “Ya, tentu saja. Mari kita bertemu.” “Um, Jack, sepertinya aku harus menutup telepon ini. Aku akan menghubungimu nanti.” “Baiklah. Aku mencintaimu, Dis.” “Aku lebih mencintaimu.” Beep! Gladys menggenggam teleponnya, meremasnya dengan gugup. Dia merasa bingung dan tertekan, merasa seolah telah mengkhianati Jack. Tiba-tiba, tubuhnya dirangkul dari belakang. Mata Gladys melebar, dan dia segera berbalik. Tangannya menahan tubuh yang mendekat. “Rey?!” Rey masih menjaga jarak, namun tatapannya tetap lekat pada Gladys, dengan tangannya melingkar di pinggangnya. “Aku mencintaimu.” Gladys mengerutkan kening,
Penerbangan panjang yang melelahkan akhirnya berakhir. Lula bergerak cepat menuruni tangga pesawat, mengikuti langkah besar Jack yang telah lebih dulu turun. Honolulu, kota yang indah ini, menawarkan pemandangan menakjubkan dengan langit biru cerah dan udara tropis yang segar. Siapa yang tidak ingin mengunjungi tempat seperti ini? Bagaikan Bali di negara bagian Hawaii, keindahannya memikat setiap mata yang melihat. Setibanya mereka di bandara, seorang pria berpakaian rapi dengan name-tag bertuliskan “Billi” menghampiri mereka. “Selamat pagi, Pak Jack,” sapanya dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Billi. Apa hotel sudah siap?” tanya Jack. “Ya, Pak. Semua yang Bapak minta sudah disiapkan. Saya di sini untuk menjemput dan mengantar ke hotel,” jawab Billi dengan penuh percaya diri. Billi dengan sigap mengambil alih koper yang sebelumnya dipegang oleh Jack. Dia sedikit menoleh ke arah Lula, “Boleh saya bantu membawa koper Nona juga?” “Ah, tidak perlu. Saya bisa membawanya sendiri,”
Lula membiarkan senyumnya tetap tergambar di wajahnya. Ada sesuatu yang terasa aneh di hatinya sejak malam tadi. Perasaan itu asing, tapi juga menyenangkan. Lula tidak tahu pasti, namun ada kebahagiaan yang menggelitik jiwanya. Kebahagiaan seperti apa? Bahkan dia sendiri tidak mampu mendefinisikannya. Ketika Emil tiba-tiba muncul, dia langsung mengernyitkan alisnya, heran melihat Lula yang terlihat melamun sambil tersenyum sendirian. “La! Kenapa senyum-senyum enggak jelas?” Tersentak oleh suara sahabatnya, Lula mengangkat wajahnya dan menatap Emil yang kini berdiri di dekatnya. “Enggak apa-apa, Mil,” jawab Lula sambil melirik ke arah sahabatnya. Emil mengerutkan dahi, masih tidak percaya. “Hah? Aneh, deh kamu!” Emil kemudian duduk di samping Lula, menyilangkan kakinya sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Rasanya, aku pengen ambil cuti.” Lula menoleh, keningnya berkerut bingung. “Cuti? Buat apa, Mil?” Emil mendesah panjang, sebelum menjawab dengan nada datar, “Pengen n
Lula membiarkan matanya menjelajahi setiap sudut apartemen Jack, merasa terkesan oleh keteraturan dan kerapian yang ada di dalamnya. Segalanya tampak tersusun dengan sempurna, mencerminkan karakter Jack yang selalu perfeksionis. Suasana ruangan itu begitu tenang dan terorganisir, seolah semuanya berada di tempat yang seharusnya. “Dia sungguh luar biasa,” pikir Lula dalam hati sambil menatap sebuah foto yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Jack berdiri bersama keluarganya—Eve dan Tante Camila. Meski pertemuan mereka singkat, Lula mengenal mereka cukup baik untuk merasa akrab dengan sosok-sosok di dalam foto itu. Suara langkah Jack memecah keheningan. Napasnya sedikit berat ketika ia muncul dari balik pintu, membawa sesuatu di tangannya. "Apakah ini ponselmu?" tanyanya dengan nada datar, memperlihatkan ponsel yang digenggamnya. Lula menoleh dan mengangguk pelan. “Ya, itu milikku.” Jack mendekat dan menyerahkan ponsel itu. “Ambil.” Senyum tipis terbentuk di bibir Lula saat men