Menunggu

Lula baru saja membuka pintu apartemennya ketika Emil datang berlari, napasnya tersengal-sengal. Dengan rambut pirang yang sedikit berantakan, Emil tampak terdesak, seperti orang yang ingin segera bicara.

"Lula! Tunggu sebentar!" Emil berseru sambil mengatur napasnya.

Lula menatap Emil dengan alis terangkat, bingung dengan sikap temannya itu. “Emil? Kenapa kamu di sini? Ada apa?”

Emil, yang sudah menenangkan dirinya, meletakkan kedua tangan di pinggangnya, wajahnya penuh tanda tanya dan sedikit marah. “Seharusnya aku yang tanya! Semalam kamu di mana? Kamu enggak pulang, kan?”

Lula memiringkan kepala, terkejut dengan pertanyaan itu. "Dari mana kamu tahu aku enggak pulang?"

“Siapa lagi kalau bukan Pak Rey!” jawab Emil cepat, nada bicaranya terdengar seperti tuntutan.

Mata Lula melebar. “Pak Rey?” Rey, bosnya, mencarinya? Kenapa dia sampai menelepon Emil?

“Iya, Rey. Semalam dia nelepon terus, nanya kamu di mana. Dikira aku tahu. Padahal, jelas-jelas kita enggak tinggal bareng. Aneh banget, ya?" Emil mendengus, jelas merasa terganggu oleh telepon yang tak henti-henti itu.

Lula terdiam. Bagaimana Rey tahu dia tidak pulang? Kenapa Rey peduli? Pikiran Lula berputar, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mendadak muncul. Tapi di tengah kebingungannya, Emil sudah menerobos masuk ke apartemen tanpa menunggu diundang. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa, seolah rumah itu miliknya.

"Gila, sih! Gara-gara si Rey, aku enggak bisa tidur semalaman. Dia nelepon setiap jam cuma buat nanya kamu sudah balik atau belum. Aku sampai capek menjawabnya!" keluh Emil, ekspresinya tak lagi bisa menyembunyikan kekesalan.

Lula hanya berdiri, tak tahu harus merespons apa. Perlahan, ia menutup pintu apartemennya dan berjalan menuju Emil, duduk di kursi di depannya. Namun, Emil tak puas hanya dengan Lula yang diam saja.

"Jadi, kamu beneran enggak pulang semalam?" Emil mendesak, alisnya terangkat, seolah takkan puas sebelum mendapat jawaban yang jelas.

Lula menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Mabuk," katanya singkat.

Emil memicingkan matanya, seakan menunggu penjelasan lebih. "Terus, tidur di mana? Jangan bilang ONS sama orang asing!" godanya sambil menaikkan kedua alis dengan gaya menggoda.

Lula hanya memutar mata, merasa malas dengan dugaan Emil yang berlebihan. "ONS? Enggak, Emil! Jangan gila."

"Terus?" Emil masih mendesak, kali ini nadanya lebih serius. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Lula.

"Aku memang mabuk, tapi enggak sampai ONS segala. Pikiran aku kemarin benar-benar kacau, jadi aku butuh pelampiasan. Aku pergi ke bar dan minum sampai benar-benar hilang kendali," Lula mengakui, meski ada nada enggan dalam suaranya.

Lula mengambil jeda sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Aku minum terlalu banyak sampai enggak sadar lagi. Karena sudah hampir pagi dan bar mau tutup, pria itu membawaku pergi.”

Emil menatapnya penuh selidik. “Pria itu? Siapa? Apa dia nolong atau pura-pura nolong?”

Lula mendesah frustrasi. "Dia nolong. Bawa aku ke apartemennya karena dompetku jatuh di kamar mandi. Dia bilang enggak bisa menemukan identitasku, jadi enggak ada yang bisa dihubungi untuk menjemput aku."

Emil tersenyum tipis, jelas tertarik dengan cerita yang Lula bagikan. Ia mendekat sedikit, wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Terus? Kalian kenalan, dong?"

Lula memutar bola matanya, sedikit jengkel dengan pertanyaan itu. "Enggak sempat. Dia ada urusan mendadak keluar kota, jadi setelah malam itu, kami enggak ketemu lagi."

Emil mendecih. "Oh sial! Aku sudah membayangkan kayak di film-film, loh. Semua adegan yang kamu ceritakan terdengar seperti plot cerita romansa."

"Kita hidup di dunia nyata, Mil. Ini bukan film," balas Lula datar.

"Yah, siapa yang tahu? Mungkin hidup kamu memang punya plot dramatis seperti di film," kata Emil sambil tertawa kecil.

Lula hanya tersenyum tipis, tak ingin melanjutkan diskusi yang menurutnya mulai melelahkan. "Terserah kamu deh, Mil. Sekarang aku beneran capek. Mending kamu pulang."

Emil memasang wajah pura-pura tersinggung. “Baru sampai sudah disuruh pulang. Oke deh, besok kita ketemu di kantor. Sampai jumpa!” katanya sambil bangkit berdiri, melambaikan tangan sebelum meninggalkan apartemen Lula.

Lula masih duduk di kursinya, matanya menerawang. Apa yang sebenarnya diinginkan Rey? Kenapa dia mencarinya begitu gigih?

————-

Malam itu, di sebuah restoran mewah, dua gelas wine beradu pelan, menghasilkan suara dentingan yang lembut. Alunan musik biola mengiringi suasana yang romantis, sempurna untuk sebuah makan malam yang penuh keintiman.

"Kamu suka?" tanya Jack sambil tersenyum hangat pada Gladys yang duduk di depannya.

Gladys tersenyum manis, matanya berbinar-binar. "Terima kasih, Jack. Ini benar-benar indah! Aku sampai enggak tahu harus bilang apa."

Jack menatap tunangannya dengan penuh kasih. "Aku ingin setiap momen kita bersama terasa spesial, Dis. Kita jarang bertemu, jadi aku ingin membuatnya berkesan."

"Aku senang sekali, Jack. Terima kasih sudah menyiapkan semua ini."

"Selama kamu bahagia, itu sudah cukup buatku," jawab Jack, senyumnya tak pernah luntur dari wajahnya.

Mereka berdua melanjutkan makan malam dengan obrolan ringan, namun Jack tak bisa menahan diri untuk sesekali mencuri pandang ke arah Gladys. Tunangannya yang cantik itu selalu membuatnya terpesona, dan malam ini tidak terkecuali. Gladys, yang menyadari Jack terus memandanginya, hanya bisa tersipu malu.

"Jangan pandangi aku seperti itu, Jack. Aku jadi malu," katanya dengan senyum tipis.

Jack tertawa kecil. "Aku cuma melihat calon istriku sendiri. Apa salahnya?"

Gladys mendesah, tapi senyumnya tetap manis. "Jack, kita akan menghabiskan malam ini bersama. Apa itu belum cukup?"

"Satu malam tentu saja enggak cukup, Dis. Kita terlalu jarang bertemu. Bahkan dalam setahun, kita bisa menghitung pertemuan kita dengan jari," Jack mengeluh, kali ini nada suaranya sedikit lebih serius.

Gladys menunduk, merasa berat dengan kata-kata Jack. "Aku tahu keadaan ini sulit, tapi kamu tahu aku belum bisa berhenti bekerja. Aku mencintai pekerjaanku, Jack."

Jack terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Aku mengerti, Dis. Aku hanya... merindukanmu," katanya dengan suara yang lembut namun penuh kerinduan.

—

Lula menatap layar laptopnya dengan lega. Pekerjaannya akhirnya selesai, dan ia bersiap untuk pulang. Tapi sebelum sempat berkemas, suara langkah kaki Rey terdengar mendekat.

“Setelah ini, jangan pulang dulu. Saya ingin bicara,” kata Rey tiba-tiba, suaranya tegas.

Lula mendongak, sedikit terkejut. "Ada apa ya, Pak?"

“Saya akan kembali dalam lima belas menit. Tunggu di sini.” Tanpa menunggu jawaban, Rey segera bergegas pergi, meninggalkan Lula yang hanya bisa menghela napas.

"Seharusnya aku sudah pulang," gumamnya kesal, meletakkan kepala di atas meja. Lima belas menit berlalu, namun Rey belum juga kembali. Lula merasa waktunya terbuang sia-sia.

Akhirnya, ia meraih ponsel dan mengirim pesan singkat.

[Pak, ini sudah lebih dari lima belas menit. Saya masih di kantor, menunggu instruksi. Jangan sampai saya jadi tahanan kantor, ya.]

Setelah pesan terkirim, Lula hanya bisa mendengus kesal. Rey memang selalu saja membuatnya menunggu, dan kali ini dia tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan bosnya itu.