Ting! Suara ponsel Lula bergetar lembut di saku, memecah kesunyian pagi. Dengan gerakan hati-hati, dia merogoh saku dan menarik perangkatnya. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Rasa penasaran merayap di benaknya. “Siapa yang mengirim pesan ini?” gumamnya, suara lembut namun penuh rasa ingin tahu. Dia menekan layar ponsel untuk membuka pesan yang tertulis di notifikasi. [Apa kau memiliki waktu? Aku ingin mengajakmu keluar membeli hadiah untuk Eve.] Pesan singkat ini mencuri perhatian Lula. Dengan cepat, matanya melebar. Jack, adik Eve, menghubunginya? Keterkejutan menyelimuti dirinya. Merasa tak percaya, Lula membalas pesan tersebut dengan rasa penasaran yang mendalam. Dia harus memastikan apakah ini benar-benar Jack. [Ini Jack?] sent Aku menunggu balasan, sambil menebak apakah pria itu yang mengirimnya pesan? Ting! [Ya, Jack Adderson. Aku akan datang menjemput. Bersiaplah.] Saat membaca balasan ini, jantung Lula berdetak kencang. Ada rasa bahagia yang tak bisa ia
“Terima kasih telah mengantar pulang,” ujar Lula dengan nada sopan, sambil menoleh ke arah Jack yang masih duduk di kursi kemudi. Jack hanya memberikan anggukan kepala sebagai balasan, tanpa menoleh atau berbicara lebih lanjut. Memahami sikap dinginnya, Lula segera membuka sabuk pengaman dan melangkah keluar dari mobil. Dengan lembut, dia melambaikan tangan sambil tersenyum, menyaksikan mobil Jack menjauh dari pandangannya. Setelah mobil Jack menghilang dari pandangan, Lula melangkah masuk ke apartemennya. Namun, saat ia berbalik, ia terkejut melihat Rey yang tiba-tiba berdiri di belakangnya. “Astaga, Pak Rey!” serunya, kaget dan tangannya memegang dadanya yang berdebar cepat. Rey tersenyum tipis, matanya menunjukkan sedikit kerutan di sudutnya. “Kenapa kamu tampak begitu terkejut, La? Saya tidak mengagetkanmu sepertinya.” Lula masih berdiri dengan ekspresi terkejut, matanya membulat. “Pak Rey muncul tiba-tiba di belakang saya. Tentunya saya kaget!” “Maaf jika saya membuat kaget
“Gladys! Oh my God, kamu sudah kembali?!” teriak Eleanor dengan terkejut. Gladys menoleh dengan senyum lembut. “Ini hari ulang tahun Eve, jadi aku merasa harus hadir,” jawabnya. Eve segera mendekati Gladys dan memeluknya erat. “Terima kasih sudah datang jauh-jauh, Dis,” ucapnya, suaranya penuh rasa syukur. Gladys tersenyum dan menarik diri dari pelukan. “Bagaimana dengan Jack? Dia ada di sini?” tanyanya. “Tentu saja. Dia ada di ruangan sana,” jawab Eve sambil menunjukkan arah. “Aku akan menemui Jack,” kata Gladys, lalu berjalan menuju bagian lain dari gedung. Lula memandangi Gladys yang pergi, merasa penasaran. Apa hubungan antara Gladys dan Jack? Eve melihat Lula yang tampak bingung. Dengan lembut, Eve menyentuh bahu Lula. “La, are you okay?” Lula tersadar dari lamunannya. “Ya, maaf. Aku hanya sedikit bingung.” Di sisi lain ruangan, Jack melihat Gladys dengan tatapan penuh kekaguman saat wanita itu melangkah mendekat dengan gaun putih bersih. Dia begitu bersemangat melihat wa
Lula mengerjapkan mata, terkejut dan bingung. Dia mengangguk pelan, berusaha menenangkan getaran di dalam dadanya. “Mungkin ciuman ini sebuah kesalahan. Maksudku, kita terbawa suasana, mungkin? Aku akan melupakannya, kamu tenang saja, Jack.” Jack terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku rasa tidak.” Lula menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Maksudnya?” Jack memandangnya dengan serius, “Ini bukan ciuman kesalahan seperti waktu itu. Aku memang menginginkannya. Ingin mengecup bibirmu, dan aku tidak bisa menahannya. Maaf.” Jantung Lula berdebar cepat. Dia memalingkan wajahnya, merasa malu dan bingung. “Tapi bagaimana bisa? Kamu sudah punya tunangan,” suaranya bergetar. Jack menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, terlihat sangat lelah. “Aku tidak tahu. Setiap kali aku bersamamu, aku merasakan sesuatu yang kuat. Aku tidak bisa mengendalikannya. Aku merasa nyaman bersamamu.” Lula merasa hatinya semakin berdebar. Dia meremas gaunnya di sisi kursi, mencoba menenangkan di
“Jack, kamu sudah pulang?” tanya Eve, turun dari tangga dengan langkah ringan. Matanya menyapu sosok Jack yang baru saja masuk ke mansion dengan tampilan santai. “Ya, ada apa?” jawab Jack sambil meletakkan jaketnya, tampak sedikit lelah setelah seharian beraktivitas. “Terima kasih telah mengantar Lula pulang,” ujar Eve sambil tersenyum. “Oh, dan aku punya pesan untukmu. Gladys mengatakan dia harus segera berangkat ke LA.” Kening Jack berkerut. “LA? Kenapa dia tidak mengabariku? Untuk apa dia pergi ke sana?” Eve menggelengkan kepala, tampak sedikit kebingungan. “Mungkin karena aku kebetulan bertemu dia di bandara saat mengantar kekasihku. Gladys dan beberapa orang sudah akan naik pesawat karena jadwal penerbangannya bersamaan.” Jack terdiam, ekspresi di wajahnya mengungkapkan ketidakpuasan. Merasa seperti dikhianati, dia memandang Eve dengan tatapan penuh kekhawatiran. Gladys adalah tunangannya, tapi dia merasa semakin jauh dari wanita itu. Eve, melihat ekspresi Jack, menepuk pund
Dengan mata membesar, Lula berdiri di ujung ruangan, menatap Jack yang duduk santai di kursi kebesarannya. Tatapannya menelisik dari atas hingga bawah, memastikan kehadiran pria itu. Jack, yang diperhatikan, hanya santai menanggapinya. “Untuk apa kamu terus memandangi? Apa aku terlihat seperti bukan manusia?” tanya Jack dengan nada datar. Lula tersadar, berdehem untuk menetralisir rasa canggungnya. Dia mendekati Jack dan menatapnya penuh curiga. “Bagaimana kamu bisa menggantikan Bos di tempatku bekerja? Apa kamu menguntitku, Jack?” Jack tertawa kecil mendengar tuduhan itu. “Menguntit? Apakah tidak ada kata lain yang lebih lucu?” “Aku serius. Bagaimana bisa kamu tiba-tiba datang untuk menggantikan Pak Rey? Ya Tuhan, aku sangat bingung.” Jack condong ke depan, kedua tangannya bertumpu di meja. Alisnya terangkat sebelah. “Apa kamu yakin aku adalah seorang penguntit?” “Jack...” rengek Lula. Jack menghela napas dan menatap dengan kesal. “Aku sedang membicarakan hal serius di sini, s
Lula berdiri di depan cermin di ruang kecil kantor, air dingin mengalir dari kran wastafel membasahi wajahnya. Dia menatap refleksinya, berusaha menghilangkan rasa frustrasi dan kemarahan yang masih mengendap setelah hari yang panjang. Kata-kata kasar Edhi masih terngiang di kepalanya, dan tekadnya untuk menuntut keadilan semakin menguat. Setelah membasuh wajahnya, dia menarik napas panjang, berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dia melangkah keluar dari kamar mandi dan kembali ke mejanya, hanya untuk bertemu Emil yang baru saja melewati koridor. Emil melambai ke arahnya dengan ekspresi frustasi yang jelas. “Lula!” Lula berhenti dan melihat Emil yang tampak kesal. “Emil? Kamu pulang kerja sekarang? Aku kira kamu libur hari ini.” “Gila, Bos baru itu engga habis piki. Sama aja sama Pak Rey, nyesel udah seneng duluan kemarin.” Lula terkekeh mendengar jawaban Emil. Emil terlihat menghela napas panjang, “Aku baru saja nyaman-nyaman berendam di
Jack mempercepat langkahnya, napasnya memburu saat melihat Gladys berdiri di ujung ruangan, tampak bingung dan memeluk dirinya sendiri. Cahaya lampu yang temaram menerpa wajahnya, memantulkan bayangannya yang terlihat semakin rapuh. Jack merasakan dorongan kuat untuk segera berada di sampingnya. Tak butuh waktu lama, langkah-langkahnya yang mantap membawa dia semakin dekat, dan tanpa ragu, dia langsung meraih lengan tunangannya itu. "Dis," panggilnya, suaranya pelan namun jelas. Mata Gladys yang sayu mendongak, lalu tanpa bicara, wanita itu langsung bangkit dan meraih tubuh Jack dalam pelukannya. Lirih terdengar namanya dipanggil, “Jack.” Tangisnya tertahan di dada pria itu. Jack merasakan kegelisahan menyelinap. Ada apa dengan tunangannya? Mengapa sikapnya tiba-tiba berubah drastis? "Dis, ada apa?" tanyanya lembut, meski hatinya diliputi kecemasan. Gladys tidak menjawab, hanya mempererat pelukannya. Wajahnya tersembunyi di dada Jack, seolah tidak ingin dunia tahu bahwa ada ses