“Jack, kamu sudah pulang?” tanya Eve, turun dari tangga dengan langkah ringan. Matanya menyapu sosok Jack yang baru saja masuk ke mansion dengan tampilan santai. “Ya, ada apa?” jawab Jack sambil meletakkan jaketnya, tampak sedikit lelah setelah seharian beraktivitas. “Terima kasih telah mengantar Lula pulang,” ujar Eve sambil tersenyum. “Oh, dan aku punya pesan untukmu. Gladys mengatakan dia harus segera berangkat ke LA.” Kening Jack berkerut. “LA? Kenapa dia tidak mengabariku? Untuk apa dia pergi ke sana?” Eve menggelengkan kepala, tampak sedikit kebingungan. “Mungkin karena aku kebetulan bertemu dia di bandara saat mengantar kekasihku. Gladys dan beberapa orang sudah akan naik pesawat karena jadwal penerbangannya bersamaan.” Jack terdiam, ekspresi di wajahnya mengungkapkan ketidakpuasan. Merasa seperti dikhianati, dia memandang Eve dengan tatapan penuh kekhawatiran. Gladys adalah tunangannya, tapi dia merasa semakin jauh dari wanita itu. Eve, melihat ekspresi Jack, menepuk pund
Dengan mata membesar, Lula berdiri di ujung ruangan, menatap Jack yang duduk santai di kursi kebesarannya. Tatapannya menelisik dari atas hingga bawah, memastikan kehadiran pria itu. Jack, yang diperhatikan, hanya santai menanggapinya. “Untuk apa kamu terus memandangi? Apa aku terlihat seperti bukan manusia?” tanya Jack dengan nada datar. Lula tersadar, berdehem untuk menetralisir rasa canggungnya. Dia mendekati Jack dan menatapnya penuh curiga. “Bagaimana kamu bisa menggantikan Bos di tempatku bekerja? Apa kamu menguntitku, Jack?” Jack tertawa kecil mendengar tuduhan itu. “Menguntit? Apakah tidak ada kata lain yang lebih lucu?” “Aku serius. Bagaimana bisa kamu tiba-tiba datang untuk menggantikan Pak Rey? Ya Tuhan, aku sangat bingung.” Jack condong ke depan, kedua tangannya bertumpu di meja. Alisnya terangkat sebelah. “Apa kamu yakin aku adalah seorang penguntit?” “Jack...” rengek Lula. Jack menghela napas dan menatap dengan kesal. “Aku sedang membicarakan hal serius di sini, s
Lula berdiri di depan cermin di ruang kecil kantor, air dingin mengalir dari kran wastafel membasahi wajahnya. Dia menatap refleksinya, berusaha menghilangkan rasa frustrasi dan kemarahan yang masih mengendap setelah hari yang panjang. Kata-kata kasar Edhi masih terngiang di kepalanya, dan tekadnya untuk menuntut keadilan semakin menguat. Setelah membasuh wajahnya, dia menarik napas panjang, berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dia melangkah keluar dari kamar mandi dan kembali ke mejanya, hanya untuk bertemu Emil yang baru saja melewati koridor. Emil melambai ke arahnya dengan ekspresi frustasi yang jelas. “Lula!” Lula berhenti dan melihat Emil yang tampak kesal. “Emil? Kamu pulang kerja sekarang? Aku kira kamu libur hari ini.” “Gila, Bos baru itu engga habis piki. Sama aja sama Pak Rey, nyesel udah seneng duluan kemarin.” Lula terkekeh mendengar jawaban Emil. Emil terlihat menghela napas panjang, “Aku baru saja nyaman-nyaman berendam di
Jack mempercepat langkahnya, napasnya memburu saat melihat Gladys berdiri di ujung ruangan, tampak bingung dan memeluk dirinya sendiri. Cahaya lampu yang temaram menerpa wajahnya, memantulkan bayangannya yang terlihat semakin rapuh. Jack merasakan dorongan kuat untuk segera berada di sampingnya. Tak butuh waktu lama, langkah-langkahnya yang mantap membawa dia semakin dekat, dan tanpa ragu, dia langsung meraih lengan tunangannya itu. "Dis," panggilnya, suaranya pelan namun jelas. Mata Gladys yang sayu mendongak, lalu tanpa bicara, wanita itu langsung bangkit dan meraih tubuh Jack dalam pelukannya. Lirih terdengar namanya dipanggil, “Jack.” Tangisnya tertahan di dada pria itu. Jack merasakan kegelisahan menyelinap. Ada apa dengan tunangannya? Mengapa sikapnya tiba-tiba berubah drastis? "Dis, ada apa?" tanyanya lembut, meski hatinya diliputi kecemasan. Gladys tidak menjawab, hanya mempererat pelukannya. Wajahnya tersembunyi di dada Jack, seolah tidak ingin dunia tahu bahwa ada ses
Lula membiarkan matanya menjelajahi setiap sudut apartemen Jack, merasa terkesan oleh keteraturan dan kerapian yang ada di dalamnya. Segalanya tampak tersusun dengan sempurna, mencerminkan karakter Jack yang selalu perfeksionis. Suasana ruangan itu begitu tenang dan terorganisir, seolah semuanya berada di tempat yang seharusnya. “Dia sungguh luar biasa,” pikir Lula dalam hati sambil menatap sebuah foto yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Jack berdiri bersama keluarganya—Eve dan Tante Camila. Meski pertemuan mereka singkat, Lula mengenal mereka cukup baik untuk merasa akrab dengan sosok-sosok di dalam foto itu. Suara langkah Jack memecah keheningan. Napasnya sedikit berat ketika ia muncul dari balik pintu, membawa sesuatu di tangannya. "Apakah ini ponselmu?" tanyanya dengan nada datar, memperlihatkan ponsel yang digenggamnya. Lula menoleh dan mengangguk pelan. “Ya, itu milikku.” Jack mendekat dan menyerahkan ponsel itu. “Ambil.” Senyum tipis terbentuk di bibir Lula saat men
Lula membiarkan senyumnya tetap tergambar di wajahnya. Ada sesuatu yang terasa aneh di hatinya sejak malam tadi. Perasaan itu asing, tapi juga menyenangkan. Lula tidak tahu pasti, namun ada kebahagiaan yang menggelitik jiwanya. Kebahagiaan seperti apa? Bahkan dia sendiri tidak mampu mendefinisikannya. Ketika Emil tiba-tiba muncul, dia langsung mengernyitkan alisnya, heran melihat Lula yang terlihat melamun sambil tersenyum sendirian. “La! Kenapa senyum-senyum enggak jelas?” Tersentak oleh suara sahabatnya, Lula mengangkat wajahnya dan menatap Emil yang kini berdiri di dekatnya. “Enggak apa-apa, Mil,” jawab Lula sambil melirik ke arah sahabatnya. Emil mengerutkan dahi, masih tidak percaya. “Hah? Aneh, deh kamu!” Emil kemudian duduk di samping Lula, menyilangkan kakinya sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Rasanya, aku pengen ambil cuti.” Lula menoleh, keningnya berkerut bingung. “Cuti? Buat apa, Mil?” Emil mendesah panjang, sebelum menjawab dengan nada datar, “Pengen n
Penerbangan panjang yang melelahkan akhirnya berakhir. Lula bergerak cepat menuruni tangga pesawat, mengikuti langkah besar Jack yang telah lebih dulu turun. Honolulu, kota yang indah ini, menawarkan pemandangan menakjubkan dengan langit biru cerah dan udara tropis yang segar. Siapa yang tidak ingin mengunjungi tempat seperti ini? Bagaikan Bali di negara bagian Hawaii, keindahannya memikat setiap mata yang melihat. Setibanya mereka di bandara, seorang pria berpakaian rapi dengan name-tag bertuliskan “Billi” menghampiri mereka. “Selamat pagi, Pak Jack,” sapanya dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Billi. Apa hotel sudah siap?” tanya Jack. “Ya, Pak. Semua yang Bapak minta sudah disiapkan. Saya di sini untuk menjemput dan mengantar ke hotel,” jawab Billi dengan penuh percaya diri. Billi dengan sigap mengambil alih koper yang sebelumnya dipegang oleh Jack. Dia sedikit menoleh ke arah Lula, “Boleh saya bantu membawa koper Nona juga?” “Ah, tidak perlu. Saya bisa membawanya sendiri,”
“Halo Jack?” “Hai, apa kabar?” Gladys memejamkan matanya, merasakan detak jantungnya berdetak cepat. Dia takut Jack akan mencurigai sesuatu. “Dis, kamu baik-baik saja?” “Ah, ya, tentu. Aku baik-baik saja, Jack. Ada apa? Ada masalah di sana?” “Tidak. Aku hanya merindukan kamu, Dis.” “Aku juga sangat merindukanmu. Setelah semuanya beres, mari kita bertemu dan melepas rindu.” “Ya, tentu saja. Mari kita bertemu.” “Um, Jack, sepertinya aku harus menutup telepon ini. Aku akan menghubungimu nanti.” “Baiklah. Aku mencintaimu, Dis.” “Aku lebih mencintaimu.” Beep! Gladys menggenggam teleponnya, meremasnya dengan gugup. Dia merasa bingung dan tertekan, merasa seolah telah mengkhianati Jack. Tiba-tiba, tubuhnya dirangkul dari belakang. Mata Gladys melebar, dan dia segera berbalik. Tangannya menahan tubuh yang mendekat. “Rey?!” Rey masih menjaga jarak, namun tatapannya tetap lekat pada Gladys, dengan tangannya melingkar di pinggangnya. “Aku mencintaimu.” Gladys mengerutkan kening,