"Sial!" Lula merutuk dalam hati, merasa malu karena baru menyadari bahwa bra-nya terlihat jelas di balik kaos yang dikenakannya. Pakaian yang tadinya rapi, kini rusak gara-gara minuman yang ditumpahkan Eve.
Dia keluar dari kamar mandi dengan perasaan tidak nyaman, menundukkan pandangannya saat kembali menuju sofa di ruang tamu. Eve masih duduk di sana, tampak asyik menonton televisi tanpa memperhatikan situasi yang dialami Lula. Merasa sofa di sebelahnya bergoyang, Eve menoleh dengan santai, tersenyum lebar. "Sudah selesai ganti baju?" "Iya, terima kasih," jawab Lula sambil mengusap rambutnya yang sedikit lembab. "Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya,” lanjutnya. Eve tertawa kecil. "Jangan khawatir, nggak perlu buru-buru. Kamu bisa kembalikan kapan pun kamu punya waktu." Lula tersenyum canggung. "Baiklah," katanya, meskipun rasa tidak enak itu belum sepenuhnya hilang. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan memfokuskan perhatian pada televisi di depannya, meski suasana canggung tak kunjung hilang. Namun, sebelum keduanya sempat melanjutkan percakapan, ponsel Eve bergetar di atas meja, menarik perhatian mereka. Eve melihat layarnya sejenak, lalu tersenyum lebar. "La, aku harus angkat telepon sebentar. Kamu tunggu di sini saja, ya?" katanya sambil meraih ponselnya dan bergegas keluar dari ruangan. Lula hanya mengangguk, meskipun di dalam hati, ia merasa agak canggung ditinggalkan sendirian. Dia menatap layar televisi, mencoba mengikuti jalannya film horror yang sedang tayang. Namun, perhatiannya segera teralih ke meja di depan sofa yang penuh dengan camilan. Dia mengambil satu, mengunyahnya perlahan, meski pikirannya masih berkecamuk. Beberapa menit berlalu, dan tiba-tiba Lula tersedak. Mungkin karena camilan yang ia makan terlalu cepat, atau mungkin karena suasana aneh yang membuatnya gugup. Dia buru-buru meneguk air untuk meredakan tenggorokannya yang kering. Setelahnya, dia kembali fokus pada televisi, meski adegan di layar mulai terasa sedikit aneh. Alih-alih mempertahankan suasana menakutkan, film itu tiba-tiba berubah nada. Adegan-adegan yang sebelumnya dipenuhi ketegangan mulai bergeser ke arah yang lebih intim. Pasangan di layar kini mulai bertukar pandangan penuh arti, dan suasana yang tadinya mencekam berubah menjadi lebih sensual. Lula mengerutkan dahi, merasa tak nyaman dengan perubahan yang tiba-tiba itu. "Apa-apaan ini?" gumamnya pelan. "Kenapa film horror jadi begini?" Dia mencoba mencari remote untuk mengganti saluran, namun tidak menemukannya. Mungkin Eve membawanya ketika pergi. Lula menghela napas, merasa semakin canggung. Dia tak ingin melihat adegan di layar, tapi suara dari televisi tetap bergema di ruangan, membuatnya sulit untuk mengabaikannya. Dia memalingkan wajah, berharap adegan tersebut segera berlalu. Sementara itu, langkah kaki terdengar dari arah tangga. Lula mendongak dan melihat Jack, yang tadinya berada di lantai atas, turun ke ruang tamu. Dia berhenti sejenak, menatap layar televisi yang kini menampilkan adegan yang tidak pantas dilihat di hadapan orang lain. Jack mengerutkan alis, terlihat bingung atau mungkin jengah dengan apa yang dilihatnya. Lula merasa semakin malu. Dia tahu Jack pasti berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya. "Sial, kenapa aku harus ada di sini saat ini?" pikirnya. Dia merapatkan tangannya, merasa tubuhnya semakin panas meskipun ruangan masih terasa sejuk karena pendingin ruangan. Jack tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi dia hanya menghela napas pelan, lalu melangkah kembali menaiki tangga. Lula hanya bisa menatapnya dari sudut matanya, berharap pria itu tidak menilainya buruk. Keheningan terasa lebih tebal saat Jack menghilang dari pandangan, menyisakan Lula sendirian dengan layar yang masih menampilkan adegan yang tidak ingin dilihatnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk bangkit dari sofa. Mungkin lebih baik baginya untuk menjauh dari ruangan ini sejenak. Dia berjalan menuju kamar mandi, berpikir untuk mencuci muka agar sedikit menenangkan dirinya. Setelah membasuh muka, Lula merasa sedikit lebih baik. Dia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang setengah basah, dan memutuskan untuk mengikatnya ke atas. Udara dingin menyentuh lehernya yang terbuka, memberikan sedikit rasa segar. Dia menghela napas panjang, mencoba menghilangkan ketegangan yang dirasakannya. Saat dia kembali ke ruang tamu, perasaan canggung masih belum sepenuhnya hilang. Lula memutuskan untuk meregangkan tubuhnya yang pegal setelah seharian beraktivitas. Ketika dia mengangkat tangannya ke atas, tubuhnya terasa lebih rileks, tulang-tulangnya seolah berderak dengan ringan. Di tengah gerakan itu, dia merasakan tatapan dari arah tangga. Jack berdiri di sana, memandangnya tanpa suara. Tatapannya datar, tapi cukup jelas bahwa dia menyadari setiap gerakan Lula. Pria itu terlihat ragu sejenak, sebelum memalingkan pandangan dan kembali menaiki tangga. Lula merasa canggung lagi. "Kenapa dia terus memperhatikanku?" pikirnya, tanpa berani mengungkapkan kebingungannya dengan lantang. Belum sempat suasana benar-benar tenang, suara pintu depan terbuka. Eve kembali dengan tergesa-gesa, wajahnya tampak panik. “La, aku harus pergi sebentar. Bisa nggak kamu tunggu di sini?" katanya, suara Eve terdengar cemas dan terburu-buru. "Oh, iya, nggak masalah," jawab Lula, meski sedikit terkejut dengan sikap Eve yang begitu terburu-buru. "Kalau kamu nggak bisa mengantarku pulang, aku bisa naik taksi kok,” kataku kembali. "Tidak!" seru Eve, suaranya nyaring. "Aku nggak akan biarin kamu pulang sendirian. Ini udah malam. Taksi? Nggak aman. Tunggu aku sebentar aja, oke?" Sebelum Lula bisa membalas, Eve sudah berlari keluar. Lula hanya bisa menghela napas, melihat pintu tertutup dengan cepat. "Kenapa semua jadi rumit begini? Padahal pulang dengan taksi bukan masalah besar," pikirnya sambil menggelengkan kepala. Dia kembali ke sofa, merasa lebih baik menjauh dari televisi yang tadi menyulitkannya. Namun, saat dia mulai merasa sedikit tenang, langkah kaki terdengar lagi. Jack turun dari kamarnya, kali ini terlihat membawa kunci mobil di tangannya. "Jack, kamu harus antar Lula pulang," terdengar suara dari belakang Jack. Camelia, ibu Eve, muncul dari arah dapur, tersenyum ramah pada Lula. “Mom, aku ada urusan. Aku tidak bisa membawanya.” “Jack, apa susahnya mengantar Lula terlebih dahulu?” perdebatan pun sudah mulai. Lula terbelalak. Dia juga merasa tidak enak, harus merepotkan orang lain. "Ah, tidak perlu repot. Aku bisa naik taksi saja." Camelia menggeleng tegas. "Tidak, sayang. Jack yang akan mengantarmu. Malam sudah semakin larut, dan kamu harus aman sampai di rumah." Jack terlihat kesal namun, tak memperlihatkan dengan jelas. Wanita itu semakin bingung, merasa tidak enak. “Mom, aku naik taksi saja. Lagi pula, aku terbiasa taksi juga ketika mobilku berada di bengkel. Aku tidak mau merepotkan juga.” “Tidak, Jack yang akan mengantarmu. Jack, Mommy mau kamu antar Lula dengan selamat. Tidak ada bantahan. Oke?” Pria itu hanya berdehem, tampak enggan tapi tak berkata apa-apa. Lula merasa semakin canggung. "Ini sungguh nyata?" pikirnya dalam hati, merasa bahwa malam ini semakin sulit ditebak.Malam itu, Lula duduk tenang di kursi penumpang, menyandarkan tubuhnya pada jok kulit yang dingin. Jack, yang berada di balik kemudi, tampak sepenuhnya fokus pada jalan di depan. Udara dalam mobil terasa berat, hampir tidak ada obrolan yang mengalir di antara mereka. Jack tetap diam seperti patung, matanya lurus menatap ke depan. Tak ingin larut dalam suasana hening, Lula memutuskan untuk berbicara. "Terima kasih sudah mau mengantar," katanya dengan nada lembut, berharap bisa membuka percakapan. Namun, Jack tetap diam, seolah tak mendengar ucapannya. Lula menghela napas pelan, merasa tak ada gunanya memaksa. Dia memilih diam, menatap keluar jendela, mengamati gemerlap lampu kota yang berlalu. Meski ada keinginan untuk berbicara lebih banyak, sikap Jack membuatnya mundur. Mereka melaju dalam keheningan hingga tiba-tiba, mobil yang mereka kendarai melambat, kemudian berhenti di pinggir jalan. Lula, yang terkejut, langsung menoleh ke arah Jack, matanya penuh tanda tanya. "Ada apa?" t
Malam semakin larut, Jack dan Lula terpaksa mencari tempat berteduh ketika hujan turun deras. Mereka berlari menembus derasnya air hujan, hingga akhirnya menemukan sebuah gubug kosong. Basah kuyup dan kedinginan, mereka masuk ke dalam gubug yang sempit dan dingin. Lula mengusap lengannya dengan cepat, berusaha menghangatkan tubuhnya yang basah. Tanpa disadari, gerakan itu memperlihatkan siluet tubuhnya melalui baju yang basah. Jack, yang tak sengaja melihat, menahan napasnya. Pemandangan itu, meski tidak disengaja, memicu dorongan yang tak tertahan dalam dirinya. “Jack, ada apa? Kamu juga kedinginan?” tanya Lula, suaranya terdengar penuh kebingungan di tengah hujan yang deras. “Malam ini sangat dingin sekali. Apalagi setelah menembus hujan deras.” Jack menatap Lula, bukan pada ucapannya, tetapi pada bibirnya yang bergerak lembut. “Iya, udara memang dingin. Tapi, ada sesuatu yang bisa menghangatkannya,” jawab Jack dengan nada penuh makna. Kebingungan melintas di wajah Lula. “Hangat?
Lula terbangun lebih awal dari biasanya, terkejut oleh bunyi alarm yang memekakkan telinga. Dengan mata setengah terpejam, dia meraih tombol pematikan dan mematikan bunyi nyaring itu, mengusir rasa kantuk dan memaksa dirinya untuk bergerak. Pagi ini, dia merasa harus memberikan yang terbaik—dan dia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang penuh tantangan. Dengan malas, dia menuju kamar mandi. Air dingin yang menyentuh wajahnya membantu mengusir sisa-sisa kelelahan dari tubuhnya. Sambil mengeringkan wajah, dia memikirkan penampilannya hari ini, berusaha memastikan bahwa dia siap menghadapi segala sesuatu dengan percaya diri. Di depan cermin, Lula berdiri dengan tangan memegang sisir, menata rambutnya dengan hati-hati. Hari ini, dia memilih tampilan yang berbeda. Ujung rambut pirangnya yang biasanya lurus dia curly untuk memberikan tampilan yang lebih segar dan elegan. Hasilnya adalah gelombang lembut yang mengalir di sekitar wajahnya. Setelah selesai, dia memoles wajahnya den
Ting! Suara ponsel Lula bergetar lembut di saku, memecah kesunyian pagi. Dengan gerakan hati-hati, dia merogoh saku dan menarik perangkatnya. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Rasa penasaran merayap di benaknya. “Siapa yang mengirim pesan ini?” gumamnya, suara lembut namun penuh rasa ingin tahu. Dia menekan layar ponsel untuk membuka pesan yang tertulis di notifikasi. [Apa kau memiliki waktu? Aku ingin mengajakmu keluar membeli hadiah untuk Eve.] Pesan singkat ini mencuri perhatian Lula. Dengan cepat, matanya melebar. Jack, adik Eve, menghubunginya? Keterkejutan menyelimuti dirinya. Merasa tak percaya, Lula membalas pesan tersebut dengan rasa penasaran yang mendalam. Dia harus memastikan apakah ini benar-benar Jack. [Ini Jack?] sent Aku menunggu balasan, sambil menebak apakah pria itu yang mengirimnya pesan? Ting! [Ya, Jack Adderson. Aku akan datang menjemput. Bersiaplah.] Saat membaca balasan ini, jantung Lula berdetak kencang. Ada rasa bahagia yang tak bisa ia
“Terima kasih telah mengantar pulang,” ujar Lula dengan nada sopan, sambil menoleh ke arah Jack yang masih duduk di kursi kemudi. Jack hanya memberikan anggukan kepala sebagai balasan, tanpa menoleh atau berbicara lebih lanjut. Memahami sikap dinginnya, Lula segera membuka sabuk pengaman dan melangkah keluar dari mobil. Dengan lembut, dia melambaikan tangan sambil tersenyum, menyaksikan mobil Jack menjauh dari pandangannya. Setelah mobil Jack menghilang dari pandangan, Lula melangkah masuk ke apartemennya. Namun, saat ia berbalik, ia terkejut melihat Rey yang tiba-tiba berdiri di belakangnya. “Astaga, Pak Rey!” serunya, kaget dan tangannya memegang dadanya yang berdebar cepat. Rey tersenyum tipis, matanya menunjukkan sedikit kerutan di sudutnya. “Kenapa kamu tampak begitu terkejut, La? Saya tidak mengagetkanmu sepertinya.” Lula masih berdiri dengan ekspresi terkejut, matanya membulat. “Pak Rey muncul tiba-tiba di belakang saya. Tentunya saya kaget!” “Maaf jika saya membuat kaget
“Gladys! Oh my God, kamu sudah kembali?!” teriak Eleanor dengan terkejut. Gladys menoleh dengan senyum lembut. “Ini hari ulang tahun Eve, jadi aku merasa harus hadir,” jawabnya. Eve segera mendekati Gladys dan memeluknya erat. “Terima kasih sudah datang jauh-jauh, Dis,” ucapnya, suaranya penuh rasa syukur. Gladys tersenyum dan menarik diri dari pelukan. “Bagaimana dengan Jack? Dia ada di sini?” tanyanya. “Tentu saja. Dia ada di ruangan sana,” jawab Eve sambil menunjukkan arah. “Aku akan menemui Jack,” kata Gladys, lalu berjalan menuju bagian lain dari gedung. Lula memandangi Gladys yang pergi, merasa penasaran. Apa hubungan antara Gladys dan Jack? Eve melihat Lula yang tampak bingung. Dengan lembut, Eve menyentuh bahu Lula. “La, are you okay?” Lula tersadar dari lamunannya. “Ya, maaf. Aku hanya sedikit bingung.” Di sisi lain ruangan, Jack melihat Gladys dengan tatapan penuh kekaguman saat wanita itu melangkah mendekat dengan gaun putih bersih. Dia begitu bersemangat melihat wa
Lula mengerjapkan mata, terkejut dan bingung. Dia mengangguk pelan, berusaha menenangkan getaran di dalam dadanya. “Mungkin ciuman ini sebuah kesalahan. Maksudku, kita terbawa suasana, mungkin? Aku akan melupakannya, kamu tenang saja, Jack.” Jack terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku rasa tidak.” Lula menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Maksudnya?” Jack memandangnya dengan serius, “Ini bukan ciuman kesalahan seperti waktu itu. Aku memang menginginkannya. Ingin mengecup bibirmu, dan aku tidak bisa menahannya. Maaf.” Jantung Lula berdebar cepat. Dia memalingkan wajahnya, merasa malu dan bingung. “Tapi bagaimana bisa? Kamu sudah punya tunangan,” suaranya bergetar. Jack menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, terlihat sangat lelah. “Aku tidak tahu. Setiap kali aku bersamamu, aku merasakan sesuatu yang kuat. Aku tidak bisa mengendalikannya. Aku merasa nyaman bersamamu.” Lula merasa hatinya semakin berdebar. Dia meremas gaunnya di sisi kursi, mencoba menenangkan di
“Jack, kamu sudah pulang?” tanya Eve, turun dari tangga dengan langkah ringan. Matanya menyapu sosok Jack yang baru saja masuk ke mansion dengan tampilan santai. “Ya, ada apa?” jawab Jack sambil meletakkan jaketnya, tampak sedikit lelah setelah seharian beraktivitas. “Terima kasih telah mengantar Lula pulang,” ujar Eve sambil tersenyum. “Oh, dan aku punya pesan untukmu. Gladys mengatakan dia harus segera berangkat ke LA.” Kening Jack berkerut. “LA? Kenapa dia tidak mengabariku? Untuk apa dia pergi ke sana?” Eve menggelengkan kepala, tampak sedikit kebingungan. “Mungkin karena aku kebetulan bertemu dia di bandara saat mengantar kekasihku. Gladys dan beberapa orang sudah akan naik pesawat karena jadwal penerbangannya bersamaan.” Jack terdiam, ekspresi di wajahnya mengungkapkan ketidakpuasan. Merasa seperti dikhianati, dia memandang Eve dengan tatapan penuh kekhawatiran. Gladys adalah tunangannya, tapi dia merasa semakin jauh dari wanita itu. Eve, melihat ekspresi Jack, menepuk pund
Lula menghela napas lega saat roda pesawat menyentuh landasan. Perjalanan dinas bersama Jack selama beberapa hari terakhir benar-benar menguras energi dan pikirannya. Meski pekerjaannya belum selesai sepenuhnya, ada rasa nyaman saat tahu dirinya kembali ke rumah. Ketika keluar dari pintu kedatangan, pandangannya langsung tertuju pada sosok Emily yang berdiri di antara kerumunan, melambai dengan senyum lebarnya. “Lula! Akhirnya kamu pulang juga!” seru Emily sambil menghampirinya, tanpa basa-basi langsung mengambil alih koper yang Lula tarik. “Gimana perjalananmu sama Pak Jack? Capek banget, ya?” Lula mengangguk sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang tampak jelas di wajahnya. “Lumayan. Banyak hal yang harus dicek di lapangan, tapi ya, semuanya berjalan lancar.” Emily menaikkan alis sambil menatap Lula dengan ekspresi menggoda. “Oh, lancar ya? Seru dong jalan bareng bos ganteng?” Lula mendengus kecil, malas menanggapi. “Seru apanya, Em? Aku ikut cuma b
Saat Lula terbangun keesokan paginya, cahaya matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai, langsung menyilaukan matanya. Ia mengerjap, perlahan menyadari bahwa selimut yang membungkus tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya.Memandang sekeliling, kepalanya masih terasa kabur. Matanya terarah pada sosok Jack yang terbaring di sampingnya, tidur dengan tenang, napasnya teratur. Wajahnya tampak damai, tapi justru itu yang membuat jantung Lula berdetak lebih cepat.Lula perlahan bangkit, merubah posisinya dan menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. Rasa sakit di kepalanya semakin terasa, dan ia mengerang pelan, mencoba menenangkan diri.Namun, saat matanya menyapu tubuhnya sendiri, ia terkejut. Di bawah selimut, dia tidak mengenakan apapun. Tubuh polosnya hanya terbungkus oleh selimut yang dia gunakan."Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya, gelisah.Lalu matanya kembali tertuju pada Jack yang masih terlelap. Tanpa sadar, pikirannya langsung melompat pada kemungkinan terburuk."Apa,
Lula memandang Jack di seberangnya, seolah waktu di antara mereka melambat. Kehangatan anggur yang mengalir dalam tubuhnya memberinya keberanian lebih. Wanita tak sadar, bahwa dia terlalu banyak minum malam ini. Kepalanya terasa sakit, sedikit berdenyut, dan dia mulai merasa pusing. Pandangannya lambat laun mulai mengabur, membuatnya kesal. “Sepertinya aku terlalu banyak minum,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Tanpa disadarinya, Jack sudah ada di sampingnya, menatapnya dengan khawatir. Dia menatap Lula dengan penuh kelembutan, hingga membuatnya kehilangan kata. Lula dapat merasakan kehangatan napas Jack menyapu di pipinya. Wanita itu terkekeh menatapnya. Jemarinya terulur menekan pipi pria itu.“Kenapa dunia begitu tidak adil padaku?” Lula mengeluh, nada suaranya mencerminkan rasa frustrasinya.Pria itu hanya membiarkannya meluapkan emosi, hingga ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya yang membuatnya terdiam.“Terkadang bibir ini berbicara sembarangan. Aku tidak menyukainya!”
Lula mencoba menenggelamkan perasaannya yang campur aduk dan berusaha fokus pada menu yang telah disiapkan Jack. Saat piring berisi hidangan mulai disajikan, aroma menggugah selera menyeruak ke udara. Makanan itu terlihat cantik, dihias dengan rapi dan menggiurkan.“Ini adalah salad dengan dressing lemon dan ikan salmon panggang,” kata Jack, menunjuk ke piring. “Dan untuk pencuci mulut, kami punya kue coklat yang sangat lezat.”Lula mengangguk, berusaha menikmati hidangan tersebut. Namun, saat dia mengambil suap pertama, dia membulatkan matanya. Hidangan ini sangat lezat.“Bagaimana rasanya?” tanya Jack, matanya tajam menilai reaksinya.“Rasanya enak,” jawab Lula dengan senyum yang dipaksakan. “Salad ini segar, dan salmonnya dimasak dengan sempurna.”“Baguslah,” kata Jack, tampak puas. “Saya ingin kamu memberi tahu saya secara jujur tentang semuanya. Ini adalah langkah dalam pengembangan resort.”“Baik. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan masukan, Pak,” jawab Lula samb
Gladys terbangun dengan kepala yang terasa berat. Dia mengerutkan kening sambil memijat pelipisnya, merasakan kehangatan dari dalam selimut tebal yang menutupi tubuh telanjangnya. Di sampingnya, lengan Rey masih melingkar di pinggangnya. Gladys membuka mata dan mendapati wajah Rey yang terlelap di dekatnya. Dia mendesah dalam hati, bertanya-tanya apakah keputusan ini benar. Dengan hati-hati, ia berusaha untuk melepaskan lengan Rey yang menahannya. Namun, lengan itu terasa menempel erat, seolah enggan untuk dilepaskan. Rey, yang merasa gerakan tersebut, membuka matanya. Maniknya menatap Gladys dengan senyuman lembut. “Selamat pagi,” ucapnya dengan suara parau. “Aku harus pergi. Singkirkan tanganmu,” kata Gladys dengan nada tegas, berusaha menyembunyikan rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Gladys terus berusaha melepaskan diri, namun Rey tetap menahannya. “Kenapa terburu-buru? Masih pagi, Dis,” katanya, suaranya santai dan tenang. “Kau gila?! Bagaimana jika Eve datang tiba-tib
“Halo Jack?” “Hai, apa kabar?” Gladys memejamkan matanya, merasakan detak jantungnya berdetak cepat. Dia takut Jack akan mencurigai sesuatu. “Dis, kamu baik-baik saja?” “Ah, ya, tentu. Aku baik-baik saja, Jack. Ada apa? Ada masalah di sana?” “Tidak. Aku hanya merindukan kamu, Dis.” “Aku juga sangat merindukanmu. Setelah semuanya beres, mari kita bertemu dan melepas rindu.” “Ya, tentu saja. Mari kita bertemu.” “Um, Jack, sepertinya aku harus menutup telepon ini. Aku akan menghubungimu nanti.” “Baiklah. Aku mencintaimu, Dis.” “Aku lebih mencintaimu.” Beep! Gladys menggenggam teleponnya, meremasnya dengan gugup. Dia merasa bingung dan tertekan, merasa seolah telah mengkhianati Jack. Tiba-tiba, tubuhnya dirangkul dari belakang. Mata Gladys melebar, dan dia segera berbalik. Tangannya menahan tubuh yang mendekat. “Rey?!” Rey masih menjaga jarak, namun tatapannya tetap lekat pada Gladys, dengan tangannya melingkar di pinggangnya. “Aku mencintaimu.” Gladys mengerutkan kening,
Penerbangan panjang yang melelahkan akhirnya berakhir. Lula bergerak cepat menuruni tangga pesawat, mengikuti langkah besar Jack yang telah lebih dulu turun. Honolulu, kota yang indah ini, menawarkan pemandangan menakjubkan dengan langit biru cerah dan udara tropis yang segar. Siapa yang tidak ingin mengunjungi tempat seperti ini? Bagaikan Bali di negara bagian Hawaii, keindahannya memikat setiap mata yang melihat. Setibanya mereka di bandara, seorang pria berpakaian rapi dengan name-tag bertuliskan “Billi” menghampiri mereka. “Selamat pagi, Pak Jack,” sapanya dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Billi. Apa hotel sudah siap?” tanya Jack. “Ya, Pak. Semua yang Bapak minta sudah disiapkan. Saya di sini untuk menjemput dan mengantar ke hotel,” jawab Billi dengan penuh percaya diri. Billi dengan sigap mengambil alih koper yang sebelumnya dipegang oleh Jack. Dia sedikit menoleh ke arah Lula, “Boleh saya bantu membawa koper Nona juga?” “Ah, tidak perlu. Saya bisa membawanya sendiri,”
Lula membiarkan senyumnya tetap tergambar di wajahnya. Ada sesuatu yang terasa aneh di hatinya sejak malam tadi. Perasaan itu asing, tapi juga menyenangkan. Lula tidak tahu pasti, namun ada kebahagiaan yang menggelitik jiwanya. Kebahagiaan seperti apa? Bahkan dia sendiri tidak mampu mendefinisikannya. Ketika Emil tiba-tiba muncul, dia langsung mengernyitkan alisnya, heran melihat Lula yang terlihat melamun sambil tersenyum sendirian. “La! Kenapa senyum-senyum enggak jelas?” Tersentak oleh suara sahabatnya, Lula mengangkat wajahnya dan menatap Emil yang kini berdiri di dekatnya. “Enggak apa-apa, Mil,” jawab Lula sambil melirik ke arah sahabatnya. Emil mengerutkan dahi, masih tidak percaya. “Hah? Aneh, deh kamu!” Emil kemudian duduk di samping Lula, menyilangkan kakinya sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Rasanya, aku pengen ambil cuti.” Lula menoleh, keningnya berkerut bingung. “Cuti? Buat apa, Mil?” Emil mendesah panjang, sebelum menjawab dengan nada datar, “Pengen n
Lula membiarkan matanya menjelajahi setiap sudut apartemen Jack, merasa terkesan oleh keteraturan dan kerapian yang ada di dalamnya. Segalanya tampak tersusun dengan sempurna, mencerminkan karakter Jack yang selalu perfeksionis. Suasana ruangan itu begitu tenang dan terorganisir, seolah semuanya berada di tempat yang seharusnya. “Dia sungguh luar biasa,” pikir Lula dalam hati sambil menatap sebuah foto yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Jack berdiri bersama keluarganya—Eve dan Tante Camila. Meski pertemuan mereka singkat, Lula mengenal mereka cukup baik untuk merasa akrab dengan sosok-sosok di dalam foto itu. Suara langkah Jack memecah keheningan. Napasnya sedikit berat ketika ia muncul dari balik pintu, membawa sesuatu di tangannya. "Apakah ini ponselmu?" tanyanya dengan nada datar, memperlihatkan ponsel yang digenggamnya. Lula menoleh dan mengangguk pelan. “Ya, itu milikku.” Jack mendekat dan menyerahkan ponsel itu. “Ambil.” Senyum tipis terbentuk di bibir Lula saat men