Mata Lula bertemu dengan sosok pria yang terasa familiar di ingatannya. Ada keterkejutan yang jelas tergambar di wajahnya ketika melihat siapa yang baru saja datang.
“Jack! Mengapa kamu terlambat? Mom pikir kamu tidak akan datang karena sibuk dengan pekerjaanmu,” ujar Eve, suaranya mengandung rasa lega sekaligus menuntut. Pria itu tersenyum tipis, sedikit canggung. “Maaf, Mom. Tadi aku hampir lupa. Namun, Ben mengingatkan aku untuk segera pulang. Benar begitu, Ben?” katanya sambil melirik pria di sampingnya. “Tentu saja! Aku selalu menjadi pengingatnya, Mom. Dia memang sudah mulai tua, sepertinya,” sahut Ben dengan nada bercanda. Jack mendengus, kemudian menatap Ben dengan ekspresi tidak suka. “Tutup mulutmu, Ben. Omong kosongmu itu tidak ada gunanya.” Eve tertawa pelan melihat interaksi antara Jack dan Ben. Namun, tatapan Jack tiba-tiba teralih ke sosok lain di meja makan. Ada keheranan di matanya. Dia mengernyit, seakan berusaha mengingat sesuatu. Tanpa berkata apa pun, tatapannya tetap terfokus pada Lula. Eve, yang melihat sikap Jack, merasa heran. “Jack, apakah kamu mengenalnya? Kamu sepertinya terlalu serius menatap teman baruku.” Jack mengalihkan pandangannya kembali ke Eve, sedikit terganggu. “Tidak.” “Oh, aku kira kamu mengenalnya. Dia temanku. Aku bertemu dengannya setelah tanpa sengaja menabrak mobilnya,” jelas Eve dengan nada santai. “Lalu, mengapa dia ada di sini?” Jack menanyakan dengan nada yang terdengar lebih menuntut. Eve berdecak mendengar pertanyaan itu. “Tentu saja, aku mengundangnya untuk makan malam. Dia temanku sekarang, Jack.” “Menjengkelkan,” Jack menggerutu pelan, lalu berjalan menuju lantai atas bersama pria lain yang menemani dia. Eve hanya menggelengkan kepala, kemudian kembali menikmati makanannya. Camelia tersenyum kecil. Dia menoleh ke arah Lula yang masih memandang punggung Jack yang semakin menjauh. “Lula, mengapa tidak makan? Apakah makanannya tidak enak, sayang?” Lula, yang ditegur, cepat-cepat menggeleng. “Tidak, Tante. Makanannya enak sekali kok.” “Panggil Mom, lebih baik. Jangan panggil Tante,” kata Camelia dengan lembut. Lula tersenyum ragu. “Apakah tidak masalah jika aku memanggilmu Mom? Rasanya agak aneh karena aku adalah orang asing.” Eve tertawa ringan sambil memotong steaknya. “Mommyku memang selalu ingin tampak muda, Lula. Setiap kali ada temanku yang datang, dia pasti minta dipanggil Mom. Aku sudah hafal benar maksud terselubungnya.” Camelia tertawa ringan. “Mommy belum setua itu, Eve. Aku bahkan belum memasuki usia lima puluh.” Eve tertawa sambil menatap ibunya. “Ya, tetapi aku hampir menginjak kepala tiga, Mom.” Percakapan ringan itu membuat Lula tersenyum tipis. Suasana keluarga yang hangat seperti ini sudah lama tidak dia rasakan. Kini, dia melihatnya langsung, seakan-akan kenangan itu hidup kembali di hadapannya. Lula bisa merasakannya dengan sangat nyata. Camelia lalu berdiri dengan anggun setelah mengelap mulutnya dengan serbet. “Mommy akan memanggil Jack dan Ben untuk makan malam bersama. Kalian tunggu sebentar di sini.” Eve acuh saja dengan ucapan ibunya, lebih tertarik pada steak yang sedang ia nikmati. Sementara itu, Lula merasa semakin gugup. Dia bahkan tidak menyentuh makanannya. Perasaan itu muncul bukan karena makanannya, tetapi lebih karena kegelisahan bertemu lagi dengan Jack. Apakah pria itu adalah orang yang sama dengan yang ia temui di klub malam itu? Tak lama kemudian, Jack kembali dari lantai atas, kali ini dengan tampilan yang lebih kasual. Pria itu mengenakan kaos abu-abu polos dan celana pendek selutut, membuat penampilannya tampak lebih santai dibandingkan sebelumnya. Meski begitu, pesonanya tidak berkurang. Lula sesekali mencuri pandang ke arahnya ketika tak ada yang memperhatikan. Jack duduk di depan Lula, sementara Ben mengambil tempat di sisi kirinya. Ketika Jack duduk tepat di hadapannya, Lula cepat-cepat menundukkan kepala, berusaha menutupi kegugupannya dengan mengiris steak di piringnya. Ben, yang duduk di samping Jack, memperhatikan Lula dengan penuh rasa ingin tahu. “Hey, siapa dia? Apakah dia temanmu, Eve? Aku belum pernah melihatnya sebelumnya.” Eve yang mendengar itu hanya melirik malas. “Ya, sudah kukatakan tadi. Jangan membuatku mengulang hal yang sama.” “Aku tidak memperhatikan sebelumnya, jadi wajar kalau aku bertanya lagi,” balas Ben, merasa tak bersalah. “Kurasa tidak begitu,” ujar Eve, mengejek. Camelia yang mendengar percakapan mereka mendekat dan meletakkan sepiring dessert di atas meja. “Sudah, jangan bertengkar di meja makan. Tidak sopan.” “Aku tidak merasa bertengkar. Eve saja yang cepat marah. Lihat saja, kerutannya itu tak bisa menyembunyikan kalau dia memang pemarah,” ledek Ben sambil tersenyum jahil. “Diam sebelum garpu ini melayang ke wajahmu,” ancam Eve dengan nada kesal. “Eve, Ben, hentikan. Kalian tidak malu ada tamu di sini? Lihat, Lula pasti merasa tidak nyaman melihat kelakuan kalian,” kata Camelia, menegur keduanya dengan tegas. Lula tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Mom. Aku tidak masalah dengan itu,” katanya, berusaha terdengar santai meski sedikit gugup. Jack hanya melirik Lula sekilas sebelum kembali fokus pada makanannya. Dia tidak terlalu memperhatikan percakapan yang berlangsung di sekelilingnya. Makan malam tidak hanya berhenti di meja makan. Setelah selesai makan, Eve tiba-tiba merengek meminta ditemani menonton film. Lula awalnya ingin menolak, tetapi setelah Eve terus mendesak, akhirnya dia setuju. Mereka pun duduk di sofa bersama, menonton film horor yang dipilih Eve. “Oh, sial! Setannya mengejutkan. Banyak sekali jump scare di film ini!” gerutu Eve sambil menutup wajahnya dengan bantal, sesekali mengintip dari sisi bantal untuk melihat. Lula, di sisi lain, tampak tenang. Baginya, film yang sedang mereka tonton tidaklah menakutkan. Bahkan, biasa saja. Saat sedang menonton, Eve meraih gelasnya, tetapi tangannya tergelincir, membuat isinya tumpah mengenai baju Lula. “Argh!” Lula terkejut ketika merasakan bajunya basah dan dingin. Eve pun panik melihat kesalahan yang baru saja dia buat. “Lula, maaf! Aku tidak sengaja. Maaf sekali.” Lula buru-buru mengambil tisu dan mencoba mengeringkan bajunya. “Tidak apa-apa. Nanti akan bersih setelah dilap dengan tisu.” “Tidak, ini lengket dan berbau. Aku akan bawakan baju ganti untukmu. Tunggu sebentar!” ujar Eve dengan cepat sambil berlari ke atas. Lula berusaha menahan, tetapi dia tahu usahanya akan sia-sia. Beberapa saat kemudian, Eve kembali dengan membawa kaos bersih. “Ini, kamu bisa menggantinya di kamar mandi di sebelah dapur.” Lula menerima kaos itu dan tersenyum kecil. “Terima kasih. Aku akan segera mengganti pakaian.” “Sama-sama,” jawab Eve seraya kembali duduk di sofa, melanjutkan menonton film. Lula pun berjalan menuju kamar mandi. Saat melewati dapur, dia terhenti sejenak ketika melihat Jack berdiri di sana. Pria itu sedang minum air, tetapi merasa terganggu ketika menyadari Lula menatapnya. “Ada apa? Mengapa kamu menatapku seperti itu?” tanya Jack dengan nada tidak nyaman. Lula tergagap, tersadar dari lamunannya. “Eh, tidak... Aku hanya lewat, untuk ke kamar mandi,” jawabnya cepat. Jack tidak menanggapi lebih lanjut dan berlalu begitu saja. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, Lula memberanikan diri untuk berterima kasih. “Terima kasih!” Langkah Jack terhenti sejenak. Lula memberanikan diri untuk melanjutkan. “Aku belum sempat berterima kasih karena kamu menolongku malam itu. Aku tidak tahu apakah kamu masih mengingatku atau tidak, tetapi aku benar-benar tulus ingin berterima kasih.” Jack menoleh dengan tatapan datar. “Berterima kasih atau menggoda?” tanyanya dingin. Lula terperanjat. “Menggoda? Aku... maksudku, tidak, aku hanya ingin berterima kasih.” Jack mendengus. “Coba berkaca. Kamu mungkin tidak sadar, tetapi penampilanmu bisa membuat orang berpikir kamu sedang mencoba menggoda.” Tanpa menunggu jawaban, Jack pun pergi, meninggalkan Lula yang terdiam terkejut."Sial!" Lula merutuk dalam hati, merasa malu karena baru menyadari bahwa bra-nya terlihat jelas di balik kaos yang dikenakannya. Pakaian yang tadinya rapi, kini rusak gara-gara minuman yang ditumpahkan Eve. Dia keluar dari kamar mandi dengan perasaan tidak nyaman, menundukkan pandangannya saat kembali menuju sofa di ruang tamu. Eve masih duduk di sana, tampak asyik menonton televisi tanpa memperhatikan situasi yang dialami Lula. Merasa sofa di sebelahnya bergoyang, Eve menoleh dengan santai, tersenyum lebar. "Sudah selesai ganti baju?" "Iya, terima kasih," jawab Lula sambil mengusap rambutnya yang sedikit lembab. "Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya,” lanjutnya. Eve tertawa kecil. "Jangan khawatir, nggak perlu buru-buru. Kamu bisa kembalikan kapan pun kamu punya waktu." Lula tersenyum canggung. "Baiklah," katanya, meskipun rasa tidak enak itu belum sepenuhnya hilang. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan memfokuskan perhatian pada televisi di depannya, meski
Malam itu, Lula duduk tenang di kursi penumpang, menyandarkan tubuhnya pada jok kulit yang dingin. Jack, yang berada di balik kemudi, tampak sepenuhnya fokus pada jalan di depan. Udara dalam mobil terasa berat, hampir tidak ada obrolan yang mengalir di antara mereka. Jack tetap diam seperti patung, matanya lurus menatap ke depan. Tak ingin larut dalam suasana hening, Lula memutuskan untuk berbicara. "Terima kasih sudah mau mengantar," katanya dengan nada lembut, berharap bisa membuka percakapan. Namun, Jack tetap diam, seolah tak mendengar ucapannya. Lula menghela napas pelan, merasa tak ada gunanya memaksa. Dia memilih diam, menatap keluar jendela, mengamati gemerlap lampu kota yang berlalu. Meski ada keinginan untuk berbicara lebih banyak, sikap Jack membuatnya mundur. Mereka melaju dalam keheningan hingga tiba-tiba, mobil yang mereka kendarai melambat, kemudian berhenti di pinggir jalan. Lula, yang terkejut, langsung menoleh ke arah Jack, matanya penuh tanda tanya. "Ada apa?" t
Malam semakin larut, Jack dan Lula terpaksa mencari tempat berteduh ketika hujan turun deras. Mereka berlari menembus derasnya air hujan, hingga akhirnya menemukan sebuah gubug kosong. Basah kuyup dan kedinginan, mereka masuk ke dalam gubug yang sempit dan dingin. Lula mengusap lengannya dengan cepat, berusaha menghangatkan tubuhnya yang basah. Tanpa disadari, gerakan itu memperlihatkan siluet tubuhnya melalui baju yang basah. Jack, yang tak sengaja melihat, menahan napasnya. Pemandangan itu, meski tidak disengaja, memicu dorongan yang tak tertahan dalam dirinya. “Jack, ada apa? Kamu juga kedinginan?” tanya Lula, suaranya terdengar penuh kebingungan di tengah hujan yang deras. “Malam ini sangat dingin sekali. Apalagi setelah menembus hujan deras.” Jack menatap Lula, bukan pada ucapannya, tetapi pada bibirnya yang bergerak lembut. “Iya, udara memang dingin. Tapi, ada sesuatu yang bisa menghangatkannya,” jawab Jack dengan nada penuh makna. Kebingungan melintas di wajah Lula. “Hangat?
Lula terbangun lebih awal dari biasanya, terkejut oleh bunyi alarm yang memekakkan telinga. Dengan mata setengah terpejam, dia meraih tombol pematikan dan mematikan bunyi nyaring itu, mengusir rasa kantuk dan memaksa dirinya untuk bergerak. Pagi ini, dia merasa harus memberikan yang terbaik—dan dia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang penuh tantangan. Dengan malas, dia menuju kamar mandi. Air dingin yang menyentuh wajahnya membantu mengusir sisa-sisa kelelahan dari tubuhnya. Sambil mengeringkan wajah, dia memikirkan penampilannya hari ini, berusaha memastikan bahwa dia siap menghadapi segala sesuatu dengan percaya diri. Di depan cermin, Lula berdiri dengan tangan memegang sisir, menata rambutnya dengan hati-hati. Hari ini, dia memilih tampilan yang berbeda. Ujung rambut pirangnya yang biasanya lurus dia curly untuk memberikan tampilan yang lebih segar dan elegan. Hasilnya adalah gelombang lembut yang mengalir di sekitar wajahnya. Setelah selesai, dia memoles wajahnya den
Ting! Suara ponsel Lula bergetar lembut di saku, memecah kesunyian pagi. Dengan gerakan hati-hati, dia merogoh saku dan menarik perangkatnya. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Rasa penasaran merayap di benaknya. “Siapa yang mengirim pesan ini?” gumamnya, suara lembut namun penuh rasa ingin tahu. Dia menekan layar ponsel untuk membuka pesan yang tertulis di notifikasi. [Apa kau memiliki waktu? Aku ingin mengajakmu keluar membeli hadiah untuk Eve.] Pesan singkat ini mencuri perhatian Lula. Dengan cepat, matanya melebar. Jack, adik Eve, menghubunginya? Keterkejutan menyelimuti dirinya. Merasa tak percaya, Lula membalas pesan tersebut dengan rasa penasaran yang mendalam. Dia harus memastikan apakah ini benar-benar Jack. [Ini Jack?] sent Aku menunggu balasan, sambil menebak apakah pria itu yang mengirimnya pesan? Ting! [Ya, Jack Adderson. Aku akan datang menjemput. Bersiaplah.] Saat membaca balasan ini, jantung Lula berdetak kencang. Ada rasa bahagia yang tak bisa ia
“Terima kasih telah mengantar pulang,” ujar Lula dengan nada sopan, sambil menoleh ke arah Jack yang masih duduk di kursi kemudi. Jack hanya memberikan anggukan kepala sebagai balasan, tanpa menoleh atau berbicara lebih lanjut. Memahami sikap dinginnya, Lula segera membuka sabuk pengaman dan melangkah keluar dari mobil. Dengan lembut, dia melambaikan tangan sambil tersenyum, menyaksikan mobil Jack menjauh dari pandangannya. Setelah mobil Jack menghilang dari pandangan, Lula melangkah masuk ke apartemennya. Namun, saat ia berbalik, ia terkejut melihat Rey yang tiba-tiba berdiri di belakangnya. “Astaga, Pak Rey!” serunya, kaget dan tangannya memegang dadanya yang berdebar cepat. Rey tersenyum tipis, matanya menunjukkan sedikit kerutan di sudutnya. “Kenapa kamu tampak begitu terkejut, La? Saya tidak mengagetkanmu sepertinya.” Lula masih berdiri dengan ekspresi terkejut, matanya membulat. “Pak Rey muncul tiba-tiba di belakang saya. Tentunya saya kaget!” “Maaf jika saya membuat kaget
“Gladys! Oh my God, kamu sudah kembali?!” teriak Eleanor dengan terkejut. Gladys menoleh dengan senyum lembut. “Ini hari ulang tahun Eve, jadi aku merasa harus hadir,” jawabnya. Eve segera mendekati Gladys dan memeluknya erat. “Terima kasih sudah datang jauh-jauh, Dis,” ucapnya, suaranya penuh rasa syukur. Gladys tersenyum dan menarik diri dari pelukan. “Bagaimana dengan Jack? Dia ada di sini?” tanyanya. “Tentu saja. Dia ada di ruangan sana,” jawab Eve sambil menunjukkan arah. “Aku akan menemui Jack,” kata Gladys, lalu berjalan menuju bagian lain dari gedung. Lula memandangi Gladys yang pergi, merasa penasaran. Apa hubungan antara Gladys dan Jack? Eve melihat Lula yang tampak bingung. Dengan lembut, Eve menyentuh bahu Lula. “La, are you okay?” Lula tersadar dari lamunannya. “Ya, maaf. Aku hanya sedikit bingung.” Di sisi lain ruangan, Jack melihat Gladys dengan tatapan penuh kekaguman saat wanita itu melangkah mendekat dengan gaun putih bersih. Dia begitu bersemangat melihat wa
Lula mengerjapkan mata, terkejut dan bingung. Dia mengangguk pelan, berusaha menenangkan getaran di dalam dadanya. “Mungkin ciuman ini sebuah kesalahan. Maksudku, kita terbawa suasana, mungkin? Aku akan melupakannya, kamu tenang saja, Jack.” Jack terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku rasa tidak.” Lula menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Maksudnya?” Jack memandangnya dengan serius, “Ini bukan ciuman kesalahan seperti waktu itu. Aku memang menginginkannya. Ingin mengecup bibirmu, dan aku tidak bisa menahannya. Maaf.” Jantung Lula berdebar cepat. Dia memalingkan wajahnya, merasa malu dan bingung. “Tapi bagaimana bisa? Kamu sudah punya tunangan,” suaranya bergetar. Jack menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, terlihat sangat lelah. “Aku tidak tahu. Setiap kali aku bersamamu, aku merasakan sesuatu yang kuat. Aku tidak bisa mengendalikannya. Aku merasa nyaman bersamamu.” Lula merasa hatinya semakin berdebar. Dia meremas gaunnya di sisi kursi, mencoba menenangkan di
Lula menghela napas lega saat roda pesawat menyentuh landasan. Perjalanan dinas bersama Jack selama beberapa hari terakhir benar-benar menguras energi dan pikirannya. Meski pekerjaannya belum selesai sepenuhnya, ada rasa nyaman saat tahu dirinya kembali ke rumah. Ketika keluar dari pintu kedatangan, pandangannya langsung tertuju pada sosok Emily yang berdiri di antara kerumunan, melambai dengan senyum lebarnya. “Lula! Akhirnya kamu pulang juga!” seru Emily sambil menghampirinya, tanpa basa-basi langsung mengambil alih koper yang Lula tarik. “Gimana perjalananmu sama Pak Jack? Capek banget, ya?” Lula mengangguk sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang tampak jelas di wajahnya. “Lumayan. Banyak hal yang harus dicek di lapangan, tapi ya, semuanya berjalan lancar.” Emily menaikkan alis sambil menatap Lula dengan ekspresi menggoda. “Oh, lancar ya? Seru dong jalan bareng bos ganteng?” Lula mendengus kecil, malas menanggapi. “Seru apanya, Em? Aku ikut cuma b
Saat Lula terbangun keesokan paginya, cahaya matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai, langsung menyilaukan matanya. Ia mengerjap, perlahan menyadari bahwa selimut yang membungkus tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya.Memandang sekeliling, kepalanya masih terasa kabur. Matanya terarah pada sosok Jack yang terbaring di sampingnya, tidur dengan tenang, napasnya teratur. Wajahnya tampak damai, tapi justru itu yang membuat jantung Lula berdetak lebih cepat.Lula perlahan bangkit, merubah posisinya dan menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. Rasa sakit di kepalanya semakin terasa, dan ia mengerang pelan, mencoba menenangkan diri.Namun, saat matanya menyapu tubuhnya sendiri, ia terkejut. Di bawah selimut, dia tidak mengenakan apapun. Tubuh polosnya hanya terbungkus oleh selimut yang dia gunakan."Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya, gelisah.Lalu matanya kembali tertuju pada Jack yang masih terlelap. Tanpa sadar, pikirannya langsung melompat pada kemungkinan terburuk."Apa,
Lula memandang Jack di seberangnya, seolah waktu di antara mereka melambat. Kehangatan anggur yang mengalir dalam tubuhnya memberinya keberanian lebih. Wanita tak sadar, bahwa dia terlalu banyak minum malam ini. Kepalanya terasa sakit, sedikit berdenyut, dan dia mulai merasa pusing. Pandangannya lambat laun mulai mengabur, membuatnya kesal. “Sepertinya aku terlalu banyak minum,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Tanpa disadarinya, Jack sudah ada di sampingnya, menatapnya dengan khawatir. Dia menatap Lula dengan penuh kelembutan, hingga membuatnya kehilangan kata. Lula dapat merasakan kehangatan napas Jack menyapu di pipinya. Wanita itu terkekeh menatapnya. Jemarinya terulur menekan pipi pria itu.“Kenapa dunia begitu tidak adil padaku?” Lula mengeluh, nada suaranya mencerminkan rasa frustrasinya.Pria itu hanya membiarkannya meluapkan emosi, hingga ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya yang membuatnya terdiam.“Terkadang bibir ini berbicara sembarangan. Aku tidak menyukainya!”
Lula mencoba menenggelamkan perasaannya yang campur aduk dan berusaha fokus pada menu yang telah disiapkan Jack. Saat piring berisi hidangan mulai disajikan, aroma menggugah selera menyeruak ke udara. Makanan itu terlihat cantik, dihias dengan rapi dan menggiurkan.“Ini adalah salad dengan dressing lemon dan ikan salmon panggang,” kata Jack, menunjuk ke piring. “Dan untuk pencuci mulut, kami punya kue coklat yang sangat lezat.”Lula mengangguk, berusaha menikmati hidangan tersebut. Namun, saat dia mengambil suap pertama, dia membulatkan matanya. Hidangan ini sangat lezat.“Bagaimana rasanya?” tanya Jack, matanya tajam menilai reaksinya.“Rasanya enak,” jawab Lula dengan senyum yang dipaksakan. “Salad ini segar, dan salmonnya dimasak dengan sempurna.”“Baguslah,” kata Jack, tampak puas. “Saya ingin kamu memberi tahu saya secara jujur tentang semuanya. Ini adalah langkah dalam pengembangan resort.”“Baik. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan masukan, Pak,” jawab Lula samb
Gladys terbangun dengan kepala yang terasa berat. Dia mengerutkan kening sambil memijat pelipisnya, merasakan kehangatan dari dalam selimut tebal yang menutupi tubuh telanjangnya. Di sampingnya, lengan Rey masih melingkar di pinggangnya. Gladys membuka mata dan mendapati wajah Rey yang terlelap di dekatnya. Dia mendesah dalam hati, bertanya-tanya apakah keputusan ini benar. Dengan hati-hati, ia berusaha untuk melepaskan lengan Rey yang menahannya. Namun, lengan itu terasa menempel erat, seolah enggan untuk dilepaskan. Rey, yang merasa gerakan tersebut, membuka matanya. Maniknya menatap Gladys dengan senyuman lembut. “Selamat pagi,” ucapnya dengan suara parau. “Aku harus pergi. Singkirkan tanganmu,” kata Gladys dengan nada tegas, berusaha menyembunyikan rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Gladys terus berusaha melepaskan diri, namun Rey tetap menahannya. “Kenapa terburu-buru? Masih pagi, Dis,” katanya, suaranya santai dan tenang. “Kau gila?! Bagaimana jika Eve datang tiba-tib
“Halo Jack?” “Hai, apa kabar?” Gladys memejamkan matanya, merasakan detak jantungnya berdetak cepat. Dia takut Jack akan mencurigai sesuatu. “Dis, kamu baik-baik saja?” “Ah, ya, tentu. Aku baik-baik saja, Jack. Ada apa? Ada masalah di sana?” “Tidak. Aku hanya merindukan kamu, Dis.” “Aku juga sangat merindukanmu. Setelah semuanya beres, mari kita bertemu dan melepas rindu.” “Ya, tentu saja. Mari kita bertemu.” “Um, Jack, sepertinya aku harus menutup telepon ini. Aku akan menghubungimu nanti.” “Baiklah. Aku mencintaimu, Dis.” “Aku lebih mencintaimu.” Beep! Gladys menggenggam teleponnya, meremasnya dengan gugup. Dia merasa bingung dan tertekan, merasa seolah telah mengkhianati Jack. Tiba-tiba, tubuhnya dirangkul dari belakang. Mata Gladys melebar, dan dia segera berbalik. Tangannya menahan tubuh yang mendekat. “Rey?!” Rey masih menjaga jarak, namun tatapannya tetap lekat pada Gladys, dengan tangannya melingkar di pinggangnya. “Aku mencintaimu.” Gladys mengerutkan kening,
Penerbangan panjang yang melelahkan akhirnya berakhir. Lula bergerak cepat menuruni tangga pesawat, mengikuti langkah besar Jack yang telah lebih dulu turun. Honolulu, kota yang indah ini, menawarkan pemandangan menakjubkan dengan langit biru cerah dan udara tropis yang segar. Siapa yang tidak ingin mengunjungi tempat seperti ini? Bagaikan Bali di negara bagian Hawaii, keindahannya memikat setiap mata yang melihat. Setibanya mereka di bandara, seorang pria berpakaian rapi dengan name-tag bertuliskan “Billi” menghampiri mereka. “Selamat pagi, Pak Jack,” sapanya dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Billi. Apa hotel sudah siap?” tanya Jack. “Ya, Pak. Semua yang Bapak minta sudah disiapkan. Saya di sini untuk menjemput dan mengantar ke hotel,” jawab Billi dengan penuh percaya diri. Billi dengan sigap mengambil alih koper yang sebelumnya dipegang oleh Jack. Dia sedikit menoleh ke arah Lula, “Boleh saya bantu membawa koper Nona juga?” “Ah, tidak perlu. Saya bisa membawanya sendiri,”
Lula membiarkan senyumnya tetap tergambar di wajahnya. Ada sesuatu yang terasa aneh di hatinya sejak malam tadi. Perasaan itu asing, tapi juga menyenangkan. Lula tidak tahu pasti, namun ada kebahagiaan yang menggelitik jiwanya. Kebahagiaan seperti apa? Bahkan dia sendiri tidak mampu mendefinisikannya. Ketika Emil tiba-tiba muncul, dia langsung mengernyitkan alisnya, heran melihat Lula yang terlihat melamun sambil tersenyum sendirian. “La! Kenapa senyum-senyum enggak jelas?” Tersentak oleh suara sahabatnya, Lula mengangkat wajahnya dan menatap Emil yang kini berdiri di dekatnya. “Enggak apa-apa, Mil,” jawab Lula sambil melirik ke arah sahabatnya. Emil mengerutkan dahi, masih tidak percaya. “Hah? Aneh, deh kamu!” Emil kemudian duduk di samping Lula, menyilangkan kakinya sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Rasanya, aku pengen ambil cuti.” Lula menoleh, keningnya berkerut bingung. “Cuti? Buat apa, Mil?” Emil mendesah panjang, sebelum menjawab dengan nada datar, “Pengen n
Lula membiarkan matanya menjelajahi setiap sudut apartemen Jack, merasa terkesan oleh keteraturan dan kerapian yang ada di dalamnya. Segalanya tampak tersusun dengan sempurna, mencerminkan karakter Jack yang selalu perfeksionis. Suasana ruangan itu begitu tenang dan terorganisir, seolah semuanya berada di tempat yang seharusnya. “Dia sungguh luar biasa,” pikir Lula dalam hati sambil menatap sebuah foto yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Jack berdiri bersama keluarganya—Eve dan Tante Camila. Meski pertemuan mereka singkat, Lula mengenal mereka cukup baik untuk merasa akrab dengan sosok-sosok di dalam foto itu. Suara langkah Jack memecah keheningan. Napasnya sedikit berat ketika ia muncul dari balik pintu, membawa sesuatu di tangannya. "Apakah ini ponselmu?" tanyanya dengan nada datar, memperlihatkan ponsel yang digenggamnya. Lula menoleh dan mengangguk pelan. “Ya, itu milikku.” Jack mendekat dan menyerahkan ponsel itu. “Ambil.” Senyum tipis terbentuk di bibir Lula saat men