Lula memeriksa ponselnya, tapi tak ada balasan dari Rey. Sudah hampir setengah jam sejak pria itu memintanya menunggu di kantor. Dia melirik jam di layar laptopnya. Hampir pukul tujuh malam, dan hari mulai gelap.
“Kenapa Pak Rey suruh nunggu kalau akhirnya nggak datang juga?” gumam Lula, mulai merasa jengkel. Rasa kesal mulai menguasai pikirannya. Dia sudah selesai dengan pekerjaannya sejak beberapa jam yang lalu, tapi Rey belum kembali. Dia hanya mengiriminya pesan singkat sebelum akhirnya hilang tak ada kabar. Lula juga sudah mengiriminya balasan, namun sampai sskarang Bosnya tak kunjung membalas. Wanita itu akhirnya bangkit dari kursi, dan mengambil tas di meja, lalu dia berjalan keluar kantor. "Mending balik," pikirnya. Dia menyusuri koridor yang kosong. Kantor sudah sepi, hanya beberapa lampu yang masih menyala di ruang-ruang kosong. Lobi pun lengang, satu atau dua staf yang tersisa sudah bergegas pulang. Setelah sampai di basement, Lula segera masuk ke mobilnya dan menghidupkan mesin. "Harusnya dari tadi langsung pulang," katanya sambil menarik sabuk pengaman. Dia memutar mobil keluar dari parkiran. Namun, saat sedang memasuki jalan raya, tiba-tiba sebuah mobil hitam muncul dari arah kiri dan menabrak bodi mobilnya dengan keras. Brak! Tubuh Lula terdorong ke depan, tapi sabuk pengaman menahan guncangan. Untung saja tak terjadi sesuatu padanya. “Sial!" serunya sambil melepaskan sabuk pengaman dengan gerakan cepat. Dia segera keluar dari mobil, menatap dengan kaget bagian depan mobilnya yang penyok. Dengan langkah tegas, dia menghampiri mobil hitam yang menabraknya, lalu mengetuk kaca jendelanya dengan keras. “Keluar!” serunya dengan nada kesal. “Keluar! Jangan sembunyi setelah menabrak. Keluarr!!” Pintu mobil akhienya terbuka, dan seorang wanita muda dengan rambut sebahu keluar dari dalam, wajahnya penuh rasa bersalah. "Maaf, maaf banget. Aku tidak bermaksud untuk menabrak mobilmu. Tadi ponselku jatuh, dan aku mencoba mengambilnya. Aku hilang kendali..." katanya cepat, suaranya terdengar gugup. Lula, yang masih merasa jengkel, melipat tangan di dadanya. "Maaf? Kamu bahkan nyaris membunuhku! Lihat, mobilku menjadi baret karenamu.” Wanita itu mengangguk cepat. "Aku benar-benar minta maaf. Aku janji akan bertanggung jawab," katanya sambil meraih ponselnya dari saku. "Tunggu sebentar, aku akan menghubungi seseorang.” Dengan cepat, wanita itu menepi dan menelepon. "Dad, aku mengalami kecelakaan kecil. Bisa kirim mekanik untuk memperbaiki mobil yang aku tabrak? Segera,” katanya dengan nada cemas. “Baiklah. Daddy akan kirimkan mekanik kesana, kirim titik lokasinya.” “Ya, aku akan mengirimkannya sekarang. Terima kasih.” Setelah menutup telepon, wanita itu kembali mendekati Lula dengan senyum canggung. "Aku sudah berbicara dengan Daddyku. Mereka akan mengurus mobilmu.” “Terimakasih, aku minta maaf sudah merespon berlebihan. Aku sedang lelah, hari ini.” “Tentu, sepertinya wajar dalam situasi seperti ini. Tidak masalah. Tapi, bagaimana kalau aku traktir makan sebagai permintaan maaf? Aku benar-benar merasa bersalah. Mungkin kita bisa makan, sambil menunggu mobilmu selesai diperbaiki?” Lula terdiam sejenak, merasa sedikit terkejut dengan tawarannya. Dia tidak tahu harus merespons apa. Di satu sisi, dia masih kesal, tapi di sisi lain, wanita di depannya terlihat tulus. “Tidak perlu, aku cuma ingin mobilku diperbaiki,” jawab Lula akhirnya, meskipun nadanya sedikit melunak. “Tolong, aku sungguh ingin menebus kesalahan ini,” pinta wanita itu, matanya terlihat berharap. "Aku merasa nggak enak sekali." Lula menghela napas, lalu mengangguk. "Baiklah, aku akan ikut." Wanita itu tampak lega dan tersenyum lebar. "Terima kasih! Mari naik ke mobil, aku akan mengajakmu mencari makan.” Lula mengikuti wanita itu kembali ke mobilnya dan duduk di kursi samping kemudi. Di sepanjang perjalanan, wanita itu terus berbicara, sementara Lula hanya menjawab sekenanya. Ternyata, wanita itu tak henti-hentinya mengoceh. "Aku sering menyetir sendirian, dan rasanya sepi sekali ketika mengemudi. Sekarang, aku merasa mempunya teman bicara seperti ini, rasanya menyenangkan,” katanya dengan antusias. Lula hanya tersenyum tipis, tak ingin membuat suasana canggung. Dia sedikit bingung harus merespons bagaimana. Wanita ini terlalu ramah, bahkan untuk seseorang yang baru saja menabrak mobilnya. Beberapa menit kemudian, ponsel wanita itu berdering. Dia langsung meraih earphonenya. “Ada apa Mom?" katanya setelah mengangkat panggilan. “Sekarang? Aku sedang dalam perjalanan buat makan malam dengan seseorang…” Dia berhenti sejenak, mendengarkan suara di seberang, lalu menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan pulang. Tapi jangan ceramahi aku di telepon, Mom. Aku sedang menyetir!” Setelah menutup telepon, dia menoleh ke arah Lula. "Bagaimana kalau kita makan malam di rumahku saja? Mommy baru saja memaksaku pulang." Lula terkejut. "Ha? Kamu serius?" "Ya, dia memintaku kembali, tapi aku tak ingin membatalkan janji denganmu. Jadi bagaimana kalau kita makan dirumahku saja? Tenang, Mommyku orang yang baik.” Lula ragu sejenak. Rasanya aneh untuk menerima tawaran dari orang yang baru dikenalnya. "Aku nggak mau merepotkan," katanya dengan sopan. "Ah, jangan khawatir! Anggap sebagai permintaan maaf, ayolah!" wanita itu mendesak. Lula menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain. "Baiklah," jawabnya akhirnya. Mobil itu berbelok ke sebuah jalan kecil yang mengarah ke daerah perumahan elite. Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi terlihat seperti istanah. "Ini rumahmu?" tanya Lula, tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Ayo, masuk." Lula mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah. Begitu pintu terbuka, dia langsung disambut pemandangan interior yang mewah—dinding marmer, lampu gantung kristal, dan perabotan antik yang tertata rapi. "Mom, I'm home!" seru wanita itu dengan suara ceria. Dari arah tangga, seorang wanita elegan dengan rambut berwarna pirang itu turun perlahan, tersenyum lebar ke arah mereka. "Ah, Eve, kamu sudah pulang," katanya dengan nada lembut. “Dan siapa tamumu?" tanyanya ketika melihat Lula disisi Eve. Eve—ternyata nama wanita yang menabrak mobilnya adalah Eve. Lula kemudian membalas sapaannya dengan tersenyum canggung. “Ini Lula. Aku menabrak mobilnya tadi, dan sebagai permintaan maaf, aku membawanya ke sini,” jelas Eve. "Oh, maafkan anakku yang ceroboh," kata Ibu Eve sambil menjulurkan tangan ke arah Lula. "Namaku Camelia. Senang bertemu denganmu." Lula menjabat tangan wanita itu dengan sopan. "Senang bertemu juga, Tante," jawabnya. "Silakan duduk, kita akan makan sebentar lagi," kata Camelia sambil mengarahkan mereka ke ruang makan. Ruang makan itu sangat luas, dengan meja panjang yang dipenuhi berbagai hidangan. Lula duduk di salah satu kursi sambil menatap sekeliling dengan takjub. Rumah ini sungguh luar biasa. Makanan mulai disajikan, dan Lula merasa sedikit canggung di tengah kemewahan itu. Camelia tersenyum lembut. "Jangan sungkan, Lula. Anggap saja seperti di rumah sendiri." Lula mengangguk. "Terima kasih, Tante." Mereka mulai menikmati makan malam dengan tenang. Namun, tiba - tiba seseorang melangkah mendekat. Lula yang menyadari mendongak melihat, siapa yang datang? Apa mungkin keluarga Eve yang lain? Matanya menyorot pria yang semakin mendekat, dia teringat seseorang yang sangat familiar diingatannya. Tapi siapa? “Apa aku terlambat?” Suara itu … dia semakin merasa familiar? Lula merasa berdebar, bahkan kini matanya bertatap langsung dengan pria itu. Seketika bayangan seseorang muncul dalam ingatannya. “Dia?!” gumamnya pelan.Mata Lula bertemu dengan sosok pria yang terasa familiar di ingatannya. Ada keterkejutan yang jelas tergambar di wajahnya ketika melihat siapa yang baru saja datang. “Jack! Mengapa kamu terlambat? Mom pikir kamu tidak akan datang karena sibuk dengan pekerjaanmu,” ujar Eve, suaranya mengandung rasa lega sekaligus menuntut. Pria itu tersenyum tipis, sedikit canggung. “Maaf, Mom. Tadi aku hampir lupa. Namun, Ben mengingatkan aku untuk segera pulang. Benar begitu, Ben?” katanya sambil melirik pria di sampingnya. “Tentu saja! Aku selalu menjadi pengingatnya, Mom. Dia memang sudah mulai tua, sepertinya,” sahut Ben dengan nada bercanda. Jack mendengus, kemudian menatap Ben dengan ekspresi tidak suka. “Tutup mulutmu, Ben. Omong kosongmu itu tidak ada gunanya.” Eve tertawa pelan melihat interaksi antara Jack dan Ben. Namun, tatapan Jack tiba-tiba teralih ke sosok lain di meja makan. Ada keheranan di matanya. Dia mengernyit, seakan berusaha mengingat sesuatu. Tanpa berkata apa pun, tatapann
"Sial!" Lula merutuk dalam hati, merasa malu karena baru menyadari bahwa bra-nya terlihat jelas di balik kaos yang dikenakannya. Pakaian yang tadinya rapi, kini rusak gara-gara minuman yang ditumpahkan Eve. Dia keluar dari kamar mandi dengan perasaan tidak nyaman, menundukkan pandangannya saat kembali menuju sofa di ruang tamu. Eve masih duduk di sana, tampak asyik menonton televisi tanpa memperhatikan situasi yang dialami Lula. Merasa sofa di sebelahnya bergoyang, Eve menoleh dengan santai, tersenyum lebar. "Sudah selesai ganti baju?" "Iya, terima kasih," jawab Lula sambil mengusap rambutnya yang sedikit lembab. "Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya,” lanjutnya. Eve tertawa kecil. "Jangan khawatir, nggak perlu buru-buru. Kamu bisa kembalikan kapan pun kamu punya waktu." Lula tersenyum canggung. "Baiklah," katanya, meskipun rasa tidak enak itu belum sepenuhnya hilang. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan memfokuskan perhatian pada televisi di depannya, meski
Malam itu, Lula duduk tenang di kursi penumpang, menyandarkan tubuhnya pada jok kulit yang dingin. Jack, yang berada di balik kemudi, tampak sepenuhnya fokus pada jalan di depan. Udara dalam mobil terasa berat, hampir tidak ada obrolan yang mengalir di antara mereka. Jack tetap diam seperti patung, matanya lurus menatap ke depan. Tak ingin larut dalam suasana hening, Lula memutuskan untuk berbicara. "Terima kasih sudah mau mengantar," katanya dengan nada lembut, berharap bisa membuka percakapan. Namun, Jack tetap diam, seolah tak mendengar ucapannya. Lula menghela napas pelan, merasa tak ada gunanya memaksa. Dia memilih diam, menatap keluar jendela, mengamati gemerlap lampu kota yang berlalu. Meski ada keinginan untuk berbicara lebih banyak, sikap Jack membuatnya mundur. Mereka melaju dalam keheningan hingga tiba-tiba, mobil yang mereka kendarai melambat, kemudian berhenti di pinggir jalan. Lula, yang terkejut, langsung menoleh ke arah Jack, matanya penuh tanda tanya. "Ada apa?" t
Malam semakin larut, Jack dan Lula terpaksa mencari tempat berteduh ketika hujan turun deras. Mereka berlari menembus derasnya air hujan, hingga akhirnya menemukan sebuah gubug kosong. Basah kuyup dan kedinginan, mereka masuk ke dalam gubug yang sempit dan dingin. Lula mengusap lengannya dengan cepat, berusaha menghangatkan tubuhnya yang basah. Tanpa disadari, gerakan itu memperlihatkan siluet tubuhnya melalui baju yang basah. Jack, yang tak sengaja melihat, menahan napasnya. Pemandangan itu, meski tidak disengaja, memicu dorongan yang tak tertahan dalam dirinya. “Jack, ada apa? Kamu juga kedinginan?” tanya Lula, suaranya terdengar penuh kebingungan di tengah hujan yang deras. “Malam ini sangat dingin sekali. Apalagi setelah menembus hujan deras.” Jack menatap Lula, bukan pada ucapannya, tetapi pada bibirnya yang bergerak lembut. “Iya, udara memang dingin. Tapi, ada sesuatu yang bisa menghangatkannya,” jawab Jack dengan nada penuh makna. Kebingungan melintas di wajah Lula. “Hangat?
Lula terbangun lebih awal dari biasanya, terkejut oleh bunyi alarm yang memekakkan telinga. Dengan mata setengah terpejam, dia meraih tombol pematikan dan mematikan bunyi nyaring itu, mengusir rasa kantuk dan memaksa dirinya untuk bergerak. Pagi ini, dia merasa harus memberikan yang terbaik—dan dia tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang penuh tantangan. Dengan malas, dia menuju kamar mandi. Air dingin yang menyentuh wajahnya membantu mengusir sisa-sisa kelelahan dari tubuhnya. Sambil mengeringkan wajah, dia memikirkan penampilannya hari ini, berusaha memastikan bahwa dia siap menghadapi segala sesuatu dengan percaya diri. Di depan cermin, Lula berdiri dengan tangan memegang sisir, menata rambutnya dengan hati-hati. Hari ini, dia memilih tampilan yang berbeda. Ujung rambut pirangnya yang biasanya lurus dia curly untuk memberikan tampilan yang lebih segar dan elegan. Hasilnya adalah gelombang lembut yang mengalir di sekitar wajahnya. Setelah selesai, dia memoles wajahnya den
Ting! Suara ponsel Lula bergetar lembut di saku, memecah kesunyian pagi. Dengan gerakan hati-hati, dia merogoh saku dan menarik perangkatnya. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Rasa penasaran merayap di benaknya. “Siapa yang mengirim pesan ini?” gumamnya, suara lembut namun penuh rasa ingin tahu. Dia menekan layar ponsel untuk membuka pesan yang tertulis di notifikasi. [Apa kau memiliki waktu? Aku ingin mengajakmu keluar membeli hadiah untuk Eve.] Pesan singkat ini mencuri perhatian Lula. Dengan cepat, matanya melebar. Jack, adik Eve, menghubunginya? Keterkejutan menyelimuti dirinya. Merasa tak percaya, Lula membalas pesan tersebut dengan rasa penasaran yang mendalam. Dia harus memastikan apakah ini benar-benar Jack. [Ini Jack?] sent Aku menunggu balasan, sambil menebak apakah pria itu yang mengirimnya pesan? Ting! [Ya, Jack Adderson. Aku akan datang menjemput. Bersiaplah.] Saat membaca balasan ini, jantung Lula berdetak kencang. Ada rasa bahagia yang tak bisa ia
“Terima kasih telah mengantar pulang,” ujar Lula dengan nada sopan, sambil menoleh ke arah Jack yang masih duduk di kursi kemudi. Jack hanya memberikan anggukan kepala sebagai balasan, tanpa menoleh atau berbicara lebih lanjut. Memahami sikap dinginnya, Lula segera membuka sabuk pengaman dan melangkah keluar dari mobil. Dengan lembut, dia melambaikan tangan sambil tersenyum, menyaksikan mobil Jack menjauh dari pandangannya. Setelah mobil Jack menghilang dari pandangan, Lula melangkah masuk ke apartemennya. Namun, saat ia berbalik, ia terkejut melihat Rey yang tiba-tiba berdiri di belakangnya. “Astaga, Pak Rey!” serunya, kaget dan tangannya memegang dadanya yang berdebar cepat. Rey tersenyum tipis, matanya menunjukkan sedikit kerutan di sudutnya. “Kenapa kamu tampak begitu terkejut, La? Saya tidak mengagetkanmu sepertinya.” Lula masih berdiri dengan ekspresi terkejut, matanya membulat. “Pak Rey muncul tiba-tiba di belakang saya. Tentunya saya kaget!” “Maaf jika saya membuat kaget
“Gladys! Oh my God, kamu sudah kembali?!” teriak Eleanor dengan terkejut. Gladys menoleh dengan senyum lembut. “Ini hari ulang tahun Eve, jadi aku merasa harus hadir,” jawabnya. Eve segera mendekati Gladys dan memeluknya erat. “Terima kasih sudah datang jauh-jauh, Dis,” ucapnya, suaranya penuh rasa syukur. Gladys tersenyum dan menarik diri dari pelukan. “Bagaimana dengan Jack? Dia ada di sini?” tanyanya. “Tentu saja. Dia ada di ruangan sana,” jawab Eve sambil menunjukkan arah. “Aku akan menemui Jack,” kata Gladys, lalu berjalan menuju bagian lain dari gedung. Lula memandangi Gladys yang pergi, merasa penasaran. Apa hubungan antara Gladys dan Jack? Eve melihat Lula yang tampak bingung. Dengan lembut, Eve menyentuh bahu Lula. “La, are you okay?” Lula tersadar dari lamunannya. “Ya, maaf. Aku hanya sedikit bingung.” Di sisi lain ruangan, Jack melihat Gladys dengan tatapan penuh kekaguman saat wanita itu melangkah mendekat dengan gaun putih bersih. Dia begitu bersemangat melihat wa
Lula menghela napas lega saat roda pesawat menyentuh landasan. Perjalanan dinas bersama Jack selama beberapa hari terakhir benar-benar menguras energi dan pikirannya. Meski pekerjaannya belum selesai sepenuhnya, ada rasa nyaman saat tahu dirinya kembali ke rumah. Ketika keluar dari pintu kedatangan, pandangannya langsung tertuju pada sosok Emily yang berdiri di antara kerumunan, melambai dengan senyum lebarnya. “Lula! Akhirnya kamu pulang juga!” seru Emily sambil menghampirinya, tanpa basa-basi langsung mengambil alih koper yang Lula tarik. “Gimana perjalananmu sama Pak Jack? Capek banget, ya?” Lula mengangguk sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang tampak jelas di wajahnya. “Lumayan. Banyak hal yang harus dicek di lapangan, tapi ya, semuanya berjalan lancar.” Emily menaikkan alis sambil menatap Lula dengan ekspresi menggoda. “Oh, lancar ya? Seru dong jalan bareng bos ganteng?” Lula mendengus kecil, malas menanggapi. “Seru apanya, Em? Aku ikut cuma b
Saat Lula terbangun keesokan paginya, cahaya matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai, langsung menyilaukan matanya. Ia mengerjap, perlahan menyadari bahwa selimut yang membungkus tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya.Memandang sekeliling, kepalanya masih terasa kabur. Matanya terarah pada sosok Jack yang terbaring di sampingnya, tidur dengan tenang, napasnya teratur. Wajahnya tampak damai, tapi justru itu yang membuat jantung Lula berdetak lebih cepat.Lula perlahan bangkit, merubah posisinya dan menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. Rasa sakit di kepalanya semakin terasa, dan ia mengerang pelan, mencoba menenangkan diri.Namun, saat matanya menyapu tubuhnya sendiri, ia terkejut. Di bawah selimut, dia tidak mengenakan apapun. Tubuh polosnya hanya terbungkus oleh selimut yang dia gunakan."Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya, gelisah.Lalu matanya kembali tertuju pada Jack yang masih terlelap. Tanpa sadar, pikirannya langsung melompat pada kemungkinan terburuk."Apa,
Lula memandang Jack di seberangnya, seolah waktu di antara mereka melambat. Kehangatan anggur yang mengalir dalam tubuhnya memberinya keberanian lebih. Wanita tak sadar, bahwa dia terlalu banyak minum malam ini. Kepalanya terasa sakit, sedikit berdenyut, dan dia mulai merasa pusing. Pandangannya lambat laun mulai mengabur, membuatnya kesal. “Sepertinya aku terlalu banyak minum,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Tanpa disadarinya, Jack sudah ada di sampingnya, menatapnya dengan khawatir. Dia menatap Lula dengan penuh kelembutan, hingga membuatnya kehilangan kata. Lula dapat merasakan kehangatan napas Jack menyapu di pipinya. Wanita itu terkekeh menatapnya. Jemarinya terulur menekan pipi pria itu.“Kenapa dunia begitu tidak adil padaku?” Lula mengeluh, nada suaranya mencerminkan rasa frustrasinya.Pria itu hanya membiarkannya meluapkan emosi, hingga ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya yang membuatnya terdiam.“Terkadang bibir ini berbicara sembarangan. Aku tidak menyukainya!”
Lula mencoba menenggelamkan perasaannya yang campur aduk dan berusaha fokus pada menu yang telah disiapkan Jack. Saat piring berisi hidangan mulai disajikan, aroma menggugah selera menyeruak ke udara. Makanan itu terlihat cantik, dihias dengan rapi dan menggiurkan.“Ini adalah salad dengan dressing lemon dan ikan salmon panggang,” kata Jack, menunjuk ke piring. “Dan untuk pencuci mulut, kami punya kue coklat yang sangat lezat.”Lula mengangguk, berusaha menikmati hidangan tersebut. Namun, saat dia mengambil suap pertama, dia membulatkan matanya. Hidangan ini sangat lezat.“Bagaimana rasanya?” tanya Jack, matanya tajam menilai reaksinya.“Rasanya enak,” jawab Lula dengan senyum yang dipaksakan. “Salad ini segar, dan salmonnya dimasak dengan sempurna.”“Baguslah,” kata Jack, tampak puas. “Saya ingin kamu memberi tahu saya secara jujur tentang semuanya. Ini adalah langkah dalam pengembangan resort.”“Baik. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan masukan, Pak,” jawab Lula samb
Gladys terbangun dengan kepala yang terasa berat. Dia mengerutkan kening sambil memijat pelipisnya, merasakan kehangatan dari dalam selimut tebal yang menutupi tubuh telanjangnya. Di sampingnya, lengan Rey masih melingkar di pinggangnya. Gladys membuka mata dan mendapati wajah Rey yang terlelap di dekatnya. Dia mendesah dalam hati, bertanya-tanya apakah keputusan ini benar. Dengan hati-hati, ia berusaha untuk melepaskan lengan Rey yang menahannya. Namun, lengan itu terasa menempel erat, seolah enggan untuk dilepaskan. Rey, yang merasa gerakan tersebut, membuka matanya. Maniknya menatap Gladys dengan senyuman lembut. “Selamat pagi,” ucapnya dengan suara parau. “Aku harus pergi. Singkirkan tanganmu,” kata Gladys dengan nada tegas, berusaha menyembunyikan rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Gladys terus berusaha melepaskan diri, namun Rey tetap menahannya. “Kenapa terburu-buru? Masih pagi, Dis,” katanya, suaranya santai dan tenang. “Kau gila?! Bagaimana jika Eve datang tiba-tib
“Halo Jack?” “Hai, apa kabar?” Gladys memejamkan matanya, merasakan detak jantungnya berdetak cepat. Dia takut Jack akan mencurigai sesuatu. “Dis, kamu baik-baik saja?” “Ah, ya, tentu. Aku baik-baik saja, Jack. Ada apa? Ada masalah di sana?” “Tidak. Aku hanya merindukan kamu, Dis.” “Aku juga sangat merindukanmu. Setelah semuanya beres, mari kita bertemu dan melepas rindu.” “Ya, tentu saja. Mari kita bertemu.” “Um, Jack, sepertinya aku harus menutup telepon ini. Aku akan menghubungimu nanti.” “Baiklah. Aku mencintaimu, Dis.” “Aku lebih mencintaimu.” Beep! Gladys menggenggam teleponnya, meremasnya dengan gugup. Dia merasa bingung dan tertekan, merasa seolah telah mengkhianati Jack. Tiba-tiba, tubuhnya dirangkul dari belakang. Mata Gladys melebar, dan dia segera berbalik. Tangannya menahan tubuh yang mendekat. “Rey?!” Rey masih menjaga jarak, namun tatapannya tetap lekat pada Gladys, dengan tangannya melingkar di pinggangnya. “Aku mencintaimu.” Gladys mengerutkan kening,
Penerbangan panjang yang melelahkan akhirnya berakhir. Lula bergerak cepat menuruni tangga pesawat, mengikuti langkah besar Jack yang telah lebih dulu turun. Honolulu, kota yang indah ini, menawarkan pemandangan menakjubkan dengan langit biru cerah dan udara tropis yang segar. Siapa yang tidak ingin mengunjungi tempat seperti ini? Bagaikan Bali di negara bagian Hawaii, keindahannya memikat setiap mata yang melihat. Setibanya mereka di bandara, seorang pria berpakaian rapi dengan name-tag bertuliskan “Billi” menghampiri mereka. “Selamat pagi, Pak Jack,” sapanya dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Billi. Apa hotel sudah siap?” tanya Jack. “Ya, Pak. Semua yang Bapak minta sudah disiapkan. Saya di sini untuk menjemput dan mengantar ke hotel,” jawab Billi dengan penuh percaya diri. Billi dengan sigap mengambil alih koper yang sebelumnya dipegang oleh Jack. Dia sedikit menoleh ke arah Lula, “Boleh saya bantu membawa koper Nona juga?” “Ah, tidak perlu. Saya bisa membawanya sendiri,”
Lula membiarkan senyumnya tetap tergambar di wajahnya. Ada sesuatu yang terasa aneh di hatinya sejak malam tadi. Perasaan itu asing, tapi juga menyenangkan. Lula tidak tahu pasti, namun ada kebahagiaan yang menggelitik jiwanya. Kebahagiaan seperti apa? Bahkan dia sendiri tidak mampu mendefinisikannya. Ketika Emil tiba-tiba muncul, dia langsung mengernyitkan alisnya, heran melihat Lula yang terlihat melamun sambil tersenyum sendirian. “La! Kenapa senyum-senyum enggak jelas?” Tersentak oleh suara sahabatnya, Lula mengangkat wajahnya dan menatap Emil yang kini berdiri di dekatnya. “Enggak apa-apa, Mil,” jawab Lula sambil melirik ke arah sahabatnya. Emil mengerutkan dahi, masih tidak percaya. “Hah? Aneh, deh kamu!” Emil kemudian duduk di samping Lula, menyilangkan kakinya sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Rasanya, aku pengen ambil cuti.” Lula menoleh, keningnya berkerut bingung. “Cuti? Buat apa, Mil?” Emil mendesah panjang, sebelum menjawab dengan nada datar, “Pengen n
Lula membiarkan matanya menjelajahi setiap sudut apartemen Jack, merasa terkesan oleh keteraturan dan kerapian yang ada di dalamnya. Segalanya tampak tersusun dengan sempurna, mencerminkan karakter Jack yang selalu perfeksionis. Suasana ruangan itu begitu tenang dan terorganisir, seolah semuanya berada di tempat yang seharusnya. “Dia sungguh luar biasa,” pikir Lula dalam hati sambil menatap sebuah foto yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Jack berdiri bersama keluarganya—Eve dan Tante Camila. Meski pertemuan mereka singkat, Lula mengenal mereka cukup baik untuk merasa akrab dengan sosok-sosok di dalam foto itu. Suara langkah Jack memecah keheningan. Napasnya sedikit berat ketika ia muncul dari balik pintu, membawa sesuatu di tangannya. "Apakah ini ponselmu?" tanyanya dengan nada datar, memperlihatkan ponsel yang digenggamnya. Lula menoleh dan mengangguk pelan. “Ya, itu milikku.” Jack mendekat dan menyerahkan ponsel itu. “Ambil.” Senyum tipis terbentuk di bibir Lula saat men