Lula baru saja membuka pintu apartemennya ketika suara langkah cepat terdengar dari lorong. Dalam hitungan detik, Emil muncul dengan napas tersengal, rambut pirangnya sedikit berantakan seperti habis berlari tanpa henti. "Lula! Tunggu sebentar!" serunya, berusaha mengatur napas. Lula mengerutkan kening, terkejut dengan kedatangan Emil yang tiba-tiba. "Emil? Kenapa kamu di sini? Ada apa?" Emil menegakkan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu pada pinggang. Wajahnya menunjukkan ekspresi campuran antara khawatir dan kesal. "Seharusnya aku yang tanya. Semalam kamu di mana? Kamu enggak pulang, kan?" Lula menatap Emil dengan heran. "Dari mana kamu tahu kalau aku enggak pulang?" Emil mendengus. "Siapa lagi kalau bukan Pak Rey," katanya cepat. Mata Lula melebar. "Pak Rey?" Nama itu membuat pikirannya langsung dipenuhi tanda tanya. Mengapa bosnya sampai mencarinya? "Iya! Pak Rey nelepon aku berkali-kali semalam, nanya kamu ada di mana. Aku sampai bingung jelasinnya." Emil menggeleng kesal
Lula memeriksa ponselnya, tapi tak ada balasan dari Rey. Sudah hampir setengah jam sejak pria itu memintanya menunggu di kantor. Dia melirik jam di layar laptopnya. Hampir pukul tujuh malam, dan hari mulai gelap. “Kenapa Pak Rey suruh nunggu kalau akhirnya tidak datang juga?” gumam Lula, mulai merasa jengkel. Rasa kesal mulai menguasai pikiran Lula. Dia sudah menyelesaikan pekerjaannya sejak beberapa jam yang lalu, tapi Rey belum juga kembali. Hanya ada satu pesan singkat yang pria itu kirim sebelum akhirnya menghilang tanpa kabar. Lula sudah beberapa kali mengirimkan balasan, tetapi hingga kini bosnya tak juga merespons. Akhirnya, dengan napas panjang, ia bangkit dari kursinya, meraih tasnya dari meja, dan berjalan keluar kantor. "Mending pulang saja," pikirnya. Koridor terasa lengang. Kantor sudah sepi, hanya beberapa lampu di ruangan kosong yang masih menyala. Lobi pun tampak lengang, hanya tersisa satu atau dua staf yang sedang bersiap untuk pulang. Setibanya di basem
Mata Lula terpaku pada pria yang baru saja datang. Ada sesuatu yang terasa familiar darinya, meskipun bayangan itu masih samar di ingatannya. “Jack, mengapa kamu terlambat? Tadi, Mommy pikir kamu tidak akan datang karena sibuk dengan pekerjaanmu,” ujar Eve, suaranya terdengar lega.Pria yang dipanggil Jack hanya tersenyum tipis, tampak sedikit canggung. “Aku hampir lupa, tapi Ben mengingatkan,” ujarnya, melirik pria di sampingnya.“Tentu saja! Aku selalu jadi pengingatnya,” sahut Ben santai, menyenggol lengan Jack dengan sikap bersahabat. “Dia mulai tua, sepertinya.”Jack mendengus, melirik Ben dengan tatapan tak suka. “Omong kosong.”Eve tertawa kecil melihat interaksi mereka. Namun, perhatian Jack tiba-tiba teralihkan. Tatapannya jatuh pada Lula, yang masih duduk diam di meja makan. Matanya menyipit seolah mencoba mengingat sesuatu, namun ekspresinya tetap tertutup.Eve, yang menyadari tatapan itu, mengerutkan kening. “Ah, dia Lula, dia temanku. Kenapa menatapnya seperti itu? Kamu m
Lula merutuk pelan dalam hati, merasa malu ketika baru menyadari bahwa kaus yang ia kenakan terlalu tipis, memperlihatkan bayangan bra-nya dengan jelas. Apa Eve tidak salah meminjamkan pakaian? Rasa tidak nyaman menggelayuti dirinya saat ia melangkah keluar dari kamar mandi, menundukkan pandangan ketika kembali ke sofa di ruang tamu. Eve masih duduk di sana, tampak asyik menonton televisi tanpa menyadari kegelisahan yang dirasakan Lula. Merasa sofa di sebelahnya bergoyang, Eve menoleh santai dan tersenyum lebar. "Sudah selesai ganti baju?" "Iya, terima kasih," jawab Lula, mengusap wajahnya yang sedikit lembab. "Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya," lanjutnya dengan nada ragu. Eve tertawa kecil. "Tidak perlu buru-buru. Santai aja, kamu bisa kembalikan kapan pun sebisa kamu." Lula tersenyum canggung. "Baiklah," katanya, meski rasa tidak nyaman itu belum sepenuhnya hilang. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton film yang diputar di televisi. Namun, suasan
Malam itu, udara dingin merayap pelan di sepanjang jalan yang sepi. Mobil yang dikendarai Jack melaju tanpa suara, hanya deru mesin yang terdengar samar di antara heningnya malam. Lula duduk di kursi penumpang, memeluk tubuhnya sendiri, merasa suhu di dalam mobil hampir sama dinginnya dengan atmosfer di antara mereka. Jack tak banyak bicara sejak perjalanan dimulai. Tatapannya lurus menembus jalanan, wajahnya datar seperti patung tanpa ekspresi. Lula mencuri pandang, berharap ada sedikit celah untuk memulai percakapan. “Terima kasih sudah mau mengantar,” suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara desiran angin dari jendela yang sedikit terbuka. Jack tetap diam. Hanya kelopak matanya yang sedikit bergerak, tapi bibirnya tak memberi jawaban. Lula menelan ludah, menggigit bibir bawahnya. Mungkin ucapan itu terlalu sepele untuk direspons, atau Jack memang sengaja tak ingin terlibat dalam pembicaraan. Mereka terus melaju dalam diam sampai tiba-tiba, mobil melambat. Mesin mendadak ber
Hujan turun semakin deras, menghujam bumi tanpa ampun. Angin malam berhembus kencang, membuat udara semakin menusuk hingga ke tulang. Petir menyambar sesekali, menerangi jalanan sepi yang diselimuti kegelapan. Jack dan Lula berlari di tengah hujan, napas mereka tersengal. Pakaian yang basah kuyup melekat erat di tubuh, membuat dingin semakin merasuk. Butiran air hujan menetes dari rambut mereka, membasahi wajah yang sudah lelah. “Kita… harus cari tempat berteduh,” ujar Lula dengan suara bergetar, berusaha menahan rasa dingin yang menggigit. Jack melirik sekilas, matanya menyapu sekitar hingga menemukan sebuah gubug tua di kejauhan. Tanpa berkata apa pun, dia menarik tangan Lula, membimbingnya menuju tempat itu. Pintu kayu lapuk berderit saat Jack mendorongnya. Udara lembap menyergap begitu mereka masuk, membawa aroma kayu basah dan debu yang sudah lama mengendap. Cahaya dari kilat sesekali menerangi ruangan kecil itu, memperlihatkan meja reyot di sudut dan bangku kayu yang suda
Lula terbangun lebih awal dari biasanya, terkejut oleh bunyi alarm yang memekakkan telinga. Dengan mata setengah terpejam, ia meraih ponsel dan mematikan suara nyaring itu. Detik pertama yang ia sadari adalah jantungnya berdegup kencang, mengingat agenda penting hari ini. Perlahan, ia memaksakan diri bangun, melawan sisa kantuk yang masih membelenggu tubuhnya. Udara pagi menyelinap masuk melalui celah jendela, dingin dan menusuk kulit. Lula menyeret kakinya menuju kamar mandi. Percikan air dingin di wajah membuatnya sedikit lebih segar, meski pikirannya masih berkecamuk. Ia menatap bayangannya di cermin. Mata sembab, wajah pucat—sisa begadang menyiapkan materi meeting semalam masih jelas membekas. Hari ini ia harus menggantikan Irena, yang mendadak sakit, untuk membawakan presentasi di hadapan para pemegang saham. Tugas yang berat, apalagi ditunjuk secara mendadak. Jantungnya kembali berdebar hanya dengan memikirkannya. Setelah selesai mencuci muka, Lula menyisir rambut pirangnya.
Ting! Suara notifikasi ponsel bergetar pelan, memecah keheningan pagi di kamar sederhana Lula. Udara dingin menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma embun sisa hujan semalam. Gadis itu menoleh, menatap layar ponsel yang menyala di atas meja kayu di sudut ruangan. Mata cokelatnya menyipit, malas. Pukul delapan pagi. Siapa yang menghubunginya sepagi ini? Dengan langkah pelan, Lula meraih ponselnya. Layar ponsel menampilkan satu pesan dari nomor tak dikenal. Alisnya berkerut, rasa penasaran menyusup tanpa diundang. [Apa kau memiliki waktu? Aku ingin mengajakmu keluar membeli hadiah untuk Eve.] Lula membaca pesan itu berulang kali. Eve? Ah dia ingat, wanita yang menabrak mobilnya. Tapi siapa yang mengirimkan pesan ini? Pikirannya berputar, mencoba menebak. Tanpa sadar, jari-jarinya mulai mengetik. [Ini Jack?] Pesan terkirim. Hanya butuh beberapa detik sebelum balasan datang. [Ya, Jack Adderson. Aku akan datang menjemput. Bersiaplah.] Lula membeku di tempat.
Pagi itu, Gladys sudah sibuk dengan berbagai persiapan. Ia tidak ingin membuang waktu. Jika ini harus terjadi, maka semuanya harus sempurna.Di sebuah butik eksklusif, ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan desain klasik yang elegan. Sofia duduk di sofa, mengamati putrinya dengan kritis.“Gaun ini bagus, tapi aku rasa kita bisa mencari yang lebih istimewa,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang lebih… berkelas.”Gladys hanya tersenyum kecil. Ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang akan ia kenakan, karena pikirannya jauh dari sini.Jack.Ia memikirkan pria itu—reaksinya saat ia setuju untuk menikah lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia artikan.Keraguan?Atau rasa bersalah?Gladys mengalihkan pandangannya ke cermin. Tidak, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Jack mencintainya. Salah satu pegawai butik mendekat, membawa beberapa pilihan gaun lain. “Nona Gladys, kami memilik
Lula menyisipkan rambutnya ke belakang telinga, pandangannya sekilas menyapu ke arah restoran yang ramai. Suara alat makan beradu dengan piring bercampur percakapan pelanggan lain, menciptakan suasana makan siang yang tampak wajar. Namun, tidak baginya. Ada sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang membuatnya sulit menikmati hidangan di hadapannya. Perlahan, ia meletakkan garpunya dan menatap pria di hadapannya. “Jack, aku rasa kita sedang diawasi,” bisiknya tanpa mengubah ekspresi. Jack tidak langsung merespons. Ia hanya mengangkat cangkir kopinya dengan santai, menyesapnya seolah tak terjadi apa-apa. Tetapi, Lula tahu pria itu tengah mengamati pantulan kaca besar di belakangnya. Dari sana, dua sosok terlihat duduk tak jauh dari mereka—Eleanor dan Jennie. Jack menaruh cangkirnya, bibirnya melengkung samar. “Kamu benar, entah bagaimana mereka bisa datang disini.” “Aku curiga, mereka datang untuk mengawasi. Tidak ada kemungkinan kebetulan didunia ini.” “Aku pikir kamu benar. Jika
Lula merasa hubungannya dengan Jack semakin membaik. Tidak ada lagi pertengkaran tak perlu atau tatapan penuh ketegangan di antara mereka. Setidaknya, Jack tidak lagi berusaha mencari masalah dengannya setiap saat, dan Lula pun mulai merasa lebih nyaman berada di dekat pria itu.Hari ini, Jack tiba-tiba mengajaknya makan siang di luar. Biasanya, Lula akan menolak atau mencari alasan untuk menghindar, tapi entah kenapa, kali ini ia mengiyakan tanpa banyak berpikir.Mereka memilih restoran dengan suasana tenang, duduk di meja dekat jendela yang menghadap ke jalanan kota. Percakapan mereka mengalir ringan—tidak lagi dipenuhi sindiran atau debat kusir yang melelahkan.Namun, saat obrolan mereka mulai mereda, Jack tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja. Lula mengernyit, merasa curiga.“Apa ini?”Jack hanya menyodorkan kotaknya. “Buka saja.”Dengan sedikit ragu, Lula membuka kotak itu dan mendapati sebuah kalung perak dengan liontin berbent
Lula masih terengah, dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya mengepal di atas pangkuan, berusaha menenangkan diri setelah ciuman yang mencuri napasnya barusan. Jack tetap di tempatnya, menatapnya dengan intens, seolah menantang setiap emosi yang bergejolak di mata Lula. “Kau sudah selesai marah?” Jack bertanya, nada suaranya masih datar, tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan api yang membakar di dalamnya. Lula mengatupkan rahangnya. “Kau tidak bisa seenaknya, Jack.” “Aku tidak sedang bermain-main,” balas Jack tanpa ragu. “Kalau aku mau bermain, aku bisa melakukan jauh lebih dari ini.” Lula menelan ludah, berusaha menepis panas yang merayap di kulitnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mencari celah untuk mengendalikan situasi. “Aku lelah,” katanya akhirnya, suaranya melemah. Jack tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap Lula dengan sorot mata yang dalam, penuh sesuatu yang sulit ditebak. Namun kemudian, ia bersandar ke kursinya, ekspresinya sedikit melunak. “Aku tahu.
Lula mengetik cepat di depan layar komputernya, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Matanya terpaku pada data yang harus ia rapikan sebelum laporan diserahkan ke Jack. Ruangan kantor terasa sunyi, hanya suara ketikan dan sesekali bunyi kertas yang dibalik. Tiba-tiba, suara langkah terburu-buru mendekat, disusul suara Emil yang setengah terengah-engah. “Lula! Tolong banget, kali ini aja!” Lula mengangkat kepala dengan kening berkerut. “Kenapa lagi, Mil?” Emil menjatuhkan beberapa dokumen di meja Lula dengan ekspresi putus asa. “Aku butuh banget tanda tangan Pak Jack. Sejam lagi kalau ini nggak beres, bisa mampus aku, La. Aku beneran lupa.” Lula mendesah, menatap dokumen-dokumen yang berserakan. “Pak Jack baru saja keluar makan siang.” Emil hampir menangis. “Please, La. Tau sendiri kalau yang kejar Pak Jack aku, dia nggak bakal mau. Tapi kamu… kamu kan sekretarisnya. Kamu pasti bisa!” Lula memijat pelipisnya. “Jadi aku harus ngejar dia sekarang?” Emil mengangguk
Pagi di kediaman keluarga Pramono dipenuhi suasana tenang. Cahaya matahari menembus jendela besar, menyapu ruang keluarga yang luas dengan nuansa hangat. Aroma teh melati menguar dari cangkir porselen di meja, sementara Gladys bersandar santai di sofa.Mengenakan robe sutra tipis, ia menggulir layar ponselnya tanpa terganggu, menikmati waktu paginya. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama saat langkah teratur mendekat, dan Sofia duduk di hadapannya dengan anggun.“Gladys.”Nada suara ibunya lembut, tapi mengandung sesuatu kekhawatiran yang terselubung. Gladys masih tetap menatap ponselnya. “Hm?”“Kapan kamu akan menikah dengan Jack?”Jari Gladys berhenti sejenak sebelum melanjutkan. Ia mendesah ringan, akhirnya menatap ibunya dengan ekspresi bosan. “Mom, kita sudah membahas ini berkali-kali. Aku masih ingin fokus pada karirku.”Sofia meletakkan cangkir tehnya dengan gerakan lembut. “Menunda terlalu lama bukan hal yang baik, Sayang. Lihat anaknya Tante Rina. Tunangannya berselingkuh
Jack melepas seatbelt dengan satu sentakan, pandangannya mengunci Lula tanpa memberi celah untuk melarikan diri.Tanpa aba-aba, tangannya terulur, meraih tengkuk wanita itu, menariknya mendekat hingga napas mereka hampir bersatu.“Jack…”Hanya bisikan rendah itu yang terdengar sebelum bibir Jack menahan bibir mungilnya, panas, dalam, menggoda dengan gerakan perlahan yang menuntut.Lula bergetar, kedua tangannya terangkat tanpa sadar, mencengkeram kerah jas Jack. Desah napasnya beradu, membuat Jack semakin memperdalam ciumannya. Lidahnya menelusup, menuntut balasan, sementara jemari besar pria itu menyusuri sisi wajah Lula, turun ke leher, hingga membuka satu kancing kemeja wanita itu dengan cekatan.Lula tersentak kecil, tapi tidak menolak. Justru, matanya terpejam, membiarkan jemari Jack melonggarkan satu demi satu kancing, memperlihatkan kulit pucat di baliknya.Bibir Jack beralih, melumat garis rahangnya, turun ke leher yang berdenyut. Napasnya panas, membuat Lula menggigit bibir
Pagi itu terasa berat bagi Lula. Langit mendung menambah rasa sesak di dadanya, seolah alam pun ikut merasakan beban yang selama ini ia pikul. Tangan mungilnya menggenggam setangkai bunga lili putih, langkahnya pelan menyusuri jalan berbatu. Setiap kunjungan ke tempat ini selalu membawa luka lama yang sulit disembuhkan. Lula berlutut di depan nisan, menaruh bunga dengan hati-hati. Pandangannya nanar menelusuri nama yang terukir di batu. “Bu… aku datang lagi.” Suara itu lirih, hampir tenggelam oleh hembusan angin. Ia diam sejenak, membiarkan emosi yang selama ini ditahan memenuhi dada. Hanya di tempat ini, ia bisa meluruhkan segala hal yang tak bisa diucapkan pada siapa pun. “Aku lelah… tapi aku tidak bisa berhenti.” Matanya memanas. “Dia pria paling memuakkan, aku benar-benar membencinya.” Lula menunduk, jari-jarinya meremas ujung blazer. Kenyataan bahwa ia mulai goyah membuatnya semakin benci pada dirinya sendiri. “Apa langkah yang akan aku ambil adalah hal yang benar?” Ke
Lula tidak pernah menyukai pagi, apalagi setelah malam yang dihabiskannya lembur hanya karena permainan licik Jack. Ia baru saja duduk, berniat menuntaskan sisa pekerjaan semalam, saat suara langkah berat terdengar dari arah pintu. Tanpa menoleh, ia tahu siapa yang datang. “Kita ada meeting jam sepuluh. Jangan lupa bawa tablet dan semua dokumen kemarin,” ucap Jack datar. Lula menahan dengusan kesal. Seperti biasa, dia hanya menarik bibirnya membentuk senyuman palsu. “Baik Pak.” Dan seperti biasa—tanpa bertanya, tanpa permisi, tanpa memberi kesempatan menolak. Jack tetap memerintah seenaknya. “Dan setelah itu, ikut aku makan siang.” Lula mengernyit. Kali ini ia menoleh, menatap Jack yang sudah berjalan menuju ruangannya. “Makan siang? Untuk urusan kerja?” tanyanya menekan nada suara. Jack melirik dari balik bahu, mata tajamnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. “Anggap saja begitu.”Bola matanya memutar malas, jika bukan karena dia atasannya, Lula pasti akan malas. —