Beranda / Romansa / Hasrat Wanita Kedua / Bab 1 - Tak terlihat

Share

Bab 1 - Tak terlihat

Penulis: Gumi Gula
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-05 19:33:28

“Jangan pernah menemuiku lagi.”

“Kenapa? Aku putrimu. Kenapa aku tidak boleh menemuimu lagi, Dad?”

Pria itu berbalik, tangannya masuk ke dalam saku celana kainnya. Helaan napas terdengar samar.

“Aku sudah memiliki keluarga lain. Kau harus mengerti, Lula.”

“Aku juga keluargamu. Aku juga putrimu. Apa aku salah menemuimu sebagai anak?”

“Salah! Istriku tidak menyukaimu. Dia tidak ingin aku berhubungan dengan masa lalu.”

Lula hanya bisa berdecak. “Tapi aku masih anakmu, Dad! Sampai kapan pun, aku akan tetap anakmu. Bukan masa lalu!”

“Ini pertemuan terakhir kalinya. Jangan pernah menemuiku lagi atau datang ke rumahku seperti kemarin.”

Setelah berkata demikian, pria tua itu pergi begitu saja. Lula tetap memandang punggungnya yang menjauh, matanya memanas, rahangnya mengeras, dan buku jarinya mengepal. “Aku membencimu.”

“Lula!”

Berikut versi yang lebih menarik dengan alur yang lebih mengalir, detail yang lebih rapi, dan feel yang lebih kuat:


Lula tersentak dari lamunannya. Pikirannya yang melayang jauh seketika kembali ke ruangan kantor yang penuh suara ketikan keyboard dan percakapan samar rekan-rekannya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Emil—wanita berambut pirang dengan ekspresi penasaran yang sudah duduk di sana sejak tadi.

“La, kamu kenapa? Pak Rey memanggilmu dari tadi. Dia ingin kamu datang ke ruangannya setelah jam makan siang,” kata Emil, nada suaranya terdengar sedikit menuntut.

Lula mengerjapkan mata, masih berusaha memahami ucapan sahabatnya itu. “Pak Rey memanggilku? Kenapa?”

Emil mengangkat bahunya santai. “Entahlah.”

Lula terdiam, membiarkan pikirannya kembali terjerat dalam benang-benang yang tadi mengganggu.

Melihat ekspresi Lula yang tidak biasa, Emil menyipitkan mata. “La, kamu kenapa? Hari ini kamu suka sekali melamun. Ada masalah?”

Lula menggeleng pelan. “Tidak ada. Aku baik-baik saja.”

Emil menatapnya dengan penuh skeptis. “Lalu? Wajahmu seperti orang yang terlilit hutang.”

Lula mendengus pendek, tapi sebelum sempat membalas, Emil sudah merajuk. “Sudahlah, bagaimana kalau kita makan? Perutku sudah lapar sekali.”

Lula tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku juga lapar. Ayo kita cari makan.”

Emil langsung berseri. “Let’s go!”

Mereka keluar dari kantor dan menuju restoran tak jauh dari sana. Saat jam makan siang seperti ini, suasana restoran cukup ramai, tapi mereka berhasil menemukan meja di sudut ruangan, agak jauh dari keramaian.

Seorang pelayan datang, memberikan buku menu kepada mereka. Lula membolak-balik halaman sebentar, lalu menunjuk satu menu. “Saya pesan nasi goreng spesial, minumnya es teh saja.”

“Aku juga sama.” Emil lalu menoleh ke pelayan. “Nasi goreng spesial dua, satu pedas, satu tidak pedas. Minumnya, es jeruk satu dan es teh satu.”

“Baik, pesanannya akan segera datang.”

Sambil menunggu pesanan, Emil mulai bercerita tentang hal-hal random yang menarik perhatiannya. Lula hanya mendengarkan dengan diam, sesekali mengangguk. Tapi saat pandangannya tanpa sengaja tertuju ke televisi yang tergantung di ujung ruangan, napasnya tercekat.

“Edhi Pramono—pemilik bank swasta terkemuka, sangat antusias dengan pertunangan putri tunggalnya, Margaret Gladys Pramono, dengan Jackson Anderson. Keluarga Pramono sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk acara tersebut dengan penuh perhatian.”

Lula mengepalkan tangannya di atas meja, jemarinya mengeras. Amarah yang telah lama dikuburnya tiba-tiba bangkit, membakar dada. Sepuluh tahun berlalu, tetapi luka itu tetap segar. Kata-kata pria itu kembali menggema di pikirannya, menghantamnya tanpa ampun.

Emil yang menyadari perubahan ekspresi Lula ikut melirik ke televisi, lalu berkomentar dengan nada iri, “Beruntung sekali yang jadi anak Pak Edhi Pramono. Dia sangat menyayangi anaknya. Seorang ayah idaman, ya?”

Lula menarik napas dalam, berusaha menguasai emosinya. “Iya, idaman,” jawabnya datar.

Emil tidak menangkap nada dingin dalam suara Lula. Dia malah lanjut berceloteh, “La, kamu tidak mau jadi anak pengusaha kaya raya? Seperti Pak Edhi contohnya? Kalau aku sih, mau banget! Tidak perlu kerja, hanya tidur dan uang tetap mengalir.”

Lula berdecih. “Di dunia ini, kalau mau kaya, ya harus kerja, Mil. Jangan hanya berkhayal. Realita itu lebih penting.”

Emil menghela napas kecewa. “Ya makanya aku iri," dengusnya.

Lula tertawa kecil, tapi tawa itu kosong. Edhi Pramono memang ayah idaman—bagi semua orang. Kecuali untuknya, anak kandungnya sendiri.

----------

Setelah seharian bekerja, Lula akhirnya pulang ke apartemennya. Dia menjatuhkan tubuh di sofa, memijat pangkal hidungnya yang terasa berat. Rasa lelah merambat ke seluruh tubuhnya, tapi yang paling melelahkan adalah pikirannya sendiri.

Setelah duduk selama beberapa menit, dia menyeret tubuhnya ke kamar, mengganti pakaian, lalu keluar dari apartemen tanpa tujuan pasti. Dengan kaos oversized dan jeans panjang, dia berjalan menyusuri trotoar Jakarta yang mulai dipenuhi lampu-lampu malam.

Udara malam sedikit mengusir rasa sumpek di dadanya. Lula berjalan santai, matanya mengamati para pedagang kaki lima yang sibuk melayani pelanggan. Namun, saat sedang melihat-lihat, sebuah suara memanggilnya.

“Lula!”

Lula menoleh, matanya melebar saat melihat siapa yang berdiri di sana.

“Pak Rey?” gumamnya, masih tak percaya.

Pria itu, mengenakan kemeja formal yang tampak rapi meski sedikit kusut, dia melangkah mendekat. “Saya melihat kamu dari jauh dan memutuskan untuk memanggil.”

Lula masih mencoba mencerna situasi. “Pak Rey ngapain sampai disini? Ada urusan bisnis, atau—”

“Tidak ada urusan bisnis.” Rey menggeleng. “Saya memang sedang berada di daerah sini.”

Lula mengangguk, meski dia merasa sedikit canggung. Jarang sekali dia bertemu atasannya di luar jam kerja seperti ini.

“Kamu sendiri ngapain di sini?” tanya Rey.

“Saya tinggal di sekitar sini, Pak. Tuh, di Apartemen Dolus.”

Rey tampak sedikit terkejut. “Apartemen Dolus? Kebetulan, saya juga akan menempatinya. Saya sedang survei apakah tempatnya layak atau tidak.”

Lula semakin bingung. Kenapa pria itu tiba-tiba ingin tinggal di tempat yang sama dengannya? Aneh.

“La, kamu melamun?”

Lula tersentak. Dia tersenyum kikuk. “Ah, maaf, Pak.”

Rey tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Oh iya, kamu sudah makan? Saya kebetulan sedang mencari tempat makan. Bagaimana kalau kita makan bersama?”

Lula ragu sejenak. Sebenarnya, dia ingin menolak, tapi bagaimana mungkin dia menolak atasannya?

“Boleh, Pak,” jawabnya akhirnya, meski ada keengganan dalam suaranya.

Mereka berjalan berdampingan dalam diam. Lula merasa canggung, sementara Rey tampak santai. Lalu mereka berjalan sebentar hingga sampai disebuah rumah makan padang sederhana.

“Saya tidak tahu selera makan Pak Rey seperti apa, tapi saya sering makan di rumah makan Padang ini. Harganya terjangkau, dan makanannya enak.”

“Kalau menurut kamu enak, saya juga pasti akan menyukainya.” Rey tersenyum. “Ayo masuk.”

Mereka duduk berhadapan, suasana hening sesaat. Lula tidak terbiasa makan bersama atasan di luar jam kantor. Apalagi, sesekali Rey tersenyum sambil menatapnya, membuatnya semakin salah tingkah.

“Kamu mau pesan apa?” Rey akhirnya bertanya. “Saya perhatikan kamu gelisah. Apa kamu tidak nyaman makan bersama saya?”

Lula menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Saya hanya memikirkan beberapa pekerjaan rumah yang belum saya selesaikan.”

Rey tersenyum tipis. “Kalau begitu, lebih baik segera pesan, lalu kamu bisa lanjutkan pekerjaan rumahmu yang tertunda.”

Lula mengangguk. “Baik, Pak.”

Rey menatapnya lama sebelum akhirnya terkekeh. “Jangan terlalu formal. Ini bukan jam kantor, La. Saya rasa saya tidak semenakutkan itu.”

Lula menunduk, tersenyum kecil. “Iya, Pak. Maaf.”

Dan untuk pertama kalinya malam itu, suasana di antara mereka mulai mencair.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Haniubay
apa Rey itu ada hati dengan Lula yaaa...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 2 - Berdebar

    Di atas kasur, Lula meregangkan tubuhnya. Semalaman, dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Karena Rey yang terus mendesak, kepalanya semakin pening. Rey meminta pekerjaan diselesaikan malam itu juga. Kepalanya hampir pecah rasanya.Wanita itu bangkit dan membenahi rambutnya yang berantakan. Dia menjepit rambutnya dengan jepit berwarna putih dan mengarahkannya ke atas. Lalu, wanita itu turun dari kasur, mengenakan sandalnya menuju ke dapur.Mengingat hari ini adalah hari Minggu, Lula tidak memiliki rencana apa pun selain bersantai di apartemennya. Namun, niat tersebut harus ditunda setelah dia melihat isi kulkas yang kosong, hanya terdapat beberapa botol mineral."Ah, sial. Aku belum berbelanja rupanya."Niat hati untuk bersantai menjadi gagal. Dia harus terpaksa mencari sarapan dan berbelanja bulanan nantinya.Wanita itu kembali naik ke atas, membersihkan diri sebelum pergi berbelanja. Dia berendam di bath up, membasuh rambutnya yang sudah mulai lepek. Setelah tiga puluh menit, dia sel

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-05
  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 3 - Mabuk

    Lula menyandarkan kepalanya ke sofa, membiarkan matanya menatap langit-langit apartemen yang temaram. Samar-samar, kenangan itu kembali berputar di benaknya."Dad, aku mau es krim!""Es krim? Putriku mau es krim? Tentu saja. Daddy akan segera membawakannya.""Yeay, terima kasih, Dad!"Pria itu pergi, lalu kembali dengan es krim di tangannya. Wajah kecil yang tadi merengek kini berseri-seri saat menerimanya. Dengan penuh semangat, ia meraih cone es krim yang masih dingin."Terima kasih, Dad! Daddy adalah pahlawan untuk Lula!" serunya, matanya berbinar-binar.Pria itu tersenyum, mengusap kepala anak perempuannya dengan lembut. "Ya, tentu saja."Lula mengerjapkan matanya, kembali ke realita. Memori itu seharusnya sudah terkubur lama, namun mengapa masih terasa begitu nyata? Mengapa hatinya masih merindukan sosok yang telah membuangnya?Dengan napas berat, ia bangkit dari sofa. Tidak. Dia tidak boleh terus-terusan seperti ini. Dia tidak membutuhkan siapa pun dalam hidupnya. Dia bisa hidup

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-05
  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 4 - Menunggu

    Lula baru saja membuka pintu apartemennya ketika suara langkah cepat terdengar dari lorong. Dalam hitungan detik, Emil muncul dengan napas tersengal, rambut pirangnya sedikit berantakan seperti habis berlari tanpa henti. "Lula! Tunggu sebentar!" serunya, berusaha mengatur napas. Lula mengerutkan kening, terkejut dengan kedatangan Emil yang tiba-tiba. "Emil? Kenapa kamu di sini? Ada apa?" Emil menegakkan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu pada pinggang. Wajahnya menunjukkan ekspresi campuran antara khawatir dan kesal. "Seharusnya aku yang tanya. Semalam kamu di mana? Kamu enggak pulang, kan?" Lula menatap Emil dengan heran. "Dari mana kamu tahu kalau aku enggak pulang?" Emil mendengus. "Siapa lagi kalau bukan Pak Rey," katanya cepat. Mata Lula melebar. "Pak Rey?" Nama itu membuat pikirannya langsung dipenuhi tanda tanya. Mengapa bosnya sampai mencarinya? "Iya! Pak Rey nelepon aku berkali-kali semalam, nanya kamu ada di mana. Aku sampai bingung jelasinnya." Emil menggeleng kesal

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-05
  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 5 - Bertemu dengannya

    Lula memeriksa ponselnya, tapi tak ada balasan dari Rey. Sudah hampir setengah jam sejak pria itu memintanya menunggu di kantor. Dia melirik jam di layar laptopnya. Hampir pukul tujuh malam, dan hari mulai gelap. “Kenapa Pak Rey suruh nunggu kalau akhirnya tidak datang juga?” gumam Lula, mulai merasa jengkel. Rasa kesal mulai menguasai pikiran Lula. Dia sudah menyelesaikan pekerjaannya sejak beberapa jam yang lalu, tapi Rey belum juga kembali. Hanya ada satu pesan singkat yang pria itu kirim sebelum akhirnya menghilang tanpa kabar. Lula sudah beberapa kali mengirimkan balasan, tetapi hingga kini bosnya tak juga merespons. Akhirnya, dengan napas panjang, ia bangkit dari kursinya, meraih tasnya dari meja, dan berjalan keluar kantor. "Mending pulang saja," pikirnya. Koridor terasa lengang. Kantor sudah sepi, hanya beberapa lampu di ruangan kosong yang masih menyala. Lobi pun tampak lengang, hanya tersisa satu atau dua staf yang sedang bersiap untuk pulang. Setibanya di basem

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-20
  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 6 - Mencoba Menggoda?

    Mata Lula terpaku pada pria yang baru saja datang. Ada sesuatu yang terasa familiar darinya, meskipun bayangan itu masih samar di ingatannya. “Jack, mengapa kamu terlambat? Tadi, Mommy pikir kamu tidak akan datang karena sibuk dengan pekerjaanmu,” ujar Eve, suaranya terdengar lega.Pria yang dipanggil Jack hanya tersenyum tipis, tampak sedikit canggung. “Aku hampir lupa, tapi Ben mengingatkan,” ujarnya, melirik pria di sampingnya.“Tentu saja! Aku selalu jadi pengingatnya,” sahut Ben santai, menyenggol lengan Jack dengan sikap bersahabat. “Dia mulai tua, sepertinya.”Jack mendengus, melirik Ben dengan tatapan tak suka. “Omong kosong.”Eve tertawa kecil melihat interaksi mereka. Namun, perhatian Jack tiba-tiba teralihkan. Tatapannya jatuh pada Lula, yang masih duduk diam di meja makan. Matanya menyipit seolah mencoba mengingat sesuatu, namun ekspresinya tetap tertutup.Eve, yang menyadari tatapan itu, mengerutkan kening. “Ah, dia Lula, dia temanku. Kenapa menatapnya seperti itu? Kamu m

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-21
  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 7 - Lingkar kesempatan

    Lula merutuk pelan dalam hati, merasa malu ketika baru menyadari bahwa kaus yang ia kenakan terlalu tipis, memperlihatkan bayangan bra-nya dengan jelas. Apa Eve tidak salah meminjamkan pakaian? Rasa tidak nyaman menggelayuti dirinya saat ia melangkah keluar dari kamar mandi, menundukkan pandangan ketika kembali ke sofa di ruang tamu. Eve masih duduk di sana, tampak asyik menonton televisi tanpa menyadari kegelisahan yang dirasakan Lula. Merasa sofa di sebelahnya bergoyang, Eve menoleh santai dan tersenyum lebar. "Sudah selesai ganti baju?" "Iya, terima kasih," jawab Lula, mengusap wajahnya yang sedikit lembab. "Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya," lanjutnya dengan nada ragu. Eve tertawa kecil. "Tidak perlu buru-buru. Santai aja, kamu bisa kembalikan kapan pun sebisa kamu." Lula tersenyum canggung. "Baiklah," katanya, meski rasa tidak nyaman itu belum sepenuhnya hilang. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton film yang diputar di televisi. Namun, suasan

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-21
  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 8 - Pulang bersama

    Malam itu, udara dingin merayap pelan di sepanjang jalan yang sepi. Mobil yang dikendarai Jack melaju tanpa suara, hanya deru mesin yang terdengar samar di antara heningnya malam. Lula duduk di kursi penumpang, memeluk tubuhnya sendiri, merasa suhu di dalam mobil hampir sama dinginnya dengan atmosfer di antara mereka. Jack tak banyak bicara sejak perjalanan dimulai. Tatapannya lurus menembus jalanan, wajahnya datar seperti patung tanpa ekspresi. Lula mencuri pandang, berharap ada sedikit celah untuk memulai percakapan. “Terima kasih sudah mau mengantar,” suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara desiran angin dari jendela yang sedikit terbuka. Jack tetap diam. Hanya kelopak matanya yang sedikit bergerak, tapi bibirnya tak memberi jawaban. Lula menelan ludah, menggigit bibir bawahnya. Mungkin ucapan itu terlalu sepele untuk direspons, atau Jack memang sengaja tak ingin terlibat dalam pembicaraan. Mereka terus melaju dalam diam sampai tiba-tiba, mobil melambat. Mesin mendadak ber

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-21
  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 9 - Ciuman Panas

    Hujan turun semakin deras, menghujam bumi tanpa ampun. Angin malam berhembus kencang, membuat udara semakin menusuk hingga ke tulang. Petir menyambar sesekali, menerangi jalanan sepi yang diselimuti kegelapan. Jack dan Lula berlari di tengah hujan, napas mereka tersengal. Pakaian yang basah kuyup melekat erat di tubuh, membuat dingin semakin merasuk. Butiran air hujan menetes dari rambut mereka, membasahi wajah yang sudah lelah. “Kita… harus cari tempat berteduh,” ujar Lula dengan suara bergetar, berusaha menahan rasa dingin yang menggigit. Jack melirik sekilas, matanya menyapu sekitar hingga menemukan sebuah gubug tua di kejauhan. Tanpa berkata apa pun, dia menarik tangan Lula, membimbingnya menuju tempat itu. Pintu kayu lapuk berderit saat Jack mendorongnya. Udara lembap menyergap begitu mereka masuk, membawa aroma kayu basah dan debu yang sudah lama mengendap. Cahaya dari kilat sesekali menerangi ruangan kecil itu, memperlihatkan meja reyot di sudut dan bangku kayu yang suda

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-22

Bab terbaru

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 32 - Persiapan Pernikahan

    Pagi itu, Gladys sudah sibuk dengan berbagai persiapan. Ia tidak ingin membuang waktu. Jika ini harus terjadi, maka semuanya harus sempurna.Di sebuah butik eksklusif, ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan desain klasik yang elegan. Sofia duduk di sofa, mengamati putrinya dengan kritis.“Gaun ini bagus, tapi aku rasa kita bisa mencari yang lebih istimewa,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang lebih… berkelas.”Gladys hanya tersenyum kecil. Ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang akan ia kenakan, karena pikirannya jauh dari sini.Jack.Ia memikirkan pria itu—reaksinya saat ia setuju untuk menikah lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia artikan.Keraguan?Atau rasa bersalah?Gladys mengalihkan pandangannya ke cermin. Tidak, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Jack mencintainya. Salah satu pegawai butik mendekat, membawa beberapa pilihan gaun lain. “Nona Gladys, kami memilik

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 37 - Aku siap

    Lula menyisipkan rambutnya ke belakang telinga, pandangannya sekilas menyapu ke arah restoran yang ramai. Suara alat makan beradu dengan piring bercampur percakapan pelanggan lain, menciptakan suasana makan siang yang tampak wajar. Namun, tidak baginya. Ada sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang membuatnya sulit menikmati hidangan di hadapannya. Perlahan, ia meletakkan garpunya dan menatap pria di hadapannya. “Jack, aku rasa kita sedang diawasi,” bisiknya tanpa mengubah ekspresi. Jack tidak langsung merespons. Ia hanya mengangkat cangkir kopinya dengan santai, menyesapnya seolah tak terjadi apa-apa. Tetapi, Lula tahu pria itu tengah mengamati pantulan kaca besar di belakangnya. Dari sana, dua sosok terlihat duduk tak jauh dari mereka—Eleanor dan Jennie. Jack menaruh cangkirnya, bibirnya melengkung samar. “Kamu benar, entah bagaimana mereka bisa datang disini.” “Aku curiga, mereka datang untuk mengawasi. Tidak ada kemungkinan kebetulan didunia ini.” “Aku pikir kamu benar. Jika

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 36 - Selingkuh?

    Lula merasa hubungannya dengan Jack semakin membaik. Tidak ada lagi pertengkaran tak perlu atau tatapan penuh ketegangan di antara mereka. Setidaknya, Jack tidak lagi berusaha mencari masalah dengannya setiap saat, dan Lula pun mulai merasa lebih nyaman berada di dekat pria itu.Hari ini, Jack tiba-tiba mengajaknya makan siang di luar. Biasanya, Lula akan menolak atau mencari alasan untuk menghindar, tapi entah kenapa, kali ini ia mengiyakan tanpa banyak berpikir.Mereka memilih restoran dengan suasana tenang, duduk di meja dekat jendela yang menghadap ke jalanan kota. Percakapan mereka mengalir ringan—tidak lagi dipenuhi sindiran atau debat kusir yang melelahkan.Namun, saat obrolan mereka mulai mereda, Jack tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja. Lula mengernyit, merasa curiga.“Apa ini?”Jack hanya menyodorkan kotaknya. “Buka saja.”Dengan sedikit ragu, Lula membuka kotak itu dan mendapati sebuah kalung perak dengan liontin berbent

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 35 - Aku akan menemuimu

    Lula masih terengah, dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya mengepal di atas pangkuan, berusaha menenangkan diri setelah ciuman yang mencuri napasnya barusan. Jack tetap di tempatnya, menatapnya dengan intens, seolah menantang setiap emosi yang bergejolak di mata Lula. “Kau sudah selesai marah?” Jack bertanya, nada suaranya masih datar, tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan api yang membakar di dalamnya. Lula mengatupkan rahangnya. “Kau tidak bisa seenaknya, Jack.” “Aku tidak sedang bermain-main,” balas Jack tanpa ragu. “Kalau aku mau bermain, aku bisa melakukan jauh lebih dari ini.” Lula menelan ludah, berusaha menepis panas yang merayap di kulitnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mencari celah untuk mengendalikan situasi. “Aku lelah,” katanya akhirnya, suaranya melemah. Jack tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap Lula dengan sorot mata yang dalam, penuh sesuatu yang sulit ditebak. Namun kemudian, ia bersandar ke kursinya, ekspresinya sedikit melunak. “Aku tahu.

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 34 - Kegilaan Jack

    Lula mengetik cepat di depan layar komputernya, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Matanya terpaku pada data yang harus ia rapikan sebelum laporan diserahkan ke Jack. Ruangan kantor terasa sunyi, hanya suara ketikan dan sesekali bunyi kertas yang dibalik. Tiba-tiba, suara langkah terburu-buru mendekat, disusul suara Emil yang setengah terengah-engah. “Lula! Tolong banget, kali ini aja!” Lula mengangkat kepala dengan kening berkerut. “Kenapa lagi, Mil?” Emil menjatuhkan beberapa dokumen di meja Lula dengan ekspresi putus asa. “Aku butuh banget tanda tangan Pak Jack. Sejam lagi kalau ini nggak beres, bisa mampus aku, La. Aku beneran lupa.” Lula mendesah, menatap dokumen-dokumen yang berserakan. “Pak Jack baru saja keluar makan siang.” Emil hampir menangis. “Please, La. Tau sendiri kalau yang kejar Pak Jack aku, dia nggak bakal mau. Tapi kamu… kamu kan sekretarisnya. Kamu pasti bisa!” Lula memijat pelipisnya. “Jadi aku harus ngejar dia sekarang?” Emil mengangguk

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 33 - Noda kemeja

    Pagi di kediaman keluarga Pramono dipenuhi suasana tenang. Cahaya matahari menembus jendela besar, menyapu ruang keluarga yang luas dengan nuansa hangat. Aroma teh melati menguar dari cangkir porselen di meja, sementara Gladys bersandar santai di sofa.Mengenakan robe sutra tipis, ia menggulir layar ponselnya tanpa terganggu, menikmati waktu paginya. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama saat langkah teratur mendekat, dan Sofia duduk di hadapannya dengan anggun.“Gladys.”Nada suara ibunya lembut, tapi mengandung sesuatu kekhawatiran yang terselubung. Gladys masih tetap menatap ponselnya. “Hm?”“Kapan kamu akan menikah dengan Jack?”Jari Gladys berhenti sejenak sebelum melanjutkan. Ia mendesah ringan, akhirnya menatap ibunya dengan ekspresi bosan. “Mom, kita sudah membahas ini berkali-kali. Aku masih ingin fokus pada karirku.”Sofia meletakkan cangkir tehnya dengan gerakan lembut. “Menunda terlalu lama bukan hal yang baik, Sayang. Lihat anaknya Tante Rina. Tunangannya berselingkuh

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 32 - Gairah Panas

    Jack melepas seatbelt dengan satu sentakan, pandangannya mengunci Lula tanpa memberi celah untuk melarikan diri.Tanpa aba-aba, tangannya terulur, meraih tengkuk wanita itu, menariknya mendekat hingga napas mereka hampir bersatu.“Jack…”Hanya bisikan rendah itu yang terdengar sebelum bibir Jack menahan bibir mungilnya, panas, dalam, menggoda dengan gerakan perlahan yang menuntut.Lula bergetar, kedua tangannya terangkat tanpa sadar, mencengkeram kerah jas Jack. Desah napasnya beradu, membuat Jack semakin memperdalam ciumannya. Lidahnya menelusup, menuntut balasan, sementara jemari besar pria itu menyusuri sisi wajah Lula, turun ke leher, hingga membuka satu kancing kemeja wanita itu dengan cekatan.Lula tersentak kecil, tapi tidak menolak. Justru, matanya terpejam, membiarkan jemari Jack melonggarkan satu demi satu kancing, memperlihatkan kulit pucat di baliknya.Bibir Jack beralih, melumat garis rahangnya, turun ke leher yang berdenyut. Napasnya panas, membuat Lula menggigit bibir

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 31 - Kecupan

    Pagi itu terasa berat bagi Lula. Langit mendung menambah rasa sesak di dadanya, seolah alam pun ikut merasakan beban yang selama ini ia pikul. Tangan mungilnya menggenggam setangkai bunga lili putih, langkahnya pelan menyusuri jalan berbatu. Setiap kunjungan ke tempat ini selalu membawa luka lama yang sulit disembuhkan. Lula berlutut di depan nisan, menaruh bunga dengan hati-hati. Pandangannya nanar menelusuri nama yang terukir di batu. “Bu… aku datang lagi.” Suara itu lirih, hampir tenggelam oleh hembusan angin. Ia diam sejenak, membiarkan emosi yang selama ini ditahan memenuhi dada. Hanya di tempat ini, ia bisa meluruhkan segala hal yang tak bisa diucapkan pada siapa pun. “Aku lelah… tapi aku tidak bisa berhenti.” Matanya memanas. “Dia pria paling memuakkan, aku benar-benar membencinya.” Lula menunduk, jari-jarinya meremas ujung blazer. Kenyataan bahwa ia mulai goyah membuatnya semakin benci pada dirinya sendiri. “Apa langkah yang akan aku ambil adalah hal yang benar?” Ke

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 30 - Manis

    Lula tidak pernah menyukai pagi, apalagi setelah malam yang dihabiskannya lembur hanya karena permainan licik Jack. Ia baru saja duduk, berniat menuntaskan sisa pekerjaan semalam, saat suara langkah berat terdengar dari arah pintu. Tanpa menoleh, ia tahu siapa yang datang. “Kita ada meeting jam sepuluh. Jangan lupa bawa tablet dan semua dokumen kemarin,” ucap Jack datar. Lula menahan dengusan kesal. Seperti biasa, dia hanya menarik bibirnya membentuk senyuman palsu. “Baik Pak.” Dan seperti biasa—tanpa bertanya, tanpa permisi, tanpa memberi kesempatan menolak. Jack tetap memerintah seenaknya. “Dan setelah itu, ikut aku makan siang.” Lula mengernyit. Kali ini ia menoleh, menatap Jack yang sudah berjalan menuju ruangannya. “Makan siang? Untuk urusan kerja?” tanyanya menekan nada suara. Jack melirik dari balik bahu, mata tajamnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. “Anggap saja begitu.”Bola matanya memutar malas, jika bukan karena dia atasannya, Lula pasti akan malas. —

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status