“Jangan pernah menemuiku lagi.”
“Kenapa? Aku putrimu. Kenapa aku tidak boleh menemuimu lagi, Dad?”
Pria itu berbalik, tangannya masuk ke dalam saku celana kainnya. Helaan napas terdengar samar.
“Aku sudah memiliki keluarga lain. Kau harus mengerti, Lula.”
“Aku juga keluargamu. Aku putrimu! Apa aku salah menemuimu sebagai anak?”
“Salah! Istriku tidak menyukaimu. Dia tidak ingin aku berhubungan dengan masa lalu.”
Lula hanya bisa berdecak. “Tapi aku masih anakmu, Dad! Sampai kapan pun, aku akan tetap anakmu. Bukan masa lalu!”
“Ini pertemuan terakhir kalinya. Jangan pernah menemuiku lagi atau datang ke rumahku seperti kemarin.”
Setelah berkata demikian, pria tua itu pergi begitu saja. Lula tetap memandang punggungnya yang menjauh, matanya memanas, rahangnya mengeras, dan buku jarinya mengepal. “Aku membencimu.”
“Lula!”
Wanita itu tersentak dari lamunannya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati wanita pirang yang duduk di belakangnya. “Emil?”
“Kamu kenapa? Pak Rey memanggilmu sejak tadi. Dia minta kamu datang ke ruangannya setelah jam makan siang.”
“Ah, maaf. Aku tidak fokus. Pak Rey memanggilku? Kenapa?”
Emil mengangkat bahunya. “Entahlah.”
Melihat Lula yang terdiam, Emil merasa penasaran. Dia bertanya lagi, “Kamu kenapa? Sepertinya hari ini kamu suka sekali melamun. Ada masalah?”
“Tidak ada. Aku baik-baik saja.”
“Lalu? Kamu terlihat seperti orang yang terlilit hutang. Sudahlah, bagaimana kalau kita makan? Perutku sudah lapar sekali,” kata Emil sambil merajuk.
Lula mengangguk. “Aku juga lapar. Ayo kita cari makan.”
Emil tersenyum senang. “Let’s go!”
Keduanya keluar dari kantor dan menuju restoran yang tidak jauh dari sana. Mereka memilih duduk di ujung restoran, agar tidak terlalu bising karena jam makan siang yang ramai.
“Pelayan!”
Pelayan datang dan memberikan buku menu kepada Emil dan Lula. Mereka melihat daftar menu untuk memutuskan pesanan mereka.
Emil menoleh kepada Lula. “La, mau pesan apa?”
Lula melihat daftar menu dan menunjuk salah satu menu kepada Emil. “Nasi goreng spesial, minumnya es teh saja.”
“Oke, aku juga sama. Mbak, nasi goreng spesial dua, satu pedas dan satu tidak pedas. Sama es jeruk satu dan es teh satu.”
“Baik, pesanannya akan segera datang.”
Sambil menunggu pesanan, Emil terus berbicara tanpa henti. Lula hanya mendengarkan dengan diam. Namun, ketika dia tak sengaja menatap televisi di ujung ruangan, matanya terhenti.
“Edhi Pramono—pemilik bank swasta, sangat antusias dengan pertunangan putri tunggal mereka, Margaret Gladys Pramono, dengan Jackson Anderson. Keluarga Pramono sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk acara tersebut dengan penuh perhatian.”
Lula mengepalkan tangannya, menahan amarah yang menggelegak di dalam hatinya. Meski sepuluh tahun telah berlalu sejak pria itu memutuskan hubungan dengannya, luka lama terasa begitu segar. Semua kata-kata yang dilontarkan pria itu masih menggema dalam pikirannya.
Melihat Lula yang terdiam, Emil menoleh ke arah televisi dan tersenyum iri. “Beruntung sekali yang jadi anak Pak Edhi Pramono. Dia sangat menyayangi anaknya. Seorang ayah idaman, ya?”
“Iya, idaman,” jawab Lula dengan nada datar.
Emil terus berbicara dengan penuh kekaguman. “La, kamu tidak mau jadi anaknya pengusaha kaya raya? Seperti Pak Edhi. Kalau aku sih, mau banget! Tidak perlu kerja, hanya tidur dan uang tetap mengalir.”
Lula berdecih mendengarnya. “Di dunia ini, kalau mau kaya, ya harus kerja, Mil. Jangan hanya berkhayal. Realita itu lebih penting.”
Emil merespons dengan nada kecewa. “Jadi iri…”
Lula tertawa miris mendengar perkataan Emil. Edhi Pramono memang sosok ayah idaman, tetapi tidak untuknya—anak kandungnya sendiri.
—
Setelah selesai bekerja, Lula pulang ke apartemennya dan duduk sejenak di sofa untuk mengistirahatkan tubuhnya. Dia memijat pangkal hidungnya, mencoba mengurangi ketegangan yang dirasakannya. Rasa pusing semakin berat, dan dia merasa tidak ada tempat untuk mengadu. Dia hanya sendirian.
Setelah lima menit duduk di sofa, Lula bangkit menuju kamarnya. Dia membersihkan diri untuk menyegarkan tubuhnya.
Waktu berlalu cepat, kini menunjukkan pukul tujuh malam. Lula memutuskan untuk keluar dari apartemennya, mengenakan kaos oversized dan celana jeans panjang.
Tanpa tujuan pasti, dia berjalan menyusuri malam Jakarta, berharap penatnya perlahan hilang.
Wanita itu berjalan santai sambil melihat beberapa orang yang tengah berjualan di pinggir jalan. Saat dia sedang mengamati sekitar, tiba-tiba seseorang memanggilnya.
“Lula!”
Lula menoleh ke belakang, matanya terbalak melihat siapa yang dia lihat.
“Pak Rey?” gumamnya.
Pria yang mengenakan kemeja formal itu mendekatinya. “Saya melihat kamu dari jauh dan memutuskan untuk memanggil.”
“Pak Rey, bagaimana bisa berada di sini? Ada urusan, atau—”
“Tidak ada urusan bisnis. Saya memang sedang berada di daerah sini.”
Lula menganggukkan kepala. Bertemu dengan atasannya di luar jam kantor jarang dia lakukan, dan situasi ini membuatnya merasa canggung.
“Kamu sendiri ngapain di sini?” pria itu berbalik bertanya kepada Lula.
“Saya tinggal di daerah sini, Pak. Apartemen Dolus.”
“Apartemen Dolus? Kebetulan, saya juga akan menempatinya. Saya di sini untuk survei apakah layak atau tidak untuk saya tempati.”
Mendengar hal itu, Lula semakin bingung. Kenapa pria itu tiba-tiba ingin tinggal di apartemen yang sama dengannya? Aneh.
“La, kamu melamun?”
Lula tersadar. Dia tersenyum kikuk. “Ah, maaf, Pak.”
“Tidak apa-apa. Oh iya, kamu sudah makan? Saya kebetulan sedang cari makan untuk mengisi perut. Bagaimana kalau kita makan bersama? Lagian, saya juga tidak tahu daerah sini. Bagaimana, La?”
“Boleh, Pak,” jawab Lula dengan terpaksa. Bagaimana bisa dia menolak atasannya, meski sebenarnya dia tidak ingin.
Dengan terpaksa, Lula membawa Rey untuk makan bersama. Sepanjang perjalanan, tidak ada banyak komunikasi antara mereka. Lula merasa canggung berada di dekat Rey, memilih untuk diam sambil berjalan di sampingnya.
“Saya tidak tahu selera makan Pak Rey seperti apa. Tapi, saya sering makan di rumah makan padang ini. Selain harganya terjangkau, rasa makanannya juga enak.”
“Kalau kamu saja senang dengan tempat ini, saya juga pasti akan menyukainya. Ayo!”
Rey terlebih dahulu masuk ke dalam restoran. Lula merasa aneh. Benarkah yang sedang bersamanya adalah Rey atasannya?
Mereka duduk saling berhadapan, dikelilingi rasa canggung. Lula tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. Rey kadang tersenyum sambil menatapnya, membuatnya merasa salah tingkah.
“Kamu mau pesan apa? Saya perhatikan kamu gelisah. Apa kamu tidak nyaman makan bersama saya?”
Lula segera menggelengkan kepala. “Tidak, Pak. Saya hanya memikirkan beberapa pekerjaan rumah yang belum saya selesaikan,” alibinya.
“Segera pesan, lalu kamu bisa lanjutkan pekerjaan rumah kamu yang tertunda.”
Lula mengangguk. “Baik, Pak.”
Rey tertawa tipis sambil menatapnya. “Jangan terlalu formal. Ini bukan jam kantor, La. Saya rasa saya tidak semenakutkan itu.”
“Iya, Pak. Maaf.”
Di atas kasur, Lula meregangkan tubuhnya. Semalaman, dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Karena Rey, yang terus mendesak, kepalanya semakin pening. Rey meminta pekerjaan diselesaikan malam itu juga, dengan kabar yang mendadak.Wanita itu bangkit dan membenahi rambutnya yang berantakan. Dia menjepit rambutnya dengan jepit berwarna putih dan mengarahkannya ke atas. Lalu, wanita itu turun dari kasur, mengenakan sandalnya menuju ke dapur.Mengingat hari ini adalah hari Minggu, Lula tidak memiliki rencana apa pun selain bersantai di apartemennya. Namun, niat tersebut harus ditunda setelah dia melihat isi kulkas yang kosong, hanya terdapat beberapa botol mineral."Ah, sial. Aku belum berbelanja rupanya."Niat hati untuk bersantai menjadi gagal. Dia harus terpaksa mencari sarapan dan berbelanja bulanan nantinya.Wanita itu kembali naik ke atas, membersihkan diri sebelum pergi berbelanja. Dia berendam di bath up, membasuh rambutnya yang sudah mulai lepek. Setelah tiga puluh menit, dia selesa
"Dad, aku mau es krim!""Es krim? Putriku mau es krim? Tentu saja. Daddy akan segera membawakannya.""Yeay, terima kasih, Dad!"Pria itu pergi dan kembali dengan membawa es krim untuknya. Anak perempuan tadi yang merengek, menerimanya dan menjadi sangat gembira. Dia dengan senang meraih cone es krim."Terima kasih, Dad! Daddy adalah pahlawan untuk Lula!" teriaknya."Ya, tentu saja."Samar-samar, memori lama itu muncul kembali. Mengapa dia masih merindukannya? Oh, pria itu jelas sudah membuang dirinya. Untuk apa masih merindukannya?Lula memalingkan wajahnya. Dia tidak bisa terus merindukan masa lalunya. Dia harus melanjutkan hidup. Dia tidak membutuhkan siapa pun dalam hidupnya. Dia bisa hidup sendiri.Lula bangkit dan memutuskan untuk pergi. Namun, saat langkahnya bergerak, suara televisi membuatnya terhenti."Saya sangat bangga dengan putri saya. Margareth sangat menyayangi saya. Dia adalah putri tunggal saya, yang sangat saya cintai. Pertunangannya adalah kebahagiaan saya juga, seba
Lula baru saja membuka pintu apartemennya ketika Emil datang berlari, napasnya tersengal-sengal. Dengan rambut pirang yang sedikit berantakan, Emil tampak terdesak, seperti orang yang ingin segera bicara. "Lula! Tunggu sebentar!" Emil berseru sambil mengatur napasnya. Lula menatap Emil dengan alis terangkat, bingung dengan sikap temannya itu. “Emil? Kenapa kamu di sini? Ada apa?” Emil, yang sudah menenangkan dirinya, meletakkan kedua tangan di pinggangnya, wajahnya penuh tanda tanya dan sedikit marah. “Seharusnya aku yang tanya! Semalam kamu di mana? Kamu enggak pulang, kan?” Lula memiringkan kepala, terkejut dengan pertanyaan itu. "Dari mana kamu tahu aku enggak pulang?" “Siapa lagi kalau bukan Pak Rey!” jawab Emil cepat, nada bicaranya terdengar seperti tuntutan. Mata Lula melebar. “Pak Rey?” Rey, bosnya, mencarinya? Kenapa dia sampai menelepon Emil? “Iya, Rey. Semalam dia nelepon terus, nanya kamu di mana. Dikira aku tahu. Padahal, jelas-jelas kita enggak tinggal bareng. Aneh
Lula memeriksa ponselnya, tapi tak ada balasan dari Rey. Sudah hampir setengah jam sejak pria itu memintanya menunggu di kantor. Dia melirik jam di layar laptopnya. Hampir pukul tujuh malam, dan hari mulai gelap. “Kenapa Pak Rey suruh nunggu kalau akhirnya nggak datang juga?” gumam Lula, mulai merasa jengkel. Rasa kesal mulai menguasai pikirannya. Dia sudah selesai dengan pekerjaannya sejak beberapa jam yang lalu, tapi Rey belum kembali. Dia hanya mengiriminya pesan singkat sebelum akhirnya hilang tak ada kabar. Lula juga sudah mengiriminya balasan, namun sampai sskarang Bosnya tak kunjung membalas. Wanita itu akhirnya bangkit dari kursi, dan mengambil tas di meja, lalu dia berjalan keluar kantor. "Mending balik," pikirnya. Dia menyusuri koridor yang kosong. Kantor sudah sepi, hanya beberapa lampu yang masih menyala di ruang-ruang kosong. Lobi pun lengang, satu atau dua staf yang tersisa sudah bergegas pulang. Setelah sampai di basement, Lula segera masuk ke mobilnya dan m
Mata Lula bertemu dengan sosok pria yang terasa familiar di ingatannya. Ada keterkejutan yang jelas tergambar di wajahnya ketika melihat siapa yang baru saja datang. “Jack! Mengapa kamu terlambat? Mom pikir kamu tidak akan datang karena sibuk dengan pekerjaanmu,” ujar Eve, suaranya mengandung rasa lega sekaligus menuntut. Pria itu tersenyum tipis, sedikit canggung. “Maaf, Mom. Tadi aku hampir lupa. Namun, Ben mengingatkan aku untuk segera pulang. Benar begitu, Ben?” katanya sambil melirik pria di sampingnya. “Tentu saja! Aku selalu menjadi pengingatnya, Mom. Dia memang sudah mulai tua, sepertinya,” sahut Ben dengan nada bercanda. Jack mendengus, kemudian menatap Ben dengan ekspresi tidak suka. “Tutup mulutmu, Ben. Omong kosongmu itu tidak ada gunanya.” Eve tertawa pelan melihat interaksi antara Jack dan Ben. Namun, tatapan Jack tiba-tiba teralih ke sosok lain di meja makan. Ada keheranan di matanya. Dia mengernyit, seakan berusaha mengingat sesuatu. Tanpa berkata apa pun, tatapann
"Sial!" Lula merutuk dalam hati, merasa malu karena baru menyadari bahwa bra-nya terlihat jelas di balik kaos yang dikenakannya. Pakaian yang tadinya rapi, kini rusak gara-gara minuman yang ditumpahkan Eve. Dia keluar dari kamar mandi dengan perasaan tidak nyaman, menundukkan pandangannya saat kembali menuju sofa di ruang tamu. Eve masih duduk di sana, tampak asyik menonton televisi tanpa memperhatikan situasi yang dialami Lula. Merasa sofa di sebelahnya bergoyang, Eve menoleh dengan santai, tersenyum lebar. "Sudah selesai ganti baju?" "Iya, terima kasih," jawab Lula sambil mengusap rambutnya yang sedikit lembab. "Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya,” lanjutnya. Eve tertawa kecil. "Jangan khawatir, nggak perlu buru-buru. Kamu bisa kembalikan kapan pun kamu punya waktu." Lula tersenyum canggung. "Baiklah," katanya, meskipun rasa tidak enak itu belum sepenuhnya hilang. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan memfokuskan perhatian pada televisi di depannya, meski
Malam itu, Lula duduk tenang di kursi penumpang, menyandarkan tubuhnya pada jok kulit yang dingin. Jack, yang berada di balik kemudi, tampak sepenuhnya fokus pada jalan di depan. Udara dalam mobil terasa berat, hampir tidak ada obrolan yang mengalir di antara mereka. Jack tetap diam seperti patung, matanya lurus menatap ke depan. Tak ingin larut dalam suasana hening, Lula memutuskan untuk berbicara. "Terima kasih sudah mau mengantar," katanya dengan nada lembut, berharap bisa membuka percakapan. Namun, Jack tetap diam, seolah tak mendengar ucapannya. Lula menghela napas pelan, merasa tak ada gunanya memaksa. Dia memilih diam, menatap keluar jendela, mengamati gemerlap lampu kota yang berlalu. Meski ada keinginan untuk berbicara lebih banyak, sikap Jack membuatnya mundur. Mereka melaju dalam keheningan hingga tiba-tiba, mobil yang mereka kendarai melambat, kemudian berhenti di pinggir jalan. Lula, yang terkejut, langsung menoleh ke arah Jack, matanya penuh tanda tanya. "Ada apa?" t
Malam semakin larut, Jack dan Lula terpaksa mencari tempat berteduh ketika hujan turun deras. Mereka berlari menembus derasnya air hujan, hingga akhirnya menemukan sebuah gubug kosong. Basah kuyup dan kedinginan, mereka masuk ke dalam gubug yang sempit dan dingin. Lula mengusap lengannya dengan cepat, berusaha menghangatkan tubuhnya yang basah. Tanpa disadari, gerakan itu memperlihatkan siluet tubuhnya melalui baju yang basah. Jack, yang tak sengaja melihat, menahan napasnya. Pemandangan itu, meski tidak disengaja, memicu dorongan yang tak tertahan dalam dirinya. “Jack, ada apa? Kamu juga kedinginan?” tanya Lula, suaranya terdengar penuh kebingungan di tengah hujan yang deras. “Malam ini sangat dingin sekali. Apalagi setelah menembus hujan deras.” Jack menatap Lula, bukan pada ucapannya, tetapi pada bibirnya yang bergerak lembut. “Iya, udara memang dingin. Tapi, ada sesuatu yang bisa menghangatkannya,” jawab Jack dengan nada penuh makna. Kebingungan melintas di wajah Lula. “Hangat?
Lula menghela napas lega saat roda pesawat menyentuh landasan. Perjalanan dinas bersama Jack selama beberapa hari terakhir benar-benar menguras energi dan pikirannya. Meski pekerjaannya belum selesai sepenuhnya, ada rasa nyaman saat tahu dirinya kembali ke rumah. Ketika keluar dari pintu kedatangan, pandangannya langsung tertuju pada sosok Emily yang berdiri di antara kerumunan, melambai dengan senyum lebarnya. “Lula! Akhirnya kamu pulang juga!” seru Emily sambil menghampirinya, tanpa basa-basi langsung mengambil alih koper yang Lula tarik. “Gimana perjalananmu sama Pak Jack? Capek banget, ya?” Lula mengangguk sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang tampak jelas di wajahnya. “Lumayan. Banyak hal yang harus dicek di lapangan, tapi ya, semuanya berjalan lancar.” Emily menaikkan alis sambil menatap Lula dengan ekspresi menggoda. “Oh, lancar ya? Seru dong jalan bareng bos ganteng?” Lula mendengus kecil, malas menanggapi. “Seru apanya, Em? Aku ikut cuma b
Saat Lula terbangun keesokan paginya, cahaya matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai, langsung menyilaukan matanya. Ia mengerjap, perlahan menyadari bahwa selimut yang membungkus tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya.Memandang sekeliling, kepalanya masih terasa kabur. Matanya terarah pada sosok Jack yang terbaring di sampingnya, tidur dengan tenang, napasnya teratur. Wajahnya tampak damai, tapi justru itu yang membuat jantung Lula berdetak lebih cepat.Lula perlahan bangkit, merubah posisinya dan menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. Rasa sakit di kepalanya semakin terasa, dan ia mengerang pelan, mencoba menenangkan diri.Namun, saat matanya menyapu tubuhnya sendiri, ia terkejut. Di bawah selimut, dia tidak mengenakan apapun. Tubuh polosnya hanya terbungkus oleh selimut yang dia gunakan."Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya, gelisah.Lalu matanya kembali tertuju pada Jack yang masih terlelap. Tanpa sadar, pikirannya langsung melompat pada kemungkinan terburuk."Apa,
Lula memandang Jack di seberangnya, seolah waktu di antara mereka melambat. Kehangatan anggur yang mengalir dalam tubuhnya memberinya keberanian lebih. Wanita tak sadar, bahwa dia terlalu banyak minum malam ini. Kepalanya terasa sakit, sedikit berdenyut, dan dia mulai merasa pusing. Pandangannya lambat laun mulai mengabur, membuatnya kesal. “Sepertinya aku terlalu banyak minum,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Tanpa disadarinya, Jack sudah ada di sampingnya, menatapnya dengan khawatir. Dia menatap Lula dengan penuh kelembutan, hingga membuatnya kehilangan kata. Lula dapat merasakan kehangatan napas Jack menyapu di pipinya. Wanita itu terkekeh menatapnya. Jemarinya terulur menekan pipi pria itu.“Kenapa dunia begitu tidak adil padaku?” Lula mengeluh, nada suaranya mencerminkan rasa frustrasinya.Pria itu hanya membiarkannya meluapkan emosi, hingga ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya yang membuatnya terdiam.“Terkadang bibir ini berbicara sembarangan. Aku tidak menyukainya!”
Lula mencoba menenggelamkan perasaannya yang campur aduk dan berusaha fokus pada menu yang telah disiapkan Jack. Saat piring berisi hidangan mulai disajikan, aroma menggugah selera menyeruak ke udara. Makanan itu terlihat cantik, dihias dengan rapi dan menggiurkan.“Ini adalah salad dengan dressing lemon dan ikan salmon panggang,” kata Jack, menunjuk ke piring. “Dan untuk pencuci mulut, kami punya kue coklat yang sangat lezat.”Lula mengangguk, berusaha menikmati hidangan tersebut. Namun, saat dia mengambil suap pertama, dia membulatkan matanya. Hidangan ini sangat lezat.“Bagaimana rasanya?” tanya Jack, matanya tajam menilai reaksinya.“Rasanya enak,” jawab Lula dengan senyum yang dipaksakan. “Salad ini segar, dan salmonnya dimasak dengan sempurna.”“Baguslah,” kata Jack, tampak puas. “Saya ingin kamu memberi tahu saya secara jujur tentang semuanya. Ini adalah langkah dalam pengembangan resort.”“Baik. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan masukan, Pak,” jawab Lula samb
Gladys terbangun dengan kepala yang terasa berat. Dia mengerutkan kening sambil memijat pelipisnya, merasakan kehangatan dari dalam selimut tebal yang menutupi tubuh telanjangnya. Di sampingnya, lengan Rey masih melingkar di pinggangnya. Gladys membuka mata dan mendapati wajah Rey yang terlelap di dekatnya. Dia mendesah dalam hati, bertanya-tanya apakah keputusan ini benar. Dengan hati-hati, ia berusaha untuk melepaskan lengan Rey yang menahannya. Namun, lengan itu terasa menempel erat, seolah enggan untuk dilepaskan. Rey, yang merasa gerakan tersebut, membuka matanya. Maniknya menatap Gladys dengan senyuman lembut. “Selamat pagi,” ucapnya dengan suara parau. “Aku harus pergi. Singkirkan tanganmu,” kata Gladys dengan nada tegas, berusaha menyembunyikan rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Gladys terus berusaha melepaskan diri, namun Rey tetap menahannya. “Kenapa terburu-buru? Masih pagi, Dis,” katanya, suaranya santai dan tenang. “Kau gila?! Bagaimana jika Eve datang tiba-tib
“Halo Jack?” “Hai, apa kabar?” Gladys memejamkan matanya, merasakan detak jantungnya berdetak cepat. Dia takut Jack akan mencurigai sesuatu. “Dis, kamu baik-baik saja?” “Ah, ya, tentu. Aku baik-baik saja, Jack. Ada apa? Ada masalah di sana?” “Tidak. Aku hanya merindukan kamu, Dis.” “Aku juga sangat merindukanmu. Setelah semuanya beres, mari kita bertemu dan melepas rindu.” “Ya, tentu saja. Mari kita bertemu.” “Um, Jack, sepertinya aku harus menutup telepon ini. Aku akan menghubungimu nanti.” “Baiklah. Aku mencintaimu, Dis.” “Aku lebih mencintaimu.” Beep! Gladys menggenggam teleponnya, meremasnya dengan gugup. Dia merasa bingung dan tertekan, merasa seolah telah mengkhianati Jack. Tiba-tiba, tubuhnya dirangkul dari belakang. Mata Gladys melebar, dan dia segera berbalik. Tangannya menahan tubuh yang mendekat. “Rey?!” Rey masih menjaga jarak, namun tatapannya tetap lekat pada Gladys, dengan tangannya melingkar di pinggangnya. “Aku mencintaimu.” Gladys mengerutkan kening,
Penerbangan panjang yang melelahkan akhirnya berakhir. Lula bergerak cepat menuruni tangga pesawat, mengikuti langkah besar Jack yang telah lebih dulu turun. Honolulu, kota yang indah ini, menawarkan pemandangan menakjubkan dengan langit biru cerah dan udara tropis yang segar. Siapa yang tidak ingin mengunjungi tempat seperti ini? Bagaikan Bali di negara bagian Hawaii, keindahannya memikat setiap mata yang melihat. Setibanya mereka di bandara, seorang pria berpakaian rapi dengan name-tag bertuliskan “Billi” menghampiri mereka. “Selamat pagi, Pak Jack,” sapanya dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Billi. Apa hotel sudah siap?” tanya Jack. “Ya, Pak. Semua yang Bapak minta sudah disiapkan. Saya di sini untuk menjemput dan mengantar ke hotel,” jawab Billi dengan penuh percaya diri. Billi dengan sigap mengambil alih koper yang sebelumnya dipegang oleh Jack. Dia sedikit menoleh ke arah Lula, “Boleh saya bantu membawa koper Nona juga?” “Ah, tidak perlu. Saya bisa membawanya sendiri,”
Lula membiarkan senyumnya tetap tergambar di wajahnya. Ada sesuatu yang terasa aneh di hatinya sejak malam tadi. Perasaan itu asing, tapi juga menyenangkan. Lula tidak tahu pasti, namun ada kebahagiaan yang menggelitik jiwanya. Kebahagiaan seperti apa? Bahkan dia sendiri tidak mampu mendefinisikannya. Ketika Emil tiba-tiba muncul, dia langsung mengernyitkan alisnya, heran melihat Lula yang terlihat melamun sambil tersenyum sendirian. “La! Kenapa senyum-senyum enggak jelas?” Tersentak oleh suara sahabatnya, Lula mengangkat wajahnya dan menatap Emil yang kini berdiri di dekatnya. “Enggak apa-apa, Mil,” jawab Lula sambil melirik ke arah sahabatnya. Emil mengerutkan dahi, masih tidak percaya. “Hah? Aneh, deh kamu!” Emil kemudian duduk di samping Lula, menyilangkan kakinya sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Rasanya, aku pengen ambil cuti.” Lula menoleh, keningnya berkerut bingung. “Cuti? Buat apa, Mil?” Emil mendesah panjang, sebelum menjawab dengan nada datar, “Pengen n
Lula membiarkan matanya menjelajahi setiap sudut apartemen Jack, merasa terkesan oleh keteraturan dan kerapian yang ada di dalamnya. Segalanya tampak tersusun dengan sempurna, mencerminkan karakter Jack yang selalu perfeksionis. Suasana ruangan itu begitu tenang dan terorganisir, seolah semuanya berada di tempat yang seharusnya. “Dia sungguh luar biasa,” pikir Lula dalam hati sambil menatap sebuah foto yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Jack berdiri bersama keluarganya—Eve dan Tante Camila. Meski pertemuan mereka singkat, Lula mengenal mereka cukup baik untuk merasa akrab dengan sosok-sosok di dalam foto itu. Suara langkah Jack memecah keheningan. Napasnya sedikit berat ketika ia muncul dari balik pintu, membawa sesuatu di tangannya. "Apakah ini ponselmu?" tanyanya dengan nada datar, memperlihatkan ponsel yang digenggamnya. Lula menoleh dan mengangguk pelan. “Ya, itu milikku.” Jack mendekat dan menyerahkan ponsel itu. “Ambil.” Senyum tipis terbentuk di bibir Lula saat men