Home / Pendekar / Bimantara Pendekar Kaki Satu / Chapter 311 - Chapter 320

All Chapters of Bimantara Pendekar Kaki Satu: Chapter 311 - Chapter 320

582 Chapters

311. Satu-Satunya Jalan Keluar

“Kau tidak bersedia memenuhi syarat dariku?” tanya Bimantara.“Cinta memang membutakan manusia! Itulah kelemahanmu Bimantara! Kau belum bisa mengendalikan dirimu darinya!”Bimantara terdiam mendengar itu.“Baiklah!” ucap Dewa Angin. “Aku akan mengabulkan permintaanmu jika kau lulus menjadi Chadaka Uddhiharta!”Bimantara tampak senang mendengarnya. Dia pun langsung bersujud pada Dewa Angin dengan haru.“Terima kasih, Dewa agung,” ucap Bimantara.“Jangan senang dulu! Kau pun belum tentu lulus dari ujian kami!” ucap Dewa Angin.“Aku akan melakukannya dengan baik! Aku pasti bisa menjadi Chandaka Uddhiharta di abad ini,” ucap Bimantara dengan penuh keyakinan.Dewa Angin Pun tertawa.“Datanglah ke bukit naga. Kami menunggumu di sana,” pinta Dewa Angin padanya.“Baik, Dewa Agung,” jawab Bimantara.Dewa Angin pun berubah menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahaya itu menghilang lalu berubah menjadi angin. Perlahan angin itu keluar dari celah-celah gua. Bimantara menatap tongkatnya.“Sebelum kit
Read more

312. Gerbang Pertama

Bimantara berdiri di hadapan gerbang pertama kerajaan Nusantara Timur dengan tongkat hitamnya. Tak lama kemudian pintu gerbang itu terbuka. Prajurit penjaga meminta Bimantara masuk ke dalam. Saat Bimantara melangkah memasuki gerbang, dia melihat Pangeran Sakai sudah berdiri sambil tersenyum menatapnya. Bimantara bergegas mendekatinya.“Aku kira kau tak akan ke sini,” ucap Pangeran Sakai. “Aku kira kau lelaki pengecut yang tidak pantas mendapat gelar pendekar dari perguruan matahari.”“Aku tidak seperti itu!” ucap Bimantara.“Aku tahu,” sahut Pangeran Sakai. “Kau sudah menemukan jalan keluarnya?”Bimantara mengangguk. Pangeran Sakai lega mendengarnya.“Ikut aku, biar aku antarkan langsung menghadap ayahku,” ajak Pangeran Sakai.Bimantara mengangguk lalu berjalan mengikuti langkah Pangeran Sakai dengan tongkatnya menuju kediaman Raja Dwilaga. Saat mereka sudah tiba di depan kediaman Sang Raja, prajurit langsung masuk ke dalam untuk melaporkan pada sang raja bahwa Pangeran hendak menemui
Read more

313. Surat Untuk Kepala Perguruan

Kakek itu berdiri menghadap lautan di hadapannya. Penguasa kegelapan itu sedang menyamar menjadi seorang kakek berjanggut putih seperti biasanya. Walat datang mendekatinya dengan napas terengah-engah.“Aku sudah memindahkan batu-batu dari ujung pulau arah timur ke ujung pulau arah barat, Tuan Guru,” ucap Walat.Kakek itu menoleh padanya dengan raut bingung.“Kau harus secepatnya menguasai semua ilmu dariku,” ucap kakek itu.Walat terbelalak mendengarnya.“Bukan kah Tuan Guru pernah bilang kalau semua itu tidak bisa dilakukan dengan cepat?” tanya Walat heran.“Tidak ada waktu lagi! Pemuda itu sudah pergi menuju bukit naga! Dia akan menemui para dewa di sana! Jika dia berhasil menjadi Candaka Uddhiharta, kau harus sudah menguasai semua ilmu dariku! Jika tidak, selamanya pedang perak cahaya merah itu tak akan bisa kurebut darinya!” teriak kakek itu.Walat tampak gemetar mendengarnya.“Baiklah, Tuan Guru,” ucap walat.“Aku punya cara untuk mengganggu konsentrasi pemuda itu agar dia tidak
Read more

314. Pengembaraan Ke Bukit Naga

Kakek Sangkala masih berdiri di gerbang kediaman Tuan Kepala Wilayah. Senja tampak sedih melihatnya.“Sudahlah, Tuan Guru. Mungkin Bimantara memiliki masalah hingga belum juga mengunjungimu ke sini,” ucap gadis itu.Kakek Sangkala menoleh pada Senja dengan sendu.“Bimantara pasti datang ke sini,” ucap Kakek Sangkala. “Aku merasakan energinya mendekat ke tempat ini.”“Tapi ini sudah berhari-hari Tuan Guru menunggunya di sini. Tuan Guru harus istirahat,” pinta Senja.“Aku harus menyambut kedatangannya. Aku harus mengucapkan selamat padanya yang berhasil lulus dari perguruan matahari. Aku lah keluarga satu-satunya yang Bimantara miliki saat ini,” ucap Kakek itu sudah berapa kalinya dia mengatakan itu pada Senja.Senja pun duduk pasrah. Dialah yang mengantarkan makanan dan minuman untuk kakek itu. Dia tidak ingin tuan guru besarnya itu sakit karena hingga saat ini masih banyak hal yang gadis itu harus pelajari darinya. Sebenarnya bukan hanya itu, dia sudah menganggap kakek itu sebagai kak
Read more

315. Dewa Api

Langit di atas bukit naga tampak mendung. Awan hitam hampir saja menutupi seluruh puncak bukit itu. Dewa api berdiri di atas batu besar yang di belakangnya terdapat sebuah kawah yang membumbungkan percikan api. Seorang pemuda berambut panjang sebahu dengan ikat kepala berlambang perguruan matahari datang dengan napas terengah-engah. Dia berjalan mendekati Dewa api yang menatapnya dengan tajam.“Apakah penyamaranmu sudah selesai?” tanya Dewa Api pada pemuda itu.Pemuda itu masih mengatur napasnya. Menjadi sosok manusia telah membuatnya lelah menanjaki bukit itu. Ya, pemuda itu adalah Wira. Sahabat dekat Pangeran Sakai dan Rajo di perguruan matahari.“Sepertinya begitu,” jawab Wira. “Tugasku sudah selesai mencari tahu segala hal tentang pemuda itu.”Dewa Api tertawa.“Bagaimana rasanya menjadi manusia dan harus mengikuti segala hal yang dilakukan manusia di perguruan matahari?” tanya Dewa Api penasaran.“Rasanya sangat sulit,” jawab Wira.“Kau yakin bahwa pemuda itu pantas diuji untuk m
Read more

316. Sihir Kegelapan

Bimantara sudah berhasil turun dari pohon tinggi itu. Dia membacakan mantra agar kaki cahaya naganya menyala dan bisa berjalan tanpa tongkat untuk mencari keberadaan tongkat hitamnya yang jatuh entah kemana. Sesaat kemudian kaki cahaya naganya menyala. Dia pun langsung berjalan menyusuri hutan yang gelap gara-gara awan hitam masih menyelimuti di atasnya. Hujan masih turun deras. Kilat masih menyambar-nyambar.“Tongkat Hitam! Dimana kau! Tunjukkan keberadaanmu padaku!” teriak Bimantara sambil melihat-lihat ke dalam semak-semak.“Tongkat Hitam! Dimana kau!” teriak Bimantara sekali lagi. Kilat kian terdengar kuar menyambar-nyambar. Bimantara mendongak ke atas langit. Suasana langit hampir mirip ketika dia hendak pergi bersama Kepala Perguruan dulu untuk mencari tempat persembunyian saat perang terjadi di nusantara.“Apakah pelakunya Penguasa Iblis seperti yang dikatakan Guru Besar Nyi Laksita?” tanya Bimantara dengan heran.Dia pun kembali berjalan mengitari hutan mencari tongkat hitamny
Read more

317. Anak Rusa

Bimantara masih duduk di bawah pohon berusaha mengembalikan tenaga dalamnya. Tak lama kemudian dia mendengar suara jeritan anak rusa bersama suara hujan dan kilat yang menyambar-nyambar. Bimantara membuka matanya. Dia terkejut mendapati anak rusa sedang menahan sakit di perutnya karena anak panah hampir saja menembus ke belakang tubuhnya.Bimantara segera beranjak untuk mendekatinya. Tiba-tiba terdengar suara kuda dari arah samping kanannya. Bimantara terbelalak mendapati Wira tengah menunggangi kuda sambil membawa anak panah.“Wira?” panggil Bimantara tak percaya.Wira pun berpura-pura terkejut melihat Bimantara. Dia yang menyamar menjadi manusia itu berusaha agar Bimantara tetap mengenali dirinya sebagai teman seperguruannya.“Kamu kenapa ada di sini?” tanya Wira langsung turun dari kudanya.“Aku yang harusnya bertanya,” ucap Bimantara.“Aku sedang berburu di hutan ini,” jawab Wira.“Tidak kah kau kasihan melihat anak rusa sekecil itu sudah panah tanpa ampun?” protes Bimantara.Wira
Read more

318. Banjir Bandang

Penduduk di tiga kerajaan Nusantara tampak heran melihat hujan dan petir tidak kunjung berhenti. Seharian ini membahasi bumi. Sebagian penduduk rela menembus hujan dan menghindari sambaran petir demi menengok ladang-ladang milik mereka. Mereka khawatir hujan akan menyebabkan banjir di ladang-ladang.Sementara penduduk istana tampak khawatir banjir akan menyerang kawasan istana. Raja Dawuh melongo ke jendela kamarnya. Dia menatap hujan semakin deras. Genangan air di taman-taman istana sudah hampir meninggi. Tak lama kemudian prajurit penjaga memberitahukan kedatangan pejabat istana yang menunggunya di depan pintu kamarnya. Sang Raja memintanya masuk.Pejabat Isatana masuk dan langsung berlutut penuh hormat pada Sang Raja.“Semua saluran air di kawasan istana sedang diurus para prajurit istana, yang mulia,” lapor pejabat istana padanya.“Hujan hari ini begitu aneh. Awannya menghitam dan petir tak juga berhenti hingga malam seperti ini,” ucap Raja Dawuh terheran-heran.“Semua juga mengat
Read more

319. Rahasia Wira

Sementara itu, penduduk kerajaan Nusantara Timur dan Barat tampak kewalahan menghadapi hujan dan kilat yang belum juga berhenti. Sebagian wilayah sudah dibanjiri air dari arah sungai. Rumah-rumah penduduk di sekitar sungai tampak hanyut. Sebagian penduduk juga hilang terbawa arus air. Para prajurit dari kedua kerajaan itu tengah sibuk membantu penduduk di malam basah itu.Kancil berdiri di teras kamarnya di lantai paling tinggi di istananya. Dia menatap hujan dan cahaya-cahaya petir bersama gemuruh suaranya yang menyeramkan di ujung sana.“Apakah ini karena engkau, Bimantara?” tanya Kancil tak percaya. “Aku harap di sana kau baik-baik saja.”Sesaat kemudian dia mendengar suara ribut orang-orang di depan kamarnya. Kancil segera keluar. Dia heran melihat banyak prajurit tampak berjalan dengan panik ke arah luar istana.“Ada apa ini?” tanya Kancil heran.Seorang prajurit berhenti lalu berlutut hormat di hadapannya.“Satu perkampungan diserang banjir bandang, Pangeran. Rumah-rumah banyak
Read more

320. Roh-Roh Kegelapan

Wira berdiri dengan tenang. Di dunia ini memang tidak ada manusia bernama Wira. Dia adalah Dewa Angin yang sengaja menyamar menjadi manusia. Penyamaran itu pun untuk mengawasi Bimantara sejak dia tahu bahwa pemuda itu memiliki segala hal yang diperlukan untuk menadi Candaka Uddhiharta. Wira tak menyangka Bimantara bisa melihat gelagat anehnya. Mungkin karena dia terlalu banyak memberitahunya tentang rahasia.“Tenang, Bimantara! Aku Wira! Coba cubit aku kalau kau tidak percaya,” pinta Wira padanya.Bimantara masih mengulurkan pedangnya di alam gubuk itu. Hujan dan kilat masih terdengar menyambar-nyambar di luar sana.“Perlihatkan tanda perguruan matahari di lenganmu!” pinta Bimantara.Wira pun menyingkap pakaian di tangannya. Dia pun menunjukkan cap berlambang perguruan matahari di lengannya kepada Bimantara. Bimantara melihatnya dengan seksama. Lambang itu memang sama seperti yang melekat di lengannya. Namun Bimantara tidak mau percaya begitu saja. Dia pun langsung menyerang Wira deng
Read more
PREV
1
...
3031323334
...
59
DMCA.com Protection Status