Kakek Sangkala masih berdiri di gerbang kediaman Tuan Kepala Wilayah. Senja tampak sedih melihatnya.“Sudahlah, Tuan Guru. Mungkin Bimantara memiliki masalah hingga belum juga mengunjungimu ke sini,” ucap gadis itu.Kakek Sangkala menoleh pada Senja dengan sendu.“Bimantara pasti datang ke sini,” ucap Kakek Sangkala. “Aku merasakan energinya mendekat ke tempat ini.”“Tapi ini sudah berhari-hari Tuan Guru menunggunya di sini. Tuan Guru harus istirahat,” pinta Senja.“Aku harus menyambut kedatangannya. Aku harus mengucapkan selamat padanya yang berhasil lulus dari perguruan matahari. Aku lah keluarga satu-satunya yang Bimantara miliki saat ini,” ucap Kakek itu sudah berapa kalinya dia mengatakan itu pada Senja.Senja pun duduk pasrah. Dialah yang mengantarkan makanan dan minuman untuk kakek itu. Dia tidak ingin tuan guru besarnya itu sakit karena hingga saat ini masih banyak hal yang gadis itu harus pelajari darinya. Sebenarnya bukan hanya itu, dia sudah menganggap kakek itu sebagai kak
Langit di atas bukit naga tampak mendung. Awan hitam hampir saja menutupi seluruh puncak bukit itu. Dewa api berdiri di atas batu besar yang di belakangnya terdapat sebuah kawah yang membumbungkan percikan api. Seorang pemuda berambut panjang sebahu dengan ikat kepala berlambang perguruan matahari datang dengan napas terengah-engah. Dia berjalan mendekati Dewa api yang menatapnya dengan tajam.“Apakah penyamaranmu sudah selesai?” tanya Dewa Api pada pemuda itu.Pemuda itu masih mengatur napasnya. Menjadi sosok manusia telah membuatnya lelah menanjaki bukit itu. Ya, pemuda itu adalah Wira. Sahabat dekat Pangeran Sakai dan Rajo di perguruan matahari.“Sepertinya begitu,” jawab Wira. “Tugasku sudah selesai mencari tahu segala hal tentang pemuda itu.”Dewa Api tertawa.“Bagaimana rasanya menjadi manusia dan harus mengikuti segala hal yang dilakukan manusia di perguruan matahari?” tanya Dewa Api penasaran.“Rasanya sangat sulit,” jawab Wira.“Kau yakin bahwa pemuda itu pantas diuji untuk m
Bimantara sudah berhasil turun dari pohon tinggi itu. Dia membacakan mantra agar kaki cahaya naganya menyala dan bisa berjalan tanpa tongkat untuk mencari keberadaan tongkat hitamnya yang jatuh entah kemana. Sesaat kemudian kaki cahaya naganya menyala. Dia pun langsung berjalan menyusuri hutan yang gelap gara-gara awan hitam masih menyelimuti di atasnya. Hujan masih turun deras. Kilat masih menyambar-nyambar.“Tongkat Hitam! Dimana kau! Tunjukkan keberadaanmu padaku!” teriak Bimantara sambil melihat-lihat ke dalam semak-semak.“Tongkat Hitam! Dimana kau!” teriak Bimantara sekali lagi. Kilat kian terdengar kuar menyambar-nyambar. Bimantara mendongak ke atas langit. Suasana langit hampir mirip ketika dia hendak pergi bersama Kepala Perguruan dulu untuk mencari tempat persembunyian saat perang terjadi di nusantara.“Apakah pelakunya Penguasa Iblis seperti yang dikatakan Guru Besar Nyi Laksita?” tanya Bimantara dengan heran.Dia pun kembali berjalan mengitari hutan mencari tongkat hitamny
Bimantara masih duduk di bawah pohon berusaha mengembalikan tenaga dalamnya. Tak lama kemudian dia mendengar suara jeritan anak rusa bersama suara hujan dan kilat yang menyambar-nyambar. Bimantara membuka matanya. Dia terkejut mendapati anak rusa sedang menahan sakit di perutnya karena anak panah hampir saja menembus ke belakang tubuhnya.Bimantara segera beranjak untuk mendekatinya. Tiba-tiba terdengar suara kuda dari arah samping kanannya. Bimantara terbelalak mendapati Wira tengah menunggangi kuda sambil membawa anak panah.“Wira?” panggil Bimantara tak percaya.Wira pun berpura-pura terkejut melihat Bimantara. Dia yang menyamar menjadi manusia itu berusaha agar Bimantara tetap mengenali dirinya sebagai teman seperguruannya.“Kamu kenapa ada di sini?” tanya Wira langsung turun dari kudanya.“Aku yang harusnya bertanya,” ucap Bimantara.“Aku sedang berburu di hutan ini,” jawab Wira.“Tidak kah kau kasihan melihat anak rusa sekecil itu sudah panah tanpa ampun?” protes Bimantara.Wira
Penduduk di tiga kerajaan Nusantara tampak heran melihat hujan dan petir tidak kunjung berhenti. Seharian ini membahasi bumi. Sebagian penduduk rela menembus hujan dan menghindari sambaran petir demi menengok ladang-ladang milik mereka. Mereka khawatir hujan akan menyebabkan banjir di ladang-ladang.Sementara penduduk istana tampak khawatir banjir akan menyerang kawasan istana. Raja Dawuh melongo ke jendela kamarnya. Dia menatap hujan semakin deras. Genangan air di taman-taman istana sudah hampir meninggi. Tak lama kemudian prajurit penjaga memberitahukan kedatangan pejabat istana yang menunggunya di depan pintu kamarnya. Sang Raja memintanya masuk.Pejabat Isatana masuk dan langsung berlutut penuh hormat pada Sang Raja.“Semua saluran air di kawasan istana sedang diurus para prajurit istana, yang mulia,” lapor pejabat istana padanya.“Hujan hari ini begitu aneh. Awannya menghitam dan petir tak juga berhenti hingga malam seperti ini,” ucap Raja Dawuh terheran-heran.“Semua juga mengat
Sementara itu, penduduk kerajaan Nusantara Timur dan Barat tampak kewalahan menghadapi hujan dan kilat yang belum juga berhenti. Sebagian wilayah sudah dibanjiri air dari arah sungai. Rumah-rumah penduduk di sekitar sungai tampak hanyut. Sebagian penduduk juga hilang terbawa arus air. Para prajurit dari kedua kerajaan itu tengah sibuk membantu penduduk di malam basah itu.Kancil berdiri di teras kamarnya di lantai paling tinggi di istananya. Dia menatap hujan dan cahaya-cahaya petir bersama gemuruh suaranya yang menyeramkan di ujung sana.“Apakah ini karena engkau, Bimantara?” tanya Kancil tak percaya. “Aku harap di sana kau baik-baik saja.”Sesaat kemudian dia mendengar suara ribut orang-orang di depan kamarnya. Kancil segera keluar. Dia heran melihat banyak prajurit tampak berjalan dengan panik ke arah luar istana.“Ada apa ini?” tanya Kancil heran.Seorang prajurit berhenti lalu berlutut hormat di hadapannya.“Satu perkampungan diserang banjir bandang, Pangeran. Rumah-rumah banyak
Wira berdiri dengan tenang. Di dunia ini memang tidak ada manusia bernama Wira. Dia adalah Dewa Angin yang sengaja menyamar menjadi manusia. Penyamaran itu pun untuk mengawasi Bimantara sejak dia tahu bahwa pemuda itu memiliki segala hal yang diperlukan untuk menadi Candaka Uddhiharta. Wira tak menyangka Bimantara bisa melihat gelagat anehnya. Mungkin karena dia terlalu banyak memberitahunya tentang rahasia.“Tenang, Bimantara! Aku Wira! Coba cubit aku kalau kau tidak percaya,” pinta Wira padanya.Bimantara masih mengulurkan pedangnya di alam gubuk itu. Hujan dan kilat masih terdengar menyambar-nyambar di luar sana.“Perlihatkan tanda perguruan matahari di lenganmu!” pinta Bimantara.Wira pun menyingkap pakaian di tangannya. Dia pun menunjukkan cap berlambang perguruan matahari di lengannya kepada Bimantara. Bimantara melihatnya dengan seksama. Lambang itu memang sama seperti yang melekat di lengannya. Namun Bimantara tidak mau percaya begitu saja. Dia pun langsung menyerang Wira deng
Bimantara dan Wira sudah bersiap dengan jurusnya. Mereka berdua menatap langit dengan awas.“Menurutmu suara apa itu?” tanya Bimantra.“Entahlah,” jawab Wira. “Mungkin suara roh-roh jahat yang sengaja dikirim Penguasa Kegelapan untukmu.”Bimantara terkejut mendengarnya.“Setelah melawan mayat hidup dan Gajendra, baru ini kita akan melawan roh jahat jika memang yang hendak datang itu adalah roh-roh jahat,” ucap Bimantara sedikit was-was.“Seperti yang diajarkan guru utama, kita harus memasang telinga dan kesadaran tingkat tinggi jika berhadapan dengan makhluk tak kasat mata,” ujar Wira.Bimantara menoleh ke tangan kosong Wira.“Kau tidak membawa senjata dari leluhur?” tanya Bimantara heran.Wira menepuk jidatnya.“Astaga! Aku lupa, Bimantara!”Bimantara menghela napas mendengarnya.“Kau yang menemukan tongkat hitamku tapi kau malah lupa dengan senjatamu sendiri,” umpat Bimantara. “Harusnya selalu kau bawa meski sedang mandi sekalipun!”“Maafkan aku,” ucap Wira menunjukkan wajah menyesa
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it