Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Tiga remaja berdiri di atas tebing. Dua lelaki dan satu perempuan. Mereka menatap pulau di seberang lautan. Di atasnya berdiri bangunan megah terbuat dari kayu dan bambu. Samar, tapi siluetnya tertangkap jelas. Menaranya tinggi menjulang hampir menembus langit. Itu adalah bangunan Perguruan Matahari. Berdiri sudah berabad-abad lamanya. Termasyhur di seantero Nusantara. Menjadi tujuan setiap remaja untuk bisa menimba ilmu bela diri di sana. "Kenapa tidak semua orang bisa belajar ilmu bela diri di sana?" "Hanya yang terpilih yang bisa menjadi murid di sana." Bimantara lewat sambil menggiring kambing-kambingnya menuju kandang. Saat dia melihat Dahayu, dia meninggalkan kambing-kambingnya lalu berjalan ke arah mereka dengan langkah pincang. Dia hanya memiliki satu kaki, selalu dibantu dengan tongkatnya. Remaja berusia enam belas tahun yang malang. Senyumnya mengembang saat melihat Dahayu ada di sana. Seorang gadis yang semasa kecil menjadi teman dekatnya. Kini gadis itu telah menjauh dar
Pagi sekali, Naga Wali sudah bersiap membawa bakul-bakul dari rotan untuk dijual keliling perkampungan dengan tongkatnya. "Jangan lupa gembalakan dompa Tuan kepala kampung jika ingin mendapatkan koin perak! Kamu sudah besar, harus bisa mencari koin sendiri," ucap Naga Wali pada Bimantara yang berniat untuk belajar berenang di hari itu. Niatnya sudah bulat untuk menjadi murid di perguruan Matahari. "Iya, Ayah." "Dan tolong, jangan mencoba untuk membuka peti di bawah tempat tidur ayah! Jika sampai kamu buka, kamu akan kualat!" "Baik, ayah." Naga Wali pun pergi membawa bakul-bakul rotan sambil meraba jalanan dengan tongkatnya. Bimantara langsung bersiap untuk belajar berenang di sungai yang terletak di ujung perkampungan. Saat dia hendak melangkah keluar gubuknya, dia melihat ada cahaya yang keluar di bawah tempat tidur ayahnya. Dengan bantuan tongkat, Bimantara mendekat ke arah tempat tidur ayahnya dengan penuh
Bimantara berjalan tertatih dengan tongkatnya melewati perkampungan. Beberapa penduduk kampung melihatnya dengan heran. "Lihat saja! Bagaimana mau menjadi pendekar!" "Impiannya terlalu tinggi! Yang bisa berguru di perguruan Matahari hanya orang-orang yang memiliki bakat kesaktian saja! Kalau dia?!" Bimantara menahan kekesalannya pada umpatan penduduk yang didengarnya. Dia yakin kalau mereka yang mendorongnya ke lautan lah yang memberitahukan hal itu pada mereka hingga ejekan datang padanya. Dia selalu ingat pesan kakek Sangkala bahwa kesabaran akan memberinya kekuatan. Tiap kali dia bersabar maka kekuatan akan datang dari tiap cacian yang dia terima. Saat hampir sampai di gubuk reyotnya, dia melihat ayahnya sedang menjemur bakul-bakul yang baru selesai dianyamnya. Bimantara segera berjalan ke arahnya dengan tongkat lalu memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, ayah!" Isak Bimantara. Amarah di diri Naga Wali mendadak p
Angin malam berhembus kencang. Menjadikan api dari kayu bakar semakin membumbung tinggi. Bimantara terus berlatih menyatukan tongkatnya dengan dirinya agar bisa melakukan gerakan kuda-kuda. Berkali-kali dia lakukan tapi selalu gagal. Tubuhnya selalu terjatuh karena tongkatnya tak berhasil membuat tubuhnya seimbang. Dua warga lewat sambil membawa obor. Mereka melihat ke arah Bimantara dengan heran. "Aku khawatir anak itu bisa gila," ucap seorang bapak-bapak pada bapak-bapak satunya. "Gila kenapa?" "Gila karena tidak kesampaian untuk menjadi murid di perguruan Matahari." Bapak-bapak yang mendengarnya kaget. "Memangnya dia mau ikut ke perguruan itu?" "Iya!" "Mimpi!" "Makanya aku takut dia gila karena tidak kesampaian." Mereka berdua tertawa lalu pergi begitu saja. Bimantara mendengarnya, dia sebenarnya kesal, namun berusaha untuk bersabar. Justru itu menjadi lecutan semangat baginya. Angin ma
Kakek Sangkala dan Bimantara duduk tercengang di dekat puing-puing gubuk reyot yang hancur diterpa angin puting beliung. Bimantara masih tak percaya dengan semuanya. Peti yang menjadi penyebab semua itu sudah dikubur bersama ayahnya agar tidak memunculkan bencana seperti yang ditakutkan mendiang ayahnya selama ini. "Ada apa dengan peti itu, Kek? Kenapa angin berpihak padaku ketika aku membuka peti itu?" tanya Bimantara dengan bingung. Kakek Sangkala menoleh pada Bimatara dengan bingung. "Kakek tak tahu, tapi mungkin peti itu tidak ada hubungannya dengan angin itu. Angin menjadi pertanda memang sudah waktunya dan kebetulan bersamaan dengan peti yang kamu buka," jelas kakek. "Apakah di masa lalu aku pengendali angin, Kek?" "Entahlah," jawab kakek yang masih bingung. "Sudah tiga abad, belum terdengar kabar bahwa ada Pendekar pengendali angin di bumi Nusantara ini." "Apakah pendekar pengendali angin termasuk pendekar yang paling heb
Tubuh kurus itu menyentuh permukaan Laut, lalu melesat cepat ke dalam laut. Di tangannya tongkat dari batang kayu dipegangnya erat-erat. Tak lama kemudian dia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menuju permukaan. Saat kepalanya sudah berhasil menyembul keluar, ombak tiba-tiba besar. Sekuat tenaga dia jaga tongkatnya agar tidak terlepas dari genggamannya. Bimantara berusaha memulai berenang menuju sebuah pulau di hadapannya yang samar terlihat. “Kenapa tidak ada keajaiban? Kenapa aku harus berenang secara normal? Apakah aku bukan manusia yang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari?” tanya Bimantara dalam benaknya. Dengan susah payah dia gerakkan tangan dan satu kakinya sambil memegang tongkat kayu dalam genggamannya di atas permukaan laut itu. Bimantara mulai kelelahan. Jaraknya masih sangat dekat dengan Dermaga. Orang-orang yang menyaksikannya di Dermaga tampak menyayangkannya. Mereka yakin apa yang dilakukan Bimantara adalah s