Tubuh kurus itu menyentuh permukaan Laut, lalu melesat cepat ke dalam laut. Di tangannya tongkat dari batang kayu dipegangnya erat-erat. Tak lama kemudian dia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menuju permukaan. Saat kepalanya sudah berhasil menyembul keluar, ombak tiba-tiba besar. Sekuat tenaga dia jaga tongkatnya agar tidak terlepas dari genggamannya. Bimantara berusaha memulai berenang menuju sebuah pulau di hadapannya yang samar terlihat.
“Kenapa tidak ada keajaiban? Kenapa aku harus berenang secara normal? Apakah aku bukan manusia yang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari?” tanya Bimantara dalam benaknya.
Dengan susah payah dia gerakkan tangan dan satu kakinya sambil memegang tongkat kayu dalam genggamannya di atas permukaan laut itu. Bimantara mulai kelelahan. Jaraknya masih sangat dekat dengan Dermaga. Orang-orang yang menyaksikannya di Dermaga tampak menyayangkannya. Mereka yakin apa yang dilakukan Bimantara adalah sebuah kesia-siaan belaka. Mereka percaya bahwa Bimantara tak akan selamat sampai ke pulau Perguruan Matahari.
Salah satu dari mereka mendekat ke Kakek Sangkala.
“Kau tega pada cucumu sendiri! Suruhlah dia kembali ke Dermaga! Dia tak akan berhasil menempuh pulau itu!” protes seorang Ibu-Ibu padanya.
“Dia cucu terbaikku! Dia pasti berhasil menempuh pulau itu!” tegas Kakek Sangkala padanya.
“Jangan kau biarkan seeokar Naga penghuni lautan ini memakan cucumu! Jika itu terjadi jangan sampai menyesal!” teriak ibu-ibu itu penuh amarah lalu pergi meninggalkan Kakek Sangkala.
Kakek Sangkala hanya menghela napas. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Bimantara yang masih berusaha berenang. Dia yakin akan ada kejaiban dari alam yang bisa membawanya cucunya itu ke Perguruan Matahari.
“Ayo, Bimantara! Kamu pasti bisa!” Teriak Kakek Sangkala di ujung Dermaga padanya.
Bimantara mendengar suara teriakan Kakeknya itu. Seketika semangatnya kembali menggelora. Dia terus saja berusaha berenang sekuat tenaganya. Tak lama kemudian dia melihat satu persatu remaja lainnya berenang dengan melesat mendahuluinya. Ada yang seperti berlari di atas permukaan laut. Ada yang seolah terbang bagai burung di atas ombak laut menuju pulau itu. Bimantara kembali ciut melihat itu.
“Apakah mereka orang-orang yang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari hingga dengan mudahnya mereka melalui lautan ini?” tanya Bimantara dalam hati.
Sorak gembira kepada para remaja yang mendapat keajaiban itu terdengar dari atas tebing dan dermaga dari orang-orang yang menyaksikannya. Bimantara menyerah. Dia berhenti berenang. Tubuhnya dibiarkan mengambang menghadap langit di atas lautan yang bergelombang. Kakek Sangkala heran melihatnya. Dia mulai panik.
“Bimantara!” teriak Kakek Sangkala memanggilnya. Dia ingin memastikan apakah cucunya itu baik-baik saja?
Bimantara masih mengambang pasrah di atas lautan sambil menatap langit yang cerah dengan sedih. Dia tidak menggubris panggilan Kakeknya itu. Matanya berkaca-kaca. Dia sedih karena merasa bukan manusia terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari. Tenaganya sudah tidak kuat untuk berenang lebih jauh lagi. Dia yakin tak akan sampai ke pulau Perguruan Matahari.
“Kakek… Maafkan aku… Aku tak kuat jika harus berenang normal menuju pulau itu… Tak ada keajaiban yang menghampiriku. Aku bukan murid yang terpilih… Aku tidak bisa ke sana… Apa yang harus aku lakukan, Kek?” tanya Bimantara dalam hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Sementara itu, Dahayu berlari menuju Dermaga. Ketika dia sampai di sisi Dermaga, dia melihat Bimantara masih mengambang di atas lautan. Dahayu heran. Dia takut kalau sahabatnya yang sangat dicintainya itu kehilangan tenanga.
“Bimantaraaa!”
Mendengar suara itu Bimantara menoleh ke arah Dermaga. Dia melihat seorang gadis sedang berdiri menatapnya dari sana.
“Dahayu?” Remaja itu heran kenapa Dahayu memanggilnya.
“Ayo, Bimantara! Kamu Bisa! Aku mendukungmu!” teriak Dahayu padanya.
Bimantara terharu mendengar itu. Kata-kata dari seorang gadis yang sudah dianggapnya saudara sendiri itu telah menjadi energi bagi tubuhnya yang lesu. Sesaat kemudian dia kembali berenang dengan sekuat tenaganya. Kakek Sangkala lega melihatnya. Bersamaan dengan itu, kini banyak remaja yang ditarik ombak hingga terhempas ke pantai. Seolah laut tak sudi direnangi oleh mereka. Sementara Bimantara masih berusaha berenang menuju pulau.
"Tak mengapa tak ada keajaiban. Aku akan berusaha berenang hingga sampai ke sana," bisik Bimantara dalam hatinya.
Dari pulau Perguruan Matahari, Adji Darma berdiri di atas Dermaga bersama para pendekar yang akan menjadi guru di sana. Dia menggunakan topeng khasnya. Dia memandang ke laut. Pemimpin perguruan itu sedang menunggu datangnya calon murid yang terpilih. Ratusan murid Perguruan Matahari pun berdiri di atas tebing. Mereka juga menunggu kedatangan murid baru yang terpilih.
Adji Darma menoleh pada Pendekar Tangan Besi yang berdiri di sebelahnya.
“Kenapa belum ada satu pun yang tiba?” tanyanya heran.
“Sepertinya tahun ini akan berbeda dengan tahun sebelumnya, Tuan Guru,” jawab Pendekar Tangan Besi.
Adji Darma heran. “Berbeda bagaimana?”
“Semalam saya bermimpi. Saya melihat banyak murid yang terpilih dan hampir berhasil menginjak pulau ini, akan tetapi ombak laut kembali menarik mereka ke pulau asal,” jawab Pendekar Tangan Besi.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Adji Darma heran.
“Banyak remaja yang tidak berbudi. Itulah yang menggagalkan mereka menjadi murid di perguruan kita, Tuan Guru,” jawab Pendekar Tangan Besi.
Adji Darma merenung mendengar itu. Dia mengalihkan pandangannya menuju laut. Tak lama kemudian dia kembali menoleh pada Pendekar Tangan Besi dengan sorot mata yang penuh dengan tanda tanya. “Dalam mimpimu, apakah kau melihat jumlah murid yang diterima di sini?"
Pendekar Tangan Besi mengangguk.
"Ada berapa calon murid yang berhasil menginjak pulau ini yang kau lihat dalam mimpimu, Pendekar Tangan Besi?”
“Hanya enam murid, Tuan Guru,” jawab Pendekar Tangan Besi.
Adji Darma tercengang mendengarnya.
Tahun lalu hampir 200 murid yang berhasil menuju pulau itu. Dan setiap tahunnya selalu di atas 100 jumlah murid yang berhasil bergabung dengan Perguruan Matahari. Dia heran kenapa sekarang alam memberi tanda-tanda begitu pada Pendekar Tangan Besi? Sesaat kemudian Adji Darma menepis rasa percayanya pada mimpi Pendekar Tangan Besi. Dia tahu bahwa itu hanya sebuah petanda. Petanda belum tentu benar adanya. Akan tetapi ketika melihat ke belakang bahwa apa yang sering dilihat Pendekar Tangan Besi dalam mimpinya selalu menjadi kenyataan, Adji Darma kembali percaya bahwa apa yang dikatakan Pendekar kepercayaannya itu yang fokus mengajarkan Ilmu Tenaga Dalam pada murid-muridnya di perguruan adalah benar.
Seketika ada tiga remaja yang hampir sampai menuju Dermaga. Para murid di perguruan mulai riuh melihat kedatangan mereka. Namun, saat tiga remaja itu hampir tiba di Dermaga, ombak laut tiba-tiba kembali mendorong mereka ke tengah lautan menuju pulau seberang. Adji Darma tercengang melihat itu. Ucapan Pendekar Tangan Besi terbukti. Adji Darma gelisah. Siapakah enam calon pendekar yang akan menjadi murid barunya itu? Apakah mereka orang-orang berbudi yang memang pantas untuk menjadi murid di sana?
Sementara itu, Bimantara masih berenang dengan tenaganya sendiri di tengah lautan. Dia berada di tengah-tengah antara pulau kediamannya dengan pulau Perguruan Matahari. Tak ada keajaiban yang datang padanya. Seperti kata orang-orang jika memang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari, maka alam akan memudahkannya untuk tiba di pulau itu. Bimantara tak peduli lagi soal itu. Dia ingin membuktikan, meski hanya dengan tenaganya, dia pasti sampai ke pulau itu.
Matahari semakin meninggi. Kakek Sangkala dan Dahayu berdiri cemas di Dermaga. Mereka sudah tidak bisa melihat keberadaan Bimantara di atas lautan. Jarak pandang sudah mengaburkan padangan mereka untuk melihat jejak Bimantara. Apalagi ketika mereka melihat banyak remaja yang kembali terhempas ke pantai. Rasa cemas mereka semakin menjadi. Laut telah mengembalikan para remaja yang berusaha menjadi murid di Perguruan Matahari ke sana. Alam tidak meridhoi mereka untuk menjadi murid di sana. Mereka khawatir itu juga terjadi pada Bimantara.
Dahayu menoleh pada Kakek Sangkala.
“Apa Bimantara bisa sampai ke sana, Kek?” tanya gadis itu dengan khawatirnya pada Kakek Sangkala.
“Kita berdoa saja, semoga Bimantara sampai ke sana,” jawab Kakek Sangkala sedikit putus asa.
Dahayu kembali memandang lautan di hadapannya. Dia berusaha mencari-cari keberadaan sahabat semasa kecilnya itu di tengah kaburnya pemandangan permukaan laut nun jauh di sana.
“Bimantara, tetaplah kuat. Buktikan pada mereka bahwa kamu bisa,” gumam Dahayu dengan penuh harap.
Dermaga kini dipenuhi oleh tangisan para remaja yang gagal menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala dan Dahayu semakin gelisah. Mereka masih mencemaskan Bimantara. Mereka masih tidak tahu apakah remaja itu sudah sampai ke pulau itu atau masih sedang berusaha berenang untuk sampai ke sana? Seketika suara terompet terdengar. Kakek Sangkala menoleh ke belakang. Dia kaget saat mendapati dua iring-iringan dari tiga kerajaan Nusantara Timur, Tengah dan Barat baru datang. Orang-orang langsung duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka. “Hidup, Yang Mulia! Hidup, Yang Mulia!” “Siapa mereka, Kek?” tanya Dahayu heran pada Kakek Sangkala. “Kita harus pergi dari sini, mereka adalah pasukan kerajaan Nusantara dari Timur, Tengah dan Barat. Mereka ke sini pasti sedang mengantar para Pangeran untuk memasukkan mereka ke Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala pada Dahayu. Dahayu mengangguk. Mereka berdua meninggalkan Dermaga untuk mencari temp
Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri. “Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih. Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah. “Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya. Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran. “Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari. “Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak. “Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya.
“Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya. Tabib tercengang mendengarnya. "Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?" Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya. “Berbaringlah,” pinta Tabib. Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib. “Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi. “Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana. Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun
Lelaki itu duduk di atas kasurnya sambil menatap kaki Bimantara yang hanya terlihat satu. “Iya. Aku dengar angin puting beliung yang membawa kamu ke Perguruan ini bersama seorang gadis,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Apakah gadis itu Dahayu?” tanya Bimantara. “Betul, nama gadis itu Dahayu. Dia cantik,” jawab lelaki itu. Dia tak percaya jika benar yang dikatakan lelaki itu bahwa angin puting beliung yang membawa dia dan Dahayu ke sana. Bimantara mengulurkan tangannya pada lelaki itu. “Aku Bimantara,” ucap Bimantara padanya. Lelaki itu menjabat tangan Bimantara. “Aku Sakai,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengar nama itu. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang sering disebut-sebut orang-orang di kampungnya. “Sakai? Maksudmu… kamu… Pangeran Sakai?” tanya Bimantara memastikan. “Iya, aku Pangeran Sakai,” jawab lelaki itu dengan santai. Bima
Ratusan murid Perguruan Matahari beserta para guru sedang makan malam bersama. Bimantara masih tercengang dengan pengalaman pertamanya itu. Hidangan di hadapannya berbeda dengan apa yang dia makan selama ini. Menurutnya itu sangat mewah. Pangeran Sakai menoleh heran pada Bimantara yang belum menyentuh makanannya sama sekali. “Ayo makan,” ajak Pangeran Sakai. Bimantara mengangguk. Dahayu diam-diam memperhatikan Bimantara dari tempat duduknya. Akhirnya Bimantara melahap makanannya. Mendadak dia teringat akan Kakeknya. Dia berhenti makan. Pangeran Sakai heran. “Kenapa? Tidak enak?” tanya Pangeran Sakai heran. “Aku teringat kakekku.” “Kakekmu pasti bangga kamu sudah berada di sini,” ujar Pangeran Sakai padanya. Mendengar itu, Dahayu jadi teringat ayah ibunya. Kedua orang tuanya pasti khawatir padanya. Dia memang menginginkan untuk bisa menjadi murid di sana, tapi dia tahu kalau kedua orang tuanya tak pernah setuju jika dia berada di sana.
Bimantara dan Pangeran Sakai tiba di kamarnya. Bimantara duduk di tepi kasur lalu memandangi Pangeran Sakai yang mulai berbaring di atas kasurnya.“Apakah setiap Pangeran di kirim ke sini untuk menimba ilmu bela diri?” tanya Bimantara penasaran.“Ya, tapi tidak semuanya berhasil,” jawab Pangeran Sakai.“Jika tidak berhasil?”“Mereka tak akan punya kesempatan menjadi Raja, biasanya akan digantikan Pangeran yang lainnya. Makanya setiap Raja diharuskan memiliki banyak anak laki-laki,” jawab Pangeran Sakai.“Jika Pangerannya cuma satu bagaimana?” tanya Bimantara penasaran.“Akan dididik khusus di istana.”“Berarti kamu adalah calon Raja?” tanya Bimantara ikut bangga.“Iya, nanti kerajaan Nusantara Timur aku yang akan menguasainya,” jawab Pangeran Sakai sambil menatap langit-langit di kamar itu.Bimantara terbelalak mendengarnya. &
Saat Pangeran Sakai hendak meninggalkan lapangan itu, Kedelapan guru pembantu datang. Langkah Pangeran Sakai terhenti. Bimantara, Dahayu, Rajo, Kancil dan dua murid perempuan lainnya melihat heran ke arah para guru pembantu yang datang kepada mereka.“Kau mau kemana?” tanya salah satu dari guru pembantu pada Pangeran Sakai.“Di sini ada murid yang dikirim oleh Perguruan Tengkorak. Aku tidak sudi belajar jika mereka tetap belajar di sini,” ucap Pangeran Sakai pada guru pembantu itu.“Kembali pada mereka. Tuan Guru Adji Darma menginginkan mereka berdua untuk tetap belajar di sini,” tegas guru pembantu itu pada Pangeran Sakai.“Perguruan Tengkorak sudah membunuh adik saya! Jika kita biarkan mereka mengirim mata-mata ke sini, itu artinya nasib Perguruan Matahari sedang terancam bahaya, Guru,” protes Pangeran Sakai.Bimantara dan Dahayu terdiam dengan bingung medengar itu. Sementara Rajo, Kancil dan dua mu
Pangeran Sakai berjalan menuju asrama. Langkahnya terhenti saat melihat Dahayu berjalan ke arahnya.“Dahayu,” panggil Pangeran Sakai padanya.Langkah Dahayu pun terhenti. Dia diam dan menunduk. Dahayu masih tidak terima atas tuduhannya tadi siang. Dia bukan dari golongan pendekar ilmu hitam. Dia rakyat biasa yang tinggal di perkampungan dan tidak tahu apa-apa.“Apa benar kamu ke sini dikirim oleh Perguruan Tengkorak untuk dijadikan mata-mata?” tanya Pangeran Sakai sekali lagi padanya.Dahayu mendongak dengan wajah marah dan tidak terima.“Aku ke sini memang dibawa angin puting beliung, tapi itu tidak berarti aku berasal dari golongan mereka,” jawab Dahayu dengan tegas.“Aku tidak percaya, tapi aku bisa memberimu pengecualian. Aku bisa melindungimu dan membersihkan namamu. Aku bisa menjadikanmu terlepas dari perguruan hitam itu jika kamu…” suara Pangeran Sakai terhenti.“Aku