Pangeran Sakai berjalan menuju asrama. Langkahnya terhenti saat melihat Dahayu berjalan ke arahnya.
“Dahayu,” panggil Pangeran Sakai padanya.
Langkah Dahayu pun terhenti. Dia diam dan menunduk. Dahayu masih tidak terima atas tuduhannya tadi siang. Dia bukan dari golongan pendekar ilmu hitam. Dia rakyat biasa yang tinggal di perkampungan dan tidak tahu apa-apa.
“Apa benar kamu ke sini dikirim oleh Perguruan Tengkorak untuk dijadikan mata-mata?” tanya Pangeran Sakai sekali lagi padanya.
Dahayu mendongak dengan wajah marah dan tidak terima.
“Aku ke sini memang dibawa angin puting beliung, tapi itu tidak berarti aku berasal dari golongan mereka,” jawab Dahayu dengan tegas.
“Aku tidak percaya, tapi aku bisa memberimu pengecualian. Aku bisa melindungimu dan membersihkan namamu. Aku bisa menjadikanmu terlepas dari perguruan hitam itu jika kamu…” suara Pangeran Sakai terhenti.
“Aku
Pendekar Tangan Besi kembali menghadap Adji Darma yang sedang duduk bersila di ruangannya.“Pendekar Pedang Emas telah memilih Pangeran Sakai untuk menjadi muridnya, Tuan Guru,” ucap Pendekar Tangan Besi penuh hormat.Adji Darma terekjut mendengarnya.“Pangeran Sakai harus mengikuti pelatihan fisik seperti yang lainnya. Kenapa Pendekar Pedang Emas langsung memilihnya?” tanya Adji Darma tak percaya.“Aku tidak tahu alasannya kenapa, Tuan Guru.”“Tolong panggilkan Pendekar Pedang Emas kemari sekarang juga,” pinta Adji Darma.“Baik, Tuan Guru.” Pendekar Tangan Besi pun langsung keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian Pendekar Tangan Besi kembali datang membawa Pendekar Pedang Emas ke hadapan Adji Darma.“Apa alasanmu langsung memilih Pangeran Sakai sebagai muridmu? Bukankah setiap murid baru harus lolos semua latihan dasar baru bisa dipilih oleh kalian?” tanya Adj
Tubuh Bimantara kian menggigil. Air kolam itu terasa sangat dingin. Dindinnya menusuk tulang. Bimanatra heran, bagaimana di negeri yang panas begini ada air kolam yang sangat dingin begitu. Tiba-tiba dia teringat Dahayu. Dia tidak tahu bagaimana nasib Dahayu sekarang. Kancil di dekatnya juga tampak sudah pucat. Menggigil seperti dirinya. Ketujuh guru bantu tampak duduk santai tak jauh dari kolam, mereka malah sibuk berbincang antar sesama.Bimantara melihat ke murid baru lainnya. Dia melihat Rajo, Wira, Welas dan Sanum tampak biasa saja dengan mata terpejam dan kedua telapak tangannya menyatu seperti sedang melakukan penyembahan. Bimantara menoleh pada Kancil yang kian menggigil di dekatnya.“Kenapa mereka baik-baik saja tidak seperti kita?” bisik Bimantara.“Aku tidak tahu, mungkin mereka sudah memiliki teknik untuk melawan air dingin seperti ini,” jawab Kancil sambil menggigil hebat.Bimantara heran, “Kalau memang ada tekni
Matahari sudah tenggelam. Bimantara dan Kancil berjalan melewati koridor menuju asramanya. Di hadapannya dia melihat ada Rajo dan Wira yang sedang berbincang seru. Entah apa yang sedang diperbincangkan oleh mereka. Saat Bimantara dan Kancil melewati mereka, Rajo memanggilnya.“Bimantara!”Bimantara dan Kancil terhenti. Mereka menoleh pada Rajo.“Aku sudah bilang, kau tak layak berada di sini,” ucap Rajo sambil cengengesan.Bimantara mengatur napasnya untuk menahan kesabarannya. Kancil malah emosi mendengarnya. “Bukan kamu yang menilai layak atau tidaknya seseorang berada di sini, tapi para Tuan Guru,” ucap Kancil dengan emosinya.Bimantara menyentuh bahu Kancil agar dia tidak emosi menghadapi mereka. Kancil terdiam. Rajo dan Wira tertawa. Mereka mendekat pada Bimantara.“Kalau kau memang pantas, nanti malam temui kami di belakang pagar dekat batu karang. Aku ingin tahu apakah kau sama seperti Dahayu
Bulan purnama bersinar terang di atas bangunan Perguruan Matahari yang megah. Penduduk Perguruan Matahari sepertinya sudah terlelap semuanya. Dahayu duduk di atas batu sambil memandangi bulan dan bintang-bintang di atas sana. Dia rindu dengan ayah ibunya. Dia khawatir ayah ibunya akan sedih di seberang pulau sana. Mereka pasti tidak tahu bahwa saat ini dirinya sudah resmi menjadi murid di Perguruan Matahari. Dahayu bingung, apa yang akan dilakukan kedua orang tuanya ketika mereka tahu kalau kini Dahayu berada di sana.Tak lama kemuidan Pangeran Sakai datang lalu duduk di sebelahnya. Dahayu kaget lalu berdiri sambil ancang-ancang menggunakan jurusnya. Pangeran Sakai tertawa.“Santai saja. Aku tak akan mengujimu lagi,” ucap Pangeran Sakai.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Dahayu heran.Pangeran Sakai berdiri. “Aku ingin meminta maaf padamu,” ucap Pangeran Sakai dengan tulus.Dahayu mengernyit. “Meminta
Malam itu, Bimanatara sedang tertidur lelap. Tiba-tiba ada yang membekap mulutnya lalu membawanya pergi dari sana. Bimantara mencoba meronta tapi tubuhnya tidak kuat untuk melawan orang yang membawanya itu. Apalagi tongkatnya tertinggal di kamarnya. Dia melihat orang itu memakai penutup kepala seperti ninja. Tak lama kemudian tubuh Bimantara di lempar di atas jerami di sebuah ruangan yang pesing dan bau. Bimantara terkejut saat melihat ada tiga lelaki yang berpakaian seperti ninja di sana.“Siapa kalian?” tanya Bimantara dengan heran.Seorang lelaki membuka penutup kepalanya. Bimantara terkejut ketika melihat lelaki itu adalah Pangeran Sakai. Lalu dua lelaki lainnya juga membuka penutup kepalanya. Ternyata mereka adalah Rajo dan Wira.“Kenapa kalian membawa aku ke sini?” tanya Bimantara yang tidak bisa berdiri karena tongkatnya tertinggal di kamarnya.Pangeran Sakai mendekat padanya dengan wajah marah. “Kami ingin memba
Gelembung-gelembung air keluar dari mulut Bimantara. Dia menelan sedikit air. Sekarang dia sudah tidak bisa menahan napas lagi. Entah kenapa air di dalam kolam itu mendadak dingin. Bimantara mulai menggigil sambil menanah napasnya. Seketika dia lemas. Sementara itu, Ki Walang Sang Pendekar Tendangan Seribu duduk bersila di sisi kolam sambil memandanginya dengan khawatir.“Bertahanlah, Bimantara!” teriak Ki Walang padanya.Bimantara mendengar dengan jelas suara Ki Walang. Dia heran, biasanya kalau sedang berenang di dalam air, dia tak akan bisa mendengar suara apapun di atas permukaan sana, tapi kenapa suara Ki Walang mampu didengarnya dengan jelas?Tak lama kemudian tubuh Bimantara semakin lemas. Air sudah banyak dia telan.“Apa aku akan mati?” bisik Bimantara dengan lemasnya. Dia masih berusaha menahan napas sebisanya.“Tidak! Kau tidak akan mati!” teriak Ki Walang padanya.Bimantara tak mengerti, kehebat
Adji Darma duduk menunggu di ruangannya. Tak lama kemudian Ki Walang dan Pendekar Tangan Besi datang.“Ada apa gerangan Tuan Guru Besar memanggil saya?” tanya Ki Walang dengan penuh hormat.Adji Darma berdiri dengan marah.“Apa alasanmu memilih Bimantara sebagai muridmu?” tanya Adji Darma heran.“Intuisiku mengatakan dia sudah pantas menjadi muridku, Tuan Guru Besar. Bukankah salah satu cara memilih murid tetap adalah dengan intuisi? Panggilan alam seperti yang sering Tuan Guru Besar katakan?” jawab Ki Walang.“Tapi intuisi saya mengatakan dia masih belum pantas untuk dipilih! Saya tidak ingin lagi ada murid yang mati di tanganmu!” tegas Adji Darma.“Dia tak akan mati. Dia akan berhasil mengikuti saya sampai tingkat ke tujuh. Percayalah pada saya Tuan Guru,” ucap Ki Walang penuh hormat.“Jika memang benar begitu, dia harus memasuki hutan terlarang di pulau ini. Dia haru
Pangeran Sakai terduduk di atas batu sambil memegang pedangnya. Dahinya dipenuhi keringat karena sehabis berlatih. Para murid dari berbagai tingkatan sudah bubar di tempat itu. Pendekar Pedang Emas datang mendekatinya.“Pangeran,” sapa Pendekar Pedang Emas.Pangeran Sakai berdiri saat melihat guru besarnya datang.“Iya, Tuan Guru,” sahut Pangeran Sakai dengan heran.“Sesuatu telah terjadi. Tuan Guru Besar Adji Darma menghendakimu untuk mengikuti ujian akhir Pelatihan fisik bersama Bimantara di hutan terlarang esok pagi,” ucap Pendekar Pedang Emas dengan serius.Pangeran Sakai terbelalak mendengarnya, “Kenapa harus bersama Bimantara, Tuan Guru?”“Tuan Guru Besar Adji Darma tidak sejutu melihat Pendekar Tendangan Seribu langsung memilih Bimantara sebagai muridnya,” jawab Pendekar Pedang Emas padanya.“Saya siap melakukan apapun itu, Tuan Guru,” ucap Pangeran Sakai t