Adji Darma duduk menunggu di ruangannya. Tak lama kemudian Ki Walang dan Pendekar Tangan Besi datang.
“Ada apa gerangan Tuan Guru Besar memanggil saya?” tanya Ki Walang dengan penuh hormat.
Adji Darma berdiri dengan marah.
“Apa alasanmu memilih Bimantara sebagai muridmu?” tanya Adji Darma heran.
“Intuisiku mengatakan dia sudah pantas menjadi muridku, Tuan Guru Besar. Bukankah salah satu cara memilih murid tetap adalah dengan intuisi? Panggilan alam seperti yang sering Tuan Guru Besar katakan?” jawab Ki Walang.
“Tapi intuisi saya mengatakan dia masih belum pantas untuk dipilih! Saya tidak ingin lagi ada murid yang mati di tanganmu!” tegas Adji Darma.
“Dia tak akan mati. Dia akan berhasil mengikuti saya sampai tingkat ke tujuh. Percayalah pada saya Tuan Guru,” ucap Ki Walang penuh hormat.
“Jika memang benar begitu, dia harus memasuki hutan terlarang di pulau ini. Dia haru
Pangeran Sakai terduduk di atas batu sambil memegang pedangnya. Dahinya dipenuhi keringat karena sehabis berlatih. Para murid dari berbagai tingkatan sudah bubar di tempat itu. Pendekar Pedang Emas datang mendekatinya.“Pangeran,” sapa Pendekar Pedang Emas.Pangeran Sakai berdiri saat melihat guru besarnya datang.“Iya, Tuan Guru,” sahut Pangeran Sakai dengan heran.“Sesuatu telah terjadi. Tuan Guru Besar Adji Darma menghendakimu untuk mengikuti ujian akhir Pelatihan fisik bersama Bimantara di hutan terlarang esok pagi,” ucap Pendekar Pedang Emas dengan serius.Pangeran Sakai terbelalak mendengarnya, “Kenapa harus bersama Bimantara, Tuan Guru?”“Tuan Guru Besar Adji Darma tidak sejutu melihat Pendekar Tendangan Seribu langsung memilih Bimantara sebagai muridnya,” jawab Pendekar Pedang Emas padanya.“Saya siap melakukan apapun itu, Tuan Guru,” ucap Pangeran Sakai t
Malam itu Pendekar Pedang Emas sedang beradu pedang dengan Pangeran Sakai di halaman kediaman Pendekar Emas di atas bukit. Dari sana terlihat jelas banguan Perguruan Matahari yang megah. Menara yang menjulang tinggi menuju langit pun terlihat berkilau. Pangeran Sakai terus menangkis serangan pedang dari Guru Utamanya dengan wajah penuh dendam dan kesal. Dendam pada para pembunuh adiknya. Kesal karena Dahayu meremehkannya. “Hilangkan semua amarah dan dendam di hatimu!” tegas Pendekar Pedang Emas pada Sakai yang tengah menahan serangan pedang darinya. Sakai mengerahkan tenaganya sekuat tenaga agar tubuhnya tidak terdorong ke belakang. “Jika pedang ditanganku sedang beradu, semua yang membuat aku marah dan kesal tiba-tiba teringat kembali, Tuan Guru!” sahut Pangeran Sakai. “Jika amarah dan dendam tak bisa kau usir dari dada dan kepalamu, maka kau tak akan bisa menguasai ilmu kesadaran yang aku berikan! Kau harus konsentrasi saat bertarung. Kau harus jeli pada se
Bimantara dan Pangeran Sakai berdiri di depan gerbang hutan terlarang. Semua murid berkumpul di belakang mereka. Para guru utama dan guru pembantu sudah hadir di sana. Dahayu menyembulkan kepala bersama Kancil di tengah kerumunan yang menunggu aksi Bimantara dan Pangeran Sakai melakukan tes terakhir pelatihan fisik. Tes yang akan mengantar mereka pada pelajaran tingkat satu yang akan mulai mempelajari teknik dasar ilmu bela diri.Adji Darma maju ke hadapan di tengah-tengah kerumunan. “Hari ini, akan ada dua murid baru yang akan mengikuti tes terakhir pelatihan fisik! Sementara murid baru yang lainnya masih akan menunggu karena masih ada tahapan yang harus mereka lewati! Jika kedua murid baru di hadapan kalian ini berhasil melewati tes terakhir ini, mereka akan dinilai sah untuk melanjutkan pelajaran tingkat satu! Namun jika mereka semua gagal, maka mereka akan kembali pada guru pembantu dan kembali mengikuti tahapan pelatihan yang diajarkan guru pembantu!” teriak
Bimantara berhasil menepi ke pinggir sungai. Buaya-buaya yang mengejarkanya tiba-tiba kembali menyelam lalu menghilang dari permukaan air. Kini pakaiannya yang basah itu semakin membuatnya menggigil. Dia terlentang menghadap langit. Mencoba berjemur dari sinar matahari yang mulai meninggi. Agar pakaiannya kering dan gigilnya menghilang. Dia penu menoleh pada hilir sungai. Sekarang tongkatnya sudah hanyut. Dia bingung bagaimana harus kembali berjalan? Akhirnya dia pasrah menunggu sampai pakaiannya kering.Bimantara duduk. Dia mengitari sekitar. Mencoba untuk berkonsentrasi lagi untuk mendengarkan suara-suara di dalam hutan rimba itu.“Hutan apa ini?” gumamnya. “Apakah ini hutan buatan? Atau mataku saja yang menganggap ini hutan padahal bukan? Tapi jika ini tidak nyata, kenapa semuanya terasa nyata?”Tiba-tiba Bimantara teringat Pangeran Sakai. Dia tidak tahu kemana Pangeran itu sekarang.“Apa mungkin Pangeran Sakai sudah menem
Bimantara berdiri di sisi tebing dengan kaki cahaya naganya. Tak lama kemudian dia menoleh ke belakang, hutan rimba dengan pepohonan tinggi dan rimbun disertai semak-semak yang sukar dilewati berada di belakangnya. Dia tidak tahu di mana letak pintu gerbang keluar itu. Dia mengingat apa yang dikatakan Ki Walang semalam kepadanya.“Fokuslah pada suara lolongan srigala. Pintu gerbang keluar dijaga oleh ratusan srigala. Mereka buas dan haus darah. Kau harus bisa menjinakkan mereka dengan membawa rusa untuk kau lemparkan padanya. Dengan begitu kau akan bisa keluar dari gerbang itu.”Setelah mengingat itu. Bimantara memutuskan untuk duduk bersila. Dia mengatur napasnya dan mencari suara lolongan srigala. Dari arah utara dia mendengar samar lolongan srigala. Dia yakin kawanan srigala buas itu ada di arah utara. Bimantara berdiri lalu mencari cara untuk menembus hutan itu. Dia melihat akar-akar yang keluar dari dahan pohon. Setelah mengatur napasnya, Bimantara mel
Rusa yang berada dalam gendongan Bimantara tampak diam. Dia hampir saja tiba di batas antara padang rumput dan hutan. Seketika dia teringat lagi akan pembicaraan Ki Walang semalam.“Jika kau berhasil membuat cahaya kaki naga menyatu dengan tubuhmu ketika kau genting di dalam hutan sana, maka kau akan mampu melewati hal paling berat di sana. Yaitu apa yang berada di antara pepohonan di bawah semak-semak. Kaki cahayamu itu akan mampu membawamu terbang dari satu pohon ke pohon lainnya.”Bimantara berpikir mengingat itu. “Mungkin karena kaki cahaya ini aku bisa tiba dengan segera menuju gerbang keluar,” pikir Bimantara.Saat kakinya melangkah memasuki rimba di hadapannya. Tiba-tiba angin bertiup. Dinginnya menusuk tulang. Bimantara menatap pohon. Tak lama kemudian kakinya kembali bercahaya terang. Dia pun langsung terbang menuju pohon yang dilihatnya lalu mengayunkan kakinya melalui batang pohon itu untuk menuju pohon lainnya. Anak rusa tampa
Malam itu Bimantara dan Pangeran Sakai berdiri di hadapan Adji Darma dan para Guru Utama serta para Guru Pembantu. Ratusan murid berbaris rapih di belakang mereka. Kepala Asrama sedang memegang dua burung merpati. Burung yang akan menerbangkan secarik kain yang bertuliskan sebuah surat yang akan dikirimkan kepada keluarga yang sudah resmi menjadi murid di Perguruan Matahari. Ya, siapapun yang sudah lulus mengikuti tes pelatihan fisik di hutan terlarang, pihak perguruan akan mengirimkan surat pada keluarga mereka melalui merpati. Surat berisi pemberitahuan bahwa anaknya sudah resmi menjadi murid di Perguruan Matahari.Adji Darma menatap wajah Bimantara dan Pangeran Sakai dengan serius.“Mulai hari ini, kalian akan menjadi murid guru utama yang memilih kalian! Mereka akan mengajari kalian ilmu bela diri sampai ke tingkat tujuh! Jika kalian cepat menguasai apa yang akan mereka ajarkan, maka kalian akan cepat juga lulus dari sini! Tugas kalian nanti adalah menjaga bu
Awan di atas bangunan Perguruan Matahari tampak mendung. Di sore hari, Pangeran Sakai berdiri di hadapan Rajo, Wira, Welas dan Sanum di wilayah barat – di balik pagar bambu bangunan Perguruan Matahari.“Kita harus membuktikan kalau Bimantara bekerjasama dengan siluman! Kita harus membuktikan kalau Bimantara memang utusan dari Perguruan Tengkorak!”Wira menatap Pangeran Sakai dengan bingung, “Bagaimana membuktikannya, Pangeran?”Pangeran Sakai berjalan ke arah Wira dengan marah, “Bagaimana kau bilang?! Justru aku mengumpulkan kalian di sini untuk berembuk agar kita bisa menemukan cara agar pemuda pincang itu bisa dikeluarkan dari sini! Aku tidak terima menjadi olok-olokan murid senior karena luka-luka di tubuhku saat menembus hutan terlarang itu, sementera dia tidak memiliki luka apapun!”“Maaf, Pangeran,” ucap Wira gemetar dan ketakutan.Rajo berpikir sesaat lalu menoleh pada Pangeran Sakai. Sep