Konon, di jaman Kerajaan Kahuripan ada seorang pangeran dari Sunda Galuh yang melepaskan haknya sebagai Putra Mahkota dan memilih menjadi seorang Wiku, kemudian mengembara ke Kahuripan. Sepanjang pengembaraannya, ia lebih suka memberi pertolongan kawulo alit dengan kemampuannya menyembuhkan berbagai penyakit dengan ramuan dedaunan tanpa mau menerima upah. Karena kebersihan dan kesucian hatinya, hatinya diibaratkan sangatlah putih dan suci. Ia mempunyai adik seperguruan. Seorang putri Mahkota Kahuripan yang karena situasi sedari kecil sudah dikepung bahaya maka dididik keras agar memiliki ilmu untuk membela diri dan berpakaian seperti laki-laki sampai remaja. Ternyata ia sangat berbakat menjadi orang sakti Mandraguna dan sedari kecil sudah menunjukkan keberaniannya. Karena ia seorang yang berani maka diibaratkan ia berjiwa merah. Pada jilid-jilid awal ditunjukkan mereka baru pulang dari Sunda Galuh menuju ke padepokan gurunya dan bermalam di sebuah kabuyutan. Mulai dari sana mereka menjumpai peristiwa yang menyingkap gerombolan besar yang akan memberontak kepada kerajaan. Apalagi kemudian ada utusan dari kerajaan yang hendak menjemput kepulangannya. Ternyata dari penuturan sang putri mahkota mengisyaratkan bahwa hati mereka sudah saling tertarik semenjak menerima pelajaran di kelas. Hanya karena sang putri mahkota belum jujur bahwa ia seorang wanita maka perasaan mereka masih terpendam. Apakah sang putri mahkota akan mengungkap jati diri yang sebenarnya?
View More"Maksudku, Kangmas Gesang Suci harus tahu titipan bekal yang besar dari ibundanya itu.""Tentu," sahut ki Patih Narotama. "Hal itu harus segera disampaikan kepada Pangeran muda itu. Biarkan dia bebas menentukan buat apa saja bekal uang dari ibundanya itu. Kita tidak wenang mencampurinya."Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka memasuki kabuyutan ketika fajar menyingsing. Angin pagi terasa segar sesudah memeras tenaga dan justru ingin segera bertemu air untuk segera mandi. Ketika kaki mereka sampai di gapura rumah Ki Buyut tiba-tiba langkah mereka merandek . Telinga mereka yang tajam masih mendengar percakapan antara Pendeta Sung Tulodo dan Gesang Suci di pringgitan. Ki Patih berbisik ditelinga Mahesa Barak. "Kita langsung ke rumah kidul saja biar tidak mengganggu penghuni lainnya."Rumah kidul artinya rumah milik Ki Buyut yang sekarang seolah dipakai markas yang berada di sebelah utara. Mahesa Barak mengangangguk setuju."Tetapi aku ingin ganti baju," ujar Mahesa Barak tiba-tiba "
Pada saat itu, lamat-lamat dari kabuyutan terdengar ramai ayam berkokok untuk yang terakhir kali di bawah Gunung Pundhak menandakan sebentar lagi fajar akan datang. Dinginnya hawa pagi membantu mengeringkan keringat di tubuh keduanya. "Luar biasa gusti putri sekarang," Ki Patih Narotama mengangguk hormat. "Selayak nya saat ini ganti pamanda yang berguru."Mahesa Barak tertawa. Meskipun seolah tidak setuju tetapi dalam hati sebenarnya bangga. Apalagi yang memuji seorang paman yang pertama kali mengajari satu dua jurus langkah awal pengenalan ilmu kanuragan."Bukan kemampuaku semata paman. Tapi, sekedar pinjaman dari dewata," jawab Mahesa Barak tiba-tiba timbul senyum kemanjaannya. "Kalau aku kemudian menyimpang dari jalan benar maka sebaiknya dicabut saja pinjaman ini""Benar sekali apa kata gusti putri," sambung ki Patih."Hampir pamanda juga hendak mengatakan bahwa apa yang menjadi kekuatan ilmu kita sebenarnya sekedar pinjaman. Kita tidak boleh mengaku bahwa dengan kemampuan itu menj
"Baiklah, anakmas. Pamanda sangat senang mendengar angger membantu kesembuhan prajurit itu,” ki Patih mengangguk hormat. "Selanjutnya, ijinkan pamanda pergi dengan gusti Rakyan Hino.”"Silahkan gusti patih,” Gesang Suci ganti membalasnya tidak kalah hormatnya."Tapi Kangmas, tidurnya jangan terlalu malam," sambung Mahesa Barak tiba-tiba. "Besuk pagi-pagi kita pergi melanjutkan perjalanan untuk segera bertemu dengan guru di padepokan."Gesang Suci termangu-mangu. Rencana ini-pun baru disampaikan adik seperguruannya itu. Tapi memang tujuan semula adalah pulang ke Bukit Buthak, Padepokan gurunya. Agaknya Ki Patih-pun sudah menyetujui untuk menunggu sehari dua hari di Kabuyutan itu sebelum mereka ke Kota Raja Kahuripan."Kaupun jangan terlalu banyak pamer tenaga," Gesang Suci menjawab acuh. "Segala yang pernah dilatih, dipertontonkan sampai lupa waktu."Mahesa Barak-pun tak kuasa untuk tertawa berderai layaknya tawa seorang laki-laki. Untung ki Patih segera menggamitnya. Demikianlah ketik
Sementara, pada malam hari itu juga di Pendapa sebuah Rumah Joglo milik Ki Buyut almarhum di Kabuyutan Claket, tampak Ki Patih Narotama dihadap oleh beberapa tetua kabuyutan, dua senopati prajurit, beberapa prajurit pengawal, Pendeta Sung Tulodo dan di sebelah kanan adalah Mahesa Barak dan Gesang Suci.Semua orang terutama yang belum pernah mengenal keluarga Raja Airlangga sekali lagi diperkenalkan bahwa Mahesa Barak adalah putra Mahkota kerajaan Kahuripan yang baru pulang dari lawatannya ke Kerajaan Sunda Galuh.Dan Gesang Suci adalah kakak seperguruannya dari Bukit Buthak, sebuah padepokan di seberang Hutan Gembolo.Pendeta Sung Tulodo dan semua tetua Kabuyutan ketika melihat Mahesa Barak sekali-kali mencuri pandang tapi tidak satupun berani menyatakan sesuatu. Namun, agaknya ada sesuatu yang mereka sepakati bersama dan akhirnya hanya tersimpan dalam hati. Karena apabila dinyatakan, maka akan dianggapnya deksura."Mohon maaf, Gusti Rakyan Hino, hamba segera memulai," sembah kipatih h
"Tidak kusangka banyak pengalaman lahir dan bathin selama berada di negeri yang berbeda adat istiadat, bahasa dan juga makanannya," Putri Sanggramawijaya atau Mahesa Barak berceritera . "Baik ketika beberapa lama di kerajaan Sunda Galuh maupun ketika menyeberang selat Sunda ke Swarnadwipa kekerajaan Sriwijaya. Aku merasakan kalau di Kotaraja dan di pusat kerajaan masih mempunyai banyak kesamaan. Tapi, Kangmas Gesang Suci mengajakku lebih banyak bergaul dengan masyarakat kecil di desa, di pantai, para petani dan nelayan.Tampak ki Patih mengangguk-anggukakan kepala. Terbayang tadi siang pangeran Gesang Suci berkulit tubuh putih kuning menjadi paling mudah dibedakan berada di kerumunan rakyat kabuyutan Claket yang semuanya berkulit sawo matang atau bahkan beberapa berkulit kehitaman terbakar sinar matahari. Ki Patih lalu tersenyum dan bertanya, "Adakah nama dari anak muda itu memang asli. Maksud pamanda adakah nama lain dari anak muda itu?""Aku rasa bukan, pamanda. Dia pasti memiliki n
Beliau adalah Ki Patih Narotama.Sejenak Ki Patih-pun tertegun melihat suasana duka di halaman kabuyutan yang luas itu, kini penuh dengan rakyat yang sedang tepekur tengah memanjatkan doa. Panggraita-nya yang amat tajam melebihi orang kebanyakan itu segera menyimpulkan Ki Buyut baru meninggal. Apalagi ketika tidak dilihatnya pemimpin kabuyutan di antara para tetua kabuyutan itu yang biasanya akan segera sedang takjim menyambutnya. Mereka serentak menjatuhkan diri dengan sikap menyembah kepada Ki Patih.Tampak kemudian di tengah pendapa, jenazah Ki Buyut masih menunggu untuk diselenggarakan sebagaimana mestinya."Ki Buyut-kah yang meninggal?" tanya Ki Patih mencari kepastian."Hamba Ki Patih," jawab salah seorang tetua menyembah. "Beliau sakit beberapa lama dan tabib sudah berusaha.”Ki Patih menyingkap kain penutup kepala Ki Buyut almarhum. Wajah yang pucat namun bersih menunjukkan keikhlasan roh Ki Buyut sedang dalam perjalanan menghadap kepada Sang Hyang Agung, pencipta jagad raya s
"Tapi, ini orang yang berada di dekat Ki Buyut perlu diselidiki. Sebab, aku sendiri menyaksikan sebelum Ki Buyut meninggal, ia mendorong tubuh Ki Buyut,” sambung Jamur Selodri. "Dugaanku kuat dia sudah mencelakai Ki Buyut.”Ki Tapa tidak menanggapi dan menarik lagi lengan Jamur Selodri pergi ke pringgitan dan langsung ke bilik paling belakang di mana 3 laki-laki sedang menjaga dengan senjata di tangan."Seperti akan perang," desis Ki Tapa.Tiga orang segera memberi jalan ketika Jamur Selodri menuju pintu kayu tebal yang kokoh dan mengurai sebuah rantai penjang sebagai alat kunci dengan ikatan ganda. Mereka segera bersiap di kiri kanan begitu pintu dibuka.Sesaat sinar matahari menerobos masuk keruangan gelap dan menerangi sebuah wajah tampan sedang tenang-tenang duduk di bibir amben. Kulitnya putih kuning serasi benar dengan balutan kain putih polos menutupi separuh dadanya layaknya seorang pendeta.“Angger Gesang Suci? Kenapa ada di sini?" Seru ki Tapa mengejutkan setiap orang. Apala
Sesaat kemudian mulut Gendon ternganga dan kalau ada nyamuk memasuki mulut itu pasti tak disadarinya sebab kuda besar dan tegar berwarna merah sedang keluar sambil mengangguk-anggukan kepalanya."Sekarang menari," ujar Mahesa Barak tersenyum kepada Turangga Rekta. Anehnya kuda itu lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya seperti sedang menari dan suaranya mbengingeh."Rekta," bisik Mahesa Barak kemudian mendekati kudanya. "Mereka hendak berbuat jahat ke kalian berdua. Coba beri sedikit pelajaran, ya.”Mendengar perintah tuannya, tiba-tiba kuda itu berdiri dengan dua kaki dan meloncat di tempat tapi kaki belakangnya menyepak tulang kering Demung selagi berdiri di belakangnya. Demung terkejut tapi terlambat. Kaki kirinya seperti ditebas sepotong besi."Waduh! Modar aku," teriaknya sambil membungkuk kesakitan. Dan sekali lagi kuda itu menyepak wajahnya sehingga tubuhnya terpelanting roboh.Demung-pun pingsan. Melihat Demung tidak bergerak maka Gendon yang berperut besar tapi berhati kecil kont
"Maaf kangmas aku mau meneruskan mimpi," sambung Mahesa Barak cepat-cepat dengan wajah cemberut . "Selamat malam "Gesang Suci ingin menjawab bahwa tadi itu kasihan melihat adiknya sudah tidur dan apalagi tidak berani membangunkan. Namun ketika dilihatnya Mahesa Barak sudah membelakanginya lagi sambil memeluk kedua tangannya seperti tadi, maka Gesang Suci hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Yang tidak diketahuinya adalah adiknya itu tersenyum simpul. Ternyata kakak seperguruannya itu masih menyimpan rasa segan kepadanya dan mereka masih saling menghormati. Juga makin saling mengasihi.Hujan di luar terdengar mulai reda. Suara air yang sedang memukul genting semakin jarang namun angin yang masih berhembus rasanya bertambah dingin. Biasanya ada giliran ronda yang dimulai dari banjar. Entah karena mereka ketiduran atau kabuyutan yang aman tidak pernah terjadi tindak kejahatan sehingga dianggap tidak masalah jika lowong satu malam saja.Namun tiba-tiba terdengar suara tangis bayi dari
Ketika warna merah kekuningan di senja hari itu masih tersangkut di pucuk-pucuk pepohonan dan tersisa di puncak Gunung Welirang, kedua anak muda itu menatapnya hampir bersamaan. Gunung berwarna kebiruan menjulang tinggi di depan mereka itu masih tampak begitu megah seperti saat kepergian mereka merantau ke Negeri Barat satu setengah tahun yang lalu.“Jika Hyang Widhi memperkenankan, kita baru besok sampai di padepokan, Kangmas," ujar salah seorang anak muda yang menunggangi kuda berwarna merah. Wajahnya cerah dengan mata bersinar tajam menandakan kekuatan bathinnya yang tinggi. Ketika untuk kedua kalinya menegakkan badannya yang terasa pegal tampak tubuhnya tinggi langsing namun terlihat padat berisi."Adimas Mahesa Barak sudah rindu kepada bapa Pendeta, ya?" tanya pemuda berperilaku lembut berkuda putih di sebelahnya sambil tersenyum menggoda. Matanya sesaat tidak lepas menatap lesung pipit adik seperguruannya itu.Anak muda yang bernama Mahesa Barak langsung menyahut dengan senyuman...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments