Share

Bab 2

last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-01 16:49:55

"Hari respati, malam sukro," desis Mahesa Barak sekali lagi sambil memandang pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat-rapat.

Malam di mana konon roh para leluhur pulang menunggu doa dari sanak keluarga dan jika tidak ada satupun yang bangun untuk berdoa maka mereka akan bertangisan di kuburan. Namun juga malam di mana konon gendruwo, tetekan ,banaspati, kuntilanak sibuk bergentayangan mengganggu manusia yang kurang iman dan keyakinan.

Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di depan Gapura Banjar. Ada satu pelita kecil tergantung di tengah pintu gapura dan sedang bergoyang maju mundur mulai terdorong angin kencang menjelang hujan turun. Seorang laki-laki tua menyambut salam kedua anak muda itu dengan suara lunak ketika mereka sudah memasuki halaman banjar sambil menuntun kuda-kudanya.

Sejenak, penunggu banjar itu memandang pemuda pertama memakai pakaian panjang berwarna merah polos yang menutupi sebagian dadanya dengan di selempangkan layaknya seorang pendeta dengan rambut panjang dikuncir tinggi dan anak muda yang kedua cara berpakaian juga sama hanya warnanya putih polos.

"Kulo nuwun kek ," sekali lagi pemuda pertama mengulangi salamnya. "Sekiranya diijinkan, kami hendak bermalam di banjar ini semalam saja.”

"Monggo silahkan angger, "orang tua itu mengangguk ramah. "Kami warga dukuh punya kewajiban memberi tumpangan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan.”

"Cuaca sudah mendung dan titik-titik air-pun mulai terasa di kulit," ujar Gesang Suci "Kalau turun hujan pastilah beberapa pelancong berteduh di banjar ini ya kek?"

"Kebetulan di banjar ini belum ada orang yang berteduh. Anakmas berdualah yang kini menginap paling dulu." Kedua anak muda itu tersenyum senang.

"Terima kasih, "sahut Mahesa Barak. "Mudah-mudahan kami tidak terlalu merepotkan."

"Lalu di mana kandang kudanya, Kek?" tanya Gesang menyambung.

Orang tua itu menunjuk ke sisi banjar tempat kandang kuda sambil berkata, "Tempat pakiwan juga di sebelahnya. Tapi maaf kami tidak akan memberi suguhan makan.” Gesang Suci tertawa kecil. Dipandangnya penunggu banjar dengan penuh hormat. "Tidak menjadi masalah, Kek," jawabnya menyentuh tangan keriput itu. "Kami sudah sangat berterima kasih atas perkenan kakek. Hanya kalau kakek mempunyai persediaan rumput buat makan kuda-kuda kami biar aku beli."

"Banyak, Anakmas ," jawab orang tua itu. "Tadi siang kebetulan anak kami membantu menyabit rumput dua pikul dan daun turi buat makan kambing dan sapi ." Tidak lama sesudah mereka selesai mandi bergantian maka mereka tidak melupakan kewajibannya untuk menghadap kepada Sang Hyang Agung. Gesang Suci segera membuka bekal nasi dengan lauk goreng dadar jagung, ceplok telur dibungkus daun pisang dirangkap daun jati saat dibeli dari warung terakhir di Kabuyutan Pacet sore tadi. Dengan bekal itulah anak muda itu berbuka sesudah sehari berpuasa. Kebiasaan untuk berpuasa dengan cara sehari puasa sehari tidak ini sudah dijalani hampir setahun lebih dan terasa makin menyehatkan tubuhnya. Betul ajaran yang didapat dari guru ibundanya dari Persia itu.

Tidak berlebihan untuk tiap saat selalu menyangkutkan diri kepada pertolongan Sang Hyang Widhi.

Berbeda dengan cara Mahesa Barak berpuasa. Jika sedang mendalami laku ilmunya, sering 3 hari 3 malam puasa pati geni. Didahului dengan puasa ngrowot yaitu hanya boleh makan sebangsa sayuran dan buah-buahan, ketela, singkong, dan dilarang makan nasi selama 40 hari. Pada saat pati geni biasanya Mahesa Barak mengajak berhenti di suatu tempat dan setelah melatih ilmunya ditempat tersembunyi dan dirasa berhasil baik maka mereka melanjutkan perjalanannya.

Beberapa saat setelah cukup makan bekal yang selalu dibawanya dengan memisahkan buat adiknya Gesang Suci tertegun diam. Dilihatnya adik seperguruannya itu sedang menenteng dua ekor kalong besar hitam di tangannya dan kelihatannya sudah mati. Dengan heran Gesang Suci bertanya, "Dari mana kau memperoleh hewan-hewan itu adimas?"

Mahesa Barak tersenyum melihat kakak seperguruannya yang setiap saat selalu mengerutkan keningnya dalam-dalam apalagi jika sedang menahan rasa heran. "Ternyata kemampuanku dalam membidik semakin bisa diandalkan walau cuaca gelap, Kangmas, "jawab Mahesa Barak. "Daging hewan ini enak jika digoreng dengan sedikit garam."

Mendengar penjelasan itu Gesang Suci menggelengkan kepalanya. Sama sekali anak muda itu tidak menduga apa saja yang sudah dilakukan adik seperguruannya dalam perjalannya sore tadi. "Jadi, saat adimas turun dari kuda itu, adimas menyambitnya?" tanya Gesang Suci mengerutkan keningnya.

"Dengan batu kerikil?"

Mahesa Barak mengangguk. Sekali lagi sambil tersenyum dia bertanya, "Bukankah kalau kita menangkap hewan dan kemudian kita makan dagingnya tidak akan berdosa. Sama dengan jika kita menangkap ayam alas atau kijang di hutan asal matinya tidak sia-sia?"

Gesang Suci tidak menjawab dan termenung. Betul memang kata Mahesa Barak itu sebab setiap kali membunuh apapun kalau sia-sia maka tidak segan-segan Gesang Suci memberi nasehat yang dirasakan adik seperguruannya sebagai penyesalan. "Kenapa tidak menjawab kangmas? " tegur Mahesa Barak tertawa. "Bukankah yang aku katakan itu tidak salah?" Gesang Suci masih termangu-mangu.

Ditatapnya dua hewan dengan sayap yang sudah terpentang kaku itu.

"Sudahlah nanti aku masak yang enak dan buat kangmas bagiannya banyak asal kangmas menjawab," rayu Mahesa Barak. Mendadak ada rasa sesal melintas ketika melihat wajah Gesang Suci yang tampak gelap.

"Aku tidak ikut makan," sahut Gesang Suci lirih. "Lebih enak makan goreng pisang."

Mahesa Barak terdiam. Adatnya kalau kakak seperguruannya sudah berkata begitu berarti ada sesuatu yang tidak disetujuinya. "Kalau begitu biar aku makan sendiri, " kata Mahesa Barak menunduk. Kemudian seolah membela diri ia berdesis "Biar hewan itu tidak mati sia-sia". Sekali lagi Gesang Suci diam. Terbayang sekelompok kalong terbang bergerombol seumpama sekeluarga berniat mencari makan namun tiba-tiba dua ekor di antaranya tersambit tidak tahu dari mana bencana datang dan kemudian tersedot tenaga sakti sehingga melayang tanpa disadari sama sekali sebab tubuhnya sudah terluka parah dan hampir mati.

Seharusnya penyambitan sore tadi tidak dilakukan adiknya dengan sembunyi-sembunyi. Sehingga hal itu menunjukan belum ada keterbukaan di antara mereka yang membuatnya agak tersinggung sebab ia merasa ditelikung. Sesaat kemudian Gesang Suci bangkit berdiri dan beranjak menyentuh kedua tubuh hewan berwarna hitam kelam itu dengan mata sendu.

"Maafkan adikku, ya," desisnya perlahan. "Kasihan nasib kalian saat sedang mencari makan tiba-tiba harus berkorban kepada manusia. Semoga Sang Hyang Agung menerima kalian di alam sana”.

Mahesa Barak menggigit bibirnya. Setiap kali hal serupa selalu terulang lagi. Dirasakan kelembutan hati kakak seperguruannya sering berlebihan bahkan menurutnya itu suatu kerapuhan atau lebih jelasnya - suatu kelemahan. Dalam doapun di tengah malam terkadang dilihatnya kakaknya sedang menangis terisak. Begitu beratkah dosa dan kesalahan yang harus ditanggung manusia untuk bisa terus bertahan hidup?

Kakak seperguruannya itu menurutnya lemah. Banyak ragu dan kebimbangan jika hendak berbuat sesuatu. Apalagi setelah diamati dalam beberapa bulan ini tidak ada keinginannya untuk memperdalam ilmu yang pernah diajarkan oleh guru mereka Empu Sidik Paningal dari Bukit Buthak.

Kemampuan ilmu kesaktian Jaya Kawijayaan semakin jauh ditinggalkan sebab tampaknya kakaknya itu lebih senang mengumpulkan daun-daun, akar-akar, tanaman empon-empon yang berkasiat sebagai obat. Kecenderungan untuk menolong orang lain lebih besar dari pada harus membuat orang lain sakit.

Apapun alasannya, dia seolah tidak mempersoalkan.

Tiba-tiba saja pintu bilik banjar terbuka namun bersamaan terbukanya pintu itu di luar rumah tampak seberkas cahaya kilat menerangi gelap malam disusul suara petir mengejutkan mereka.

Bab terkait

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan    Bab 3

    Seorang perempuan tua menyuguhkan satu ceret wedang sereh dan semangkok singkong rebus panas."Waduh jangan repot-repot nek," ucap Gesang mengangguk hormat. Ditatapnya nenek tua itu sejenak dan kemudian beralih ke singkong yang masih mengepul. "Terima kasih. Singkongnya tampak manis dan empuk”"Silahkan ngger," jawab orang tua itu. Sejenak dipandangnya pula dua anak muda di depannya bergantian. Keduanya bersih dan terlihat terpelajar. Betul kata suaminya, kedua tamunya hari ini berbudi bahasa sopan dan lembut. Namun mendadak orang tua itu sekali lagi menatap Mahesa Barak dan membenarkan pendapat suaminya bahwa raut wajah anak muda itu mirip istri seorang panutan di kabuyuran ini. Bahkan karena besar kemiripannya itulah hampir terucap pertanyaan yang sudah di ujung lidahnya."Maaf hanya panganan sederhana ini yang bisa kami suguhkan. Maklum desa ini terpencil dan sepi.” "Kami sudah sering lewat kabuyutan ini, Nek," ucap Mahesa Barak yang merasa selalu ditatap. “Tapi malam ini memang ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-01
  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan    Bab 4

    "Maaf kangmas aku mau meneruskan mimpi," sambung Mahesa Barak cepat-cepat dengan wajah cemberut . "Selamat malam "Gesang Suci ingin menjawab bahwa tadi itu kasihan melihat adiknya sudah tidur dan apalagi tidak berani membangunkan. Namun ketika dilihatnya Mahesa Barak sudah membelakanginya lagi sambil memeluk kedua tangannya seperti tadi, maka Gesang Suci hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Yang tidak diketahuinya adalah adiknya itu tersenyum simpul. Ternyata kakak seperguruannya itu masih menyimpan rasa segan kepadanya dan mereka masih saling menghormati. Juga makin saling mengasihi.Hujan di luar terdengar mulai reda. Suara air yang sedang memukul genting semakin jarang namun angin yang masih berhembus rasanya bertambah dingin. Biasanya ada giliran ronda yang dimulai dari banjar. Entah karena mereka ketiduran atau kabuyutan yang aman tidak pernah terjadi tindak kejahatan sehingga dianggap tidak masalah jika lowong satu malam saja.Namun tiba-tiba terdengar suara tangis bayi dari

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-01
  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 5

    Sesaat kemudian mulut Gendon ternganga dan kalau ada nyamuk memasuki mulut itu pasti tak disadarinya sebab kuda besar dan tegar berwarna merah sedang keluar sambil mengangguk-anggukan kepalanya."Sekarang menari," ujar Mahesa Barak tersenyum kepada Turangga Rekta. Anehnya kuda itu lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya seperti sedang menari dan suaranya mbengingeh."Rekta," bisik Mahesa Barak kemudian mendekati kudanya. "Mereka hendak berbuat jahat ke kalian berdua. Coba beri sedikit pelajaran, ya.”Mendengar perintah tuannya, tiba-tiba kuda itu berdiri dengan dua kaki dan meloncat di tempat tapi kaki belakangnya menyepak tulang kering Demung selagi berdiri di belakangnya. Demung terkejut tapi terlambat. Kaki kirinya seperti ditebas sepotong besi."Waduh! Modar aku," teriaknya sambil membungkuk kesakitan. Dan sekali lagi kuda itu menyepak wajahnya sehingga tubuhnya terpelanting roboh.Demung-pun pingsan. Melihat Demung tidak bergerak maka Gendon yang berperut besar tapi berhati kecil kont

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-01
  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 6

    "Tapi, ini orang yang berada di dekat Ki Buyut perlu diselidiki. Sebab, aku sendiri menyaksikan sebelum Ki Buyut meninggal, ia mendorong tubuh Ki Buyut,” sambung Jamur Selodri. "Dugaanku kuat dia sudah mencelakai Ki Buyut.”Ki Tapa tidak menanggapi dan menarik lagi lengan Jamur Selodri pergi ke pringgitan dan langsung ke bilik paling belakang di mana 3 laki-laki sedang menjaga dengan senjata di tangan."Seperti akan perang," desis Ki Tapa.Tiga orang segera memberi jalan ketika Jamur Selodri menuju pintu kayu tebal yang kokoh dan mengurai sebuah rantai penjang sebagai alat kunci dengan ikatan ganda. Mereka segera bersiap di kiri kanan begitu pintu dibuka.Sesaat sinar matahari menerobos masuk keruangan gelap dan menerangi sebuah wajah tampan sedang tenang-tenang duduk di bibir amben. Kulitnya putih kuning serasi benar dengan balutan kain putih polos menutupi separuh dadanya layaknya seorang pendeta.“Angger Gesang Suci? Kenapa ada di sini?" Seru ki Tapa mengejutkan setiap orang. Apala

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-01
  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 7

    Beliau adalah Ki Patih Narotama.Sejenak Ki Patih-pun tertegun melihat suasana duka di halaman kabuyutan yang luas itu, kini penuh dengan rakyat yang sedang tepekur tengah memanjatkan doa. Panggraita-nya yang amat tajam melebihi orang kebanyakan itu segera menyimpulkan Ki Buyut baru meninggal. Apalagi ketika tidak dilihatnya pemimpin kabuyutan di antara para tetua kabuyutan itu yang biasanya akan segera sedang takjim menyambutnya. Mereka serentak menjatuhkan diri dengan sikap menyembah kepada Ki Patih.Tampak kemudian di tengah pendapa, jenazah Ki Buyut masih menunggu untuk diselenggarakan sebagaimana mestinya."Ki Buyut-kah yang meninggal?" tanya Ki Patih mencari kepastian."Hamba Ki Patih," jawab salah seorang tetua menyembah. "Beliau sakit beberapa lama dan tabib sudah berusaha.”Ki Patih menyingkap kain penutup kepala Ki Buyut almarhum. Wajah yang pucat namun bersih menunjukkan keikhlasan roh Ki Buyut sedang dalam perjalanan menghadap kepada Sang Hyang Agung, pencipta jagad raya s

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-01
  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 8

    "Tidak kusangka banyak pengalaman lahir dan bathin selama berada di negeri yang berbeda adat istiadat, bahasa dan juga makanannya," Putri Sanggramawijaya atau Mahesa Barak berceritera . "Baik ketika beberapa lama di kerajaan Sunda Galuh maupun ketika menyeberang selat Sunda ke Swarnadwipa kekerajaan Sriwijaya. Aku merasakan kalau di Kotaraja dan di pusat kerajaan masih mempunyai banyak kesamaan. Tapi, Kangmas Gesang Suci mengajakku lebih banyak bergaul dengan masyarakat kecil di desa, di pantai, para petani dan nelayan.Tampak ki Patih mengangguk-anggukakan kepala. Terbayang tadi siang pangeran Gesang Suci berkulit tubuh putih kuning menjadi paling mudah dibedakan berada di kerumunan rakyat kabuyutan Claket yang semuanya berkulit sawo matang atau bahkan beberapa berkulit kehitaman terbakar sinar matahari. Ki Patih lalu tersenyum dan bertanya, "Adakah nama dari anak muda itu memang asli. Maksud pamanda adakah nama lain dari anak muda itu?""Aku rasa bukan, pamanda. Dia pasti memiliki n

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-01
  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 9

    Sementara, pada malam hari itu juga di Pendapa sebuah Rumah Joglo milik Ki Buyut almarhum di Kabuyutan Claket, tampak Ki Patih Narotama dihadap oleh beberapa tetua kabuyutan, dua senopati prajurit, beberapa prajurit pengawal, Pendeta Sung Tulodo dan di sebelah kanan adalah Mahesa Barak dan Gesang Suci.Semua orang terutama yang belum pernah mengenal keluarga Raja Airlangga sekali lagi diperkenalkan bahwa Mahesa Barak adalah putra Mahkota kerajaan Kahuripan yang baru pulang dari lawatannya ke Kerajaan Sunda Galuh.Dan Gesang Suci adalah kakak seperguruannya dari Bukit Buthak, sebuah padepokan di seberang Hutan Gembolo.Pendeta Sung Tulodo dan semua tetua Kabuyutan ketika melihat Mahesa Barak sekali-kali mencuri pandang tapi tidak satupun berani menyatakan sesuatu. Namun, agaknya ada sesuatu yang mereka sepakati bersama dan akhirnya hanya tersimpan dalam hati. Karena apabila dinyatakan, maka akan dianggapnya deksura."Mohon maaf, Gusti Rakyan Hino, hamba segera memulai," sembah kipatih h

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-01
  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 10

    "Baiklah, anakmas. Pamanda sangat senang mendengar angger membantu kesembuhan prajurit itu,” ki Patih mengangguk hormat. "Selanjutnya, ijinkan pamanda pergi dengan gusti Rakyan Hino.”"Silahkan gusti patih,” Gesang Suci ganti membalasnya tidak kalah hormatnya."Tapi Kangmas, tidurnya jangan terlalu malam," sambung Mahesa Barak tiba-tiba. "Besuk pagi-pagi kita pergi melanjutkan perjalanan untuk segera bertemu dengan guru di padepokan."Gesang Suci termangu-mangu. Rencana ini-pun baru disampaikan adik seperguruannya itu. Tapi memang tujuan semula adalah pulang ke Bukit Buthak, Padepokan gurunya. Agaknya Ki Patih-pun sudah menyetujui untuk menunggu sehari dua hari di Kabuyutan itu sebelum mereka ke Kota Raja Kahuripan."Kaupun jangan terlalu banyak pamer tenaga," Gesang Suci menjawab acuh. "Segala yang pernah dilatih, dipertontonkan sampai lupa waktu."Mahesa Barak-pun tak kuasa untuk tertawa berderai layaknya tawa seorang laki-laki. Untung ki Patih segera menggamitnya. Demikianlah ketik

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-01

Bab terbaru

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 12

    "Maksudku, Kangmas Gesang Suci harus tahu titipan bekal yang besar dari ibundanya itu.""Tentu," sahut ki Patih Narotama. "Hal itu harus segera disampaikan kepada Pangeran muda itu. Biarkan dia bebas menentukan buat apa saja bekal uang dari ibundanya itu. Kita tidak wenang mencampurinya."Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka memasuki kabuyutan ketika fajar menyingsing. Angin pagi terasa segar sesudah memeras tenaga dan justru ingin segera bertemu air untuk segera mandi. Ketika kaki mereka sampai di gapura rumah Ki Buyut tiba-tiba langkah mereka merandek . Telinga mereka yang tajam masih mendengar percakapan antara Pendeta Sung Tulodo dan Gesang Suci di pringgitan. Ki Patih berbisik ditelinga Mahesa Barak. "Kita langsung ke rumah kidul saja biar tidak mengganggu penghuni lainnya."Rumah kidul artinya rumah milik Ki Buyut yang sekarang seolah dipakai markas yang berada di sebelah utara. Mahesa Barak mengangangguk setuju."Tetapi aku ingin ganti baju," ujar Mahesa Barak tiba-tiba "

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 11

    Pada saat itu, lamat-lamat dari kabuyutan terdengar ramai ayam berkokok untuk yang terakhir kali di bawah Gunung Pundhak menandakan sebentar lagi fajar akan datang. Dinginnya hawa pagi membantu mengeringkan keringat di tubuh keduanya. "Luar biasa gusti putri sekarang," Ki Patih Narotama mengangguk hormat. "Selayak nya saat ini ganti pamanda yang berguru."Mahesa Barak tertawa. Meskipun seolah tidak setuju tetapi dalam hati sebenarnya bangga. Apalagi yang memuji seorang paman yang pertama kali mengajari satu dua jurus langkah awal pengenalan ilmu kanuragan."Bukan kemampuaku semata paman. Tapi, sekedar pinjaman dari dewata," jawab Mahesa Barak tiba-tiba timbul senyum kemanjaannya. "Kalau aku kemudian menyimpang dari jalan benar maka sebaiknya dicabut saja pinjaman ini""Benar sekali apa kata gusti putri," sambung ki Patih."Hampir pamanda juga hendak mengatakan bahwa apa yang menjadi kekuatan ilmu kita sebenarnya sekedar pinjaman. Kita tidak boleh mengaku bahwa dengan kemampuan itu menj

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 10

    "Baiklah, anakmas. Pamanda sangat senang mendengar angger membantu kesembuhan prajurit itu,” ki Patih mengangguk hormat. "Selanjutnya, ijinkan pamanda pergi dengan gusti Rakyan Hino.”"Silahkan gusti patih,” Gesang Suci ganti membalasnya tidak kalah hormatnya."Tapi Kangmas, tidurnya jangan terlalu malam," sambung Mahesa Barak tiba-tiba. "Besuk pagi-pagi kita pergi melanjutkan perjalanan untuk segera bertemu dengan guru di padepokan."Gesang Suci termangu-mangu. Rencana ini-pun baru disampaikan adik seperguruannya itu. Tapi memang tujuan semula adalah pulang ke Bukit Buthak, Padepokan gurunya. Agaknya Ki Patih-pun sudah menyetujui untuk menunggu sehari dua hari di Kabuyutan itu sebelum mereka ke Kota Raja Kahuripan."Kaupun jangan terlalu banyak pamer tenaga," Gesang Suci menjawab acuh. "Segala yang pernah dilatih, dipertontonkan sampai lupa waktu."Mahesa Barak-pun tak kuasa untuk tertawa berderai layaknya tawa seorang laki-laki. Untung ki Patih segera menggamitnya. Demikianlah ketik

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 9

    Sementara, pada malam hari itu juga di Pendapa sebuah Rumah Joglo milik Ki Buyut almarhum di Kabuyutan Claket, tampak Ki Patih Narotama dihadap oleh beberapa tetua kabuyutan, dua senopati prajurit, beberapa prajurit pengawal, Pendeta Sung Tulodo dan di sebelah kanan adalah Mahesa Barak dan Gesang Suci.Semua orang terutama yang belum pernah mengenal keluarga Raja Airlangga sekali lagi diperkenalkan bahwa Mahesa Barak adalah putra Mahkota kerajaan Kahuripan yang baru pulang dari lawatannya ke Kerajaan Sunda Galuh.Dan Gesang Suci adalah kakak seperguruannya dari Bukit Buthak, sebuah padepokan di seberang Hutan Gembolo.Pendeta Sung Tulodo dan semua tetua Kabuyutan ketika melihat Mahesa Barak sekali-kali mencuri pandang tapi tidak satupun berani menyatakan sesuatu. Namun, agaknya ada sesuatu yang mereka sepakati bersama dan akhirnya hanya tersimpan dalam hati. Karena apabila dinyatakan, maka akan dianggapnya deksura."Mohon maaf, Gusti Rakyan Hino, hamba segera memulai," sembah kipatih h

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 8

    "Tidak kusangka banyak pengalaman lahir dan bathin selama berada di negeri yang berbeda adat istiadat, bahasa dan juga makanannya," Putri Sanggramawijaya atau Mahesa Barak berceritera . "Baik ketika beberapa lama di kerajaan Sunda Galuh maupun ketika menyeberang selat Sunda ke Swarnadwipa kekerajaan Sriwijaya. Aku merasakan kalau di Kotaraja dan di pusat kerajaan masih mempunyai banyak kesamaan. Tapi, Kangmas Gesang Suci mengajakku lebih banyak bergaul dengan masyarakat kecil di desa, di pantai, para petani dan nelayan.Tampak ki Patih mengangguk-anggukakan kepala. Terbayang tadi siang pangeran Gesang Suci berkulit tubuh putih kuning menjadi paling mudah dibedakan berada di kerumunan rakyat kabuyutan Claket yang semuanya berkulit sawo matang atau bahkan beberapa berkulit kehitaman terbakar sinar matahari. Ki Patih lalu tersenyum dan bertanya, "Adakah nama dari anak muda itu memang asli. Maksud pamanda adakah nama lain dari anak muda itu?""Aku rasa bukan, pamanda. Dia pasti memiliki n

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 7

    Beliau adalah Ki Patih Narotama.Sejenak Ki Patih-pun tertegun melihat suasana duka di halaman kabuyutan yang luas itu, kini penuh dengan rakyat yang sedang tepekur tengah memanjatkan doa. Panggraita-nya yang amat tajam melebihi orang kebanyakan itu segera menyimpulkan Ki Buyut baru meninggal. Apalagi ketika tidak dilihatnya pemimpin kabuyutan di antara para tetua kabuyutan itu yang biasanya akan segera sedang takjim menyambutnya. Mereka serentak menjatuhkan diri dengan sikap menyembah kepada Ki Patih.Tampak kemudian di tengah pendapa, jenazah Ki Buyut masih menunggu untuk diselenggarakan sebagaimana mestinya."Ki Buyut-kah yang meninggal?" tanya Ki Patih mencari kepastian."Hamba Ki Patih," jawab salah seorang tetua menyembah. "Beliau sakit beberapa lama dan tabib sudah berusaha.”Ki Patih menyingkap kain penutup kepala Ki Buyut almarhum. Wajah yang pucat namun bersih menunjukkan keikhlasan roh Ki Buyut sedang dalam perjalanan menghadap kepada Sang Hyang Agung, pencipta jagad raya s

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 6

    "Tapi, ini orang yang berada di dekat Ki Buyut perlu diselidiki. Sebab, aku sendiri menyaksikan sebelum Ki Buyut meninggal, ia mendorong tubuh Ki Buyut,” sambung Jamur Selodri. "Dugaanku kuat dia sudah mencelakai Ki Buyut.”Ki Tapa tidak menanggapi dan menarik lagi lengan Jamur Selodri pergi ke pringgitan dan langsung ke bilik paling belakang di mana 3 laki-laki sedang menjaga dengan senjata di tangan."Seperti akan perang," desis Ki Tapa.Tiga orang segera memberi jalan ketika Jamur Selodri menuju pintu kayu tebal yang kokoh dan mengurai sebuah rantai penjang sebagai alat kunci dengan ikatan ganda. Mereka segera bersiap di kiri kanan begitu pintu dibuka.Sesaat sinar matahari menerobos masuk keruangan gelap dan menerangi sebuah wajah tampan sedang tenang-tenang duduk di bibir amben. Kulitnya putih kuning serasi benar dengan balutan kain putih polos menutupi separuh dadanya layaknya seorang pendeta.“Angger Gesang Suci? Kenapa ada di sini?" Seru ki Tapa mengejutkan setiap orang. Apala

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan   Bab 5

    Sesaat kemudian mulut Gendon ternganga dan kalau ada nyamuk memasuki mulut itu pasti tak disadarinya sebab kuda besar dan tegar berwarna merah sedang keluar sambil mengangguk-anggukan kepalanya."Sekarang menari," ujar Mahesa Barak tersenyum kepada Turangga Rekta. Anehnya kuda itu lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya seperti sedang menari dan suaranya mbengingeh."Rekta," bisik Mahesa Barak kemudian mendekati kudanya. "Mereka hendak berbuat jahat ke kalian berdua. Coba beri sedikit pelajaran, ya.”Mendengar perintah tuannya, tiba-tiba kuda itu berdiri dengan dua kaki dan meloncat di tempat tapi kaki belakangnya menyepak tulang kering Demung selagi berdiri di belakangnya. Demung terkejut tapi terlambat. Kaki kirinya seperti ditebas sepotong besi."Waduh! Modar aku," teriaknya sambil membungkuk kesakitan. Dan sekali lagi kuda itu menyepak wajahnya sehingga tubuhnya terpelanting roboh.Demung-pun pingsan. Melihat Demung tidak bergerak maka Gendon yang berperut besar tapi berhati kecil kont

  • Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan    Bab 4

    "Maaf kangmas aku mau meneruskan mimpi," sambung Mahesa Barak cepat-cepat dengan wajah cemberut . "Selamat malam "Gesang Suci ingin menjawab bahwa tadi itu kasihan melihat adiknya sudah tidur dan apalagi tidak berani membangunkan. Namun ketika dilihatnya Mahesa Barak sudah membelakanginya lagi sambil memeluk kedua tangannya seperti tadi, maka Gesang Suci hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Yang tidak diketahuinya adalah adiknya itu tersenyum simpul. Ternyata kakak seperguruannya itu masih menyimpan rasa segan kepadanya dan mereka masih saling menghormati. Juga makin saling mengasihi.Hujan di luar terdengar mulai reda. Suara air yang sedang memukul genting semakin jarang namun angin yang masih berhembus rasanya bertambah dingin. Biasanya ada giliran ronda yang dimulai dari banjar. Entah karena mereka ketiduran atau kabuyutan yang aman tidak pernah terjadi tindak kejahatan sehingga dianggap tidak masalah jika lowong satu malam saja.Namun tiba-tiba terdengar suara tangis bayi dari

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status