Bimantara berdiri di sisi tebing dengan kaki cahaya naganya. Tak lama kemudian dia menoleh ke belakang, hutan rimba dengan pepohonan tinggi dan rimbun disertai semak-semak yang sukar dilewati berada di belakangnya. Dia tidak tahu di mana letak pintu gerbang keluar itu. Dia mengingat apa yang dikatakan Ki Walang semalam kepadanya.
“Fokuslah pada suara lolongan srigala. Pintu gerbang keluar dijaga oleh ratusan srigala. Mereka buas dan haus darah. Kau harus bisa menjinakkan mereka dengan membawa rusa untuk kau lemparkan padanya. Dengan begitu kau akan bisa keluar dari gerbang itu.”
Setelah mengingat itu. Bimantara memutuskan untuk duduk bersila. Dia mengatur napasnya dan mencari suara lolongan srigala. Dari arah utara dia mendengar samar lolongan srigala. Dia yakin kawanan srigala buas itu ada di arah utara. Bimantara berdiri lalu mencari cara untuk menembus hutan itu. Dia melihat akar-akar yang keluar dari dahan pohon. Setelah mengatur napasnya, Bimantara mel
Rusa yang berada dalam gendongan Bimantara tampak diam. Dia hampir saja tiba di batas antara padang rumput dan hutan. Seketika dia teringat lagi akan pembicaraan Ki Walang semalam.“Jika kau berhasil membuat cahaya kaki naga menyatu dengan tubuhmu ketika kau genting di dalam hutan sana, maka kau akan mampu melewati hal paling berat di sana. Yaitu apa yang berada di antara pepohonan di bawah semak-semak. Kaki cahayamu itu akan mampu membawamu terbang dari satu pohon ke pohon lainnya.”Bimantara berpikir mengingat itu. “Mungkin karena kaki cahaya ini aku bisa tiba dengan segera menuju gerbang keluar,” pikir Bimantara.Saat kakinya melangkah memasuki rimba di hadapannya. Tiba-tiba angin bertiup. Dinginnya menusuk tulang. Bimantara menatap pohon. Tak lama kemudian kakinya kembali bercahaya terang. Dia pun langsung terbang menuju pohon yang dilihatnya lalu mengayunkan kakinya melalui batang pohon itu untuk menuju pohon lainnya. Anak rusa tampa
Malam itu Bimantara dan Pangeran Sakai berdiri di hadapan Adji Darma dan para Guru Utama serta para Guru Pembantu. Ratusan murid berbaris rapih di belakang mereka. Kepala Asrama sedang memegang dua burung merpati. Burung yang akan menerbangkan secarik kain yang bertuliskan sebuah surat yang akan dikirimkan kepada keluarga yang sudah resmi menjadi murid di Perguruan Matahari. Ya, siapapun yang sudah lulus mengikuti tes pelatihan fisik di hutan terlarang, pihak perguruan akan mengirimkan surat pada keluarga mereka melalui merpati. Surat berisi pemberitahuan bahwa anaknya sudah resmi menjadi murid di Perguruan Matahari.Adji Darma menatap wajah Bimantara dan Pangeran Sakai dengan serius.“Mulai hari ini, kalian akan menjadi murid guru utama yang memilih kalian! Mereka akan mengajari kalian ilmu bela diri sampai ke tingkat tujuh! Jika kalian cepat menguasai apa yang akan mereka ajarkan, maka kalian akan cepat juga lulus dari sini! Tugas kalian nanti adalah menjaga bu
Awan di atas bangunan Perguruan Matahari tampak mendung. Di sore hari, Pangeran Sakai berdiri di hadapan Rajo, Wira, Welas dan Sanum di wilayah barat – di balik pagar bambu bangunan Perguruan Matahari.“Kita harus membuktikan kalau Bimantara bekerjasama dengan siluman! Kita harus membuktikan kalau Bimantara memang utusan dari Perguruan Tengkorak!”Wira menatap Pangeran Sakai dengan bingung, “Bagaimana membuktikannya, Pangeran?”Pangeran Sakai berjalan ke arah Wira dengan marah, “Bagaimana kau bilang?! Justru aku mengumpulkan kalian di sini untuk berembuk agar kita bisa menemukan cara agar pemuda pincang itu bisa dikeluarkan dari sini! Aku tidak terima menjadi olok-olokan murid senior karena luka-luka di tubuhku saat menembus hutan terlarang itu, sementera dia tidak memiliki luka apapun!”“Maaf, Pangeran,” ucap Wira gemetar dan ketakutan.Rajo berpikir sesaat lalu menoleh pada Pangeran Sakai. Sep
Bimantara tiba di dalam gua. Dia berhenti melangkah dengan tongkatnya lalu memandangi Ki Walang yang sedang duduk di atas batu sambil memegangi kakinya. Mungkin dia baru merasakan kesakitan setelah bertarung dengan Pendekar Pedang Emas tadi, pikir Bimantara.“Guru,” panggil Bimantara.Ki Walang mendongak padanya dengan heran. “Ada apa?” tanyanya.“Apalagi selanjutnya? Malam ini juga saya siap melanjutkan pelajaran!” ucap Bimantara dengan penuh semangat.Ki Walang tertawa. “Semangatmu memang besar, anak muda! Tapi kau butuh istirahat untuk memulihkan kembali tenagamu yang habis hari ini,” pinta Ki Walang.“Baik, Tuan Guru,” jawab Bimantara.Ki Walang berdiri lalu mendekatinya dan berhenti di hadapannya. “Sekarang kembalilah ke asramamu. Temuilah teman-temanmu. Kau butuh semangat dari mereka. Esok aku akan membawamu keluar dari pulai ini,” ucap Ki Walang.Bimantara
Bimantara berdiri. Kancil heran. “Kau mau kemana?” tanya Kancil.“Aku ingin menemui Dahayu,” jawab Bimantara. Dia berjalan ke arah pintu. Tak lama kemudian langkah Bimantara terhenti, dia menoleh pada Kancil. “Aku mungkin akan lama tidak menemui kamu lagi. Aku akan serius belajar bersama Ki Walang. Jaga dirimu baik-baik,” pinta Bimantara kemudian.“Semoga berhasil,” ucap Kancil.Bimantara pergi keluar. Kancil duduk sedih di pinggir kasurnya. Namun dia senang dan bangga kepada sahabatnya itu. Dia berharap Bimantara mencapai segala impiannya di perguruan itu.Bimantara melangkah menuju gedung asrama tempat Dahayu. Sesaat kemudian dia melihat Dahayu berjalan ke arahnya. Langkah Dahayu terhenti saat mendapati Bimantara ada di hadapannya. Dia heran mau kemana Bimantara.“Bimantara?”Bimantara tersenyum bahagia melihat Dahyu. “Baru saja aku mau menemuimu,” ucap Dahayu.
Awan di atas Istana Kerajaan Nusantara tampak cerah. Seekor burung merpati berputar-putar di atasnya. Sudah berhari-hari dia ia di sana. Surat yang terkait di kakinya masih tergantung. Ia baru tiba setelah menempuh jarak yang sangat jauh dari pulau Perguruan Matahari. Tak lama kemudian seorang Panglima bernama Cakara berjalan dengan tegap hendak menuju ruangan tempat Raja dirawat. Tak lama kemudian merpati itu terbang ke atas kepalanya lalu menjatuhkan surat itu padanya. Panglima Cakara terkejut mendapati sebuah surat dari gulungan kain terjatuh di atas tanah di hadapannya. Dia meraih gulungan kain itu lalu membukanya.“Pangeran Sakai resmi diterima di Perguruan Matahari?” gumamnya. Panglima Cakara tersenyum senang mendengarnya. Dia pun kembali melangkah. Saat dia tiba di ruangan Raja yang sedang terbaring lemah. Dia langsung duduk penuh hormat di hadapannya.“Ampun, Yang Mulia Raja,” ucap Panglima Cakara penuh hormat.Raja Adiwilaga yang
Hampir tengah malam. Langit di atas laut tak ada bulan dan bintang. Awan gelap telah menutupinya. Laut tampak tenang. Ki Walang dan Bimantara memperhatikan apa yang ada di hadapan mereka dengan heran. Di hadapan mereka terlihat begitu gelap. Tak lama kemudian ombak perlahan membesar. Perahu yang mereka naiki mulai bergoyang. Bimantara ketakutan. Dia memiliki firasat buruk.“Apa yang ada di hadapan kita, Tuan Guru?” tanya Bimantara pada Ki Walang dengan khawatir.Ki Walang malah tertawa. “Di hadapan kita adalah hujan badai. Sebentar lagi perahu ini akan menembusnya. Di balik hujan badai itu adalah pulau yang akan kita tuju. Kita sudah hampir sampai, Bimantara. Kau jangan takut!”Bimantara mengangguk. Tak lama kemudian ombak semakin besar. Perahu yang mereka naiki semakin bergoyang. Ki Walang memainkan dayungnya untuk mendapatkan keseimbangan agar perahunya tidak terbalik. Bimantara berpengangan erat pada perahunya. Jantungnya memompa
Saat Matahari mulai bersinar terang, Ki Walang membangunkan Bimantara yang tertidur lelap di dalam gubuk tua.“Bangun, anak muda!” teriak Ki Walang.Bimantara terbangun dalam keadaan napas terengah-engah. Dia bangkit dengan wajah pucat dipenuhi ketakutan.Ki Walang heran. “Apa kau bermimpi buruk?” tanya Ki Walang.Keringat mengucur di dahi Bimantara. Dia mengangguk pada Ki Walang. “Aku bermimpi melihat tiga kerajaan Nusantara saling memerangi karena ulah Perguruan Tengkorak, Tuan Guru,” jawab Bimantara.Ki Walang tertawa. “Itu tidak akan terjadi. Arti mimpi adalah kebalikan dari apa yang kau mimpikan. Sudah, jangan kau pikirkan. Tiga kerajaan Nusantara akan tetap bersatu. Bersiaplah untuk latihan hari ini.”“Siap, Tuan Guru!”Di saat matahari sudah mulai meninggi. Ki Walang dan Bimantara duduk bersila saling menghadap di depan gubuk tua. Mereka menduduki tanah basah yan