Bulan purnama bersinar terang di atas bangunan Perguruan Matahari yang megah. Penduduk Perguruan Matahari sepertinya sudah terlelap semuanya. Dahayu duduk di atas batu sambil memandangi bulan dan bintang-bintang di atas sana. Dia rindu dengan ayah ibunya. Dia khawatir ayah ibunya akan sedih di seberang pulau sana. Mereka pasti tidak tahu bahwa saat ini dirinya sudah resmi menjadi murid di Perguruan Matahari. Dahayu bingung, apa yang akan dilakukan kedua orang tuanya ketika mereka tahu kalau kini Dahayu berada di sana.
Tak lama kemuidan Pangeran Sakai datang lalu duduk di sebelahnya. Dahayu kaget lalu berdiri sambil ancang-ancang menggunakan jurusnya. Pangeran Sakai tertawa.
“Santai saja. Aku tak akan mengujimu lagi,” ucap Pangeran Sakai.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Dahayu heran.
Pangeran Sakai berdiri. “Aku ingin meminta maaf padamu,” ucap Pangeran Sakai dengan tulus.
Dahayu mengernyit. “Meminta
Malam itu, Bimanatara sedang tertidur lelap. Tiba-tiba ada yang membekap mulutnya lalu membawanya pergi dari sana. Bimantara mencoba meronta tapi tubuhnya tidak kuat untuk melawan orang yang membawanya itu. Apalagi tongkatnya tertinggal di kamarnya. Dia melihat orang itu memakai penutup kepala seperti ninja. Tak lama kemudian tubuh Bimantara di lempar di atas jerami di sebuah ruangan yang pesing dan bau. Bimantara terkejut saat melihat ada tiga lelaki yang berpakaian seperti ninja di sana.“Siapa kalian?” tanya Bimantara dengan heran.Seorang lelaki membuka penutup kepalanya. Bimantara terkejut ketika melihat lelaki itu adalah Pangeran Sakai. Lalu dua lelaki lainnya juga membuka penutup kepalanya. Ternyata mereka adalah Rajo dan Wira.“Kenapa kalian membawa aku ke sini?” tanya Bimantara yang tidak bisa berdiri karena tongkatnya tertinggal di kamarnya.Pangeran Sakai mendekat padanya dengan wajah marah. “Kami ingin memba
Gelembung-gelembung air keluar dari mulut Bimantara. Dia menelan sedikit air. Sekarang dia sudah tidak bisa menahan napas lagi. Entah kenapa air di dalam kolam itu mendadak dingin. Bimantara mulai menggigil sambil menanah napasnya. Seketika dia lemas. Sementara itu, Ki Walang Sang Pendekar Tendangan Seribu duduk bersila di sisi kolam sambil memandanginya dengan khawatir.“Bertahanlah, Bimantara!” teriak Ki Walang padanya.Bimantara mendengar dengan jelas suara Ki Walang. Dia heran, biasanya kalau sedang berenang di dalam air, dia tak akan bisa mendengar suara apapun di atas permukaan sana, tapi kenapa suara Ki Walang mampu didengarnya dengan jelas?Tak lama kemudian tubuh Bimantara semakin lemas. Air sudah banyak dia telan.“Apa aku akan mati?” bisik Bimantara dengan lemasnya. Dia masih berusaha menahan napas sebisanya.“Tidak! Kau tidak akan mati!” teriak Ki Walang padanya.Bimantara tak mengerti, kehebat
Adji Darma duduk menunggu di ruangannya. Tak lama kemudian Ki Walang dan Pendekar Tangan Besi datang.“Ada apa gerangan Tuan Guru Besar memanggil saya?” tanya Ki Walang dengan penuh hormat.Adji Darma berdiri dengan marah.“Apa alasanmu memilih Bimantara sebagai muridmu?” tanya Adji Darma heran.“Intuisiku mengatakan dia sudah pantas menjadi muridku, Tuan Guru Besar. Bukankah salah satu cara memilih murid tetap adalah dengan intuisi? Panggilan alam seperti yang sering Tuan Guru Besar katakan?” jawab Ki Walang.“Tapi intuisi saya mengatakan dia masih belum pantas untuk dipilih! Saya tidak ingin lagi ada murid yang mati di tanganmu!” tegas Adji Darma.“Dia tak akan mati. Dia akan berhasil mengikuti saya sampai tingkat ke tujuh. Percayalah pada saya Tuan Guru,” ucap Ki Walang penuh hormat.“Jika memang benar begitu, dia harus memasuki hutan terlarang di pulau ini. Dia haru
Pangeran Sakai terduduk di atas batu sambil memegang pedangnya. Dahinya dipenuhi keringat karena sehabis berlatih. Para murid dari berbagai tingkatan sudah bubar di tempat itu. Pendekar Pedang Emas datang mendekatinya.“Pangeran,” sapa Pendekar Pedang Emas.Pangeran Sakai berdiri saat melihat guru besarnya datang.“Iya, Tuan Guru,” sahut Pangeran Sakai dengan heran.“Sesuatu telah terjadi. Tuan Guru Besar Adji Darma menghendakimu untuk mengikuti ujian akhir Pelatihan fisik bersama Bimantara di hutan terlarang esok pagi,” ucap Pendekar Pedang Emas dengan serius.Pangeran Sakai terbelalak mendengarnya, “Kenapa harus bersama Bimantara, Tuan Guru?”“Tuan Guru Besar Adji Darma tidak sejutu melihat Pendekar Tendangan Seribu langsung memilih Bimantara sebagai muridnya,” jawab Pendekar Pedang Emas padanya.“Saya siap melakukan apapun itu, Tuan Guru,” ucap Pangeran Sakai t
Malam itu Pendekar Pedang Emas sedang beradu pedang dengan Pangeran Sakai di halaman kediaman Pendekar Emas di atas bukit. Dari sana terlihat jelas banguan Perguruan Matahari yang megah. Menara yang menjulang tinggi menuju langit pun terlihat berkilau. Pangeran Sakai terus menangkis serangan pedang dari Guru Utamanya dengan wajah penuh dendam dan kesal. Dendam pada para pembunuh adiknya. Kesal karena Dahayu meremehkannya. “Hilangkan semua amarah dan dendam di hatimu!” tegas Pendekar Pedang Emas pada Sakai yang tengah menahan serangan pedang darinya. Sakai mengerahkan tenaganya sekuat tenaga agar tubuhnya tidak terdorong ke belakang. “Jika pedang ditanganku sedang beradu, semua yang membuat aku marah dan kesal tiba-tiba teringat kembali, Tuan Guru!” sahut Pangeran Sakai. “Jika amarah dan dendam tak bisa kau usir dari dada dan kepalamu, maka kau tak akan bisa menguasai ilmu kesadaran yang aku berikan! Kau harus konsentrasi saat bertarung. Kau harus jeli pada se
Bimantara dan Pangeran Sakai berdiri di depan gerbang hutan terlarang. Semua murid berkumpul di belakang mereka. Para guru utama dan guru pembantu sudah hadir di sana. Dahayu menyembulkan kepala bersama Kancil di tengah kerumunan yang menunggu aksi Bimantara dan Pangeran Sakai melakukan tes terakhir pelatihan fisik. Tes yang akan mengantar mereka pada pelajaran tingkat satu yang akan mulai mempelajari teknik dasar ilmu bela diri.Adji Darma maju ke hadapan di tengah-tengah kerumunan. “Hari ini, akan ada dua murid baru yang akan mengikuti tes terakhir pelatihan fisik! Sementara murid baru yang lainnya masih akan menunggu karena masih ada tahapan yang harus mereka lewati! Jika kedua murid baru di hadapan kalian ini berhasil melewati tes terakhir ini, mereka akan dinilai sah untuk melanjutkan pelajaran tingkat satu! Namun jika mereka semua gagal, maka mereka akan kembali pada guru pembantu dan kembali mengikuti tahapan pelatihan yang diajarkan guru pembantu!” teriak
Bimantara berhasil menepi ke pinggir sungai. Buaya-buaya yang mengejarkanya tiba-tiba kembali menyelam lalu menghilang dari permukaan air. Kini pakaiannya yang basah itu semakin membuatnya menggigil. Dia terlentang menghadap langit. Mencoba berjemur dari sinar matahari yang mulai meninggi. Agar pakaiannya kering dan gigilnya menghilang. Dia penu menoleh pada hilir sungai. Sekarang tongkatnya sudah hanyut. Dia bingung bagaimana harus kembali berjalan? Akhirnya dia pasrah menunggu sampai pakaiannya kering.Bimantara duduk. Dia mengitari sekitar. Mencoba untuk berkonsentrasi lagi untuk mendengarkan suara-suara di dalam hutan rimba itu.“Hutan apa ini?” gumamnya. “Apakah ini hutan buatan? Atau mataku saja yang menganggap ini hutan padahal bukan? Tapi jika ini tidak nyata, kenapa semuanya terasa nyata?”Tiba-tiba Bimantara teringat Pangeran Sakai. Dia tidak tahu kemana Pangeran itu sekarang.“Apa mungkin Pangeran Sakai sudah menem
Bimantara berdiri di sisi tebing dengan kaki cahaya naganya. Tak lama kemudian dia menoleh ke belakang, hutan rimba dengan pepohonan tinggi dan rimbun disertai semak-semak yang sukar dilewati berada di belakangnya. Dia tidak tahu di mana letak pintu gerbang keluar itu. Dia mengingat apa yang dikatakan Ki Walang semalam kepadanya.“Fokuslah pada suara lolongan srigala. Pintu gerbang keluar dijaga oleh ratusan srigala. Mereka buas dan haus darah. Kau harus bisa menjinakkan mereka dengan membawa rusa untuk kau lemparkan padanya. Dengan begitu kau akan bisa keluar dari gerbang itu.”Setelah mengingat itu. Bimantara memutuskan untuk duduk bersila. Dia mengatur napasnya dan mencari suara lolongan srigala. Dari arah utara dia mendengar samar lolongan srigala. Dia yakin kawanan srigala buas itu ada di arah utara. Bimantara berdiri lalu mencari cara untuk menembus hutan itu. Dia melihat akar-akar yang keluar dari dahan pohon. Setelah mengatur napasnya, Bimantara mel
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it