Dermaga kini dipenuhi oleh tangisan para remaja yang gagal menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala dan Dahayu semakin gelisah. Mereka masih mencemaskan Bimantara. Mereka masih tidak tahu apakah remaja itu sudah sampai ke pulau itu atau masih sedang berusaha berenang untuk sampai ke sana? Seketika suara terompet terdengar. Kakek Sangkala menoleh ke belakang. Dia kaget saat mendapati dua iring-iringan dari tiga kerajaan Nusantara Timur, Tengah dan Barat baru datang. Orang-orang langsung duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka.
“Hidup, Yang Mulia! Hidup, Yang Mulia!”
“Siapa mereka, Kek?” tanya Dahayu heran pada Kakek Sangkala.
“Kita harus pergi dari sini, mereka adalah pasukan kerajaan Nusantara dari Timur, Tengah dan Barat. Mereka ke sini pasti sedang mengantar para Pangeran untuk memasukkan mereka ke Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala pada Dahayu.
Dahayu mengangguk. Mereka berdua meninggalkan Dermaga untuk mencari tempat lain karena Dermaga itu pasti akan didatangi iring-iringan dari dua kerajaan yang baru datang itu.
“Apa mereka akan diantar dengan perahu?” tanya Dahayu heran sambil berjalan meninggalkan Dermaga bersama kakek itu.
“Tidak! Para Pangeran itu juga harus berenang seperti yang lainnya,” jawab Kakek Sangkala.
“Jika para Pangeran gagal bagaimana, Kek?” tanya Dahayu penasaran.
“Pangeran akan dibawa pulang ke kerajaan,” jawab Kakek Sangkala.
Saat mereka sudah tiba di tempat aman. Masih di pinggir lautan. Iring-iringan dari tiga kerjaan yang mengantar tiga Pangeran itu tiba di Dermaga. Mereka membawa kuda kencana yang diiringi para prajurit berkuda. Kakek Sangakala kaget saat melihat tiga Raja turut serta mengantar Pangeran mereka.
“Yang dari Barat adalah Pangeran Pangaraban, yang dari Tengah adalah Pangeran Dawuh dan yang dari Timur adalah Pangeran Sakai,” ucap Kakek pada Dahayu sambil memandang tiga Pangeran yang gagah dan tampan-tampan itu yang sudah bersiap terjun ke laut.
Para warga berdesakan untuk melihat ketiga Pangeran yang akan ikut meramaikan penerimaan murid baru di Perguruan Matahari. Pangeran Pangaraban, Dawuh dan Sakai terlihat sedang bersimpuh pada Raja masing-masing. Suara terompet berbunyi. Setelah itu tiga Pangeran muda itu langsung terjun ke laut bersamaan. Dahayu mendekat ke laut, memperhatikan ketiga Pangeran yang mulai berenang itu. Seketika gelombang laut terlihat besar. Baru saja Pangeran Pangaraban berenang dia langsung dihempas ombak dan dikembalikan oleh laut ke atas Dermaga. Raja dari Nusantara Barat itu tampak murka lalu kembali membawa Pangeran Pangaraban pergi dari sana. Begitu juga yang terjadi pada Pangeran Dawuh, ombak mengembalikannya ke Dermaga hingga terpaksa dipulangkan ke kekerajaan Tengah. Sementara Pangeran Sakai terlihat berenang dengan gagah. Dia mampu menembus gelombang yang kian besar. Masyarakat bersorak kepadanya. Seolah memberikan semangat agar Pangeran Sakai bisa menempuh pulau Perguruan Matahari.
***
Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Bimantara tampak lemas dan tidak bertenaga di atas lautan yang mulai tenang. Samar dia melihat Dermaga Perguruan Matahari sudah dekat di matanya. Tongkat itu masih digenggamnya dengan erat. Namun saat dia kembali menggerakkan tangannya, dia mendadak sangat lemas. Kedua tangannya tak mampu lagi dia gerakkan dengan tenaganya. Bimantara terpaksa berhenti dengan lemas. Dia kembali mengambang dengan wajah menghadap langit. Pandangannya sudah mulai kabur.
Sementara itu, di Dermaga Perguruan Matahari, Lima calon murid yang berhasil tiba disambut dengan meriah oleh pengurus Perguruan Matahari. Mereka semua dikalungkan rangkaian bunga sebagai ucapan selamat dari Perguruan. Adji Darma masih berdiri di sisi Pendekar Tangan Besi.
“Masih tersisa satu calon murid lagi, Tuan Guru,” ucap Tangan Besi sambil memandang ke arah lautan lepas.
Riuh dari para murid Perguruan Matahari terdengar. Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi memandang ke arah lautan. Mereka terkejut saat melihat seekor lumba-lumba sedang membawa Pangeran Sakai menuju Dermaga.
“Sepertinya calon murid yang terkahir akan tiba, Tuan Guru,” ucap Pendekar Tangan Besi dengan senang pada Adji Darma.
Adji Darma diam saja. Dan benar saja, Pangeran Sakai diantar dengan selamat menuju Dermaga oleh ikan lumba-lumba itu. Dia disambut dengan meriah oleh para murid di sana. Adji Darma kembali memandangi lautan.
“Matahari belum tenggelam, kita harus tetap menunggu di sini sampai matahari tenggelam” ucap Adji Darma.
“Kenapa Tuan, Guru? Aku yakin tak akan ada murid lagi yang tiba dengan selamat. Jumlahnya sudah tepat, seperti di mimpiku, hanya ada enam murid yang diterima,” ucap Pendekar Tangan Besi.
"Aku tahu setiap mimpimu selalu nyata, tapi bagaimana pun kita harus tetap menunggu sampai matahari tenggelam."
Pendekar Tangan Besi memandangi lautan lepas. Dia tidak menemukan calon murid lagi yang sedang berenang menuju mereka. Sementara itu, Adji Darma melihat ada seorang manusia tengah mengambang di atas permukaan laut tak jauh dari mereka.
“Ada satu yang sedang mengambang di atas laut,” ucap Adji Darma pada Pendekar Tangan Besi dengan cemas.
Pendekar Tangan Besi melihat ke arah sosok tubuh yang mengambang di atas laut itu.
"Sepertinya dia sudah mati, Tuan Guru," sahut Pendekar Tangan Besi.
“Kenapa ombak laut tidak membawanya kembali ke pulau asalnya?” tanya Adji Darma pada Pendekar Tangan Besi.
“Saya tidak tahu, Tuan Guru. Kita lihat saja nanti,” sahut Pendekar Tangan Besi padanya.
Ternyata sosok tubuh yang mengambang di atas laut itu adalah Bimantara. Tongkat masih dalam genggamannya. Dia tampak lemas dan tidak bisa bergerak lagi karena kelelahan berenang dengan tenaganya sendiri. Anehnya Bimantara tidak tenggelam. Dia tetap mengambang di atas lautan dengan wajah menengadah ke atas langit. Bibirnya tampak kering dan pecah. Wajahnya tampak pucat. Seketika pandangan matanya mengabur.
“Apakah aku akan mati?” gumamnya dalam hati. “Bawalah aku ke surga jika memang hari ini takdirku akan mati.”
Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
***
Kakek Sangkala dan Dahayu masih berdiri di pinggir laut. Dahayu menoleh pada Kakek Sangkala dengan cemas.
“Gimana keadaan Bimantara sekarang, Kek? Apa dia sudah sampai ke pulai seberang?” tanya Dahayu sekali lagi dengan panik dan cemas.
“Jika Bimantara tidak dikembalikan oleh laut ke sini, itu artinya dia sudah tiba ke pulau seberang atau…”
“Atau apa, Kek?” tanya Dahayu bingung.
“Atau laut telah menelannya,” jawab Kakek Sangkala sedih.
Dahayu terkejut mendengar itu.
“Bukannya yang tidak bisa sampai ke sana akan dikembalikan oleh laut untuk kembali ke sini, Kek?” tanya Dahayu tak percaya.
“Tidak semuanya. Sebagian ada yang ditelan oleh lautan,” jawab Kakek Sangkala.
“Kalau begitu kenapa Kakek biarkan Bimantara mengikuti penerimaan murid baru di Perguruan Matahari?” tanya Dahayu sedikit kesal dan menyayangkannya.
“Karena itu keinginan Bimantara, Dahayu. Kakek sudah lama melarangnya, tapi karena itu keinginannya sejak dahulu, akhirnya kakek biarkan saja. Apapun yang terjadi, meskipun harus mati, Bimantara telah berusaha pada tujuannya dan itu lebih mulia dibanding hidup tidak memiliki keinginan apa-apa. Hanya menjadi pecundang untuk keluarga,” jawab Kakek Sangkala.
Tiba-tiba angin puting beliung datang. Orang-orang di dekat pantai berlarian menjauh dari sana. Kakek Sangkala menarik tangan Dahayu untuk pergi dari sana.
“Ayo kita pergi dari sini sebelum angin puting beliung membawa kita,” pinta Kakek Sangkala dengan panik.
Mereka berdua berlari menjauh dari angin puting beliung yang mulai menyapu Dermaga. Tak berapa lama kemudian angin puting beliung itu menarik Dahayu. Sekuat tenaga Kakek Sangkala memeganginya sambil berpegangan pada batu besar di sana, namun angin yang begitu kencang itu tak kuat ditahan oleh Kakek Sangkala hingga Dahayu tertarik ke atas dan ikut tergulung oleh angin puting beliung yang menggulung besar itu.
“Dahayu! Dahayu!” teriak Kakek Sangkala dengan sedih.
Angin puting beliung itu membawa Dahayu ke tengah lautan. Kakek Sangkala terduduk lemas di atas pasir karena tidak bisa berbuat apa-apa.
"Apa Bimantara sedang marah hingga angin puting beliung itu datang?" tanya Kakek Sangkala dengan cemas dan heran.
Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri. “Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih. Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah. “Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya. Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran. “Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari. “Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak. “Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya.
“Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya. Tabib tercengang mendengarnya. "Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?" Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya. “Berbaringlah,” pinta Tabib. Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib. “Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi. “Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana. Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun
Lelaki itu duduk di atas kasurnya sambil menatap kaki Bimantara yang hanya terlihat satu. “Iya. Aku dengar angin puting beliung yang membawa kamu ke Perguruan ini bersama seorang gadis,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Apakah gadis itu Dahayu?” tanya Bimantara. “Betul, nama gadis itu Dahayu. Dia cantik,” jawab lelaki itu. Dia tak percaya jika benar yang dikatakan lelaki itu bahwa angin puting beliung yang membawa dia dan Dahayu ke sana. Bimantara mengulurkan tangannya pada lelaki itu. “Aku Bimantara,” ucap Bimantara padanya. Lelaki itu menjabat tangan Bimantara. “Aku Sakai,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengar nama itu. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang sering disebut-sebut orang-orang di kampungnya. “Sakai? Maksudmu… kamu… Pangeran Sakai?” tanya Bimantara memastikan. “Iya, aku Pangeran Sakai,” jawab lelaki itu dengan santai. Bima
Ratusan murid Perguruan Matahari beserta para guru sedang makan malam bersama. Bimantara masih tercengang dengan pengalaman pertamanya itu. Hidangan di hadapannya berbeda dengan apa yang dia makan selama ini. Menurutnya itu sangat mewah. Pangeran Sakai menoleh heran pada Bimantara yang belum menyentuh makanannya sama sekali. “Ayo makan,” ajak Pangeran Sakai. Bimantara mengangguk. Dahayu diam-diam memperhatikan Bimantara dari tempat duduknya. Akhirnya Bimantara melahap makanannya. Mendadak dia teringat akan Kakeknya. Dia berhenti makan. Pangeran Sakai heran. “Kenapa? Tidak enak?” tanya Pangeran Sakai heran. “Aku teringat kakekku.” “Kakekmu pasti bangga kamu sudah berada di sini,” ujar Pangeran Sakai padanya. Mendengar itu, Dahayu jadi teringat ayah ibunya. Kedua orang tuanya pasti khawatir padanya. Dia memang menginginkan untuk bisa menjadi murid di sana, tapi dia tahu kalau kedua orang tuanya tak pernah setuju jika dia berada di sana.
Bimantara dan Pangeran Sakai tiba di kamarnya. Bimantara duduk di tepi kasur lalu memandangi Pangeran Sakai yang mulai berbaring di atas kasurnya.“Apakah setiap Pangeran di kirim ke sini untuk menimba ilmu bela diri?” tanya Bimantara penasaran.“Ya, tapi tidak semuanya berhasil,” jawab Pangeran Sakai.“Jika tidak berhasil?”“Mereka tak akan punya kesempatan menjadi Raja, biasanya akan digantikan Pangeran yang lainnya. Makanya setiap Raja diharuskan memiliki banyak anak laki-laki,” jawab Pangeran Sakai.“Jika Pangerannya cuma satu bagaimana?” tanya Bimantara penasaran.“Akan dididik khusus di istana.”“Berarti kamu adalah calon Raja?” tanya Bimantara ikut bangga.“Iya, nanti kerajaan Nusantara Timur aku yang akan menguasainya,” jawab Pangeran Sakai sambil menatap langit-langit di kamar itu.Bimantara terbelalak mendengarnya. &
Saat Pangeran Sakai hendak meninggalkan lapangan itu, Kedelapan guru pembantu datang. Langkah Pangeran Sakai terhenti. Bimantara, Dahayu, Rajo, Kancil dan dua murid perempuan lainnya melihat heran ke arah para guru pembantu yang datang kepada mereka.“Kau mau kemana?” tanya salah satu dari guru pembantu pada Pangeran Sakai.“Di sini ada murid yang dikirim oleh Perguruan Tengkorak. Aku tidak sudi belajar jika mereka tetap belajar di sini,” ucap Pangeran Sakai pada guru pembantu itu.“Kembali pada mereka. Tuan Guru Adji Darma menginginkan mereka berdua untuk tetap belajar di sini,” tegas guru pembantu itu pada Pangeran Sakai.“Perguruan Tengkorak sudah membunuh adik saya! Jika kita biarkan mereka mengirim mata-mata ke sini, itu artinya nasib Perguruan Matahari sedang terancam bahaya, Guru,” protes Pangeran Sakai.Bimantara dan Dahayu terdiam dengan bingung medengar itu. Sementara Rajo, Kancil dan dua mu
Pangeran Sakai berjalan menuju asrama. Langkahnya terhenti saat melihat Dahayu berjalan ke arahnya.“Dahayu,” panggil Pangeran Sakai padanya.Langkah Dahayu pun terhenti. Dia diam dan menunduk. Dahayu masih tidak terima atas tuduhannya tadi siang. Dia bukan dari golongan pendekar ilmu hitam. Dia rakyat biasa yang tinggal di perkampungan dan tidak tahu apa-apa.“Apa benar kamu ke sini dikirim oleh Perguruan Tengkorak untuk dijadikan mata-mata?” tanya Pangeran Sakai sekali lagi padanya.Dahayu mendongak dengan wajah marah dan tidak terima.“Aku ke sini memang dibawa angin puting beliung, tapi itu tidak berarti aku berasal dari golongan mereka,” jawab Dahayu dengan tegas.“Aku tidak percaya, tapi aku bisa memberimu pengecualian. Aku bisa melindungimu dan membersihkan namamu. Aku bisa menjadikanmu terlepas dari perguruan hitam itu jika kamu…” suara Pangeran Sakai terhenti.“Aku
Pendekar Tangan Besi kembali menghadap Adji Darma yang sedang duduk bersila di ruangannya.“Pendekar Pedang Emas telah memilih Pangeran Sakai untuk menjadi muridnya, Tuan Guru,” ucap Pendekar Tangan Besi penuh hormat.Adji Darma terekjut mendengarnya.“Pangeran Sakai harus mengikuti pelatihan fisik seperti yang lainnya. Kenapa Pendekar Pedang Emas langsung memilihnya?” tanya Adji Darma tak percaya.“Aku tidak tahu alasannya kenapa, Tuan Guru.”“Tolong panggilkan Pendekar Pedang Emas kemari sekarang juga,” pinta Adji Darma.“Baik, Tuan Guru.” Pendekar Tangan Besi pun langsung keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian Pendekar Tangan Besi kembali datang membawa Pendekar Pedang Emas ke hadapan Adji Darma.“Apa alasanmu langsung memilih Pangeran Sakai sebagai muridmu? Bukankah setiap murid baru harus lolos semua latihan dasar baru bisa dipilih oleh kalian?” tanya Adj
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it