“Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu.
Bimantara terkejut mendengarnya.
“Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya.
Tabib tercengang mendengarnya.
"Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?"
Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya.
“Berbaringlah,” pinta Tabib.
Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib.
“Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi.
“Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana.
Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun
Lelaki itu duduk di atas kasurnya sambil menatap kaki Bimantara yang hanya terlihat satu. “Iya. Aku dengar angin puting beliung yang membawa kamu ke Perguruan ini bersama seorang gadis,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Apakah gadis itu Dahayu?” tanya Bimantara. “Betul, nama gadis itu Dahayu. Dia cantik,” jawab lelaki itu. Dia tak percaya jika benar yang dikatakan lelaki itu bahwa angin puting beliung yang membawa dia dan Dahayu ke sana. Bimantara mengulurkan tangannya pada lelaki itu. “Aku Bimantara,” ucap Bimantara padanya. Lelaki itu menjabat tangan Bimantara. “Aku Sakai,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengar nama itu. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang sering disebut-sebut orang-orang di kampungnya. “Sakai? Maksudmu… kamu… Pangeran Sakai?” tanya Bimantara memastikan. “Iya, aku Pangeran Sakai,” jawab lelaki itu dengan santai. Bima
Ratusan murid Perguruan Matahari beserta para guru sedang makan malam bersama. Bimantara masih tercengang dengan pengalaman pertamanya itu. Hidangan di hadapannya berbeda dengan apa yang dia makan selama ini. Menurutnya itu sangat mewah. Pangeran Sakai menoleh heran pada Bimantara yang belum menyentuh makanannya sama sekali. “Ayo makan,” ajak Pangeran Sakai. Bimantara mengangguk. Dahayu diam-diam memperhatikan Bimantara dari tempat duduknya. Akhirnya Bimantara melahap makanannya. Mendadak dia teringat akan Kakeknya. Dia berhenti makan. Pangeran Sakai heran. “Kenapa? Tidak enak?” tanya Pangeran Sakai heran. “Aku teringat kakekku.” “Kakekmu pasti bangga kamu sudah berada di sini,” ujar Pangeran Sakai padanya. Mendengar itu, Dahayu jadi teringat ayah ibunya. Kedua orang tuanya pasti khawatir padanya. Dia memang menginginkan untuk bisa menjadi murid di sana, tapi dia tahu kalau kedua orang tuanya tak pernah setuju jika dia berada di sana.
Bimantara dan Pangeran Sakai tiba di kamarnya. Bimantara duduk di tepi kasur lalu memandangi Pangeran Sakai yang mulai berbaring di atas kasurnya.“Apakah setiap Pangeran di kirim ke sini untuk menimba ilmu bela diri?” tanya Bimantara penasaran.“Ya, tapi tidak semuanya berhasil,” jawab Pangeran Sakai.“Jika tidak berhasil?”“Mereka tak akan punya kesempatan menjadi Raja, biasanya akan digantikan Pangeran yang lainnya. Makanya setiap Raja diharuskan memiliki banyak anak laki-laki,” jawab Pangeran Sakai.“Jika Pangerannya cuma satu bagaimana?” tanya Bimantara penasaran.“Akan dididik khusus di istana.”“Berarti kamu adalah calon Raja?” tanya Bimantara ikut bangga.“Iya, nanti kerajaan Nusantara Timur aku yang akan menguasainya,” jawab Pangeran Sakai sambil menatap langit-langit di kamar itu.Bimantara terbelalak mendengarnya. &
Saat Pangeran Sakai hendak meninggalkan lapangan itu, Kedelapan guru pembantu datang. Langkah Pangeran Sakai terhenti. Bimantara, Dahayu, Rajo, Kancil dan dua murid perempuan lainnya melihat heran ke arah para guru pembantu yang datang kepada mereka.“Kau mau kemana?” tanya salah satu dari guru pembantu pada Pangeran Sakai.“Di sini ada murid yang dikirim oleh Perguruan Tengkorak. Aku tidak sudi belajar jika mereka tetap belajar di sini,” ucap Pangeran Sakai pada guru pembantu itu.“Kembali pada mereka. Tuan Guru Adji Darma menginginkan mereka berdua untuk tetap belajar di sini,” tegas guru pembantu itu pada Pangeran Sakai.“Perguruan Tengkorak sudah membunuh adik saya! Jika kita biarkan mereka mengirim mata-mata ke sini, itu artinya nasib Perguruan Matahari sedang terancam bahaya, Guru,” protes Pangeran Sakai.Bimantara dan Dahayu terdiam dengan bingung medengar itu. Sementara Rajo, Kancil dan dua mu
Pangeran Sakai berjalan menuju asrama. Langkahnya terhenti saat melihat Dahayu berjalan ke arahnya.“Dahayu,” panggil Pangeran Sakai padanya.Langkah Dahayu pun terhenti. Dia diam dan menunduk. Dahayu masih tidak terima atas tuduhannya tadi siang. Dia bukan dari golongan pendekar ilmu hitam. Dia rakyat biasa yang tinggal di perkampungan dan tidak tahu apa-apa.“Apa benar kamu ke sini dikirim oleh Perguruan Tengkorak untuk dijadikan mata-mata?” tanya Pangeran Sakai sekali lagi padanya.Dahayu mendongak dengan wajah marah dan tidak terima.“Aku ke sini memang dibawa angin puting beliung, tapi itu tidak berarti aku berasal dari golongan mereka,” jawab Dahayu dengan tegas.“Aku tidak percaya, tapi aku bisa memberimu pengecualian. Aku bisa melindungimu dan membersihkan namamu. Aku bisa menjadikanmu terlepas dari perguruan hitam itu jika kamu…” suara Pangeran Sakai terhenti.“Aku
Pendekar Tangan Besi kembali menghadap Adji Darma yang sedang duduk bersila di ruangannya.“Pendekar Pedang Emas telah memilih Pangeran Sakai untuk menjadi muridnya, Tuan Guru,” ucap Pendekar Tangan Besi penuh hormat.Adji Darma terekjut mendengarnya.“Pangeran Sakai harus mengikuti pelatihan fisik seperti yang lainnya. Kenapa Pendekar Pedang Emas langsung memilihnya?” tanya Adji Darma tak percaya.“Aku tidak tahu alasannya kenapa, Tuan Guru.”“Tolong panggilkan Pendekar Pedang Emas kemari sekarang juga,” pinta Adji Darma.“Baik, Tuan Guru.” Pendekar Tangan Besi pun langsung keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian Pendekar Tangan Besi kembali datang membawa Pendekar Pedang Emas ke hadapan Adji Darma.“Apa alasanmu langsung memilih Pangeran Sakai sebagai muridmu? Bukankah setiap murid baru harus lolos semua latihan dasar baru bisa dipilih oleh kalian?” tanya Adj
Tubuh Bimantara kian menggigil. Air kolam itu terasa sangat dingin. Dindinnya menusuk tulang. Bimanatra heran, bagaimana di negeri yang panas begini ada air kolam yang sangat dingin begitu. Tiba-tiba dia teringat Dahayu. Dia tidak tahu bagaimana nasib Dahayu sekarang. Kancil di dekatnya juga tampak sudah pucat. Menggigil seperti dirinya. Ketujuh guru bantu tampak duduk santai tak jauh dari kolam, mereka malah sibuk berbincang antar sesama.Bimantara melihat ke murid baru lainnya. Dia melihat Rajo, Wira, Welas dan Sanum tampak biasa saja dengan mata terpejam dan kedua telapak tangannya menyatu seperti sedang melakukan penyembahan. Bimantara menoleh pada Kancil yang kian menggigil di dekatnya.“Kenapa mereka baik-baik saja tidak seperti kita?” bisik Bimantara.“Aku tidak tahu, mungkin mereka sudah memiliki teknik untuk melawan air dingin seperti ini,” jawab Kancil sambil menggigil hebat.Bimantara heran, “Kalau memang ada tekni
Matahari sudah tenggelam. Bimantara dan Kancil berjalan melewati koridor menuju asramanya. Di hadapannya dia melihat ada Rajo dan Wira yang sedang berbincang seru. Entah apa yang sedang diperbincangkan oleh mereka. Saat Bimantara dan Kancil melewati mereka, Rajo memanggilnya.“Bimantara!”Bimantara dan Kancil terhenti. Mereka menoleh pada Rajo.“Aku sudah bilang, kau tak layak berada di sini,” ucap Rajo sambil cengengesan.Bimantara mengatur napasnya untuk menahan kesabarannya. Kancil malah emosi mendengarnya. “Bukan kamu yang menilai layak atau tidaknya seseorang berada di sini, tapi para Tuan Guru,” ucap Kancil dengan emosinya.Bimantara menyentuh bahu Kancil agar dia tidak emosi menghadapi mereka. Kancil terdiam. Rajo dan Wira tertawa. Mereka mendekat pada Bimantara.“Kalau kau memang pantas, nanti malam temui kami di belakang pagar dekat batu karang. Aku ingin tahu apakah kau sama seperti Dahayu