Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri.
“Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih.
Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah.
“Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya.
Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran.
“Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala.
Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari.
“Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak.
“Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala.
Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya. Sang Istri menoleh pada Suami dengan gusar. “Bagaimana ini suamiku?”
“Jika memang benar begitu, biarkan Dahayu menjadi murid di sana, Istriku,” jawab Sang Suami.
“Aku tak pernah ridho jika Dahayu menjadi pendekar, Suamiku. Dia perempuan,” tegas Sang Istri.
“Lebih baik Dahayu menjadi pendekar dibanding Dahayu menghilang dari hidup kita selama-lamanya!” tegas Sang Suami.
Sang Istri diam. Kakek Sangkala terus saja memandangi angin puting beliung itu yang semakin mendekati pulau Perguruan Matahari.
***
Sementara itu Bimantara masih mengambang di atas lautan. Matanya terpejam. Tongkatnya masih berada di tangannya. Tak lama kemudian angin puting beliung datang lalu menarik tubuhnya ke atas. Bimantara dan Dahayu tampak terombang-ambing berputar-putar di dalam angin puting beliung itu.
Orang-orang di Dermaga Perguruan Matahari berlarian ke dalam bangunan. Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi masih berdiri dengan heran.
“Kita harus pergi dari sini, Tuan Guru,” pinta Pendekar Tangan Besi pada Adji Darma.
“Kita harus tetap di sini sampai matahari tenggelam,” jawab Adji Darma dengan tegas.
“Tapi angin itu bisa membawa kita pergi dari sini,” ucap Pendekar Tangan Besi dengan khawatir.
“Alam menjaga tempat kita ini. Aku yakin angin itu tak akan menghancurkan tempat kita ini. Aku memiliki firasat kalau angin itu membawa sesuatu untuk kita,” jawab Adji Darma dengan tenangnya.
Benar saja. Angin puting beliung itu kini tiba di Dermaga. Angin itu menghempaskan dua anak manusia di atas Dermaga ; Bimantara dan Dahayu. Setelahnya angin puting beliung itu mengecil lalu menghilang. Pendekar Tangan Besi tercengang tak percaya. Para pendekar lainnya berlarian ke sana untuk memastikan dua manusia yang dihempaskan angin ke atas Dermaga itu masih hidup atau mati.
Pendekar Rambut Sakti, Pendekar Pedang Emas dan Pendekar Tendangan Seribu berlari ke arah dua manusia yang lemas tak berdaya di atas Dermaga. Mereka adalah para guru di Perguruan Matahari. Pendekar Rambut Sakti langsung memeriksa denyut nadi dua manusia yang tengah pingsan itu, ternyata dua-duanya masih hidup. Ya, dua manusia itu adalah Bimantara dan Dahayu.
“Kita harus membawanya ke asrama,” ucap Pendekar Rambut Sakti pada dua pendekar lainnya.
“Mereka bukan calon murid baru untuk Perguruan kita,” sahut Pendekar Pedang Emas.
Pendekar Rambut Sakti dan Pendekar Tendangan Seribu heran.
“Kenapa?” tanya Pendekar Tendangan Seribu.
“Kita harus kembalikan mereka ke pulau asal. Mereka ke sini bukan karena pertolongan dari alam. Angin puting beliung tak bisa dikatakan pertolongan dari alam. Angin puting beliung adalah bencana. Mereka tidak sah untuk diterima menjadi murid di sini,” tegas Pendekar Pedang Emas pada mereka.
Tak berapa lama kemudian Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi datang.
“Bawa mereka ke asrama!” tegas Adji Darma.
Pendekat Tangan Besi heran.
"Tuan, Guru. Mereka datang ke sini dibawa angin. Angin puting beliung adalah bencana. Mereka tidak sah untuk menjadi murid di sini. Sebaiknya kita kembalikan saja mereka ke pulau asal," pinta Pendekar Tangan besi padanya.
Pendekar Pedang Emas pun tidak terima.
“Benar, Tuan guru. Angin puting beliung tak bisa dijadikan sebagai pertolongan dari alam. Mereka tiba di pulau kita dengan tidak sengaja. Mereka tidak sah jika harus dijadikan murid di sini,” protes Pendekar Pedang Emas pada Adji Darma.
“Bawa dan rawat mereka! Kita harus selamatkan nyawa mereka. Bagaimana pun mereka datang sebelum matahari tenggelam. Kita harus mempertimbangkan apakah mereka benar-benar berniat untuk menjadi murid di sini atau tidak. Jika mereka tidak memiliki niat untuk menjadi murid di sini, baru kita kembalikan ke pulau asal,” pinta Adji Darma.
“Baik, Tuan Guru,” jawab semuanya.
Akhirnya Pendekar Pedang Emas terpaksa menuruti perintah Adji Darma. Mereka membawa Bimantara dan Dahayu menuju gedung perguruan. Sementara Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi akan terus di sana sampai matahari tenggelam.
Ya, penerimaan murid baru hanya terjadi satu hari. Dimulai terbitnya matahari dan sampai tenggelamnya matahari. Dalam kitab penerimaan murid baru, angin dan api tidak termasuk dalam pertolongan alam yang akan memudahkan para calon murid terpilih untuk memasuki Perguruan itu. Pertolongan dari alam yang tercatat diantara dari makhluk laut seperti Naga, Ikan dan lainnya. Dan juga dari para leluhur yang secara tidak sengaja memberi kekuatan tak terlihat pada calon murid hingga sampai dengan penuh keajaiban menuju pulau itu.
Matahari sudah hampir tenggelam. Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi terdiam. Seketika Pendekar Tangan Besi menoleh pada Adji Darma.
“Sebentar lagi penerimaan murid baru telah ditutup, Tuan Guru,” ucap Pendekar Tangan Besi sambil memandangi matahari yang mulai tenggelam di kejauhan sana.
Adji Darma mengangguk.
“Jika dua manusia yang datang terakhir tadi memang memiliki niat untuk menjadi murid di sini, berarti alam telah menghendaki angin untuk membawa dua calon murid terakhir ke sini, Tuang Guru?” tanya Pendekar Tangan Besi pada Adji Darma.
“Atau ini sebuah petanda bahwa kehancuran Nusantara akan tiba,” ucap Adji Darma dengan sedih.
“Kenapa bisa begitu, Tuan Guru?” tanya Pendekar Tangan Besi dengan heran.
“Dalam beberapa abad, baru ini kita hanya menerima delapan murid. Dan dalam beberapa abad, baru ini budi pekerti menjadi alasan para calon murid lainnya gagal memasuki perguruan kita. Dan dalam beberapa abad, baru ini angin membawa dua calon murid ke sini,” jawab Adji Darma.
Pendekar Tangan Besi terdiam. Matahari sudah tenggelam. Malam sudah mulai datang.
***
Bimantara membuka matanya. Dia terkejut saat mendapati dirinya terbaring di atas jerami di ruangan berdinding anyaman bambu yang sempit itu. Saat dia hendak menggerakkan tangannya, dia kaget ketika melihat banyak tusukan jarum tengah menempel di kulit tangannya dan dadanya. Bimantara mencoba mencari tongkatnya. Dia lega ketika menemukan tongkatnya ada di dekatnya.
“Di mana aku?” tanya Bimantara dengan lemah pada dirinya. “Apa aku dikembalikan ke pulau asalku? Apa aku berada di pulau Perguran Matahari?”
Tiba-tiba seorang tabib datang membawa bakul berisi obat-obatan. Dia terkejut ketika melihat Bimantara mencoba bangkit dari tempat berbaringnya.
“Jangan dulu bergerak,” pinta Tabib itu dengan penuh khawatir padanya.
Bimantara terkejut lalu terpaksa diam dalam posisi duduk.
“Di mana aku?” tanya Bimantara heran.
“Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya. Tabib tercengang mendengarnya. "Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?" Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya. “Berbaringlah,” pinta Tabib. Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib. “Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi. “Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana. Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun
Lelaki itu duduk di atas kasurnya sambil menatap kaki Bimantara yang hanya terlihat satu. “Iya. Aku dengar angin puting beliung yang membawa kamu ke Perguruan ini bersama seorang gadis,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Apakah gadis itu Dahayu?” tanya Bimantara. “Betul, nama gadis itu Dahayu. Dia cantik,” jawab lelaki itu. Dia tak percaya jika benar yang dikatakan lelaki itu bahwa angin puting beliung yang membawa dia dan Dahayu ke sana. Bimantara mengulurkan tangannya pada lelaki itu. “Aku Bimantara,” ucap Bimantara padanya. Lelaki itu menjabat tangan Bimantara. “Aku Sakai,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengar nama itu. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang sering disebut-sebut orang-orang di kampungnya. “Sakai? Maksudmu… kamu… Pangeran Sakai?” tanya Bimantara memastikan. “Iya, aku Pangeran Sakai,” jawab lelaki itu dengan santai. Bima
Ratusan murid Perguruan Matahari beserta para guru sedang makan malam bersama. Bimantara masih tercengang dengan pengalaman pertamanya itu. Hidangan di hadapannya berbeda dengan apa yang dia makan selama ini. Menurutnya itu sangat mewah. Pangeran Sakai menoleh heran pada Bimantara yang belum menyentuh makanannya sama sekali. “Ayo makan,” ajak Pangeran Sakai. Bimantara mengangguk. Dahayu diam-diam memperhatikan Bimantara dari tempat duduknya. Akhirnya Bimantara melahap makanannya. Mendadak dia teringat akan Kakeknya. Dia berhenti makan. Pangeran Sakai heran. “Kenapa? Tidak enak?” tanya Pangeran Sakai heran. “Aku teringat kakekku.” “Kakekmu pasti bangga kamu sudah berada di sini,” ujar Pangeran Sakai padanya. Mendengar itu, Dahayu jadi teringat ayah ibunya. Kedua orang tuanya pasti khawatir padanya. Dia memang menginginkan untuk bisa menjadi murid di sana, tapi dia tahu kalau kedua orang tuanya tak pernah setuju jika dia berada di sana.
Bimantara dan Pangeran Sakai tiba di kamarnya. Bimantara duduk di tepi kasur lalu memandangi Pangeran Sakai yang mulai berbaring di atas kasurnya.“Apakah setiap Pangeran di kirim ke sini untuk menimba ilmu bela diri?” tanya Bimantara penasaran.“Ya, tapi tidak semuanya berhasil,” jawab Pangeran Sakai.“Jika tidak berhasil?”“Mereka tak akan punya kesempatan menjadi Raja, biasanya akan digantikan Pangeran yang lainnya. Makanya setiap Raja diharuskan memiliki banyak anak laki-laki,” jawab Pangeran Sakai.“Jika Pangerannya cuma satu bagaimana?” tanya Bimantara penasaran.“Akan dididik khusus di istana.”“Berarti kamu adalah calon Raja?” tanya Bimantara ikut bangga.“Iya, nanti kerajaan Nusantara Timur aku yang akan menguasainya,” jawab Pangeran Sakai sambil menatap langit-langit di kamar itu.Bimantara terbelalak mendengarnya. &
Saat Pangeran Sakai hendak meninggalkan lapangan itu, Kedelapan guru pembantu datang. Langkah Pangeran Sakai terhenti. Bimantara, Dahayu, Rajo, Kancil dan dua murid perempuan lainnya melihat heran ke arah para guru pembantu yang datang kepada mereka.“Kau mau kemana?” tanya salah satu dari guru pembantu pada Pangeran Sakai.“Di sini ada murid yang dikirim oleh Perguruan Tengkorak. Aku tidak sudi belajar jika mereka tetap belajar di sini,” ucap Pangeran Sakai pada guru pembantu itu.“Kembali pada mereka. Tuan Guru Adji Darma menginginkan mereka berdua untuk tetap belajar di sini,” tegas guru pembantu itu pada Pangeran Sakai.“Perguruan Tengkorak sudah membunuh adik saya! Jika kita biarkan mereka mengirim mata-mata ke sini, itu artinya nasib Perguruan Matahari sedang terancam bahaya, Guru,” protes Pangeran Sakai.Bimantara dan Dahayu terdiam dengan bingung medengar itu. Sementara Rajo, Kancil dan dua mu
Pangeran Sakai berjalan menuju asrama. Langkahnya terhenti saat melihat Dahayu berjalan ke arahnya.“Dahayu,” panggil Pangeran Sakai padanya.Langkah Dahayu pun terhenti. Dia diam dan menunduk. Dahayu masih tidak terima atas tuduhannya tadi siang. Dia bukan dari golongan pendekar ilmu hitam. Dia rakyat biasa yang tinggal di perkampungan dan tidak tahu apa-apa.“Apa benar kamu ke sini dikirim oleh Perguruan Tengkorak untuk dijadikan mata-mata?” tanya Pangeran Sakai sekali lagi padanya.Dahayu mendongak dengan wajah marah dan tidak terima.“Aku ke sini memang dibawa angin puting beliung, tapi itu tidak berarti aku berasal dari golongan mereka,” jawab Dahayu dengan tegas.“Aku tidak percaya, tapi aku bisa memberimu pengecualian. Aku bisa melindungimu dan membersihkan namamu. Aku bisa menjadikanmu terlepas dari perguruan hitam itu jika kamu…” suara Pangeran Sakai terhenti.“Aku
Pendekar Tangan Besi kembali menghadap Adji Darma yang sedang duduk bersila di ruangannya.“Pendekar Pedang Emas telah memilih Pangeran Sakai untuk menjadi muridnya, Tuan Guru,” ucap Pendekar Tangan Besi penuh hormat.Adji Darma terekjut mendengarnya.“Pangeran Sakai harus mengikuti pelatihan fisik seperti yang lainnya. Kenapa Pendekar Pedang Emas langsung memilihnya?” tanya Adji Darma tak percaya.“Aku tidak tahu alasannya kenapa, Tuan Guru.”“Tolong panggilkan Pendekar Pedang Emas kemari sekarang juga,” pinta Adji Darma.“Baik, Tuan Guru.” Pendekar Tangan Besi pun langsung keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian Pendekar Tangan Besi kembali datang membawa Pendekar Pedang Emas ke hadapan Adji Darma.“Apa alasanmu langsung memilih Pangeran Sakai sebagai muridmu? Bukankah setiap murid baru harus lolos semua latihan dasar baru bisa dipilih oleh kalian?” tanya Adj
Tubuh Bimantara kian menggigil. Air kolam itu terasa sangat dingin. Dindinnya menusuk tulang. Bimanatra heran, bagaimana di negeri yang panas begini ada air kolam yang sangat dingin begitu. Tiba-tiba dia teringat Dahayu. Dia tidak tahu bagaimana nasib Dahayu sekarang. Kancil di dekatnya juga tampak sudah pucat. Menggigil seperti dirinya. Ketujuh guru bantu tampak duduk santai tak jauh dari kolam, mereka malah sibuk berbincang antar sesama.Bimantara melihat ke murid baru lainnya. Dia melihat Rajo, Wira, Welas dan Sanum tampak biasa saja dengan mata terpejam dan kedua telapak tangannya menyatu seperti sedang melakukan penyembahan. Bimantara menoleh pada Kancil yang kian menggigil di dekatnya.“Kenapa mereka baik-baik saja tidak seperti kita?” bisik Bimantara.“Aku tidak tahu, mungkin mereka sudah memiliki teknik untuk melawan air dingin seperti ini,” jawab Kancil sambil menggigil hebat.Bimantara heran, “Kalau memang ada tekni