Sebuah persekongkolan keji memperebutkan jabatan kepala kampung membuat Wijaya Kusuma kehilangan ayah dan ibu. Bahkan ia nyaris terbunuh pula dalam satu peristiwa berdarah yang membuatnya terpisah dari kedua orang tua. Beruntung seorang tua sakti dari lereng Gunung Kelud datang sebagai dewa penolong. Satu windu menghilang, Wijaya Kusuma muncul kembali sebagai seorang pendekar muda nan tangguh. Tujuannya hanya satu: menuntut balas! Berbekal sebuah senjata pusaka bernama Golok Naga, Wijaya lantas dikenal sebagai Pendekar Golok Naga. // Ikuti penulis di Instagram, Tiktok dan Facebook dengan follow akun @keborawis. Baca juga karya lainnya di https://karyakarsa.com/keborawis.
View MoreMESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
"G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus
ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E
"MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d
"Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam
"SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..
SEMENTARA itu, di bagian lain wanua Sangguran.... Bramanta memacu kuda tunggangannya memasuki satu kawasan hutan di pinggiran wanua. Dalam gelapnya malam, ia hanya dapat mengandalkan cahaya bulan purnama yang semakin tinggi di langit sebagai penerangan. Dengan laju tak seberapa kencang, Bramanta membawa kudanya masuk agak dalam ke hutan. Sambil mengendalikan tali kekang sambil memegangi tubuh Sita yang ia telungkupkan di depannya. Begitu memasuki kerapatan pepohonan, cahaya rembulan tak mampu lagi menembus rindangnya dedaunan. Keadaan jadi lebih gelap. Jalan setapak di depan mata pun tak terlalu jelas terlihat. Namun Bramanta seolah sudah hapal dengan keadaan di tempat tersebut. Tanpa kesulitan berarti ia sudah mencapai tujuan, menandakan lelaki tersebut sudah sering mengunjungi tempat ini. "Hmmm, agaknya dia belum tiba di sini," gumam Bramanta, sembari menghentikan kuda. Dengan tatapan tajam ia mengamat-amati keadaan sekeliling dalam remang-r
"KI Bagaspati, kemarilah! Kau harus melihat ini!" seru salah satu warga segera setelah memberi sikap hormat pada sosok yang baru datang.Lelaki tinggi besar yang dipanggil Ki Bagaspati itu membalas penghormatan warga kampung dengan anggukan. Sementara sepasang matanya tampak liar menatap berkeliling."Sang Hyang Agung!" desis Ki Bagaspati ketika melihat keadaan jasad Sarwa Kusuma. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Siapa yang telah melakukan kekejian ini?"Para warga kampung saling berpandangan satu sama lain. Seolah berunding dengan tatapan mata siapa yang akan menjawab pertanyaan tersebut.Beberapa kejap berikutnya, lelaki yang sedari tadi menjadi juru warta maju dua langkah ke hadapan Ki Bagaspati. Setelah menjura dalam-dalam, lelaki itu angkat bicara."Kami tidak jelas benar apa yang sebenarnya telah terjadi di sini, Ki. Namun dari apa yang saya lihat tadi sewaktu di sawah, menjelang senja ada segerombolan orang berkuda memasuki perkampungan
PADUKUHAN Kartasentana menjadi geger di awal malam itu. Berita mengenai penyerangan maut yang terjadi di kediaman Ki Dukuh Sarwa Kusuma segera menyebar luas.Terlebih ketika kemudian kentongan dipukul bertalu-talu. Suaranya bergema ke segala penjuru kampung. Membuat suasana di pemukiman tepi hutan itu berubah mencekam.Nada kentongan yang khas, yakni dipukul dua kali secara terus-menerus, membuat seluruh warga kampung langsung tahu apa yang telah terjadi. Itu pertanda jika ada kejadian perampokan."Cepat bantu Ki Dukuh! Ada gerombolan penjahat mendatangi rumahnya! Seluruh pengawalnya dibunuh, rumahnya dibakar!" seru salah satu penduduk pada kerumunan warga yang tengah mencari-cari tahu.Ketika itu orang-orang bergerombol di dekat kentongan. Sedangkan yang berkata tadi adalah salah satu warga kampung yang ikut mendekat ke kediaman Sarwa Kusuma ketika gerombolan lelaki berkuda datang. Namun karena jeri, begitu para pengawal Ki Dukuh tumpas ia cepat-cepat la
PADUKUHAN Kartasentana terletak di ujung wanua Sangguran. Berbatasan langsung dengan hutan belantara lebat di lereng timur Gunung Kawi. Sehampar luas sawah nan hijau memisahkan pemukiman terpencil itu dari kampung-kampung lain. Menjelang sore itu, suasana hening dipecah oleh suara ringkik kuda bercampur derap puluhan ladam. Tak kurang dari 13 lelaki berkuda melintas cepat di atas jalan tanah yang membelah hamparan sawah menuju kawasan pemukiman. Debu tebal membumbung tinggi di udara, mengiringi laju kaki-kaki kuda. Beberapa warga padukuhan yang sedang berada di sawah sontak menghentikan pekerjaan. Mereka sama memandang ke jurusan rombongan berkuda dengan penuh rasa penasaran. "Siapa mereka? Mau ke mana?" tanya salah satu pemuda pada teman di sebelahnya. "Aku tidak tahu," sahut temannya cepat, lalu balik bertanya, "Memangnya kenapa?" "Sebaiknya kita ikuti saja mereka. Aku punya firasat tidak enak. Mereka tampaknya bukan orang baik-baik," jawab pemuda pertama. Dengan setengah berla
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments