"GUSTI, harap ampuni saya!" seru Sugatra begitu tubuhnya membentur tanah keras. Ia segera menyadari jika kelalaiannya dapat mencelakakan Wijaya Kusuma.
Sementara Wijaya Kusuma yang terlempar dari panggulan Sugatra menjerit kaget dan mengaduh. Untung saja tubuh bocah itu jatuh di atas rerumputan nan empuk.
Mengabaikan rasa sakitnya sendiri, Sugatra buru-buru bangkit dan menghampiri Wijaya Kusuma. Namun belum sempat ia menanyakan keadaan putera junjungannya itu, di sekeliling mereka telah berdiri empat lelaki.
"Ah, akhirnya dapat juga kami mengejar kalian," ujar salah satu lelaki, lalu tertawa mengekeh.
"Jangan harap kalian bisa lari lagi dari kamu," timpal lelaki yang berkumis lebat pula.
Berubah paras Sugatra mengetahui keadaan. Secara naluriah ia segera memeluk Wijaya Kusuma, bermaksud melindungi bocah tersebut dari ancaman.
Tanpa Sugatra sadari, sikapnya itu justru memancing ketertarikan keempat lelaki pengejar. Kecurigaan mereka bertambah besar terhadap siapa yang tengah dilindungi si pengawal.
"Ah, agaknya bocah lelaki inilah yang dimaksud Bramanta tadi," kata lelaki satunya lagi. "Dia pastilah anak Sarwa Kusuma yang malang itu."
"Benar! Kita harus menangkap bocah itu," imbuh lelaki pengurung di sisi lain, lalu menatap Sugatra dengan sorot mata pencuh ancaman. "Serahkan bocah itu pada kami!"
Sugatra menelan ludah. Pelukannya pada Wijaya Kusuma semakin dipererat, sembari memandangi keempat pengurung dengan tatapan tidak gentar.
Ternyata benar dugaanku, mereka adalah cecunguk Bramanta si kaki tangan Raka i Waharu. Sugatra membatin dengan geraham bergemeletuk. Aku harus melawan mereka mati-matian. Jangan sampai Gusti Wijaya mereka tangkap!
"Jangan harap!" desis Sugatra kemudian dengan suara bergetar. "Kalian hanya bisa mendapatkan anak ini jika sudah melangkahi jasadku!"
Meledak tawa keempat lelaki pengurung mendengar ucapan tersebut. Sambil tertawa sambil saling berpandangan satu sama lain. Sebuah tawa yang dimaksudkan sebagai ejekan.
"Kalian dengar?" ujar lelaki berkumis lebat setelah puas tertawa. "Dia sendiri yang mengatakan. Jadi, tunggu apa lagi? Cepat habisi dia agar nyawanya dapat segera menyusul Sarwa Kusuma yang telah menghadap Bhatara Yama."
Baik Sugatra maupun Wijaya Kusuma yang terus berada dalam pelukan, sama-sama tercekat mendengar ucapan lelaki tersebut. Bhatara Yama atau Dewa Yama adalah dewa kematian dalam kepercayaan penganut ajaran Siwaisme.
Tanpa diduga, Wijaya Kusuma bertanya dengan polos, "Paman, apa maksudmu ayahku telah menemui Bhatara Yama? Apakah ayahku sudah tiada?"
Sugatra meringis mendengar pertanyaan itu. Dengan bertanya begitu, sama saja Wijaya Kusuma memberi tahu siapa jati dirinya pada keempat lelaki ini.
Sedangkan lelaki berkumis lebat langsung alihkan perhatian pada Wijaya Kusuma. Sorot matanya tampak penuh minat. Setelah mengamat-amati si bocah selama beberapa saat, ia tersenyum lebar yang lebih mirip seringai.
"Ya, ayahmu sudah modar di tangan kami," jawab lelaki tersebut, lalu kembali tertawa.
Mendengar itu, Wijaya Kusuma langsung memberontak lepas dari pelukan Sugatra. Bocah tersebut berlari ke arah lelaki berkumis yang tadi menjawab, lalu ia layangkan tinju kecilnya ke arah perut orang.
"Kau sudah membunuh ayahku! Aku harus membunuhmu juga!" jerit Wijaya Kusuma, sembari terus-terusan memukuli perut orang.
Yang ditinju sontak hentikan tawa dengan wajah kaget. Tinju kecil Wijaya Kusuma jelas tidak menyakitinya sama sekali. Namun ia sungguh heran sekaligus takjub dengan keberanian anak berusia sembilan tahun ini.
Tak lama kemudian tawa lelaki itu kembali bergema. Sambil tertawa sambil memandangi ketiga rekannya yang tak kalah terkejut, tetapi kemudian ikut tertawa pula.
Puas tertawa, lelaki berkumis lebat lantas bergerak cepat menangkap tangan-tangan mungil Wijaya Kusuma. Sekali tarik saja bocah itu sudah berada dalam gendongannya.
Wijaya Kusuma meronta-ronta. Tinjunya kini beralih pada dada si lelaki berkumis lebat.
"Lepaskan aku! Aku ingin membalaskan kematian ayahku!" jeritnya nyaring.
Di tempatnya, Sugatra membeku melihat Wijaya Kusuma sudah berada dalam cekalan lawan. Ini gawat! Pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu mendesis di dalam hati.
"Lepaskan anak itu!" seru Sugatra kemudian.
Lelaki berkumis yang tengah memegangi Wijaya Kusuma menggeram marah. Ia memandang tajam ke arah tiga rekannya, lalu berseru garang, "Kalian tunggu apa lagi? Cepat bereskan dia!"
Tiga lelaki langsung melesat ke depan, sembari keluarkan suara menggembor marah. Di tangan mereka tiga parang besar berkelebat ganas menyasar Sugatra.
Yang diserbu menggeram murka. Sekilas ia menatap ke arah Wijaya Kusuma yang masih berada dalam cekalan lelaki berkumis lebar. Otaknya cepat berputar, menilai-nilai keadaan.
Sepertinya mereka tidak akan mencelakai Gusti Wijaya. Agaknya Bramanta keparat itu menginginkan Gusti Wijaya dalam keadaan hidup-hidup, meski aku tak dapat menerka apa maksudnya. Demikian Sugatra membatin sendiri.
Berpikir demikian, Sugatra mengambil kesimpulan untuk saat ini dirinya tak perlu merisaukan nasib putera junjungannya tersebut. Jadi, sementara waktu ia bisa memusatkan perhatian pada ketiga lawan yang sedang memburu dengan ganas.
Maka Sugatra cepat menarik golok yang sedari tadi tergantung di pinggangnya. Tanpa buang-buang waktu lagi, ia sabetkan senjata itu untuk menangkis serangan yang sudah sangat dekat.
Siiiing!
Trang! Trang! Trang!
Tiga kali suara berdentrangan terdengar nyaring. Tiga kali pula percikan bunga api berpendar di udara manakala golok di tangan Sugatra menyambut mata tiga parang milik lawan.
Tak mau kembali ditekan, Sugatra mengambil alih kendali pertarungan. Ia memutuskan balik menyerang dengan satu sabetan yang mengarah pada salah satu lawan.
Sugatra menyadari dirinya kalah jumlah. Karena itu dengan cerdik ia memusatkan serangannya pada satu per satu lawan. Dimulai dari lelaki di sisi paling kiri, yang menurutnya sedang sedikit lengah.
"Modaaaaar!" geram Sugatra dengan suara menggelegar, mengiringi kesiur sabetan golok.
Serangan itu tidak main-main, sebab mengarah ke batang leher. Membuat yang diserang mendengus pendek, lalu cepat-cepat pelintangkan parang besarnya untuk menangkis.
Sekali lagi suara berdentrangan terdengar mengudara. Kedua pemilik senjata sama tercengang sesaat, merasakan entakan tenaga serangan masing-masing. Namun sekejap berselang mereka sudah kembali bersiaga penuh.
Dengan sangat bernafsu Sugatra menyusulkan serangan kedua. Akan tetapi niatnya memusatkan serangan pada satu demi satu lawan tidak berjalan sesuai harapan. Tanpa dapat ia cegah, dua lawan lain malah ikut bergabung dalam gelanggang pertempuran.
Keparat pengecut!" maki Sugatra, bermaksud memancing amarah lawan. "Kalian ternyata hanyalah sebangsa pengecut yang beraninya cuma main keroyokan!"
Sambil terus meladeni serangan-serangan Sugatra, tiga lelaki bersenjata parang sama tertawa gelak-gelak. Mereka tahu maksud ucapan tersebut, sehingga memilih tak ambil peduli.
Sial! Sugatra kembali memaki di dalam hati manakala menyadari pancingannya gagal. Apa boleh buat, terpaksa ia harus meladeni ketiga lawan sekaligus demi menyelamatkan dirinya dan juga Wijaya Kusuma.
Sementara dalam cekalan lelaki berkumis lebat, sepasang mata Wijaya Kusuma membulat sempurna melihat Sugatra dikeroyok tiga. Tiba-tiba saja bocah itu memberontak ingin turun.
"Lepaskan aku! Aku mau membantu Paman Sugatra!" jerit Wijaya Kusuma, sambil melejang-lejangkan kedua kakinya.
Lelaki berkumis lebat yang memegangi anak sembilan tahun itu ganda tertawa. "Kau memang bocah pemberani," pujinya bersungguh-sungguh, lalu kembali tertawa.
"Ya, aku memang pemberani. Tidak seperti kalian yang sudah besar, tapi pengecut semua! Beraninya hanya main keroyok!" balas Wijaya Kusuma dengan sengit.
Tawa lelaki berkumis lebat kian lebar mendengar ucapan si bocah. "Ah, ah ... andai saja ibumu yang cantik itu melihat keberanianmu ini...."
Wijaya Kusuma terus memberontak. Kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak, sampai-sampai gelang akar bahar lebar di lengan kiri lelaki yang memeganginya terlepas. Menampakkan sebentuk rajah bergambar naga yang seolah membelit lengan si lelaki.
Agaknya gelang akar bahar itu sengaja dipakai untuk menutupi rajah naga tersebut. Pergerakan Wijaya Kusuma berhenti sejenak karena perhatiannya tertuju pada lengan si lelaki berkumis lebat. Ia tertarik dengan rajah di sana.
Namun beberapa kedipan mata berikutnya Wijaya Kusuma kembali meronta-ronta ingin lepas. Sayang, sekuat apapun berusaha memberontak, tetap saja ia tak mampu melepaskan diri dari cekalan orang.
Lama-lama bocah itu lemas sendiri. Membuat gerakan-gerakannya semakin lemah dan pada akhirnya berhenti sama sekali.
"Paman Sugatra, bertahanlah! Kalahkan mereka semua!" seru Wijaya Kusuma lirih.
Akan tetapi yang terjadi kemudian malah kebalikannya. Kemampuan Sugatra hanya mampu mengimbangi tiga lawannya sampai empat-lima jurus saja.
Memasuki jurus keenam, salah satu lawan berhasil memukul mental golok yang jadi senjata andalan pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana tersebut.
"Sial!" desis Sugatra tegang. Ekor matanya mengikuti ke mana arah terbang goloknya, sehingga membuat dirinya lengah untuk beberapa saat.
Kesempatan tersebut dipergunakan dengan baik oleh ketiga pengeroyoknya. Salah satu dari mereka melepaskan tendangan keras yang mendarat telak di pangkal leher Sugatra.
"Jebol tenggorokanmu!"
_)|(_
"PAMAN Sugatra, awas serangan! Cepat menghindar!" seru Wijaya Kusuma melihat pengawalnya terdesak hebat.Namun Sugatra tak dapat lagi menghindar. Tendangan lawan mendarat telak di pangkal lehernya, membuat pengawal setia Ki Dukuh Kartasentan itu mengeluh tinggi.Tubuh Sugatra mencelat beberapa langkah ke belakang, menandakan jika tendangan lawan tadi dikerahkan dengan banyak tenaga. Susah payah ia menyeimbangkan diri agak tidak terjatuh duduk saat mendarat.Namun belum sempat Sugatra mengambil napas, satu serangan lagi sudah menghantamnya. Kali ini lawan kedua menggedor dadanya dengan satu sikutan keras.Kembali terdengar keluhan tertahan dari mulut Sugatra. Sekarang ia sudah tak dapat lagi menahan keseimbangan. Setelah terjajar dan terhuyung-huyung beberapa saat, tubuhnya rebah ke tanah."K-keparat!" geram Sugatra dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya sesak bukan main. Seakan-akan tengah ditindih sebongkah batu sebesar gajah.Ketika ia hendak menarik napas panjang untuk melong
"SIAL dangkalan! Ke mana perginya bocah itu?"Palguna menggeram kesal, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan mata membelalak lebar. Tiga temannya yang tak kalah kaget juga melakukan hal sama.Sorot maya empat lelaki tersebut sama tajam mencorong, berusaha menyibak kegelapan yang mulai pekat. Namun ada pula bias kebingungan bercampur sedikit ketakutan yang coba mereka sembunyikan kuat-kuat.Wajar saja mereka berempat merasa takut. Pasalnya, siapapun yang bergerak menyambar Palguna tadi pastilah seorang berkemampuan sangat tinggi.Buktinya, dalam satu kelebatan yang rasa-rasanya hanya sekedipan mata, orang itu bisa merebut Wijaya Kusuma dari panggulan Palguna. Bahkan tanpa lelaki tersebut merasakan apa-apa saat terjadi!"A-apa kalian melihat orang itu?" tanya Palguna kemudian, setelah memandang berkeliling tetapi tak menemukan manusia lain kecuali mereka berempat."Orang atau sebangsa dedemit hutan?" Salah satu teman Palguna malah balik bertanya. Wajahnya terlihat tegang den
"JEBOL dadamu!" geram Palguna dengan sangat percaya diri. Namun lelaki berkumis lebat itu kecele. Tusukan parangnya hanya mengenai angin hampa. Dalam satu gerakan yang nyaris tak terlihat mata, si lelaki tua kerempeng ternyata sudah terlebih dulu bergeser satu jengkal ke samping. Cukup satu jengkal saja dan serangan Palguna gagal dibuatnya. Belum habis kekagetan Palguna, lelaki tua kerempeng melakukan gerakan susulan. Tangan kirinya yang menekuk diangkat, lalu dipakai untuk mengempit parang besar yang masih mengacung di udara. Kelihatannya hanya sebuah kempitan biasa saja. Akan tetapi dari ketiak itu kemudian terdengar suara besi patah nan nyaring. Triiiiing! Ketika si lelaki tua kerempeng membuka kempitan, sebentuk potongan besi meluncur jatuh ke bawah. Benda itu baru berhenti ketika menancap di tanah dalam keadaan berdiri. Tiga teman Palguna mengikuti arah jatuhnya potongan besi. Mereka terkesiap saat mengetahui benda tersebut tak lain adalah separuh bagian parang besar milik
PADUKUHAN Kartasentana menjadi geger di awal malam itu. Berita mengenai penyerangan maut yang terjadi di kediaman Ki Dukuh Sarwa Kusuma segera menyebar luas.Terlebih ketika kemudian kentongan dipukul bertalu-talu. Suaranya bergema ke segala penjuru kampung. Membuat suasana di pemukiman tepi hutan itu berubah mencekam.Nada kentongan yang khas, yakni dipukul dua kali secara terus-menerus, membuat seluruh warga kampung langsung tahu apa yang telah terjadi. Itu pertanda jika ada kejadian perampokan."Cepat bantu Ki Dukuh! Ada gerombolan penjahat mendatangi rumahnya! Seluruh pengawalnya dibunuh, rumahnya dibakar!" seru salah satu penduduk pada kerumunan warga yang tengah mencari-cari tahu.Ketika itu orang-orang bergerombol di dekat kentongan. Sedangkan yang berkata tadi adalah salah satu warga kampung yang ikut mendekat ke kediaman Sarwa Kusuma ketika gerombolan lelaki berkuda datang. Namun karena jeri, begitu para pengawal Ki Dukuh tumpas ia cepat-cepat la
"KI Bagaspati, kemarilah! Kau harus melihat ini!" seru salah satu warga segera setelah memberi sikap hormat pada sosok yang baru datang.Lelaki tinggi besar yang dipanggil Ki Bagaspati itu membalas penghormatan warga kampung dengan anggukan. Sementara sepasang matanya tampak liar menatap berkeliling."Sang Hyang Agung!" desis Ki Bagaspati ketika melihat keadaan jasad Sarwa Kusuma. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Siapa yang telah melakukan kekejian ini?"Para warga kampung saling berpandangan satu sama lain. Seolah berunding dengan tatapan mata siapa yang akan menjawab pertanyaan tersebut.Beberapa kejap berikutnya, lelaki yang sedari tadi menjadi juru warta maju dua langkah ke hadapan Ki Bagaspati. Setelah menjura dalam-dalam, lelaki itu angkat bicara."Kami tidak jelas benar apa yang sebenarnya telah terjadi di sini, Ki. Namun dari apa yang saya lihat tadi sewaktu di sawah, menjelang senja ada segerombolan orang berkuda memasuki perkampungan
SEMENTARA itu, di bagian lain wanua Sangguran.... Bramanta memacu kuda tunggangannya memasuki satu kawasan hutan di pinggiran wanua. Dalam gelapnya malam, ia hanya dapat mengandalkan cahaya bulan purnama yang semakin tinggi di langit sebagai penerangan. Dengan laju tak seberapa kencang, Bramanta membawa kudanya masuk agak dalam ke hutan. Sambil mengendalikan tali kekang sambil memegangi tubuh Sita yang ia telungkupkan di depannya. Begitu memasuki kerapatan pepohonan, cahaya rembulan tak mampu lagi menembus rindangnya dedaunan. Keadaan jadi lebih gelap. Jalan setapak di depan mata pun tak terlalu jelas terlihat. Namun Bramanta seolah sudah hapal dengan keadaan di tempat tersebut. Tanpa kesulitan berarti ia sudah mencapai tujuan, menandakan lelaki tersebut sudah sering mengunjungi tempat ini. "Hmmm, agaknya dia belum tiba di sini," gumam Bramanta, sembari menghentikan kuda. Dengan tatapan tajam ia mengamat-amati keadaan sekeliling dalam remang-r
"SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..
"Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam
MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
"G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus
ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E
"MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d
"Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam
"SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..
SEMENTARA itu, di bagian lain wanua Sangguran.... Bramanta memacu kuda tunggangannya memasuki satu kawasan hutan di pinggiran wanua. Dalam gelapnya malam, ia hanya dapat mengandalkan cahaya bulan purnama yang semakin tinggi di langit sebagai penerangan. Dengan laju tak seberapa kencang, Bramanta membawa kudanya masuk agak dalam ke hutan. Sambil mengendalikan tali kekang sambil memegangi tubuh Sita yang ia telungkupkan di depannya. Begitu memasuki kerapatan pepohonan, cahaya rembulan tak mampu lagi menembus rindangnya dedaunan. Keadaan jadi lebih gelap. Jalan setapak di depan mata pun tak terlalu jelas terlihat. Namun Bramanta seolah sudah hapal dengan keadaan di tempat tersebut. Tanpa kesulitan berarti ia sudah mencapai tujuan, menandakan lelaki tersebut sudah sering mengunjungi tempat ini. "Hmmm, agaknya dia belum tiba di sini," gumam Bramanta, sembari menghentikan kuda. Dengan tatapan tajam ia mengamat-amati keadaan sekeliling dalam remang-r
"KI Bagaspati, kemarilah! Kau harus melihat ini!" seru salah satu warga segera setelah memberi sikap hormat pada sosok yang baru datang.Lelaki tinggi besar yang dipanggil Ki Bagaspati itu membalas penghormatan warga kampung dengan anggukan. Sementara sepasang matanya tampak liar menatap berkeliling."Sang Hyang Agung!" desis Ki Bagaspati ketika melihat keadaan jasad Sarwa Kusuma. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Siapa yang telah melakukan kekejian ini?"Para warga kampung saling berpandangan satu sama lain. Seolah berunding dengan tatapan mata siapa yang akan menjawab pertanyaan tersebut.Beberapa kejap berikutnya, lelaki yang sedari tadi menjadi juru warta maju dua langkah ke hadapan Ki Bagaspati. Setelah menjura dalam-dalam, lelaki itu angkat bicara."Kami tidak jelas benar apa yang sebenarnya telah terjadi di sini, Ki. Namun dari apa yang saya lihat tadi sewaktu di sawah, menjelang senja ada segerombolan orang berkuda memasuki perkampungan
PADUKUHAN Kartasentana menjadi geger di awal malam itu. Berita mengenai penyerangan maut yang terjadi di kediaman Ki Dukuh Sarwa Kusuma segera menyebar luas.Terlebih ketika kemudian kentongan dipukul bertalu-talu. Suaranya bergema ke segala penjuru kampung. Membuat suasana di pemukiman tepi hutan itu berubah mencekam.Nada kentongan yang khas, yakni dipukul dua kali secara terus-menerus, membuat seluruh warga kampung langsung tahu apa yang telah terjadi. Itu pertanda jika ada kejadian perampokan."Cepat bantu Ki Dukuh! Ada gerombolan penjahat mendatangi rumahnya! Seluruh pengawalnya dibunuh, rumahnya dibakar!" seru salah satu penduduk pada kerumunan warga yang tengah mencari-cari tahu.Ketika itu orang-orang bergerombol di dekat kentongan. Sedangkan yang berkata tadi adalah salah satu warga kampung yang ikut mendekat ke kediaman Sarwa Kusuma ketika gerombolan lelaki berkuda datang. Namun karena jeri, begitu para pengawal Ki Dukuh tumpas ia cepat-cepat la