MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng.
"Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.
Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.
Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.
Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma.
"Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
PADUKUHAN Kartasentana terletak di ujung wanua Sangguran. Berbatasan langsung dengan hutan belantara lebat di lereng timur Gunung Kawi. Sehampar luas sawah nan hijau memisahkan pemukiman terpencil itu dari kampung-kampung lain. Menjelang sore itu, suasana hening dipecah oleh suara ringkik kuda bercampur derap puluhan ladam. Tak kurang dari 13 lelaki berkuda melintas cepat di atas jalan tanah yang membelah hamparan sawah menuju kawasan pemukiman. Debu tebal membumbung tinggi di udara, mengiringi laju kaki-kaki kuda. Beberapa warga padukuhan yang sedang berada di sawah sontak menghentikan pekerjaan. Mereka sama memandang ke jurusan rombongan berkuda dengan penuh rasa penasaran. "Siapa mereka? Mau ke mana?" tanya salah satu pemuda pada teman di sebelahnya. "Aku tidak tahu," sahut temannya cepat, lalu balik bertanya, "Memangnya kenapa?" "Sebaiknya kita ikuti saja mereka. Aku punya firasat tidak enak. Mereka tampaknya bukan orang baik-baik," jawab pemuda pertama. Dengan setengah berla
MENDAPAT serangan begitu rupa, selusin lelaki penyerang yang memang sudah bersiaga langsung mencabut senjata masing-masing. Diiringi bentakan-bentakan keras, mereka ayunkan parang lebar di tangan untuk menangkis sabetan para penjaga kediaman Ki Dukuh Kartasentana. Trang! Trang! Suara berdentrangan keras terdengar, memecah keheningan senja manakala 20 mata senjata saling beradu. Serangan para pengawal Ki Dukuh Kartasentana gagal menemui sasaran. Sambil menggerendeng marah, delapan pengawal tersebut kembali sabetkan golok di tangan ke arah musuh. Kali ini serangan dilakukan dari jarak lebih dekat. Tak mungkin rasanya kalau sampai luput. Sring! Sring! Selusin lelaki penyerang mendengus kasar, lalu dengan serentak pelintangkan parang besar ke depan dada masing-masing. Traaaaaang! Sekali lagi suara berdentrangan terdengar keras membelah udara. Tak mau terus-terusan ditekan, selusin lelaki penyerang coba mengambil alih kendali pertarungan. Usai melakukan tangkisan tadi, parang besarm
"B-BAIK, Kang, aku mengerti," jawab istri Sarwa Kusuma, meski dengan perasaan semakin tidak enak.Andai saja bisa, ingin rasanya perempuan itu mencegah tindakan Sarwa Kusuma. Namun ia paham sekali bagaimana watak suaminya. Sekali berkata akan maju, pantang bagi sang kepala kampung untuk mundur.Sementara Sarwa Kusuma meraih sebilah pedang panjang dalam warangka yang tergantung di dinding ruangan. Itulah senjata andalannya sebagai kepala padukuhan Kartasentana.Sambil menenteng pedang di tangan kanan, lelaki berwajah cakap itu melangkah keluar dengan gagah. Terdengar dengusan kesal dari mulutnya yang lantas menggerutu."Huh, Bramanta keparat itu benar-benar minta dikuliti sampai modar!" desis Sarwa Kusuma dengan geram.Kepala padukuhan itu yakin betul tamunya tersebut membawa niat keji kali ini. Bukan sekadar melakukan pembalasan atas pertikaian yang terjadi di antara mereka beberapa pekan lalu.Lebih dari itu, Sarwa Kusuma sangat paham jika Bramanta masih memendam rasa penasaran denga
SUNGAI yang menjadi tujuan Sugatra sebetulnya tidaklah terlalu jauh. Namun karena benak pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu diselubungi kecemasan, langkah kakinya menjadi kacau balau.Berkali-kali kaki Sugatra tersangkut akar pepohonan yang menjalar di permukaan tanah. Sesekali juga tersandung tonjolan batu sehingga membuatnya nyaris jatuh. Akibatnya, jarak yang sebenarnya dekat jadi lebih lama dicapai.Belum lagi setiap beberapa langkah Sugatra berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ia merasa perlu mengamati rumah besar milik junjungannya yang tengah disatroni segerombolan penyerang entah dari mana."Gusti Sang Hyang Tunggal, mohon lindungi Ki Dukuh dan Nyi Dukuh," desis Sugatra setiap kali melihat ke belakang. Setelah menarik napas berat, barulah ia kembali melanjutkan langkah.Sambil berlari Sugatra sambil menebak-nebak. Siapakah kiranya para penyerang yang tengah menyatroni kediaman Ki Dukuh Kartasentana? Sekelebat dugaan melintas di kepalanya."Jangan-jangan ... " Sugat
APA yang terjadi pada Sarwa Kusuma dan seisi rumah sang kepala kampung? Mengapa kediaman besarnya tahu-tahu saja sudah terbakar hebat sekembali Sugatra mencari Wijaya Kusuma di sungai?Mari kita kembali sejenak ke peristiwa sebelumnya. Tepatnya ketika Sugatra pergi ke sungai untuk mencari Wijaya Kusuma, seperti diperintahkan oleh istri Sarwa Kusuma.Sementara pengawal setianya berlari secepat kilat ke arah sungai di belakang, istri Sarwa Kusuma kembali ke bagian depan rumah. Perempuan itu merasa cemas dengan keadaan suaminya yang memilih mendatangi gerombolan penyerang.Oh, Gusti Sang Hyang Agung, semoga saja Kakang Sarwa tidak kenapa-kenapa, batin istri Sarwa Kusuma dengan penuh harap. Namun entah kenapa perasaanku tidak enak begini. Entah firasat apa ini sebenarnya.Tiba di ruang depan, dari mana ia dapat melihat langsung ke gapura penjagaan tempat terjadinya perkelahian, istri Sarwa Kusuma sontak tertegun. Sepasang matanya membesar, dengan sepasang tangan menutupi mulut yang mengan
TERDENGAR jeritan melengking ketika kedua tangan Sarwa Kusuma dibuat putus oleh sambaran parang besar lawan. Namun bukan sang kepala kampung yang menjerit, melainkan istrinya yang tengah bersimpuh setengah gemetar di ambang pintu rumah.Pada saat bersamaan perempuan itu baru menyadari jika Bramanta dan dua lelaki lain tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika parasnya berubah. Napasnya juga jadi tersengal-sengal, dengan jantung bertalu-talu kencang.Belum sempat perempuan itu berbuat apa-apa, tahu-tahu saja Bramanta sudah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut mengembangkan seringai lebar, sembari berkacak pinggang."B-Bramanta! M-mau apa kau?" desis istri Sarwa Kusuma.Dengan susah payah Nyi Dukuh coba berdiri. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai pintu. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Bramanta.Sedangkan Bramanta melangkah perlahan ke hadapan perempuan tersebut. Seringainya masih terkembang, tetapi kini tipis saja. Sebelah tangannya lantas terangkat, lalu dengan kuran
"HEI, berhenti kalian!"Sugatra tentu saja tak mau menuruti seruan tersebut. Alih-alih, ia menggenjot larinya lebih kencang lagi agar lepas dari tempelan empat lelaki berkuda yang melihat keberadaannya bersama Wijaya Kusuma."Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.Sayang, niat Sugatra tak diimbangi oleh Wijaya Kusuma. Anak kecil itu terus meronta-ronta minta diturunkan karena ingin melihat ayah dan ibunya di dalam rumah. Polah yang membuat Sugatra tak dapat lari sekencang yang ia inginkan.Sementara suara derap kaki-kaki kuda semakin keras terdengar dari arah belakang keduanya. Pertanda empat anggota gerombolan yang mengejar mereka bertambah dekat jaraknya."Turunkan aku, Paman! Aku mau masuk rumah! Aku ingin tahu keadaan Ayah dan Ibu!" jerit Wijaya Kusuma tanpa henti. Bocah itu terus meronta-ronta tak karuan."Jangan, Gusti. Saya mohon ..." Sugatra terdengar panik sendiri. "Kita harus segera pergi jauh dari sini. Keadaannya sangat berbahaya...."Wi
WIRAMA berlaku nekat. Ia memang tidak memiliki bekal kepandaian bela diri yang mumpuni. Namun sebagai petani yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang, pemuda itu sudah terbiasa menggunakan senjata tajam.Maka sabit yang sebetulnya alat bertani itu berubah jadi senjata pengintai maut. Suara kesiurnya terdengar meyakinkan. Terlebih arah yang diancam Wirama adalah batang leher Bramanta.Jelas saja yang diserang jadi mengelam mukanya, sebab orang sudah terang-terangan menginginkan kematiannya."Sial dangkalan!" rutuk Bramanta, seraya menarik tubuh ke belakang satu langkah. Membuat sabit di tangan Wirama hanya mengoyak angin kosong.Dari satu gerakan itu saja Bramanta sudah tahu jika penyerangnya tidak memiliki kemampuan bela diri yang cukup. Sabetan yang tadi mengancamnya juga hanya mengandung tenaga kasar. Tidak ada pengerahan tenaga dalam walau hanya sedikit.Menyadari itu, seringai Bramanta jadi terkembang lebar. Ia tak ingin membuang-buang waktu meladeni lawan. Sejak tadi pikirann
MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
"G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus
ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E
"MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d
"Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam
"SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..
SEMENTARA itu, di bagian lain wanua Sangguran.... Bramanta memacu kuda tunggangannya memasuki satu kawasan hutan di pinggiran wanua. Dalam gelapnya malam, ia hanya dapat mengandalkan cahaya bulan purnama yang semakin tinggi di langit sebagai penerangan. Dengan laju tak seberapa kencang, Bramanta membawa kudanya masuk agak dalam ke hutan. Sambil mengendalikan tali kekang sambil memegangi tubuh Sita yang ia telungkupkan di depannya. Begitu memasuki kerapatan pepohonan, cahaya rembulan tak mampu lagi menembus rindangnya dedaunan. Keadaan jadi lebih gelap. Jalan setapak di depan mata pun tak terlalu jelas terlihat. Namun Bramanta seolah sudah hapal dengan keadaan di tempat tersebut. Tanpa kesulitan berarti ia sudah mencapai tujuan, menandakan lelaki tersebut sudah sering mengunjungi tempat ini. "Hmmm, agaknya dia belum tiba di sini," gumam Bramanta, sembari menghentikan kuda. Dengan tatapan tajam ia mengamat-amati keadaan sekeliling dalam remang-r
"KI Bagaspati, kemarilah! Kau harus melihat ini!" seru salah satu warga segera setelah memberi sikap hormat pada sosok yang baru datang.Lelaki tinggi besar yang dipanggil Ki Bagaspati itu membalas penghormatan warga kampung dengan anggukan. Sementara sepasang matanya tampak liar menatap berkeliling."Sang Hyang Agung!" desis Ki Bagaspati ketika melihat keadaan jasad Sarwa Kusuma. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Siapa yang telah melakukan kekejian ini?"Para warga kampung saling berpandangan satu sama lain. Seolah berunding dengan tatapan mata siapa yang akan menjawab pertanyaan tersebut.Beberapa kejap berikutnya, lelaki yang sedari tadi menjadi juru warta maju dua langkah ke hadapan Ki Bagaspati. Setelah menjura dalam-dalam, lelaki itu angkat bicara."Kami tidak jelas benar apa yang sebenarnya telah terjadi di sini, Ki. Namun dari apa yang saya lihat tadi sewaktu di sawah, menjelang senja ada segerombolan orang berkuda memasuki perkampungan
PADUKUHAN Kartasentana menjadi geger di awal malam itu. Berita mengenai penyerangan maut yang terjadi di kediaman Ki Dukuh Sarwa Kusuma segera menyebar luas.Terlebih ketika kemudian kentongan dipukul bertalu-talu. Suaranya bergema ke segala penjuru kampung. Membuat suasana di pemukiman tepi hutan itu berubah mencekam.Nada kentongan yang khas, yakni dipukul dua kali secara terus-menerus, membuat seluruh warga kampung langsung tahu apa yang telah terjadi. Itu pertanda jika ada kejadian perampokan."Cepat bantu Ki Dukuh! Ada gerombolan penjahat mendatangi rumahnya! Seluruh pengawalnya dibunuh, rumahnya dibakar!" seru salah satu penduduk pada kerumunan warga yang tengah mencari-cari tahu.Ketika itu orang-orang bergerombol di dekat kentongan. Sedangkan yang berkata tadi adalah salah satu warga kampung yang ikut mendekat ke kediaman Sarwa Kusuma ketika gerombolan lelaki berkuda datang. Namun karena jeri, begitu para pengawal Ki Dukuh tumpas ia cepat-cepat la