Home / Pendekar / Pendekar Golok Naga / 004 - Wijaya Kusuma

Share

004 - Wijaya Kusuma

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

SUNGAI yang menjadi tujuan Sugatra sebetulnya tidaklah terlalu jauh. Namun karena benak pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu diselubungi kecemasan, langkah kakinya menjadi kacau balau.

Berkali-kali kaki Sugatra tersangkut akar pepohonan yang menjalar di permukaan tanah. Sesekali juga tersandung tonjolan batu sehingga membuatnya nyaris jatuh. Akibatnya, jarak yang sebenarnya dekat jadi lebih lama dicapai.

Belum lagi setiap beberapa langkah Sugatra berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ia merasa perlu mengamati rumah besar milik junjungannya yang tengah disatroni segerombolan penyerang entah dari mana.

"Gusti Sang Hyang Tunggal, mohon lindungi Ki Dukuh dan Nyi Dukuh," desis Sugatra setiap kali melihat ke belakang. Setelah menarik napas berat, barulah ia kembali melanjutkan langkah.

Sambil berlari Sugatra sambil menebak-nebak. Siapakah kiranya para penyerang yang tengah menyatroni kediaman Ki Dukuh Kartasentana? Sekelebat dugaan melintas di kepalanya.

"Jangan-jangan ... " Sugatra teringat kejadian beberapa pekan lalu. Sebuah kejadian berdarah yang membuat Sarwa Kusuma sangat murka.

"Apakah mereka datang bersama kaki tangan Gusti Raka i Waharu bernama Bramanta itu? Kuat dugaanku memang dia, sebab orang itu pasti memendam dendam kesumat atas apa yang telah dilakukan Ki Dukuh padanya ketika itu," imbuh Sugatra lagi.

Sugatra menjadi saksi mata kejadian berdarah tersebut. Di mana Bramanta datang membawa empat orang bersenjata. Entah bagaimana asal mulanya, terjadi keributan di antara Sarwa Kusuma dan para tamunya.

Pecah perkelahian. Sarwa Kusuma menghajar Bramanta. Sedangkan Sugatra bersama beberapa pengawal lain menghadapi empat orang yang dibawa Bramanta.

Lima tamu itu akhirnya pergi setelah dibuat babak belur oleh tuan rumah. Sebelum meninggalkan kediaman sang kepala kampung, Bramanta sempat meneriakkan ancaman terhadap Sarwa Kusuma.

"Ya, aku yakin sekali Bramanta yang punya ulah. Dia pasti hendak membalas perbuatan Ki Dukuh waktu itu," gumam Sugatra lagi, dengan wajah berubah tegang. "Ini gawat! Benar-benar gawat!"

Dugaan itu membuat Sugatra mempercepat langkah. Suara gemericik aliran air sungai sudah terdengar oleh pendengarannya. Lamat-lamat ada pula suara anak kecil bercakap-cakap diselingi tawa riang.

Setibanya di sungai, Sugatra lega menyaksikan sepasang bocah lelaki-perempuan tengah asyik bermain. Bukan mencari capung seperti yang dijadikan alasan padanya tadi, tetapi mereka tengah berbasah-basahan di tepi sungai.

Kedua bocah itu, masing-masing berusia 9 dan 8 tahun, tampak tertawa cekikikan sambil menciprat-cipratkan air sungai pada yang lain. Sekujur tubuh mereka, termasuk pakaian yang melekat di badan, sudah basah sekuyup-kuyupnya.

"Gusti!" seru Sugatra begitu kakinya menginjak undak-undakan tanah di tubir sungai. Tubuh lelaki itu seolah melayang ke arah kedua bocah tadi.

Dua bocah di tepi sungai sontak hentikan gerakan masing-masing. Keduanya lantas menoleh ke arah Sugatra yang sudah berdiri di dekat mereka.

"Gusti ..." Sugatra berusaha keras menata napasnya yang terengah-engah. "Gusti harus pulang sekarang juga!"

Yang dipanggil Gusti adalah si bocah lelaki berusia 9 tahun. Dialah Wijaya Kusuma, putera tunggal Sarwa Kusuma sang kepala kampung Kartasentana. Anak itu seketika pasang wajah cemberut begitu mendengar ucapan Sugatra tadi.

"Tapi aku dan Dewi belum mencari capung, Paman," sahut Wijaya Kusuma kemudian, terang-terangan menolak ajakan pulang Sugatara.

"Iya, Paman Sugatra, kami baru bermain-main air sebentar di sini," imbuh Indudewi, bocah perempuan berusia 8 tahun teman sepermainan Wijaya Kusuma.

Sugatra jadi garuk-garuk kepala mendengar tanggapan kedua bocah tersebut. Ia mengempaskan napas yang seolah mengganjal dada, sembari berpikir alasan apa yang harus ia sampaikan pada kedua bocah ini agar mau segera pulang.

Tidak mungkin Sugatra dengan jujur mengatakan apa yang sedang terjadi di rumah junjungannya. Ia tak mau membuat Wijaya Kusuma mencemaskan kedua orang tuanya atau bahkan malah jadi ketakutan.

"Gusti, sebentar lagi malam tiba. Apakah Gusti, juga kau Dewi, tidak melihat sang baskara sudah bersiap-siap tenggelam di kaki langit sana?" ujar Sugatra, seraya menunjuk ke arah barat.

Wijaya Kusuma dan Indudewi serempak menengadahkan kepala. Keduanya menatap kaki langit sebelah barat yang memang telah dipenuhi semburat-semburat jingga, pertanda matahari sebentar lagi terbenam.

"Ayo, sebaiknya kita pulang sekarang," ujar Sugatra lagi, sambil mengulurkan tangan pada kedua bocah di hadapannya.

Wijaya Kusuma seketika memasang tampang cemberut. "Tapi, Paman...."

"Gusti, ini perintah ayah dan ibumu," tukas Sugatra. Kali ini ia tidak berbohong, meski tidak pula menyampaikan apa yang sebenarnya. "Ki Dukuh dan Nyi Dukuh ingin Gusti berada di rumah sebelum gelap. Ayo, kita harus pulang sekarang!"

Kali ini Indudewi ikut memasang muka cemberut. Meski demikian bersama-sama Wijaya Kusuma gadis kecil itu tetap diam pada tempatnya.

Tahulah Sugatra sepasang bocah ini sama sekali tidak ada niat untuk beranjak dan menuruti ajakannya tadi. Ajakan yang sebetulnya adalah sebuah perintah dalam keadaan gawat darurat.

"Gusti ..." Sugatra kembali mengingatkan dengan halus.

"Huh!" Wijaya Kusuma mendengus tak senang, sembari menatap Sugatra dengan sorot mata sengit. Setelah mengentakkan sebelah kakinya ke batu sungai, bocah lelaki itu melangkah malas-malasan mendekati Sugatra.

"Paman Sugatra tidak asyik!" timpal Indudewi, meski kemudian mengikuti langkah Wijaya Kusuma. Wajahnya masih cemberut.

Sugatra tak mau ambil peduli dengan kekesalan dua bocah tersebut. Cepat ia gandeng tangan-tangan mungil mereka, lalu mengajak naik ke undak-undakan tanah menuju jalan setapak di bagian atas tubir sungai.

Sambil mengikuti langkah buru-buru Sugatra menuju rumah, baik Wijaya Kusuma maupun Indudewi sama-sama diam. Keduanya terus memasang wajah cemberut, sembari sesekali melirik kesal pada Sugatra.

Yang jadi pusat kekesalan kedua bocah juga hanya diam. Namun wajahnya tegang, pertanda tengah terjadi kecamuk di dalam benaknya. Sugatra memang diam-diam sedang mengkhawatirkan keadaan junjungannya.

Jika memang yang datang mengacau kali ini adalah Bramanta, semoga saja Ki Dukuh bisa mengatasi mereka seperti beberapa waktu lalu, batin Sugatra dalam kecemasan. Akan tetapi jumlah mereka sepertinya jauh lebih banyak dibandingkan waktu itu. Aku jadi khawatir....

Tadi, memandang sekilas saja Sugatra langsung tahu jika gerombolan penyerang berjumlah lebih banyak. Sebagai salah satu pengawal kawakan, ia juga tahu persis seberapa besar kekuatan pengawalan di rumah Ki Dukuh Kartasentana.

Karena itu, Sugatra dapat mengukur setinggi apa kemampuan rekan-rekannya sesama pengawal. Jika dihadapkan dengan penyerang yang berjumlah banyak, ditambah lagi jika kemampuan para penyerang sedikit lebih tinggi, bisa habislah mereka semua.

Inilah yang menjadi pangkal kekhawatiran Sugatra. Membuatnya terus mengunci mulut sepanjang perjalanan, sedangkan parasnya terlihat benar-benar tegang.

"Paman, asap apa itu? Sepertinya ada kebakaran di sana," ujar Wijaya Kusuma tiba-tiba.

Sugatra yang pikirannya tengah menerawang ke mana-mana mencemaskan segala sesuatu, sontak tergeragap. Perhatiannya seketika teralih ke depan.

Benar kata Wijaya Kusuma, di depan sana terlihat segulung asap tebal nan hitam yang membumbung tinggi ke angkasa. Ketika kemudian pandangannya menelusuri arah asal munculnya asap tersebut, napas Sugatra seolah putus.

"Jagat dewa bhatara!" desis Sugatra dengan wajah berubah pias. Langkahnya langsung terhenti seketika. Pikirannya bertambah tidak enak saja.

Wijaya Kusuma dan Indudewi ikut berhenti pula. Dua bocah itu saling pandang dengan raut muka keheranan, tetapi juga tampak sekali merasa penasaran.

"Wijaya, sepertinya rumahmu yang kebakaran," timpal Indudewi, seraya menunjuk ke arah asal kepulan asap. "Lihatlah, Wijaya, itu memang rumahmu!"

Tubuh Sugatra bergetar mendengar ocehan bocah perempuan itu. Sepasang matanya nanar menyaksikan sebuah rumah besar yang dari tempatnya berdiri tampak tengah diselubungi api berkobar-kobar.

Itu rumah yang sangat Sugatra kenali. Rumah kediaman Ki Dukuh Kartasentana!

"Wijaya, kau mau kemana?"

Teriakan nyaring Indudewi menyentak lamunan Sugatra. Lebih-lebih ketika ia merasakan tangan Wijaya Kusuma lepas dari genggamannya. Bocah lelaki itu langsung berlari kencang menuju rumah yang terbakar.

"Gusti, berhenti! Jangan ke sana!"

_)|(_

Related chapters

  • Pendekar Golok Naga   005 - Ki Dukuh Dikeroyok

    APA yang terjadi pada Sarwa Kusuma dan seisi rumah sang kepala kampung? Mengapa kediaman besarnya tahu-tahu saja sudah terbakar hebat sekembali Sugatra mencari Wijaya Kusuma di sungai?Mari kita kembali sejenak ke peristiwa sebelumnya. Tepatnya ketika Sugatra pergi ke sungai untuk mencari Wijaya Kusuma, seperti diperintahkan oleh istri Sarwa Kusuma.Sementara pengawal setianya berlari secepat kilat ke arah sungai di belakang, istri Sarwa Kusuma kembali ke bagian depan rumah. Perempuan itu merasa cemas dengan keadaan suaminya yang memilih mendatangi gerombolan penyerang.Oh, Gusti Sang Hyang Agung, semoga saja Kakang Sarwa tidak kenapa-kenapa, batin istri Sarwa Kusuma dengan penuh harap. Namun entah kenapa perasaanku tidak enak begini. Entah firasat apa ini sebenarnya.Tiba di ruang depan, dari mana ia dapat melihat langsung ke gapura penjagaan tempat terjadinya perkelahian, istri Sarwa Kusuma sontak tertegun. Sepasang matanya membesar, dengan sepasang tangan menutupi mulut yang mengan

  • Pendekar Golok Naga   006 - Dendam Asmara

    TERDENGAR jeritan melengking ketika kedua tangan Sarwa Kusuma dibuat putus oleh sambaran parang besar lawan. Namun bukan sang kepala kampung yang menjerit, melainkan istrinya yang tengah bersimpuh setengah gemetar di ambang pintu rumah.Pada saat bersamaan perempuan itu baru menyadari jika Bramanta dan dua lelaki lain tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika parasnya berubah. Napasnya juga jadi tersengal-sengal, dengan jantung bertalu-talu kencang.Belum sempat perempuan itu berbuat apa-apa, tahu-tahu saja Bramanta sudah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut mengembangkan seringai lebar, sembari berkacak pinggang."B-Bramanta! M-mau apa kau?" desis istri Sarwa Kusuma.Dengan susah payah Nyi Dukuh coba berdiri. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai pintu. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Bramanta.Sedangkan Bramanta melangkah perlahan ke hadapan perempuan tersebut. Seringainya masih terkembang, tetapi kini tipis saja. Sebelah tangannya lantas terangkat, lalu dengan kuran

  • Pendekar Golok Naga   Bab 007

    "HEI, berhenti kalian!"Sugatra tentu saja tak mau menuruti seruan tersebut. Alih-alih, ia menggenjot larinya lebih kencang lagi agar lepas dari tempelan empat lelaki berkuda yang melihat keberadaannya bersama Wijaya Kusuma."Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.Sayang, niat Sugatra tak diimbangi oleh Wijaya Kusuma. Anak kecil itu terus meronta-ronta minta diturunkan karena ingin melihat ayah dan ibunya di dalam rumah. Polah yang membuat Sugatra tak dapat lari sekencang yang ia inginkan.Sementara suara derap kaki-kaki kuda semakin keras terdengar dari arah belakang keduanya. Pertanda empat anggota gerombolan yang mengejar mereka bertambah dekat jaraknya."Turunkan aku, Paman! Aku mau masuk rumah! Aku ingin tahu keadaan Ayah dan Ibu!" jerit Wijaya Kusuma tanpa henti. Bocah itu terus meronta-ronta tak karuan."Jangan, Gusti. Saya mohon ..." Sugatra terdengar panik sendiri. "Kita harus segera pergi jauh dari sini. Keadaannya sangat berbahaya...."Wi

  • Pendekar Golok Naga   Bab 008

    WIRAMA berlaku nekat. Ia memang tidak memiliki bekal kepandaian bela diri yang mumpuni. Namun sebagai petani yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang, pemuda itu sudah terbiasa menggunakan senjata tajam.Maka sabit yang sebetulnya alat bertani itu berubah jadi senjata pengintai maut. Suara kesiurnya terdengar meyakinkan. Terlebih arah yang diancam Wirama adalah batang leher Bramanta.Jelas saja yang diserang jadi mengelam mukanya, sebab orang sudah terang-terangan menginginkan kematiannya."Sial dangkalan!" rutuk Bramanta, seraya menarik tubuh ke belakang satu langkah. Membuat sabit di tangan Wirama hanya mengoyak angin kosong.Dari satu gerakan itu saja Bramanta sudah tahu jika penyerangnya tidak memiliki kemampuan bela diri yang cukup. Sabetan yang tadi mengancamnya juga hanya mengandung tenaga kasar. Tidak ada pengerahan tenaga dalam walau hanya sedikit.Menyadari itu, seringai Bramanta jadi terkembang lebar. Ia tak ingin membuang-buang waktu meladeni lawan. Sejak tadi pikirann

  • Pendekar Golok Naga   Bab 009

    "GUSTI, harap ampuni saya!" seru Sugatra begitu tubuhnya membentur tanah keras. Ia segera menyadari jika kelalaiannya dapat mencelakakan Wijaya Kusuma.Sementara Wijaya Kusuma yang terlempar dari panggulan Sugatra menjerit kaget dan mengaduh. Untung saja tubuh bocah itu jatuh di atas rerumputan nan empuk.Mengabaikan rasa sakitnya sendiri, Sugatra buru-buru bangkit dan menghampiri Wijaya Kusuma. Namun belum sempat ia menanyakan keadaan putera junjungannya itu, di sekeliling mereka telah berdiri empat lelaki."Ah, akhirnya dapat juga kami mengejar kalian," ujar salah satu lelaki, lalu tertawa mengekeh."Jangan harap kalian bisa lari lagi dari kamu," timpal lelaki yang berkumis lebat pula.Berubah paras Sugatra mengetahui keadaan. Secara naluriah ia segera memeluk Wijaya Kusuma, bermaksud melindungi bocah tersebut dari ancaman.Tanpa Sugatra sadari, sikapnya itu justru memancing ketertarikan keempat lelaki pengejar. Kecurigaan mereka bertambah besar terhadap siapa yang tengah dilindungi

  • Pendekar Golok Naga   Bab 010

    "PAMAN Sugatra, awas serangan! Cepat menghindar!" seru Wijaya Kusuma melihat pengawalnya terdesak hebat.Namun Sugatra tak dapat lagi menghindar. Tendangan lawan mendarat telak di pangkal lehernya, membuat pengawal setia Ki Dukuh Kartasentan itu mengeluh tinggi.Tubuh Sugatra mencelat beberapa langkah ke belakang, menandakan jika tendangan lawan tadi dikerahkan dengan banyak tenaga. Susah payah ia menyeimbangkan diri agak tidak terjatuh duduk saat mendarat.Namun belum sempat Sugatra mengambil napas, satu serangan lagi sudah menghantamnya. Kali ini lawan kedua menggedor dadanya dengan satu sikutan keras.Kembali terdengar keluhan tertahan dari mulut Sugatra. Sekarang ia sudah tak dapat lagi menahan keseimbangan. Setelah terjajar dan terhuyung-huyung beberapa saat, tubuhnya rebah ke tanah."K-keparat!" geram Sugatra dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya sesak bukan main. Seakan-akan tengah ditindih sebongkah batu sebesar gajah.Ketika ia hendak menarik napas panjang untuk melong

  • Pendekar Golok Naga   Bab 011

    "SIAL dangkalan! Ke mana perginya bocah itu?"Palguna menggeram kesal, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan mata membelalak lebar. Tiga temannya yang tak kalah kaget juga melakukan hal sama.Sorot maya empat lelaki tersebut sama tajam mencorong, berusaha menyibak kegelapan yang mulai pekat. Namun ada pula bias kebingungan bercampur sedikit ketakutan yang coba mereka sembunyikan kuat-kuat.Wajar saja mereka berempat merasa takut. Pasalnya, siapapun yang bergerak menyambar Palguna tadi pastilah seorang berkemampuan sangat tinggi.Buktinya, dalam satu kelebatan yang rasa-rasanya hanya sekedipan mata, orang itu bisa merebut Wijaya Kusuma dari panggulan Palguna. Bahkan tanpa lelaki tersebut merasakan apa-apa saat terjadi!"A-apa kalian melihat orang itu?" tanya Palguna kemudian, setelah memandang berkeliling tetapi tak menemukan manusia lain kecuali mereka berempat."Orang atau sebangsa dedemit hutan?" Salah satu teman Palguna malah balik bertanya. Wajahnya terlihat tegang den

  • Pendekar Golok Naga   Bab 012

    "JEBOL dadamu!" geram Palguna dengan sangat percaya diri. Namun lelaki berkumis lebat itu kecele. Tusukan parangnya hanya mengenai angin hampa. Dalam satu gerakan yang nyaris tak terlihat mata, si lelaki tua kerempeng ternyata sudah terlebih dulu bergeser satu jengkal ke samping. Cukup satu jengkal saja dan serangan Palguna gagal dibuatnya. Belum habis kekagetan Palguna, lelaki tua kerempeng melakukan gerakan susulan. Tangan kirinya yang menekuk diangkat, lalu dipakai untuk mengempit parang besar yang masih mengacung di udara. Kelihatannya hanya sebuah kempitan biasa saja. Akan tetapi dari ketiak itu kemudian terdengar suara besi patah nan nyaring. Triiiiing! Ketika si lelaki tua kerempeng membuka kempitan, sebentuk potongan besi meluncur jatuh ke bawah. Benda itu baru berhenti ketika menancap di tanah dalam keadaan berdiri. Tiga teman Palguna mengikuti arah jatuhnya potongan besi. Mereka terkesiap saat mengetahui benda tersebut tak lain adalah separuh bagian parang besar milik

Latest chapter

  • Pendekar Golok Naga   Bab 021

    MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.

  • Pendekar Golok Naga   Bab 020

    "G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus

  • Pendekar Golok Naga   Bab 019

    ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E

  • Pendekar Golok Naga   Bab 018

    "MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d

  • Pendekar Golok Naga   Bab 017

    "Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam

  • Pendekar Golok Naga   Bab 016

    "SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..

  • Pendekar Golok Naga   Bab 015

    SEMENTARA itu, di bagian lain wanua Sangguran.... Bramanta memacu kuda tunggangannya memasuki satu kawasan hutan di pinggiran wanua. Dalam gelapnya malam, ia hanya dapat mengandalkan cahaya bulan purnama yang semakin tinggi di langit sebagai penerangan. Dengan laju tak seberapa kencang, Bramanta membawa kudanya masuk agak dalam ke hutan. Sambil mengendalikan tali kekang sambil memegangi tubuh Sita yang ia telungkupkan di depannya. Begitu memasuki kerapatan pepohonan, cahaya rembulan tak mampu lagi menembus rindangnya dedaunan. Keadaan jadi lebih gelap. Jalan setapak di depan mata pun tak terlalu jelas terlihat. Namun Bramanta seolah sudah hapal dengan keadaan di tempat tersebut. Tanpa kesulitan berarti ia sudah mencapai tujuan, menandakan lelaki tersebut sudah sering mengunjungi tempat ini. "Hmmm, agaknya dia belum tiba di sini," gumam Bramanta, sembari menghentikan kuda. Dengan tatapan tajam ia mengamat-amati keadaan sekeliling dalam remang-r

  • Pendekar Golok Naga   Bab 014

    "KI Bagaspati, kemarilah! Kau harus melihat ini!" seru salah satu warga segera setelah memberi sikap hormat pada sosok yang baru datang.Lelaki tinggi besar yang dipanggil Ki Bagaspati itu membalas penghormatan warga kampung dengan anggukan. Sementara sepasang matanya tampak liar menatap berkeliling."Sang Hyang Agung!" desis Ki Bagaspati ketika melihat keadaan jasad Sarwa Kusuma. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Siapa yang telah melakukan kekejian ini?"Para warga kampung saling berpandangan satu sama lain. Seolah berunding dengan tatapan mata siapa yang akan menjawab pertanyaan tersebut.Beberapa kejap berikutnya, lelaki yang sedari tadi menjadi juru warta maju dua langkah ke hadapan Ki Bagaspati. Setelah menjura dalam-dalam, lelaki itu angkat bicara."Kami tidak jelas benar apa yang sebenarnya telah terjadi di sini, Ki. Namun dari apa yang saya lihat tadi sewaktu di sawah, menjelang senja ada segerombolan orang berkuda memasuki perkampungan

  • Pendekar Golok Naga   Bab 013

    PADUKUHAN Kartasentana menjadi geger di awal malam itu. Berita mengenai penyerangan maut yang terjadi di kediaman Ki Dukuh Sarwa Kusuma segera menyebar luas.Terlebih ketika kemudian kentongan dipukul bertalu-talu. Suaranya bergema ke segala penjuru kampung. Membuat suasana di pemukiman tepi hutan itu berubah mencekam.Nada kentongan yang khas, yakni dipukul dua kali secara terus-menerus, membuat seluruh warga kampung langsung tahu apa yang telah terjadi. Itu pertanda jika ada kejadian perampokan."Cepat bantu Ki Dukuh! Ada gerombolan penjahat mendatangi rumahnya! Seluruh pengawalnya dibunuh, rumahnya dibakar!" seru salah satu penduduk pada kerumunan warga yang tengah mencari-cari tahu.Ketika itu orang-orang bergerombol di dekat kentongan. Sedangkan yang berkata tadi adalah salah satu warga kampung yang ikut mendekat ke kediaman Sarwa Kusuma ketika gerombolan lelaki berkuda datang. Namun karena jeri, begitu para pengawal Ki Dukuh tumpas ia cepat-cepat la

DMCA.com Protection Status