Share

Bab 007

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"HEI, berhenti kalian!"

Sugatra tentu saja tak mau menuruti seruan tersebut. Alih-alih, ia menggenjot larinya lebih kencang lagi agar lepas dari tempelan empat lelaki berkuda yang melihat keberadaannya bersama Wijaya Kusuma.

"Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.

Sayang, niat Sugatra tak diimbangi oleh Wijaya Kusuma. Anak kecil itu terus meronta-ronta minta diturunkan karena ingin melihat ayah dan ibunya di dalam rumah. Polah yang membuat Sugatra tak dapat lari sekencang yang ia inginkan.

Sementara suara derap kaki-kaki kuda semakin keras terdengar dari arah belakang keduanya. Pertanda empat anggota gerombolan yang mengejar mereka bertambah dekat jaraknya.

"Turunkan aku, Paman! Aku mau masuk rumah! Aku ingin tahu keadaan Ayah dan Ibu!" jerit Wijaya Kusuma tanpa henti. Bocah itu terus meronta-ronta tak karuan.

"Jangan, Gusti. Saya mohon ..." Sugatra terdengar panik sendiri. "Kita harus segera pergi jauh dari sini. Keadaannya sangat berbahaya...."

Wijaya Kusuma tidak mau terima apapun alasan Sugatra. Anak berusia 9 tahun itu terus saja bergerak-gerak, berusaha memberontak agar dapat lepas dari panggulan pengawalnya.

Susah payah Sugatra memegangi Wijaya Kusuma agar tidak terlepas. Perhatian yang terpecah inilah yang membuat larinya tidak bisa sekencang yang dimau. Dengan raut muka cemas, berkali-kali ia menoleh ke belakang untuk melihat keberadaan para pengejar.

Sementara sang surya kian surut di kaki langit sebelah barat. Hari sudah mulai temaram menjelang malam. Namun api besar yang tengah melamun kediaman Ki Dukuh Kartasentana masih menyala-nyala terang.

Gusti Sang Hyang Agung, apa yang sebenarnya telah terjadi pada Ki Dukuh dan Nyi Dukuh?

Sugatra membatin risau, lalu menggeleng-gelengkan kepala keras-keras demi mengusir bayangan-bayangan buruk yang berkelebat.

Dalam impitan rasa panik, untungnya otak Sugatra masih bekerja dengan baik. Para pengejar yang menunggangi kuda itu tak akan bisa terus mengejar dengan leluasa jika ia masuk ke jalan setapak di dalam hutan kecil di dalam sana.

Rapatnya pepohonan di dalam hutan kecil itu, juga serutnya semak belukar di bagian bawah, bakal menyulitikan pergerakan kuda-kuda yang ditunggangi para pengejar. Sugatra yakin para pengejarnya bakal terhambat, sehingga ia bisa meloloskan diri.

Berpikir ke sana, Sugatra langsung menggenjot larinya. Ia pegangi tubuh Wijaya Kusuma lebih erat agar bocah itu tak bertingkah yang dapat mengganggu laju pergerakannya.

"Maafkan saya, Gusti, kita harus pergi sejauh mungkin dari sini. Jangan sampai kita tertangkap oleh orang-orang yang sedang mengejar itu atau kita berdua bakal modar di tangan mereka," bisik Sugatra, sembari berharap kini Wijaya Kusuma mau mendengarkan ucapannya.

Harapan Sugatra terkabul. Wijaya Kusuma yang sebenarnya hendak menjerit-jerit dan memberontak lagi, jadi tercenung mendengar ucapan tersebut. Otak bocak itu segera bekerja mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi.

 "A-apa maksud Paman?" tanya Wijaya Kusuma kemudian. "Apa yang terjadi di rumah? Kenapa rumahku terbakar? Bagaimana dengan ayah dan ibuku?"

Sugatra tak menjawab rentetan pertanyaan itu. Ia hanya menggeretakkan geraham, seraya mempercepat laju lari. Tak lama kemudian ia sudah menapaki jalan setapak kecil yang di kanan-kirinya terdapat jejeran pepohonan nan rapat.

"Keparat! Mereka masuk ke dalam sana!"

Seruan kesal terdengar dari arah belakang. Disusul seruan-seruan lain setelahnya. Keempat lelaki berkuda yang tengah mengejar Sugatra agaknya geram dengan siasat pengawal Ki Dukuh Kartasentana itu.

Mereka hanya bisa mengejar hingga sejarak beberapa depa memasuki jalan setapak tersebut. Setelahnya, pergerakan kuda-kuda tunggangan mereka terhambat oleh rapatnya pepohonan dan juga serutnya semak belukar.

Satu-satunya pilihan bagi mereka berempat hanyalah turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari. Setelah saling pandang sesaat, mereka akhirnya mengambil pilihan tersebut.

"Cepat, cepat! Mereka sudah tidak terlihat lagi!" seru lelaki yang berkumis lebat pada tiga temannya.

"Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.

Kejar-mengejar kembali terjadi. Sugatra yang sempat berhenti sejenak, bersandar di sebatang pohon untuk mengambil napas, segera berlari lagi begitu mendengar suara-suara teriakan dari arah belakang.

"Paman, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Wijaya Kusuma dari balik punggung Sugatra.

Bocah itu agaknya sudah mengerti keadaan. Ia tak lagi menjerit-jerit dan memberontak seperti tadi.

Sugatra menggeretakkan gerahamnya terlebih dahulu, baru kemudian menjawab, "Maaf, Gusti, nanti akan saya jelaskan. Tapi tidak sekarang, sebab kita harus bisa lepas dari orang-orang itu terlebih dulu."

"Kenapa Paman tidak berhenti saja dan melawan mereka?" tanya Wijaya Kusuma lagi.

Dalam pandangan bocah itu, Sugatra memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Masakan tidak berani berkelahi melawan keempat pengejar?

Sugatra sendiri tersenyum kecut mendengar pertanyaan tersebut. Memang sempat tebersit keinginannya untuk menghadapi saja keempat pengejar di belakang sana.

Namun Sugatra merasa tidak yakin dengan kemampuannya sendiri. Sedangkan ia belum tahu siapa empat lelaki tadi dan setinggi apa kemampuan mereka. Tambahan lagi, ia harus memastikan keselamatan Wijaya Kusuma.

Di belakang, empat lelaki pengejar sudah sama-sama menghunus senjata. Parang besar di tangan mereka digunakan untuk menebas semak belukar dan juga ranting yang menghalangi jalan.

"Itu mereka! Ayo, lebih cepat lagi!"

Setelah berkejaran selama sekitar sepeminuman teh, Sugatra mencapai bagian hutan yang terang tanpa pepohonan besar sebatang pun. Yang ada hanyalah padang luas dengan rerumputan menghijau lagi rendah ke mama-mana mata memandang.

Di kejauhan, suara gemuruh air terdengar. Sugatra langsung mengenali suara tersebut sebagai air terjun. Ke sanalah ia menuju, berharap menemukan gua tersembunyi untuk melenyapkan diri dari pandangan para pengejar.

Sayang, akibat kelelahan karena harus berlari sembari memanggul Wijaya Kusuma, langkah kaki Sugatra lama-lama goyah. Kakinya tersangkut sebentuk akar pohon yang menonjol, sehingga membuatnya jatuh terjerembap.

"Jagad dewa bhatara!"

***

"CELAKA! Rumah Ki Dukuh mereka bakar!"

Dua pemuda yang bersembunyi di balik semak belukar dekat gerbang paduraksa sama melotot dengan paras tegang. Mereka menyaksikan api yang berkobar-kobar menghanguskan kediaman Ki Dukuh Kartasentana dengan perasaan campur aduk.

Keduanya adalah pemuda-pemuda yang tadi berada di sawah dan membuntuti gerombolan berkuda. Tiba di dekat kediaman kepala kampung, bersama-sama beberapa warga kampung lain mereka bersembunyi di balik semak belukar maupun di belakang batang pohon.

Mulanya warga berniat membantu Ki Dukuh. Namun begitu melihat para pengawal keteteran dan tumbang satu demi satu, kebanyakan dari mereka merasa jeri sehingga memutuskan pergi. Tinggallah kedua pemuda tadi di sana.

"Lihat, Sanatha, orang itu membawa pergi Nyi Dukuh!" ujar pemuda pertama lagi, setengah berbisik di telinga temannya ketika melihat Bramanta memanggul Sita.

"Siapa dia, Wirama? Mau dibawa ke mana Nyi Dukuh?" Pemuda yang dipanggil Sanatha bertanya-tanya penasaran.

"Sepertinya lelaki itu kaki tangan Gusti Raka i Waharu," jawab Wirama dengan paras tegang. Perasaan marah dan kesal, tetapi juga ada rasa takut, bercampur aduk menjadi satu di dalam dirinya.

Bramanta yang tak tahu keberadaan dua pemuda itu melintas begitu saja. Ia bergegas menuju tepi jalan di depan gapura, tempat di mana kudanya tadi ditinggalkan. Tubuh Sita langsung ia naikkan ke atas punggung hewan tunggangannya.

"Kita harus melakukan sesuatu, Sanatha," ujar Wirama lagi, sembari mengeratkan genggaman pada gagang sabit yang sedari tadi ia pegang.

"Jangan gila! Apa yang hendak kau lakukan?" sergah Sanatha tak setuju.

"Kau tidak lihat, kaki tangan Gusti Raka i Waharu itu hendak membawa lari Nyi Dukuh. Kita harus menolong Nyi Dukuh," sahut Wirama tegas.

Mendengar itu, paras Sanatha berubah pias. "K-kau ... kau yakin mau membantu Nyi Dukuh?"

"Apa maksudmu?" Wirama balik bertanya dengan tatapan penuh selidik. "Tadi kau sendiri yang mengajakku ke sini untuk melihat keadaan dan membantu Ki Dukuh. Kenapa sekarang malah seperti ketakutan begini?"

Sanatha tak menjawab. Hanya bisa mengembuskan napas gusar. Lelaki muda berbadan gempal itu merasa seperti ditampar karena antara ucapannya tadi dan sikapnya kini tidak sejalan.

"K-kau ... kau sudah lihat sendiri bukan, Ki Dukuh saja mereka kalahkan. Kita yang tidak punya kemampuan setinggi Ki Dukuh ini bisa apa?" ujar Sanatha akhirnya, berusaha membela diri.

Wirama tampak kesal mendengar ucapan temannya itu. Ia mengempaskan napas panjang dengan kasar.

"Jadi, kau tidak mau menolong Nyi Dukuh?" tanya Wirama kemudian. Pertanyaan yang lagi-lagi membuat Sanatha terdiam.

Tanpa menghiraukan temannya, Wirama lantas berdiri dan keluar dari persembunyian. Dengan langkah lebar-lebar dan paras memerah ia mendatangi Bramanta yang tengah bersiap-siap naik kuda.

"Berhenti!" seru Wirama menggelegar.

Pemuda itu mencoba bersikap garang, meski suaranya bergetar. Diam-diam Sanatha sudah berada di belakangnya.

Bramanta yang hendak menaikkan satu kaki pada sanggurdi menghentikan gerakannya. Dengan dahi mengernyit lelaki muda itu berbalik ke belakang.

"Ah, ternyata ada kejutan," ujar Bramanta, sembari menyeringai lebar. "Apakah kalian berdua juga anjing-anjing penjaga Sarwa Kusuma?"

Wirama tak menjawab. Hanya gerahamnya yang terdengar bergemeletak keras. Setelah melempar tatapan sinis pada Bramanta, tanpa berkata apa-apa ia langsung melesat ke depan. Sabit di tangannya berkelebat deras.

"Hiaaaat!"

Wuuuuuttt!

_)|(_

Related chapters

  • Pendekar Golok Naga   Bab 008

    WIRAMA berlaku nekat. Ia memang tidak memiliki bekal kepandaian bela diri yang mumpuni. Namun sebagai petani yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang, pemuda itu sudah terbiasa menggunakan senjata tajam.Maka sabit yang sebetulnya alat bertani itu berubah jadi senjata pengintai maut. Suara kesiurnya terdengar meyakinkan. Terlebih arah yang diancam Wirama adalah batang leher Bramanta.Jelas saja yang diserang jadi mengelam mukanya, sebab orang sudah terang-terangan menginginkan kematiannya."Sial dangkalan!" rutuk Bramanta, seraya menarik tubuh ke belakang satu langkah. Membuat sabit di tangan Wirama hanya mengoyak angin kosong.Dari satu gerakan itu saja Bramanta sudah tahu jika penyerangnya tidak memiliki kemampuan bela diri yang cukup. Sabetan yang tadi mengancamnya juga hanya mengandung tenaga kasar. Tidak ada pengerahan tenaga dalam walau hanya sedikit.Menyadari itu, seringai Bramanta jadi terkembang lebar. Ia tak ingin membuang-buang waktu meladeni lawan. Sejak tadi pikirann

  • Pendekar Golok Naga   Bab 009

    "GUSTI, harap ampuni saya!" seru Sugatra begitu tubuhnya membentur tanah keras. Ia segera menyadari jika kelalaiannya dapat mencelakakan Wijaya Kusuma.Sementara Wijaya Kusuma yang terlempar dari panggulan Sugatra menjerit kaget dan mengaduh. Untung saja tubuh bocah itu jatuh di atas rerumputan nan empuk.Mengabaikan rasa sakitnya sendiri, Sugatra buru-buru bangkit dan menghampiri Wijaya Kusuma. Namun belum sempat ia menanyakan keadaan putera junjungannya itu, di sekeliling mereka telah berdiri empat lelaki."Ah, akhirnya dapat juga kami mengejar kalian," ujar salah satu lelaki, lalu tertawa mengekeh."Jangan harap kalian bisa lari lagi dari kamu," timpal lelaki yang berkumis lebat pula.Berubah paras Sugatra mengetahui keadaan. Secara naluriah ia segera memeluk Wijaya Kusuma, bermaksud melindungi bocah tersebut dari ancaman.Tanpa Sugatra sadari, sikapnya itu justru memancing ketertarikan keempat lelaki pengejar. Kecurigaan mereka bertambah besar terhadap siapa yang tengah dilindungi

  • Pendekar Golok Naga   Bab 010

    "PAMAN Sugatra, awas serangan! Cepat menghindar!" seru Wijaya Kusuma melihat pengawalnya terdesak hebat.Namun Sugatra tak dapat lagi menghindar. Tendangan lawan mendarat telak di pangkal lehernya, membuat pengawal setia Ki Dukuh Kartasentan itu mengeluh tinggi.Tubuh Sugatra mencelat beberapa langkah ke belakang, menandakan jika tendangan lawan tadi dikerahkan dengan banyak tenaga. Susah payah ia menyeimbangkan diri agak tidak terjatuh duduk saat mendarat.Namun belum sempat Sugatra mengambil napas, satu serangan lagi sudah menghantamnya. Kali ini lawan kedua menggedor dadanya dengan satu sikutan keras.Kembali terdengar keluhan tertahan dari mulut Sugatra. Sekarang ia sudah tak dapat lagi menahan keseimbangan. Setelah terjajar dan terhuyung-huyung beberapa saat, tubuhnya rebah ke tanah."K-keparat!" geram Sugatra dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya sesak bukan main. Seakan-akan tengah ditindih sebongkah batu sebesar gajah.Ketika ia hendak menarik napas panjang untuk melong

  • Pendekar Golok Naga   Bab 011

    "SIAL dangkalan! Ke mana perginya bocah itu?"Palguna menggeram kesal, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan mata membelalak lebar. Tiga temannya yang tak kalah kaget juga melakukan hal sama.Sorot maya empat lelaki tersebut sama tajam mencorong, berusaha menyibak kegelapan yang mulai pekat. Namun ada pula bias kebingungan bercampur sedikit ketakutan yang coba mereka sembunyikan kuat-kuat.Wajar saja mereka berempat merasa takut. Pasalnya, siapapun yang bergerak menyambar Palguna tadi pastilah seorang berkemampuan sangat tinggi.Buktinya, dalam satu kelebatan yang rasa-rasanya hanya sekedipan mata, orang itu bisa merebut Wijaya Kusuma dari panggulan Palguna. Bahkan tanpa lelaki tersebut merasakan apa-apa saat terjadi!"A-apa kalian melihat orang itu?" tanya Palguna kemudian, setelah memandang berkeliling tetapi tak menemukan manusia lain kecuali mereka berempat."Orang atau sebangsa dedemit hutan?" Salah satu teman Palguna malah balik bertanya. Wajahnya terlihat tegang den

  • Pendekar Golok Naga   Bab 012

    "JEBOL dadamu!" geram Palguna dengan sangat percaya diri. Namun lelaki berkumis lebat itu kecele. Tusukan parangnya hanya mengenai angin hampa. Dalam satu gerakan yang nyaris tak terlihat mata, si lelaki tua kerempeng ternyata sudah terlebih dulu bergeser satu jengkal ke samping. Cukup satu jengkal saja dan serangan Palguna gagal dibuatnya. Belum habis kekagetan Palguna, lelaki tua kerempeng melakukan gerakan susulan. Tangan kirinya yang menekuk diangkat, lalu dipakai untuk mengempit parang besar yang masih mengacung di udara. Kelihatannya hanya sebuah kempitan biasa saja. Akan tetapi dari ketiak itu kemudian terdengar suara besi patah nan nyaring. Triiiiing! Ketika si lelaki tua kerempeng membuka kempitan, sebentuk potongan besi meluncur jatuh ke bawah. Benda itu baru berhenti ketika menancap di tanah dalam keadaan berdiri. Tiga teman Palguna mengikuti arah jatuhnya potongan besi. Mereka terkesiap saat mengetahui benda tersebut tak lain adalah separuh bagian parang besar milik

  • Pendekar Golok Naga   Bab 013

    PADUKUHAN Kartasentana menjadi geger di awal malam itu. Berita mengenai penyerangan maut yang terjadi di kediaman Ki Dukuh Sarwa Kusuma segera menyebar luas.Terlebih ketika kemudian kentongan dipukul bertalu-talu. Suaranya bergema ke segala penjuru kampung. Membuat suasana di pemukiman tepi hutan itu berubah mencekam.Nada kentongan yang khas, yakni dipukul dua kali secara terus-menerus, membuat seluruh warga kampung langsung tahu apa yang telah terjadi. Itu pertanda jika ada kejadian perampokan."Cepat bantu Ki Dukuh! Ada gerombolan penjahat mendatangi rumahnya! Seluruh pengawalnya dibunuh, rumahnya dibakar!" seru salah satu penduduk pada kerumunan warga yang tengah mencari-cari tahu.Ketika itu orang-orang bergerombol di dekat kentongan. Sedangkan yang berkata tadi adalah salah satu warga kampung yang ikut mendekat ke kediaman Sarwa Kusuma ketika gerombolan lelaki berkuda datang. Namun karena jeri, begitu para pengawal Ki Dukuh tumpas ia cepat-cepat la

  • Pendekar Golok Naga   Bab 014

    "KI Bagaspati, kemarilah! Kau harus melihat ini!" seru salah satu warga segera setelah memberi sikap hormat pada sosok yang baru datang.Lelaki tinggi besar yang dipanggil Ki Bagaspati itu membalas penghormatan warga kampung dengan anggukan. Sementara sepasang matanya tampak liar menatap berkeliling."Sang Hyang Agung!" desis Ki Bagaspati ketika melihat keadaan jasad Sarwa Kusuma. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Siapa yang telah melakukan kekejian ini?"Para warga kampung saling berpandangan satu sama lain. Seolah berunding dengan tatapan mata siapa yang akan menjawab pertanyaan tersebut.Beberapa kejap berikutnya, lelaki yang sedari tadi menjadi juru warta maju dua langkah ke hadapan Ki Bagaspati. Setelah menjura dalam-dalam, lelaki itu angkat bicara."Kami tidak jelas benar apa yang sebenarnya telah terjadi di sini, Ki. Namun dari apa yang saya lihat tadi sewaktu di sawah, menjelang senja ada segerombolan orang berkuda memasuki perkampungan

  • Pendekar Golok Naga   Bab 015

    SEMENTARA itu, di bagian lain wanua Sangguran.... Bramanta memacu kuda tunggangannya memasuki satu kawasan hutan di pinggiran wanua. Dalam gelapnya malam, ia hanya dapat mengandalkan cahaya bulan purnama yang semakin tinggi di langit sebagai penerangan. Dengan laju tak seberapa kencang, Bramanta membawa kudanya masuk agak dalam ke hutan. Sambil mengendalikan tali kekang sambil memegangi tubuh Sita yang ia telungkupkan di depannya. Begitu memasuki kerapatan pepohonan, cahaya rembulan tak mampu lagi menembus rindangnya dedaunan. Keadaan jadi lebih gelap. Jalan setapak di depan mata pun tak terlalu jelas terlihat. Namun Bramanta seolah sudah hapal dengan keadaan di tempat tersebut. Tanpa kesulitan berarti ia sudah mencapai tujuan, menandakan lelaki tersebut sudah sering mengunjungi tempat ini. "Hmmm, agaknya dia belum tiba di sini," gumam Bramanta, sembari menghentikan kuda. Dengan tatapan tajam ia mengamat-amati keadaan sekeliling dalam remang-r

Latest chapter

  • Pendekar Golok Naga   Bab 021

    MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.

  • Pendekar Golok Naga   Bab 020

    "G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus

  • Pendekar Golok Naga   Bab 019

    ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E

  • Pendekar Golok Naga   Bab 018

    "MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d

  • Pendekar Golok Naga   Bab 017

    "Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam

  • Pendekar Golok Naga   Bab 016

    "SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..

  • Pendekar Golok Naga   Bab 015

    SEMENTARA itu, di bagian lain wanua Sangguran.... Bramanta memacu kuda tunggangannya memasuki satu kawasan hutan di pinggiran wanua. Dalam gelapnya malam, ia hanya dapat mengandalkan cahaya bulan purnama yang semakin tinggi di langit sebagai penerangan. Dengan laju tak seberapa kencang, Bramanta membawa kudanya masuk agak dalam ke hutan. Sambil mengendalikan tali kekang sambil memegangi tubuh Sita yang ia telungkupkan di depannya. Begitu memasuki kerapatan pepohonan, cahaya rembulan tak mampu lagi menembus rindangnya dedaunan. Keadaan jadi lebih gelap. Jalan setapak di depan mata pun tak terlalu jelas terlihat. Namun Bramanta seolah sudah hapal dengan keadaan di tempat tersebut. Tanpa kesulitan berarti ia sudah mencapai tujuan, menandakan lelaki tersebut sudah sering mengunjungi tempat ini. "Hmmm, agaknya dia belum tiba di sini," gumam Bramanta, sembari menghentikan kuda. Dengan tatapan tajam ia mengamat-amati keadaan sekeliling dalam remang-r

  • Pendekar Golok Naga   Bab 014

    "KI Bagaspati, kemarilah! Kau harus melihat ini!" seru salah satu warga segera setelah memberi sikap hormat pada sosok yang baru datang.Lelaki tinggi besar yang dipanggil Ki Bagaspati itu membalas penghormatan warga kampung dengan anggukan. Sementara sepasang matanya tampak liar menatap berkeliling."Sang Hyang Agung!" desis Ki Bagaspati ketika melihat keadaan jasad Sarwa Kusuma. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Siapa yang telah melakukan kekejian ini?"Para warga kampung saling berpandangan satu sama lain. Seolah berunding dengan tatapan mata siapa yang akan menjawab pertanyaan tersebut.Beberapa kejap berikutnya, lelaki yang sedari tadi menjadi juru warta maju dua langkah ke hadapan Ki Bagaspati. Setelah menjura dalam-dalam, lelaki itu angkat bicara."Kami tidak jelas benar apa yang sebenarnya telah terjadi di sini, Ki. Namun dari apa yang saya lihat tadi sewaktu di sawah, menjelang senja ada segerombolan orang berkuda memasuki perkampungan

  • Pendekar Golok Naga   Bab 013

    PADUKUHAN Kartasentana menjadi geger di awal malam itu. Berita mengenai penyerangan maut yang terjadi di kediaman Ki Dukuh Sarwa Kusuma segera menyebar luas.Terlebih ketika kemudian kentongan dipukul bertalu-talu. Suaranya bergema ke segala penjuru kampung. Membuat suasana di pemukiman tepi hutan itu berubah mencekam.Nada kentongan yang khas, yakni dipukul dua kali secara terus-menerus, membuat seluruh warga kampung langsung tahu apa yang telah terjadi. Itu pertanda jika ada kejadian perampokan."Cepat bantu Ki Dukuh! Ada gerombolan penjahat mendatangi rumahnya! Seluruh pengawalnya dibunuh, rumahnya dibakar!" seru salah satu penduduk pada kerumunan warga yang tengah mencari-cari tahu.Ketika itu orang-orang bergerombol di dekat kentongan. Sedangkan yang berkata tadi adalah salah satu warga kampung yang ikut mendekat ke kediaman Sarwa Kusuma ketika gerombolan lelaki berkuda datang. Namun karena jeri, begitu para pengawal Ki Dukuh tumpas ia cepat-cepat la

DMCA.com Protection Status