Kakek Sangkala dan Bimantara duduk tercengang di dekat puing-puing gubuk reyot yang hancur diterpa angin puting beliung. Bimantara masih tak percaya dengan semuanya. Peti yang menjadi penyebab semua itu sudah dikubur bersama ayahnya agar tidak memunculkan bencana seperti yang ditakutkan mendiang ayahnya selama ini.
"Ada apa dengan peti itu, Kek? Kenapa angin berpihak padaku ketika aku membuka peti itu?" tanya Bimantara dengan bingung.
Kakek Sangkala menoleh pada Bimatara dengan bingung. "Kakek tak tahu, tapi mungkin peti itu tidak ada hubungannya dengan angin itu. Angin menjadi pertanda memang sudah waktunya dan kebetulan bersamaan dengan peti yang kamu buka," jelas kakek.
"Apakah di masa lalu aku pengendali angin, Kek?"
"Entahlah," jawab kakek yang masih bingung. "Sudah tiga abad, belum terdengar kabar bahwa ada Pendekar pengendali angin di bumi Nusantara ini."
"Apakah pendekar pengendali angin termasuk pendekar yang paling hebat?"
"Di masa dahulu memang begitu."
Bimantara terdiam.
"Jika memang alam menakdirkanmu untuk menjadi itu, kau harus menimba ilmu bela diri di perguruan Matahari sampai lulus."
"Kalau tidak lulus?"
"Itu akan membuatmu celaka! Kau bisa menjadi penjahat karena bukan kamu yang menguasai angin, tapi angin yang menguasaimu," jawab kakek.
Tiba-tiba Bimantara berdiri dengan tongkatnya. Tangannya mengulur ke udara.
"Angin! Datanglah!"
Angin tidak datang. Kakek menghela napas lalu geleng-geleng kepala.
"Sekarang ini angin yang menguasaimu! Dia tak akan datang!"
Bimantara menoleh pada kakek Sangkala dengan bingung.
"Apa aku bisa menempuh pulau perguruan Matahari dengan keajaiban, Kek?"
Kakek Sangkala terdiam sesaat. Lalu dia menatap wajah Bimantara dengan serius. "Dengan keyakinan semua pasti bisa. Keyakinan adalah doa yang paling agung kepada Tuhan."
Bimantara mengangguk. Kakek Sangkala berdiri.
"Sekarang kakek tidak punya rumah lagi gara-gara kamu! Ayo kita pulang ke rumahmu," pinta kakek.
Mereka pun pergi menuruni bukit menuju perkampungan. Entah bagaimana nasib tiga preman yang menagih hutang pada kakek itu tadi.
Dan sejak itu, Bimantara berusaha mengendalikan emosinya agar angin tak mengendalikan dirinya lagi. Dia semakin giat berlatih dasar-dasar ilmu bela diri. Dia juga berlatih berenang di sungai di ujung kampungnya.
"Gerakkan tangan dan kakimu agar bisa mengambang di atas air!" pinta kakek Sangkala pada Bimatara di sungai pada sore hari itu.
Sangkala menuruti perintah kakeknya. Semakin lama berlatih, kini Bimantara sudah bisa berenang dan sudah menguasai jurus-jurus dasar ilmu bela diri.
"Berarti aku sudah siap untuk menuju pulau perguruan Matahari itu, Kek?" tanya Bimantara dengan girang.
"Ya, jika penerimaan murid baru sudah dibuka di sana, kau sudah bisa ikut," jawab Kakek Sangkala.
Dan di hari itu. Bimantara pergi ke pasar, untuk membeli keperluan di rumah. Dia mengintip Dahayu yang sedang berjualan buah-buahan dari kejauhan. Tiba-tiba datang lima sekawanan remaja lelaki yang berpakaian seragam. Bimantara tahu kalau mereka adalah murid-murid dari perguruan Matahari yang diizinkan keluar dari sana untuk berbelanja kebutuhan di pasar ini. Perguruan itu memiliki beberapa perahu dan kapal layar. Digunakan untuk keperluan orang-orang di sana. Persyaratan berenang ke pulau itu bagi calon murid baru untuk menguji bakat dari alam saja.
Lima remaja lelaki itu mendekati Dahayu. Mereka membeli buah-buahan. Seseorang menggodanya.
"Kamu cantik."
Dahayu tampak risih.
"Cantik-cantik kok diam saja?"
"Iya nih, nanti cantiknya hilang kalau diam begitu,"
Bimantara mendadak geram dan mendekat ke arah mereka.
"Kalau mau beli, beli saja, tak perlu menggoda penjualnya," ucap Bimantara geram pada mereka.
Salah seorang remaja mendekat ke Bimantara dengan kesal.
"Kamu siapa? Hah? Tidak liat kita siapa?"
Remaja lelaki yang lainnya tampak tersenyum sungging pada Bimantara.
"Aku tidak takut!" ucap Bimantara mulai emosi atas kesombongan mereka. Dahayu tampak bingung dan khawatir.
"Sudah, Bimantara!" pinta Dahayu.
Bimantara masih berdiri di sana dengan kesal. Seorang remaja salah satu dari mereka semakin mendekat ke arah Bimantara.
"Jadi dia kekasihmu?"
"Bukan!" jawab Dahayu spontan.
Kelima remaja itu mentertawai Bimantara dengan puas.
"Tuh, dia sendiri bilang kalau kamu bukan siapa-siapanya. Jangan jadi sok pahlawan!"
Bimantara tampak kesal mendengar itu. Dia memang bukan kekasih Dahayu. Dahayu adalah sahabatnya. Dia tidak mau sahabatnya diganggu oleh orang lain. Baginya, sahabat adalah bagian dari dirinya. Jika sahabatnya diganggu itu artinya mereka sudah mengganggu dirinyanya juga. Angin mendadak berhembus. Bimantara langsung pergi dari sana dengan tongkatnya. Dia tidak ingin angin puting beliung datang memporak porandakan pasar gara-gara emosinya.
"Hey! Jangan kabur kamu!" teriak salah satu dari mereka.
Kelima remaja itu malah mengejar Bimantara dan menendang Bimantara dari arah belakang. Bimantara tersungkur ke kubangan hingga wajahnya dipenuhi kotoran kubangan. Emosinya memuncak. Angin puting beliung datang dan mendadak memporak porandakan seisi pasar. Kelima remaja itu berlarian. Orang-orang di pasar berlarian dengan panik. Bimantara mencari-cari Dahayu dengan tongkatnya.
"Dahayu! Dahayu!" teriak Bimantara. Dia tahu, angin puting beliung tak akan mengenainya. Jika dia dapat menemui Dahayu, angin puting beliung itu tak akan mencelakai Dahayu. Saat angin puting beliung menghilang, Bimantara menemukan Dahayu sedang bersembunyi di balik batu besar sambil menangis ketakutan
"Dahayu!" panggil Bimantara lega.
Dahayu melihat ke arah Bimantara dengan kesal lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Bimantara tampak sedih lalu berjalan pulang dengan perasaan tidak menentu.
***
Suara terompet bergaung dari pulau seberang. Kampung tampak ramai di datangi ratusan calon pendekar dari berbagai penjuru Nusantara. Penerimaan murid baru di perguruan Matahari sudah tiba. Saat waktu itu datang, penduduk kampung mendadak menjadi pedagang semua. Mereka menjual kebutuhan-kebutuhan para pendatang.
Dermaga-dermaga dibuat mendadak di sisi laut. Sebagai gerbang menuju pulau perguruan Matahari. Kalangan rakyat jelata dan kalangan bangsawan berkumpul menjadi satu di dekat dermaga. Satu persatu terjun ke laut. Berebut untuk menjadi murid di sana.
Sementara Bimantara duduk gemetar di hadapan gubuk reyotnya. Kakeknya berdiri di hadapannya.
"Ayolah! Ini sudah waktunya! Sekarang kamu harus tunjukkan pada mereka kalau kamu bisa menjadi murid di sana!" ucap Kakek membujuknya. Sedari tadi Bimantara ingin mengurungkan niatnya itu. Dia masih belum yakin kalau dirinya akan mendapat keajaiban untuk sampai berenang ke pulau itu.
"Bagaimana kalau aku gagal, Kek?" tanya Bimantara dengan bingung.
"Kau tidak akan gagal. Kakek percaya kau akan berhasil!"
Saat itu juga, Bimantara kembali semangat dan mau berjalan menuju dermaga. Kakek Sangkala senang melihatnya. Saat tiba di sana, berdesakan dengan calon murid lainnya. Orang-orang kembali memandangnya remeh.
"Dia serius mau jadi murid perguruan Matahari?" bisik seorang warga kepada teman di sebelahnya.
"Sepertinya begitu. Aku yakin dia tidak akan berhasil!"
"Ah! Mungkin hanya lihat-lihat saja."
Mendengar itu Bimantara diam saja, seperti yang sudah dilatih kakeknya untuk mengendalikan kesabarannya. Sekarang di dalam kepalanya ada dua pikiran yang dibawanya. Pertama dendam kepada Adji Darma dan ingin membalaskan dendam ayahnya. Kedua dia harus berhasil mengendalikan angin hingga dia tak lagi dikuasi olehnya.
"Bimantara! Pulang saja! Buat apa ikutan! Kamu tak akan berhasil!" teriak seseorang padanya.
Kakek Sangkala menepuk bahunya. "Jangan didengarkan! Bersiaplah terjun ke lautan, buktikan kamu bisa! Sekarang tiba giliranmu!"
Bimantara mengangguk lalu memeluk kakeknya dengan erat. Kakek Sangkala menepuk-nepuk punggungnya. Bimantara melepas pelukannya dengan haru. Lalu dengan segenap rasa percaya, dia langsung melompat ke lautan luas di hadapannya.
Tubuh kurus itu menyentuh permukaan Laut, lalu melesat cepat ke dalam laut. Di tangannya tongkat dari batang kayu dipegangnya erat-erat. Tak lama kemudian dia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menuju permukaan. Saat kepalanya sudah berhasil menyembul keluar, ombak tiba-tiba besar. Sekuat tenaga dia jaga tongkatnya agar tidak terlepas dari genggamannya. Bimantara berusaha memulai berenang menuju sebuah pulau di hadapannya yang samar terlihat. “Kenapa tidak ada keajaiban? Kenapa aku harus berenang secara normal? Apakah aku bukan manusia yang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari?” tanya Bimantara dalam benaknya. Dengan susah payah dia gerakkan tangan dan satu kakinya sambil memegang tongkat kayu dalam genggamannya di atas permukaan laut itu. Bimantara mulai kelelahan. Jaraknya masih sangat dekat dengan Dermaga. Orang-orang yang menyaksikannya di Dermaga tampak menyayangkannya. Mereka yakin apa yang dilakukan Bimantara adalah s
Dermaga kini dipenuhi oleh tangisan para remaja yang gagal menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala dan Dahayu semakin gelisah. Mereka masih mencemaskan Bimantara. Mereka masih tidak tahu apakah remaja itu sudah sampai ke pulau itu atau masih sedang berusaha berenang untuk sampai ke sana? Seketika suara terompet terdengar. Kakek Sangkala menoleh ke belakang. Dia kaget saat mendapati dua iring-iringan dari tiga kerajaan Nusantara Timur, Tengah dan Barat baru datang. Orang-orang langsung duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka. “Hidup, Yang Mulia! Hidup, Yang Mulia!” “Siapa mereka, Kek?” tanya Dahayu heran pada Kakek Sangkala. “Kita harus pergi dari sini, mereka adalah pasukan kerajaan Nusantara dari Timur, Tengah dan Barat. Mereka ke sini pasti sedang mengantar para Pangeran untuk memasukkan mereka ke Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala pada Dahayu. Dahayu mengangguk. Mereka berdua meninggalkan Dermaga untuk mencari temp
Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri. “Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih. Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah. “Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya. Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran. “Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari. “Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak. “Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya.
“Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya. Tabib tercengang mendengarnya. "Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?" Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya. “Berbaringlah,” pinta Tabib. Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib. “Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi. “Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana. Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun
Lelaki itu duduk di atas kasurnya sambil menatap kaki Bimantara yang hanya terlihat satu. “Iya. Aku dengar angin puting beliung yang membawa kamu ke Perguruan ini bersama seorang gadis,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Apakah gadis itu Dahayu?” tanya Bimantara. “Betul, nama gadis itu Dahayu. Dia cantik,” jawab lelaki itu. Dia tak percaya jika benar yang dikatakan lelaki itu bahwa angin puting beliung yang membawa dia dan Dahayu ke sana. Bimantara mengulurkan tangannya pada lelaki itu. “Aku Bimantara,” ucap Bimantara padanya. Lelaki itu menjabat tangan Bimantara. “Aku Sakai,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengar nama itu. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang sering disebut-sebut orang-orang di kampungnya. “Sakai? Maksudmu… kamu… Pangeran Sakai?” tanya Bimantara memastikan. “Iya, aku Pangeran Sakai,” jawab lelaki itu dengan santai. Bima
Ratusan murid Perguruan Matahari beserta para guru sedang makan malam bersama. Bimantara masih tercengang dengan pengalaman pertamanya itu. Hidangan di hadapannya berbeda dengan apa yang dia makan selama ini. Menurutnya itu sangat mewah. Pangeran Sakai menoleh heran pada Bimantara yang belum menyentuh makanannya sama sekali. “Ayo makan,” ajak Pangeran Sakai. Bimantara mengangguk. Dahayu diam-diam memperhatikan Bimantara dari tempat duduknya. Akhirnya Bimantara melahap makanannya. Mendadak dia teringat akan Kakeknya. Dia berhenti makan. Pangeran Sakai heran. “Kenapa? Tidak enak?” tanya Pangeran Sakai heran. “Aku teringat kakekku.” “Kakekmu pasti bangga kamu sudah berada di sini,” ujar Pangeran Sakai padanya. Mendengar itu, Dahayu jadi teringat ayah ibunya. Kedua orang tuanya pasti khawatir padanya. Dia memang menginginkan untuk bisa menjadi murid di sana, tapi dia tahu kalau kedua orang tuanya tak pernah setuju jika dia berada di sana.
Bimantara dan Pangeran Sakai tiba di kamarnya. Bimantara duduk di tepi kasur lalu memandangi Pangeran Sakai yang mulai berbaring di atas kasurnya.“Apakah setiap Pangeran di kirim ke sini untuk menimba ilmu bela diri?” tanya Bimantara penasaran.“Ya, tapi tidak semuanya berhasil,” jawab Pangeran Sakai.“Jika tidak berhasil?”“Mereka tak akan punya kesempatan menjadi Raja, biasanya akan digantikan Pangeran yang lainnya. Makanya setiap Raja diharuskan memiliki banyak anak laki-laki,” jawab Pangeran Sakai.“Jika Pangerannya cuma satu bagaimana?” tanya Bimantara penasaran.“Akan dididik khusus di istana.”“Berarti kamu adalah calon Raja?” tanya Bimantara ikut bangga.“Iya, nanti kerajaan Nusantara Timur aku yang akan menguasainya,” jawab Pangeran Sakai sambil menatap langit-langit di kamar itu.Bimantara terbelalak mendengarnya. &
Saat Pangeran Sakai hendak meninggalkan lapangan itu, Kedelapan guru pembantu datang. Langkah Pangeran Sakai terhenti. Bimantara, Dahayu, Rajo, Kancil dan dua murid perempuan lainnya melihat heran ke arah para guru pembantu yang datang kepada mereka.“Kau mau kemana?” tanya salah satu dari guru pembantu pada Pangeran Sakai.“Di sini ada murid yang dikirim oleh Perguruan Tengkorak. Aku tidak sudi belajar jika mereka tetap belajar di sini,” ucap Pangeran Sakai pada guru pembantu itu.“Kembali pada mereka. Tuan Guru Adji Darma menginginkan mereka berdua untuk tetap belajar di sini,” tegas guru pembantu itu pada Pangeran Sakai.“Perguruan Tengkorak sudah membunuh adik saya! Jika kita biarkan mereka mengirim mata-mata ke sini, itu artinya nasib Perguruan Matahari sedang terancam bahaya, Guru,” protes Pangeran Sakai.Bimantara dan Dahayu terdiam dengan bingung medengar itu. Sementara Rajo, Kancil dan dua mu