Share

4. Kekuatan Angin

Penulis: Hakayi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-23 05:24:54

Angin malam berhembus kencang. Menjadikan api dari kayu bakar semakin membumbung tinggi. Bimantara terus berlatih menyatukan tongkatnya dengan dirinya agar bisa melakukan gerakan kuda-kuda. Berkali-kali dia lakukan tapi selalu gagal. Tubuhnya selalu terjatuh karena tongkatnya tak berhasil membuat tubuhnya seimbang.

Dua warga lewat sambil membawa obor. Mereka melihat ke arah Bimantara dengan heran.

"Aku khawatir anak itu bisa gila," ucap seorang bapak-bapak pada bapak-bapak satunya.

"Gila kenapa?"

"Gila karena tidak kesampaian untuk menjadi murid di perguruan Matahari."

Bapak-bapak yang mendengarnya kaget. "Memangnya dia mau ikut ke perguruan itu?"

"Iya!"

"Mimpi!"

"Makanya aku takut dia gila karena tidak kesampaian."

Mereka berdua tertawa lalu pergi begitu saja. Bimantara mendengarnya, dia sebenarnya kesal, namun berusaha untuk bersabar. Justru itu menjadi lecutan semangat baginya.

Angin malam berhembus semakin kencang. Bimantara memejamkan mata. Dia harus berhasil agar esok bisa menunjukkannya pada kakeknya. Saat memejamkan mata, dia membayangkan tongkatnya menghilang lalu berganti dengan kakinya. Dia merasakan kini kaki kirinya yang patah telah kembali. Saat itu juga dia melakukan gerakan kuda-kuda dan akhirnya dia berhasil melakukannya. Bimantara girang bukan main dan berkali-kali menciumi tongkatnya.

***

Pagi-pagi sekali Bimantara tiba di kediaman kakek Sangkala di atas bukit. Kakek Sangkala keluar dari gubuknya dengan heran. 

"Kakek kan sudah bilang, latihannya siang saja ketika matahari tepat di atas ubun-ubun."

"Aku berhasil, Kek! Aku berhasil!" teriak Bimantara girang.

Kakek Sangkala semakin heran. "Berhasil apa?"

"Berhasil menyatu dengan tongkat hingga tubuhku tidak rubuh lagi saat melakukan gerakan kuda-kuda itu, Kek!"

Kakek Sangkala mengernyit tak percaya. "Coba kakek lihat!"

Bimantara memejamkan mata. Kakek Sangkala duduk di bale-bale memperhatikannya dengan penasaran. Bimantara pun mulai melakukan gerakan kuda-kuda dengan apik menggunakan satu kaki dan tongkatnya. Kakeknya tercengang dan merasa gembira melihat keberhasilan cucunya.

"Bagus!"

"Ayo lanjut lagi latihannya, Kek!" pinta Bimantara dengan semangat.

Kakek Sangkala menghela napas. "Nanti siang saja. Sekarang kau urus dulu domba-bomba Tuan Kepala Kampung, biar punya koin perak untuk membeli buat makanmu!"

Bimantara terpaksa menurut. Dia pun pulang dan mengembalakan domba-bomba milik Tuan Kepala Kampung. Dia duduk di bawah pohon sambil menunggui domba-bomba menghabiskan rumput di Padang itu.

Dahayu lewat sambil membawa bakul berisi buah-buahan. Gadis itu melihat ke arah Bimantara sesaat lalu berjalan menunduk tanpa mau menyapanya. Bimantara langsung berdiri dengan tongkatnya dan melihat ke arahnya.

"Dahayu!" panggil Bimantara.

Langkah Dahayu terhenti lalu menatap Bimantara dengan heran dan bingung.

"Kenapa?"

Bimantara mendekat padanya dengan tongkatnya.

"Kamu tidak percaya kalau aku bisa diterima menjadi murid di perguruan Matahari?" tanya Bimantara saat sudah dekat dengan gadis itu.

"Aku percaya," jawab Dahayu.

"Kenapa waktu itu diam saja, tidak membelaku?"

Dahayu terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Bimantara menunggu apa yang akan diucapkannya.

"Kok diam?" tanya Bimantara heran.

"Aku malas berdebat," jawabnya.

"Kenapa tidak mau lagi berteman denganku? Apa karena kakiku?" tanya Bimantara tiba-tiba, keluar dari topik pertama.

"Kita sudah besar, tak pantas lagi berteman seperti semasa kecil dulu."

"Kamu masih berteman dengan mereka. Umurnya sama denganku."

Dahayu kebingungan untuk menjawabnya. Ya, dia menjauhi remaja itu karena sudah terlalu lama menahan cinta padanya. Persahabatannya sejak kecil dengan Bimantara telah membuatnya jatuh cinta. Namun Bimantara tak pernah menunjukkan gelagat kalau dia juga mencintainya. Bimantara hanya menganggapnya sahabat, tak pernah lebih dari itu. Akhirnya Dahayu memutuskan untuk menjauh darinya bersamaan saat kakinya patah.

"Maaf, aku harus pulang, orang tuaku sudah menunggu." Dahayu langsung berjalan meninggalkannya.

"Aku akan buktikan kalau aku pantas dijadikan teman!" teriak Bimantara padanya.

Dahayu tidak menggubrisnya. Bimantara kesal. Angin tiba-tiba datang menyapu wajahnya cukup kencang.

Dan siang itu, Bimantara kembali ke bukit menemui kakek Sangkala dengan lesu. Angin kembali berhembus dengan kencang.

"Aneh, ini angin kenapa mendadak datang? Apa karena melihatmu murung begitu?" canda kakek Sangkala.

"Dahayu tak mau lagi menjadi temanku, Kek," ucap Bimantara dengan jujurnya.

"Rupanya cucu kakek sudah besar, sudah mengerti soal perasaan," ledek kakeknya.

Bimantara kaget mendengar itu. "Bukan begitu maksudku, Kek," protes Bimantara.

"Kakek sudah lebih dulu hidup darimu, Bimantara."

"Aku tak pernah menganggap Dahayu sebagai pacar, Kek. Dia sahabatku dan sampai kapan pun dia akan menjadi sahabatku. Aku hanya menyayanginya sebagai sahabat. Lagi pula aku tidak mau peduli dengan urusan cinta. Cinta akan merusak impianku untuk menjadi seorang pendekar sejati," tegas Bimantara.

Kakek Sangkala melihat keseriusan di matanya. "Yasudah, sekarang ayo kita mulai latihan selanjutnya."

Bimantara mengangguk. Tak berapa lama kemudian, tiga orang lelaki memakai pakaian pendekar datang.

"Sangkala!"

Kakek Sangkala menoleh pada mereka dengan terkejut. Bimantara heran melihat sikap kakeknya yang tampak takut.

"Mereka siapa, Kek?" bisik Bimantara heran.

Kakek Sangkala tidak menjawab pertanyaan Bimantara, dia malah mendekat ke arah tiga pendekar di hadapannya itu.

"Ada apa?" tanya kakek Sangkala heran pada mereka.

"Jangan berpura-pura tidak tahu maksud kami ke sini! Sekarang bayar hutang-hutangmu!" teriak salah satu dari pendekar itu.

Bimantara kaget, dia tak tahu kalau selama ini kakek Sangkala punya hutang sama mereka.

"Hutang yang mana? Semua hutang sudah aku bayar!" teriak kakek pada mereka.

"Kau belum membayar bunganya! Serahkan koin perakmu atau kami remukkan tubuh tuamu!" 

"Tidak ada bunga dalam perjanjian hutang itu. Silakan saja kalau mau meremukkan tubuhku!" ancam kakek Sangkala pada mereka.

Tiga pendekar itu langsung menyerang kakek Sangkala dengan jurus-jurus mereka. Dengan sigap kakek Sangkala menangkis semua jurus yang dikeluarkan mereka. Bimantara gemetar. Dia khawatir dengan kakeknya. Dia belum bisa berbuat apa-apa. Saat seorang pendekar berhasil mengunci tubuh kakek. Bimantara geram.

"Kakek!"

Tiba-tiba angin kencang datang. Semua heran.

"Lepaskan kakekku!" teriak Bimantara mendekati mereka dengan tongkatnya.

Tiga pendekar yang masih mengunci tubuh kakek tertawa.

"Mau apa kamu anak kecil! Menjauh sana! Kita tidak ada urusan denganmu!"

"Dia kakekku! Lepaskan kakekku!" teriak Bimantara dengan emosinya.

Pendekar itu malah mengunci tubuh kakek Sangkala dengan eratnya. Kakek Sangkala berteriak kesakitan. Bimantara meronta dengan jurus ngasalnya, akhirnya dia ditendang oleh salah satu pendekar hingga tubuhnya tersungkur jauh dari mereka. Tiba-tiba dari mulutnya keluar sedikit darah. Bimantara semakin emosi dan berteriak.

"Aaaa!" 

Dia mencoba bangkit, saat itu juga angin puting beliung datang menyapu gubuk reyot kakek Sangkala. Tiga pendekar langsung berlari meninggalkan mereka. Angin puting beliung terus berputar mengejar tiga pendekar itu. Bimantar menyeret kakinya menghampiri kakeknya yang terheran-heran dengan datangnya angin puting beliung itu.

"Kakek!" teriak Bimantara.

Kakek Sangkala memegang kedua bahu Bimatara dengan tatapan heran.

"Apa setiap kali kamu marah selalu ada angin kencang yang datang?" tanya kakek tiba-tiba.

Bimantara kebingungan.

"Maksud kakek?"

"Jawab pertanyaan kakek!"

Bimantara mengingat-ingat. Ya, sejak dia membuka peti itu, angin selalu berhembus kencang saat dia sedang marah. Dan sewaktu ayahnya dibawa angin puting beliung dulu, itu saat-saat Bimantara sedang menahan amarah pada Adji Darma palsu yang membuat hidup ayahnya menderita. Bimantara lemas menyadari itu. Apa itu yang dimaksud mendiang ayahnya kalau peti itu akan membuat petaka? Apa angin puting beliung itu datang karena amarahnya? Kalau begitu, berarti dia yang membunuh ayahnya. Pikir Bimatara dengan terkejutnya. Mendadak dia semakin sedih mengingat kematian ayahnya. 

"Jawab, cucuku!" teriak kakek Sangkala yang sudah tidak sabar lagi.

"Iya, Kek," jawab Bimatara.

Kakek Sangkala terkejut mendengarnya.

"Berarti..."

"Berarti kenapa, Kek?"

Kakek Sangkala membantu Bimantara berdiri. Saat mereka sudah berdiri, kakek Sangkala menatap wajah Bimantara dengan tak percaya.

"Kamu harus menjadi murid di perguruan Matahari. Alam telah memberimu tanda kesaktian dengan angin itu. Kamu harus bisa mengendalikannya, jika tidak angin yang sedang berpihak padamu akan menghancurkan hidupmu. Untuk mengendalikannya kamu harus belajar di sana."

Bimantara tercengang mendengar itu. "Berarti aku bisa menjadi murid di perguruan Matahari, Kek?" tanya Bimantara tak percaya.

Kakek Sangkala mengangguk. 

"Berarti aku yang membunuh ayahku sendiri, Kek?" tanya Bimantara yang mulai meneteskan air mata.

"Kamu tidak membunuhnya, tapi takdir kematian ayahmu memang sudah tiba."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cedar Karamy
Andai puting beliung itu nggak merenggut nyawa sang ayah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   5. Tiba Harinya

    Kakek Sangkala dan Bimantara duduk tercengang di dekat puing-puing gubuk reyot yang hancur diterpa angin puting beliung. Bimantara masih tak percaya dengan semuanya. Peti yang menjadi penyebab semua itu sudah dikubur bersama ayahnya agar tidak memunculkan bencana seperti yang ditakutkan mendiang ayahnya selama ini. "Ada apa dengan peti itu, Kek? Kenapa angin berpihak padaku ketika aku membuka peti itu?" tanya Bimantara dengan bingung. Kakek Sangkala menoleh pada Bimatara dengan bingung. "Kakek tak tahu, tapi mungkin peti itu tidak ada hubungannya dengan angin itu. Angin menjadi pertanda memang sudah waktunya dan kebetulan bersamaan dengan peti yang kamu buka," jelas kakek. "Apakah di masa lalu aku pengendali angin, Kek?" "Entahlah," jawab kakek yang masih bingung. "Sudah tiga abad, belum terdengar kabar bahwa ada Pendekar pengendali angin di bumi Nusantara ini." "Apakah pendekar pengendali angin termasuk pendekar yang paling heb

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   6. Ombak Laut

    Tubuh kurus itu menyentuh permukaan Laut, lalu melesat cepat ke dalam laut. Di tangannya tongkat dari batang kayu dipegangnya erat-erat. Tak lama kemudian dia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menuju permukaan. Saat kepalanya sudah berhasil menyembul keluar, ombak tiba-tiba besar. Sekuat tenaga dia jaga tongkatnya agar tidak terlepas dari genggamannya. Bimantara berusaha memulai berenang menuju sebuah pulau di hadapannya yang samar terlihat. “Kenapa tidak ada keajaiban? Kenapa aku harus berenang secara normal? Apakah aku bukan manusia yang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari?” tanya Bimantara dalam benaknya. Dengan susah payah dia gerakkan tangan dan satu kakinya sambil memegang tongkat kayu dalam genggamannya di atas permukaan laut itu. Bimantara mulai kelelahan. Jaraknya masih sangat dekat dengan Dermaga. Orang-orang yang menyaksikannya di Dermaga tampak menyayangkannya. Mereka yakin apa yang dilakukan Bimantara adalah s

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   7. Dahayu

    Dermaga kini dipenuhi oleh tangisan para remaja yang gagal menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala dan Dahayu semakin gelisah. Mereka masih mencemaskan Bimantara. Mereka masih tidak tahu apakah remaja itu sudah sampai ke pulau itu atau masih sedang berusaha berenang untuk sampai ke sana? Seketika suara terompet terdengar. Kakek Sangkala menoleh ke belakang. Dia kaget saat mendapati dua iring-iringan dari tiga kerajaan Nusantara Timur, Tengah dan Barat baru datang. Orang-orang langsung duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka. “Hidup, Yang Mulia! Hidup, Yang Mulia!” “Siapa mereka, Kek?” tanya Dahayu heran pada Kakek Sangkala. “Kita harus pergi dari sini, mereka adalah pasukan kerajaan Nusantara dari Timur, Tengah dan Barat. Mereka ke sini pasti sedang mengantar para Pangeran untuk memasukkan mereka ke Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala pada Dahayu. Dahayu mengangguk. Mereka berdua meninggalkan Dermaga untuk mencari temp

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   8. Di Mana Aku?

    Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri. “Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih. Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah. “Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya. Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran. “Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari. “Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak. “Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya.

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   9. Tabib Perguruan

    “Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya. Tabib tercengang mendengarnya. "Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?" Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya. “Berbaringlah,” pinta Tabib. Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib. “Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi. “Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana. Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   10. Pangeran Sakai

    Lelaki itu duduk di atas kasurnya sambil menatap kaki Bimantara yang hanya terlihat satu. “Iya. Aku dengar angin puting beliung yang membawa kamu ke Perguruan ini bersama seorang gadis,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Apakah gadis itu Dahayu?” tanya Bimantara. “Betul, nama gadis itu Dahayu. Dia cantik,” jawab lelaki itu. Dia tak percaya jika benar yang dikatakan lelaki itu bahwa angin puting beliung yang membawa dia dan Dahayu ke sana. Bimantara mengulurkan tangannya pada lelaki itu. “Aku Bimantara,” ucap Bimantara padanya. Lelaki itu menjabat tangan Bimantara. “Aku Sakai,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengar nama itu. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang sering disebut-sebut orang-orang di kampungnya. “Sakai? Maksudmu… kamu… Pangeran Sakai?” tanya Bimantara memastikan. “Iya, aku Pangeran Sakai,” jawab lelaki itu dengan santai. Bima

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   11. Karang Kalajengking

    Ratusan murid Perguruan Matahari beserta para guru sedang makan malam bersama. Bimantara masih tercengang dengan pengalaman pertamanya itu. Hidangan di hadapannya berbeda dengan apa yang dia makan selama ini. Menurutnya itu sangat mewah. Pangeran Sakai menoleh heran pada Bimantara yang belum menyentuh makanannya sama sekali. “Ayo makan,” ajak Pangeran Sakai. Bimantara mengangguk. Dahayu diam-diam memperhatikan Bimantara dari tempat duduknya. Akhirnya Bimantara melahap makanannya. Mendadak dia teringat akan Kakeknya. Dia berhenti makan. Pangeran Sakai heran. “Kenapa? Tidak enak?” tanya Pangeran Sakai heran. “Aku teringat kakekku.” “Kakekmu pasti bangga kamu sudah berada di sini,” ujar Pangeran Sakai padanya. Mendengar itu, Dahayu jadi teringat ayah ibunya. Kedua orang tuanya pasti khawatir padanya. Dia memang menginginkan untuk bisa menjadi murid di sana, tapi dia tahu kalau kedua orang tuanya tak pernah setuju jika dia berada di sana.

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-18
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   12. Kabar dari Perguruan Tengkorak

    Bimantara dan Pangeran Sakai tiba di kamarnya. Bimantara duduk di tepi kasur lalu memandangi Pangeran Sakai yang mulai berbaring di atas kasurnya.“Apakah setiap Pangeran di kirim ke sini untuk menimba ilmu bela diri?” tanya Bimantara penasaran.“Ya, tapi tidak semuanya berhasil,” jawab Pangeran Sakai.“Jika tidak berhasil?”“Mereka tak akan punya kesempatan menjadi Raja, biasanya akan digantikan Pangeran yang lainnya. Makanya setiap Raja diharuskan memiliki banyak anak laki-laki,” jawab Pangeran Sakai.“Jika Pangerannya cuma satu bagaimana?” tanya Bimantara penasaran.“Akan dididik khusus di istana.”“Berarti kamu adalah calon Raja?” tanya Bimantara ikut bangga.“Iya, nanti kerajaan Nusantara Timur aku yang akan menguasainya,” jawab Pangeran Sakai sambil menatap langit-langit di kamar itu.Bimantara terbelalak mendengarnya. &

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-19

Bab terbaru

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   582. ENDING : Pertemuan di Nusantara

    Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   581. Perang Besar Terakhir 8

    Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   580. Perang Besar Terakhir 7

    “Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   579. Perang Besar Terakhir 6

    “Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   578. Perang Besar Terakhir 5

    Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   577. Perang Besar Terakhir 4

    Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   576. Perang Besar Terakhir 3

    Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   575. Perang Besar Terakhir 2

    “Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   574. Perang Besar Terakhir 1

    Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it

DMCA.com Protection Status