Angin malam berhembus kencang. Menjadikan api dari kayu bakar semakin membumbung tinggi. Bimantara terus berlatih menyatukan tongkatnya dengan dirinya agar bisa melakukan gerakan kuda-kuda. Berkali-kali dia lakukan tapi selalu gagal. Tubuhnya selalu terjatuh karena tongkatnya tak berhasil membuat tubuhnya seimbang.
Dua warga lewat sambil membawa obor. Mereka melihat ke arah Bimantara dengan heran.
"Aku khawatir anak itu bisa gila," ucap seorang bapak-bapak pada bapak-bapak satunya.
"Gila kenapa?"
"Gila karena tidak kesampaian untuk menjadi murid di perguruan Matahari."
Bapak-bapak yang mendengarnya kaget. "Memangnya dia mau ikut ke perguruan itu?"
"Iya!"
"Mimpi!"
"Makanya aku takut dia gila karena tidak kesampaian."
Mereka berdua tertawa lalu pergi begitu saja. Bimantara mendengarnya, dia sebenarnya kesal, namun berusaha untuk bersabar. Justru itu menjadi lecutan semangat baginya.
Angin malam berhembus semakin kencang. Bimantara memejamkan mata. Dia harus berhasil agar esok bisa menunjukkannya pada kakeknya. Saat memejamkan mata, dia membayangkan tongkatnya menghilang lalu berganti dengan kakinya. Dia merasakan kini kaki kirinya yang patah telah kembali. Saat itu juga dia melakukan gerakan kuda-kuda dan akhirnya dia berhasil melakukannya. Bimantara girang bukan main dan berkali-kali menciumi tongkatnya.
***
Pagi-pagi sekali Bimantara tiba di kediaman kakek Sangkala di atas bukit. Kakek Sangkala keluar dari gubuknya dengan heran.
"Kakek kan sudah bilang, latihannya siang saja ketika matahari tepat di atas ubun-ubun."
"Aku berhasil, Kek! Aku berhasil!" teriak Bimantara girang.
Kakek Sangkala semakin heran. "Berhasil apa?"
"Berhasil menyatu dengan tongkat hingga tubuhku tidak rubuh lagi saat melakukan gerakan kuda-kuda itu, Kek!"
Kakek Sangkala mengernyit tak percaya. "Coba kakek lihat!"
Bimantara memejamkan mata. Kakek Sangkala duduk di bale-bale memperhatikannya dengan penasaran. Bimantara pun mulai melakukan gerakan kuda-kuda dengan apik menggunakan satu kaki dan tongkatnya. Kakeknya tercengang dan merasa gembira melihat keberhasilan cucunya.
"Bagus!"
"Ayo lanjut lagi latihannya, Kek!" pinta Bimantara dengan semangat.
Kakek Sangkala menghela napas. "Nanti siang saja. Sekarang kau urus dulu domba-bomba Tuan Kepala Kampung, biar punya koin perak untuk membeli buat makanmu!"
Bimantara terpaksa menurut. Dia pun pulang dan mengembalakan domba-bomba milik Tuan Kepala Kampung. Dia duduk di bawah pohon sambil menunggui domba-bomba menghabiskan rumput di Padang itu.
Dahayu lewat sambil membawa bakul berisi buah-buahan. Gadis itu melihat ke arah Bimantara sesaat lalu berjalan menunduk tanpa mau menyapanya. Bimantara langsung berdiri dengan tongkatnya dan melihat ke arahnya.
"Dahayu!" panggil Bimantara.
Langkah Dahayu terhenti lalu menatap Bimantara dengan heran dan bingung.
"Kenapa?"
Bimantara mendekat padanya dengan tongkatnya.
"Kamu tidak percaya kalau aku bisa diterima menjadi murid di perguruan Matahari?" tanya Bimantara saat sudah dekat dengan gadis itu.
"Aku percaya," jawab Dahayu.
"Kenapa waktu itu diam saja, tidak membelaku?"
Dahayu terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Bimantara menunggu apa yang akan diucapkannya.
"Kok diam?" tanya Bimantara heran.
"Aku malas berdebat," jawabnya.
"Kenapa tidak mau lagi berteman denganku? Apa karena kakiku?" tanya Bimantara tiba-tiba, keluar dari topik pertama.
"Kita sudah besar, tak pantas lagi berteman seperti semasa kecil dulu."
"Kamu masih berteman dengan mereka. Umurnya sama denganku."
Dahayu kebingungan untuk menjawabnya. Ya, dia menjauhi remaja itu karena sudah terlalu lama menahan cinta padanya. Persahabatannya sejak kecil dengan Bimantara telah membuatnya jatuh cinta. Namun Bimantara tak pernah menunjukkan gelagat kalau dia juga mencintainya. Bimantara hanya menganggapnya sahabat, tak pernah lebih dari itu. Akhirnya Dahayu memutuskan untuk menjauh darinya bersamaan saat kakinya patah.
"Maaf, aku harus pulang, orang tuaku sudah menunggu." Dahayu langsung berjalan meninggalkannya.
"Aku akan buktikan kalau aku pantas dijadikan teman!" teriak Bimantara padanya.
Dahayu tidak menggubrisnya. Bimantara kesal. Angin tiba-tiba datang menyapu wajahnya cukup kencang.
Dan siang itu, Bimantara kembali ke bukit menemui kakek Sangkala dengan lesu. Angin kembali berhembus dengan kencang.
"Aneh, ini angin kenapa mendadak datang? Apa karena melihatmu murung begitu?" canda kakek Sangkala.
"Dahayu tak mau lagi menjadi temanku, Kek," ucap Bimantara dengan jujurnya.
"Rupanya cucu kakek sudah besar, sudah mengerti soal perasaan," ledek kakeknya.
Bimantara kaget mendengar itu. "Bukan begitu maksudku, Kek," protes Bimantara.
"Kakek sudah lebih dulu hidup darimu, Bimantara."
"Aku tak pernah menganggap Dahayu sebagai pacar, Kek. Dia sahabatku dan sampai kapan pun dia akan menjadi sahabatku. Aku hanya menyayanginya sebagai sahabat. Lagi pula aku tidak mau peduli dengan urusan cinta. Cinta akan merusak impianku untuk menjadi seorang pendekar sejati," tegas Bimantara.
Kakek Sangkala melihat keseriusan di matanya. "Yasudah, sekarang ayo kita mulai latihan selanjutnya."
Bimantara mengangguk. Tak berapa lama kemudian, tiga orang lelaki memakai pakaian pendekar datang.
"Sangkala!"
Kakek Sangkala menoleh pada mereka dengan terkejut. Bimantara heran melihat sikap kakeknya yang tampak takut.
"Mereka siapa, Kek?" bisik Bimantara heran.
Kakek Sangkala tidak menjawab pertanyaan Bimantara, dia malah mendekat ke arah tiga pendekar di hadapannya itu.
"Ada apa?" tanya kakek Sangkala heran pada mereka.
"Jangan berpura-pura tidak tahu maksud kami ke sini! Sekarang bayar hutang-hutangmu!" teriak salah satu dari pendekar itu.
Bimantara kaget, dia tak tahu kalau selama ini kakek Sangkala punya hutang sama mereka.
"Hutang yang mana? Semua hutang sudah aku bayar!" teriak kakek pada mereka.
"Kau belum membayar bunganya! Serahkan koin perakmu atau kami remukkan tubuh tuamu!"
"Tidak ada bunga dalam perjanjian hutang itu. Silakan saja kalau mau meremukkan tubuhku!" ancam kakek Sangkala pada mereka.
Tiga pendekar itu langsung menyerang kakek Sangkala dengan jurus-jurus mereka. Dengan sigap kakek Sangkala menangkis semua jurus yang dikeluarkan mereka. Bimantara gemetar. Dia khawatir dengan kakeknya. Dia belum bisa berbuat apa-apa. Saat seorang pendekar berhasil mengunci tubuh kakek. Bimantara geram.
"Kakek!"
Tiba-tiba angin kencang datang. Semua heran.
"Lepaskan kakekku!" teriak Bimantara mendekati mereka dengan tongkatnya.
Tiga pendekar yang masih mengunci tubuh kakek tertawa.
"Mau apa kamu anak kecil! Menjauh sana! Kita tidak ada urusan denganmu!"
"Dia kakekku! Lepaskan kakekku!" teriak Bimantara dengan emosinya.
Pendekar itu malah mengunci tubuh kakek Sangkala dengan eratnya. Kakek Sangkala berteriak kesakitan. Bimantara meronta dengan jurus ngasalnya, akhirnya dia ditendang oleh salah satu pendekar hingga tubuhnya tersungkur jauh dari mereka. Tiba-tiba dari mulutnya keluar sedikit darah. Bimantara semakin emosi dan berteriak.
"Aaaa!"
Dia mencoba bangkit, saat itu juga angin puting beliung datang menyapu gubuk reyot kakek Sangkala. Tiga pendekar langsung berlari meninggalkan mereka. Angin puting beliung terus berputar mengejar tiga pendekar itu. Bimantar menyeret kakinya menghampiri kakeknya yang terheran-heran dengan datangnya angin puting beliung itu.
"Kakek!" teriak Bimantara.
Kakek Sangkala memegang kedua bahu Bimatara dengan tatapan heran.
"Apa setiap kali kamu marah selalu ada angin kencang yang datang?" tanya kakek tiba-tiba.
Bimantara kebingungan.
"Maksud kakek?"
"Jawab pertanyaan kakek!"
Bimantara mengingat-ingat. Ya, sejak dia membuka peti itu, angin selalu berhembus kencang saat dia sedang marah. Dan sewaktu ayahnya dibawa angin puting beliung dulu, itu saat-saat Bimantara sedang menahan amarah pada Adji Darma palsu yang membuat hidup ayahnya menderita. Bimantara lemas menyadari itu. Apa itu yang dimaksud mendiang ayahnya kalau peti itu akan membuat petaka? Apa angin puting beliung itu datang karena amarahnya? Kalau begitu, berarti dia yang membunuh ayahnya. Pikir Bimatara dengan terkejutnya. Mendadak dia semakin sedih mengingat kematian ayahnya.
"Jawab, cucuku!" teriak kakek Sangkala yang sudah tidak sabar lagi.
"Iya, Kek," jawab Bimatara.
Kakek Sangkala terkejut mendengarnya.
"Berarti..."
"Berarti kenapa, Kek?"
Kakek Sangkala membantu Bimantara berdiri. Saat mereka sudah berdiri, kakek Sangkala menatap wajah Bimantara dengan tak percaya.
"Kamu harus menjadi murid di perguruan Matahari. Alam telah memberimu tanda kesaktian dengan angin itu. Kamu harus bisa mengendalikannya, jika tidak angin yang sedang berpihak padamu akan menghancurkan hidupmu. Untuk mengendalikannya kamu harus belajar di sana."
Bimantara tercengang mendengar itu. "Berarti aku bisa menjadi murid di perguruan Matahari, Kek?" tanya Bimantara tak percaya.
Kakek Sangkala mengangguk.
"Berarti aku yang membunuh ayahku sendiri, Kek?" tanya Bimantara yang mulai meneteskan air mata.
"Kamu tidak membunuhnya, tapi takdir kematian ayahmu memang sudah tiba."
Kakek Sangkala dan Bimantara duduk tercengang di dekat puing-puing gubuk reyot yang hancur diterpa angin puting beliung. Bimantara masih tak percaya dengan semuanya. Peti yang menjadi penyebab semua itu sudah dikubur bersama ayahnya agar tidak memunculkan bencana seperti yang ditakutkan mendiang ayahnya selama ini. "Ada apa dengan peti itu, Kek? Kenapa angin berpihak padaku ketika aku membuka peti itu?" tanya Bimantara dengan bingung. Kakek Sangkala menoleh pada Bimatara dengan bingung. "Kakek tak tahu, tapi mungkin peti itu tidak ada hubungannya dengan angin itu. Angin menjadi pertanda memang sudah waktunya dan kebetulan bersamaan dengan peti yang kamu buka," jelas kakek. "Apakah di masa lalu aku pengendali angin, Kek?" "Entahlah," jawab kakek yang masih bingung. "Sudah tiga abad, belum terdengar kabar bahwa ada Pendekar pengendali angin di bumi Nusantara ini." "Apakah pendekar pengendali angin termasuk pendekar yang paling heb
Tubuh kurus itu menyentuh permukaan Laut, lalu melesat cepat ke dalam laut. Di tangannya tongkat dari batang kayu dipegangnya erat-erat. Tak lama kemudian dia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menuju permukaan. Saat kepalanya sudah berhasil menyembul keluar, ombak tiba-tiba besar. Sekuat tenaga dia jaga tongkatnya agar tidak terlepas dari genggamannya. Bimantara berusaha memulai berenang menuju sebuah pulau di hadapannya yang samar terlihat. “Kenapa tidak ada keajaiban? Kenapa aku harus berenang secara normal? Apakah aku bukan manusia yang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari?” tanya Bimantara dalam benaknya. Dengan susah payah dia gerakkan tangan dan satu kakinya sambil memegang tongkat kayu dalam genggamannya di atas permukaan laut itu. Bimantara mulai kelelahan. Jaraknya masih sangat dekat dengan Dermaga. Orang-orang yang menyaksikannya di Dermaga tampak menyayangkannya. Mereka yakin apa yang dilakukan Bimantara adalah s
Dermaga kini dipenuhi oleh tangisan para remaja yang gagal menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala dan Dahayu semakin gelisah. Mereka masih mencemaskan Bimantara. Mereka masih tidak tahu apakah remaja itu sudah sampai ke pulau itu atau masih sedang berusaha berenang untuk sampai ke sana? Seketika suara terompet terdengar. Kakek Sangkala menoleh ke belakang. Dia kaget saat mendapati dua iring-iringan dari tiga kerajaan Nusantara Timur, Tengah dan Barat baru datang. Orang-orang langsung duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka. “Hidup, Yang Mulia! Hidup, Yang Mulia!” “Siapa mereka, Kek?” tanya Dahayu heran pada Kakek Sangkala. “Kita harus pergi dari sini, mereka adalah pasukan kerajaan Nusantara dari Timur, Tengah dan Barat. Mereka ke sini pasti sedang mengantar para Pangeran untuk memasukkan mereka ke Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala pada Dahayu. Dahayu mengangguk. Mereka berdua meninggalkan Dermaga untuk mencari temp
Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri. “Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih. Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah. “Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya. Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran. “Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari. “Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak. “Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya.
“Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya. Tabib tercengang mendengarnya. "Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?" Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya. “Berbaringlah,” pinta Tabib. Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib. “Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi. “Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana. Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun
Lelaki itu duduk di atas kasurnya sambil menatap kaki Bimantara yang hanya terlihat satu. “Iya. Aku dengar angin puting beliung yang membawa kamu ke Perguruan ini bersama seorang gadis,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Apakah gadis itu Dahayu?” tanya Bimantara. “Betul, nama gadis itu Dahayu. Dia cantik,” jawab lelaki itu. Dia tak percaya jika benar yang dikatakan lelaki itu bahwa angin puting beliung yang membawa dia dan Dahayu ke sana. Bimantara mengulurkan tangannya pada lelaki itu. “Aku Bimantara,” ucap Bimantara padanya. Lelaki itu menjabat tangan Bimantara. “Aku Sakai,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengar nama itu. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang sering disebut-sebut orang-orang di kampungnya. “Sakai? Maksudmu… kamu… Pangeran Sakai?” tanya Bimantara memastikan. “Iya, aku Pangeran Sakai,” jawab lelaki itu dengan santai. Bima
Ratusan murid Perguruan Matahari beserta para guru sedang makan malam bersama. Bimantara masih tercengang dengan pengalaman pertamanya itu. Hidangan di hadapannya berbeda dengan apa yang dia makan selama ini. Menurutnya itu sangat mewah. Pangeran Sakai menoleh heran pada Bimantara yang belum menyentuh makanannya sama sekali. “Ayo makan,” ajak Pangeran Sakai. Bimantara mengangguk. Dahayu diam-diam memperhatikan Bimantara dari tempat duduknya. Akhirnya Bimantara melahap makanannya. Mendadak dia teringat akan Kakeknya. Dia berhenti makan. Pangeran Sakai heran. “Kenapa? Tidak enak?” tanya Pangeran Sakai heran. “Aku teringat kakekku.” “Kakekmu pasti bangga kamu sudah berada di sini,” ujar Pangeran Sakai padanya. Mendengar itu, Dahayu jadi teringat ayah ibunya. Kedua orang tuanya pasti khawatir padanya. Dia memang menginginkan untuk bisa menjadi murid di sana, tapi dia tahu kalau kedua orang tuanya tak pernah setuju jika dia berada di sana.
Bimantara dan Pangeran Sakai tiba di kamarnya. Bimantara duduk di tepi kasur lalu memandangi Pangeran Sakai yang mulai berbaring di atas kasurnya.“Apakah setiap Pangeran di kirim ke sini untuk menimba ilmu bela diri?” tanya Bimantara penasaran.“Ya, tapi tidak semuanya berhasil,” jawab Pangeran Sakai.“Jika tidak berhasil?”“Mereka tak akan punya kesempatan menjadi Raja, biasanya akan digantikan Pangeran yang lainnya. Makanya setiap Raja diharuskan memiliki banyak anak laki-laki,” jawab Pangeran Sakai.“Jika Pangerannya cuma satu bagaimana?” tanya Bimantara penasaran.“Akan dididik khusus di istana.”“Berarti kamu adalah calon Raja?” tanya Bimantara ikut bangga.“Iya, nanti kerajaan Nusantara Timur aku yang akan menguasainya,” jawab Pangeran Sakai sambil menatap langit-langit di kamar itu.Bimantara terbelalak mendengarnya. &