Share

3. Tongkat Sakti

Author: Hakayi
last update Last Updated: 2021-12-23 04:09:44

Bimantara berjalan tertatih dengan tongkatnya melewati perkampungan. Beberapa penduduk kampung melihatnya dengan heran. 

"Lihat saja! Bagaimana mau menjadi pendekar!"

"Impiannya terlalu tinggi! Yang bisa berguru di perguruan Matahari hanya orang-orang yang memiliki bakat kesaktian saja! Kalau dia?!"

Bimantara menahan kekesalannya pada umpatan penduduk yang didengarnya. Dia yakin kalau mereka yang mendorongnya ke lautan lah yang memberitahukan hal itu pada mereka hingga ejekan datang padanya. Dia selalu ingat pesan kakek Sangkala bahwa kesabaran akan memberinya kekuatan. Tiap kali dia bersabar maka kekuatan akan datang dari tiap cacian yang dia terima.

Saat hampir sampai di gubuk reyotnya, dia melihat ayahnya sedang menjemur bakul-bakul yang baru selesai dianyamnya. Bimantara segera berjalan ke arahnya dengan tongkat lalu memeluknya dengan erat.

"Maafkan aku, ayah!" Isak Bimantara.

Amarah di diri Naga Wali mendadak padam mendengar tangisan anak lelakinya. Bimantara semakin sesenggukkan dalam pelukannya karena kasihan dengan nasib ayahnya yang baginya sangat menderita. Kalau saja kakek Sangkala tidak menceritakan semuanya, dia tak akan sesedih itu melihat ayahnya yang dikhianati dan dibuang dari perguruan Matahari oleh sahabatnya sendiri.

"Lelaki sejati pantang untuk menangis! Hapus air matamu!" pinta Naga Wali yang mulai melunak.

Bimantara melepas pelukannya dan menghapus air matanya dengan tangannya.

"Benda di dalam peti itu adalah benda keramat. Jika dibuka, ayah khawatir akan ada musibah! Ayah tak bisa menyembunyikannya sembarangan!" 

Bimantara hanya menggangguk. Dia tak ingin memberitahunya kalau dia sudah tahu semuanya tentang misteri dibalik isi dalam peti itu.

"Berhentilah menangis, ayah sudah memaafkanmu. Akan tetapi jangan diulangi lagi," pinta ayahnya sekali lagi.

"Iya, ayah," jawab Bimantara.

"Temuilah Tuan kepala kampung, dia sudah menunggumu untuk mengembalakan domba-dombnya."

"Iya, ayah."

Bimantara pun pergi dari sana. Sesaat kemudian suara gemuruh terdengar bersama teriakan-teriakan penduduk. Bimantara terkejut saat melihat angin puting beliung yang berputar bagai gasing menarik atap jerami rumah-rumah warga. Apakah ini yang dimaksud ayahnya yang khawatir ada musibah jika membuka peti itu? Jika memang benar, apa hubungannya? Bimantara bertanya-tanya dalam hatinya bercampur panik.

"Bimantara! Kemarilah!" teriak Naga Wali dengan panik.

Bimantara segera berlari ke arah ayahnya, namun angin puting beliung yang besar itu menarik ayahnya hingga membawanya ke atas bersama benda-benda yang hancur. 

"Ayah! Ayah!" teriak Bimantara dengan sedih.

Angin puting beliung itu berputar menjauh, membawa ayahnya ke arah lautan. Bimantara mengejarnya dengan tongkatnya sambil berteriak-teriak.

"Ayah! Ayah!"

Kini angin puting beliung itu tiba di sisi jurang, lalu dengan cepat berbutar ke arah lautan. Bimantara terduduk di sisi jurang. Air matanya mengalir deras. Puting beliung itu telah membawa ayahnya pergi. 

"Ayah!!!"

***

Bimantara menangis di dekat makam ayahnya. Kakek Sangkala berdiri di dekatnya, berusaha menahan kesedihannya.

"Ini semua salahku, Kek. Harusnya aku tidak membuka peti itu. Ayah bilang kalau peti itu dibuka akan terjadi petaka," Isak Bimantara.

"Ini bukan salahmu. Angin puting beliung tak ada hubungannya dengan peti itu," ucap kakek Sangkala menenangkannya.

Bimantara berdiri dengan tongkatnya sambil menatap wajah kakeknya.

"Ajari aku berenang, Kek! Ajari aku dasar-dasar bela diri! Aku yakin aku bisa meski hanya dengan kaki satu ini," isak Bimantara.

Kakek Sangakala bingung. Dia teringat kalau mendiang ayah remaja itu pernah mendatanginya untuk meminta bantuan mengawasi Bimantara agar jangan sampai terpengaruh untuk menjadi murid di Perguruan Matahari. Kemarin dia memang pernah menawarkan itu.

"Maaf, sekarang Kakek tidak bisa mengajarimu."

Bimantara heran, "Katanya kemarin mau mengajariku, Kek?"

Kakek Sangkala pergi meninggalkannya. Bimantara heran. Esoknya Bimantara kembali datang saat Kakeknya sedang sibuk membelah kayu bakar.

"Kek, tolong ajari aku, Kek!" pinta Bimantara dengan memelas.

Kakek Sangkala cuek saja.

"Sekali Kakek bilang tidak akan tetap tidak," jawab kakek Sangkala.

Esoknya Bimantara datang lagi dengan wajah memelas. Kakeknya geram.

"Kau ini memang susah! Jika menginginkan sesuatu harus sampai dapat! Jika penasaran sesuatu harus tahu jawabannya!"

"Makanya ajari aku, Kek. Kalau kakek tidak mau mengajari aku, aku akan selalu memohon ke kakek sampai kakek mau mengajariku," ancam Bimantara.

Kakeknya menghela napas pasrah. Akhirnya mengangguk juga. Mungkin hanya itu yang bisa membuat cucunya tenang dari kematian ayahnya. Kakek Sangkala tahu kalau cucunya tak akan pernah bisa menjadi murid di perguruan Matahari. Semalam dia sudah merenunginya lama. Bimantara tak memiliki bakat kesaktian. Tak ada tanda-tanda yang terlihat dari dirinya. Meski ayahnya dulu seorang pendekar. Karena jalan menuju perguruan itu adalah bakat yang diberikan oleh alam. Bimantara pasti tak akan mampu menyeberangi lautan walau dia sudah bisa berenang. Jadi, jika dia belajar pun tak akan bisa membuatnya untuk menjadi murid di sana. 

Akhirnya kakek Sangkala mengajari Bimantara dasar-dasar ilmu bela diri di atas bukit sana. Kadang membawanya ke sungai untuk melatihnya berenang. Satu rahasia lagi yang belum dibongkar kakek padanya. Dahulu kakeknya pernah menjadi murid di perguruan Matahari. Dia hanya menguasai tiga tingkatan ilmu. Dia dikeluarkan dari perguruan karena melakukan pelanggaran di sana. Dia pun dikembalikan lagi ke kampung dan tidak bisa menyelesaikan belajar ilmu bela diri sampai tingkat ke tujuh.

"Kau harus menyatu dengan tongkatmu jika mau menguasai dasar-dasar ilmu bela diri ini," ucap kakek Sangkala pada Bimantara. Mereka sedang latihan di halaman gubuk reyotnya di atas bukit.

"Maksudnya, Kek?" tanya Bimantara bingung.

"Jadikan tongkatmu menjadi bagian dari tubuhmu. Kau harus menjaga tongkatmu dari lawan sama seperti kau menjaga kakimu yang satu," jawab kakeknya.

"Oh begitu!" ucap Bimantara yang sudah mengerti.

"Sekarang ikuti kakek! Kakek akan mengajarkan jurus kuda-kuda. Jadikan tongkat itu sebagai kakimu yang sebelah!"

"Baik, Kek!" ucap Bimantara dengan semangat.

Kakek Sangkala pun mencontohkan gerakan kuda-kuda silang belakang, silang depan, kuda-kuda belakang, tengah, samping dan depan.

"Sekarang ikuti kakek!"

"Siap, Kek!"

Bimantara pun mencoba menjadikan tongkatnya sebagai pengganti kaki kirinya yang tiada. Namun karena susah, dia kerap terjatuh dan mencobanya berkali-kali, namun sampai senja tiba, Bimantara belum juga berhasil menyatukan tongkatnya dengan dirinya. Kakek Sangkala menyuruhnya pulang dan memintanya untuk melanjutkan esok hari.

Malamnya Bimantara datang lagi ke gubuk kakeknya. Kakek Sangkala heran.

"Kenapa malam-malam begini ke sini?"

"Mau lanjut belajar ilmu bela diri, Kek," jawab Bimantara sambil tersenyum.

Kakek Sangkala geram, "Kan sudah kakek bilang, belajarnya besok pagi!"

"Aku tidak bisa tidur kalau belum menguasai menyatu dengan tongkat itu, Kek," jawab Bimantara.

Kakek Sangkala meraih balok kayu lalu bersiap memukulnya. Bimantara lari terbirit-birit dengan takutnya.

"Dasar cucu nakal! Kalau Kakek bilang besok ya besok!

Bimantara sudah menghilang dari pandangan matanya. Kakek Sangkala menghela napas. Bimantara akhirnya latihan sendiri di depan gubuk reotnya ditemani api yang menyala dari kayu bakar yang sengaja dinyalakannya untuk penerangan. 

"Ayo tongkat! Kau harus menyatu denganku! Kau bagian dari tubuhku. Tentu kau akan mengerti bagaimana menjadi diriku!" ucap Bimantara pada tongkatnya dengan penuh semangat.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
cerita yang keren
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Cedar Karamy
Deuh ayahnya cepet bgt pergi. Tapi justru kepergian ayahnya yang menjadi motivasinya semakin berlapis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   4. Kekuatan Angin

    Angin malam berhembus kencang. Menjadikan api dari kayu bakar semakin membumbung tinggi. Bimantara terus berlatih menyatukan tongkatnya dengan dirinya agar bisa melakukan gerakan kuda-kuda. Berkali-kali dia lakukan tapi selalu gagal. Tubuhnya selalu terjatuh karena tongkatnya tak berhasil membuat tubuhnya seimbang. Dua warga lewat sambil membawa obor. Mereka melihat ke arah Bimantara dengan heran. "Aku khawatir anak itu bisa gila," ucap seorang bapak-bapak pada bapak-bapak satunya. "Gila kenapa?" "Gila karena tidak kesampaian untuk menjadi murid di perguruan Matahari." Bapak-bapak yang mendengarnya kaget. "Memangnya dia mau ikut ke perguruan itu?" "Iya!" "Mimpi!" "Makanya aku takut dia gila karena tidak kesampaian." Mereka berdua tertawa lalu pergi begitu saja. Bimantara mendengarnya, dia sebenarnya kesal, namun berusaha untuk bersabar. Justru itu menjadi lecutan semangat baginya. Angin ma

    Last Updated : 2021-12-23
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   5. Tiba Harinya

    Kakek Sangkala dan Bimantara duduk tercengang di dekat puing-puing gubuk reyot yang hancur diterpa angin puting beliung. Bimantara masih tak percaya dengan semuanya. Peti yang menjadi penyebab semua itu sudah dikubur bersama ayahnya agar tidak memunculkan bencana seperti yang ditakutkan mendiang ayahnya selama ini. "Ada apa dengan peti itu, Kek? Kenapa angin berpihak padaku ketika aku membuka peti itu?" tanya Bimantara dengan bingung. Kakek Sangkala menoleh pada Bimatara dengan bingung. "Kakek tak tahu, tapi mungkin peti itu tidak ada hubungannya dengan angin itu. Angin menjadi pertanda memang sudah waktunya dan kebetulan bersamaan dengan peti yang kamu buka," jelas kakek. "Apakah di masa lalu aku pengendali angin, Kek?" "Entahlah," jawab kakek yang masih bingung. "Sudah tiga abad, belum terdengar kabar bahwa ada Pendekar pengendali angin di bumi Nusantara ini." "Apakah pendekar pengendali angin termasuk pendekar yang paling heb

    Last Updated : 2021-12-23
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   6. Ombak Laut

    Tubuh kurus itu menyentuh permukaan Laut, lalu melesat cepat ke dalam laut. Di tangannya tongkat dari batang kayu dipegangnya erat-erat. Tak lama kemudian dia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menuju permukaan. Saat kepalanya sudah berhasil menyembul keluar, ombak tiba-tiba besar. Sekuat tenaga dia jaga tongkatnya agar tidak terlepas dari genggamannya. Bimantara berusaha memulai berenang menuju sebuah pulau di hadapannya yang samar terlihat. “Kenapa tidak ada keajaiban? Kenapa aku harus berenang secara normal? Apakah aku bukan manusia yang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari?” tanya Bimantara dalam benaknya. Dengan susah payah dia gerakkan tangan dan satu kakinya sambil memegang tongkat kayu dalam genggamannya di atas permukaan laut itu. Bimantara mulai kelelahan. Jaraknya masih sangat dekat dengan Dermaga. Orang-orang yang menyaksikannya di Dermaga tampak menyayangkannya. Mereka yakin apa yang dilakukan Bimantara adalah s

    Last Updated : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   7. Dahayu

    Dermaga kini dipenuhi oleh tangisan para remaja yang gagal menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala dan Dahayu semakin gelisah. Mereka masih mencemaskan Bimantara. Mereka masih tidak tahu apakah remaja itu sudah sampai ke pulau itu atau masih sedang berusaha berenang untuk sampai ke sana? Seketika suara terompet terdengar. Kakek Sangkala menoleh ke belakang. Dia kaget saat mendapati dua iring-iringan dari tiga kerajaan Nusantara Timur, Tengah dan Barat baru datang. Orang-orang langsung duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka. “Hidup, Yang Mulia! Hidup, Yang Mulia!” “Siapa mereka, Kek?” tanya Dahayu heran pada Kakek Sangkala. “Kita harus pergi dari sini, mereka adalah pasukan kerajaan Nusantara dari Timur, Tengah dan Barat. Mereka ke sini pasti sedang mengantar para Pangeran untuk memasukkan mereka ke Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala pada Dahayu. Dahayu mengangguk. Mereka berdua meninggalkan Dermaga untuk mencari temp

    Last Updated : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   8. Di Mana Aku?

    Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri. “Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih. Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah. “Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya. Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran. “Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari. “Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak. “Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya.

    Last Updated : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   9. Tabib Perguruan

    “Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya. Tabib tercengang mendengarnya. "Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?" Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya. “Berbaringlah,” pinta Tabib. Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib. “Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi. “Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana. Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun

    Last Updated : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   10. Pangeran Sakai

    Lelaki itu duduk di atas kasurnya sambil menatap kaki Bimantara yang hanya terlihat satu. “Iya. Aku dengar angin puting beliung yang membawa kamu ke Perguruan ini bersama seorang gadis,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Apakah gadis itu Dahayu?” tanya Bimantara. “Betul, nama gadis itu Dahayu. Dia cantik,” jawab lelaki itu. Dia tak percaya jika benar yang dikatakan lelaki itu bahwa angin puting beliung yang membawa dia dan Dahayu ke sana. Bimantara mengulurkan tangannya pada lelaki itu. “Aku Bimantara,” ucap Bimantara padanya. Lelaki itu menjabat tangan Bimantara. “Aku Sakai,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengar nama itu. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang sering disebut-sebut orang-orang di kampungnya. “Sakai? Maksudmu… kamu… Pangeran Sakai?” tanya Bimantara memastikan. “Iya, aku Pangeran Sakai,” jawab lelaki itu dengan santai. Bima

    Last Updated : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   11. Karang Kalajengking

    Ratusan murid Perguruan Matahari beserta para guru sedang makan malam bersama. Bimantara masih tercengang dengan pengalaman pertamanya itu. Hidangan di hadapannya berbeda dengan apa yang dia makan selama ini. Menurutnya itu sangat mewah. Pangeran Sakai menoleh heran pada Bimantara yang belum menyentuh makanannya sama sekali. “Ayo makan,” ajak Pangeran Sakai. Bimantara mengangguk. Dahayu diam-diam memperhatikan Bimantara dari tempat duduknya. Akhirnya Bimantara melahap makanannya. Mendadak dia teringat akan Kakeknya. Dia berhenti makan. Pangeran Sakai heran. “Kenapa? Tidak enak?” tanya Pangeran Sakai heran. “Aku teringat kakekku.” “Kakekmu pasti bangga kamu sudah berada di sini,” ujar Pangeran Sakai padanya. Mendengar itu, Dahayu jadi teringat ayah ibunya. Kedua orang tuanya pasti khawatir padanya. Dia memang menginginkan untuk bisa menjadi murid di sana, tapi dia tahu kalau kedua orang tuanya tak pernah setuju jika dia berada di sana.

    Last Updated : 2022-02-18

Latest chapter

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   582. ENDING : Pertemuan di Nusantara

    Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   581. Perang Besar Terakhir 8

    Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   580. Perang Besar Terakhir 7

    “Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   579. Perang Besar Terakhir 6

    “Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   578. Perang Besar Terakhir 5

    Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   577. Perang Besar Terakhir 4

    Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   576. Perang Besar Terakhir 3

    Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   575. Perang Besar Terakhir 2

    “Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   574. Perang Besar Terakhir 1

    Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it

DMCA.com Protection Status