Pagi sekali, Naga Wali sudah bersiap membawa bakul-bakul dari rotan untuk dijual keliling perkampungan dengan tongkatnya.
"Jangan lupa gembalakan dompa Tuan kepala kampung jika ingin mendapatkan koin perak! Kamu sudah besar, harus bisa mencari koin sendiri," ucap Naga Wali pada Bimantara yang berniat untuk belajar berenang di hari itu. Niatnya sudah bulat untuk menjadi murid di perguruan Matahari.
"Iya, Ayah."
"Dan tolong, jangan mencoba untuk membuka peti di bawah tempat tidur ayah! Jika sampai kamu buka, kamu akan kualat!"
"Baik, ayah."
Naga Wali pun pergi membawa bakul-bakul rotan sambil meraba jalanan dengan tongkatnya.
Bimantara langsung bersiap untuk belajar berenang di sungai yang terletak di ujung perkampungan. Saat dia hendak melangkah keluar gubuknya, dia melihat ada cahaya yang keluar di bawah tempat tidur ayahnya. Dengan bantuan tongkat, Bimantara mendekat ke arah tempat tidur ayahnya dengan penuh rasa penasaran.
Karena rasa penasaran, Bimantara pun melongo ke bawah tempat tidur. Cahaya itu keluar dari dalam peti yang sedikit terbuka. Dia pun menarik paksa peti itu dan langsung membukanya. Bimantara tercengang saat mendapati di dalam peti itu berisi pedang perak yang berkilau. Di sana juga ada topeng dan pakaian pendekar. Dia ingat, semua itu adalah perlengkapan yang sama seperti perlengkapan pendekar Adji Darma yang menjadi pemimpin di perguruan Matahari. Dia pernah melihat Pendekar Adji Darma sekali dalam seumur hidupnya.
"Bimantara!"
Bimantara terkejut saat mendapati ayahnya sudah berdiri di dekatnya. Dia heran, kenapa ayahnya kembali lagi ke sana? Dia langsung menutup peti itu dan mendorongnya ke bawah ranjang dengan hati-hati agar ayahnya tidak curiga.
"Kenapa kamu berani membuka peti itu?!"
Bimantara kaget, bagaimana ayahnya tahu? Padahal ayahnya tidak bisa melihat. Naga Wali langsung mengibaskan tongkatnya ke arah Bimantara. Sontak Bimantara langsung meraih tongkatnya sendiri untuk berlari dengan kaki pincangnya.
"Anak durhaka! Mau kemana kamu!"
Bimantara terus saja berlari dengan susah payah. Di belakangnya Naga Wali mengejarnya sambil meraba jalanan dengan tongkatnya. Bimatara pun bersembunyi di balik batu dengan takut sambil memegang tongkatnya. Dia masih bertanya-tanya tentang apa yang dilihatnya dalam peti itu tadi. Saat merasa sudah aman, dia pun pergi mencari kakeknya di atas bukit.
Bimantara mendapati kakeknya sedang membetulkan atap gubuknya yang terbuat dari jerami. Napasnya terengah-engah, kelelahan menaiki bukit.
"Ada apa?" tanya kakeknya sambil melompat dari atap ke atas tanah.
Bimantara diam, bimbang antara ingin menanyakan soal isi peti atau tidak. Kakek Sangkala semakin heran. Tak lama kemudian dia tersenyum.
"Kalau ingin belajar dasar-dasar ilmu bela diri, kakek bisa mengajarkannya padamu."
"Bukan itu, Kek."
"Lalu apa?"
"Tadi aku tak sengaja melihat cahaya di bawah tempat tidur ayah."
"Lalu?"
"Aku penasaran dan melongo ke bawah tempat tidur ayah. Ternyata cahaya itu dari dalam peti milik ayah. Di dalamnya kulihat ada pedang, pakaian dan topeng yang mirip dengan yang sering dipakai pendekar Adji Darma."
Kakek Sangkala terkejut mendengarnya.
"Bukannya ayahmu melarang untuk membukanya? Kenapa kau berani melanggar perintah orang tuamu?"
Bimantara menunduk. "Maafkan aku, Kek. Aku penasaran."
Kakek Sangkala geram, "Memang itu penyakitmu! Kalau sudah penasaran harus tahu jawabannya! Ingat, adakalanya kita harus diam dan berhenti bertanya.
"Maaf, Kek," ucap Bimantara lalu menuduk dengan takut.
Kakek Sangkala menghela napas.
"Apa maksudnya semua itu, Kek? Kenapa benda-benda itu disimpan sama ayah? Apakah ayah mencurinya dari Pendekar Adji Darma?"
"Baru saja tadi kakek bilang adakalanya kita harus diam, masih saja bertanya!" kesal Kakek padanya.
"Maaf, Kek. Kelepasan," sahut Bimantara.
Kakek Sangkala akhirnya menghela napas. Dia tak tega membuat cucunya mati penasaran.
"Ayahmu bukan pencuri!" teriak kakek Sangkala tidak menerima sangkaan cucunya tadi.
"Kenapa bisa disimpan sama ayah?"
Kakek Sangkala terdiam lalu mengajak Bimantara duduk di atas bale di depan gubuknya.
"Mungkin sudah saatnya kamu tahu tentang rahasia ayahmu," ucap kakeknya sambil menatap pemandangan di bawah bukit sana.
"Rahasia apa, Kek?" Bimantara semakin penasaran.
Kakek menoleh pada Bimantara yang tampan itu.
"Ayahmu dahulu pendekar termasyhur yang dimiliki bumi Nusantara ini. Dia lah pemimpin sesungguhnya pemilik perguruan Matahari."
Bimantara terbelalak mendengar itu.
"Yang benar, Kek?"
"Iya, kakek tidak berbohong."
"Kalau begitu, kenapa ayah tidak memimpin perguruan Matahari lagi?"
Kakek Sangkala berdiri. Matanya menarawang ke masa lalu. Dia ceritakan semuanya pada Bimantara kalau dulu ayahnya memiliki sahabat bernama Arwana. Arwana tidak pernah tahu kalau Naga Wali adalah Adji Darma. Saat itu, mendiang ibu Bimantara dicintai Arwana, ayahnya malah merebut ibunya dari Arwana. Arwana pun pergi menjadi murid di perguruan Matahari. Tidak pernah kembali ke kampung dan akhirnya mengabdi menjadi guru ilmu bela diri di sana.
Akhirnya rahasia terbongkar. Ternyata Naga Wali adalah Adji Darma. Arwana yang menyimpan sakit hati diam-diam mengajak Naga Wali bertarung jika tidak ingin rahasia itu dia bongkar. Jika Naga Wali kalah, maka kepemimpinan perguruan Matahari akan jatuh ke tangan Arwana. Namun jika Arwana kalah, dia akan memaafkan Naga Wali yang sudah merebut mendiang ibu Bimantara darinya dan akan merahasiakan kalau Adji Darma adalah Naga Wali.
Naga Wali setuju karena yakin akan menang. Ternyata Arwana berbuat curang. Dia diam-diam mencampurkan minuman Naga Wali dengan racun. Hingga saat pertarungan Naga Wali kalah dan matanya dibutakan oleh Arwana. Ilmu tenaga dalamnya dikeluarkan oleh Arwana dengan ajian pamungkasnya.
Mendengar itu, Bimantara berdiri dengan geram.
"Latih aku ilmu dasar-dasar bela diri dan berenang, Kek! Biar aku bisa ke sana dan belajar ilmu bela diri sampai aku bisa membalaskan dendam ayah!" teriak Bimantara dengan kesal.
"Balas dendam tak akan menyelesaikan masalah. Lagi pula ayahmu sudah memaafkan Arwana. Semuanya sudah selesai. Ayahmu sudah hidup tenang dengan apa yang dijalaninya sekarang."
Bimantara tampak kesal bercampur sedih memikirkan nasib ayahnya. Dia pun berjalan meninggalkan kakek Sangkala untuk pulang menemui ayahnya. Kakek Sangkala hanya diam saja. Harusnya dia tidak bercerita. Kini melihat sikap Bimantara yang kesal begitu dia menyesal sudah menceritakan semuanya.
Bimantara berjalan tertatih dengan tongkatnya melewati perkampungan. Beberapa penduduk kampung melihatnya dengan heran. "Lihat saja! Bagaimana mau menjadi pendekar!" "Impiannya terlalu tinggi! Yang bisa berguru di perguruan Matahari hanya orang-orang yang memiliki bakat kesaktian saja! Kalau dia?!" Bimantara menahan kekesalannya pada umpatan penduduk yang didengarnya. Dia yakin kalau mereka yang mendorongnya ke lautan lah yang memberitahukan hal itu pada mereka hingga ejekan datang padanya. Dia selalu ingat pesan kakek Sangkala bahwa kesabaran akan memberinya kekuatan. Tiap kali dia bersabar maka kekuatan akan datang dari tiap cacian yang dia terima. Saat hampir sampai di gubuk reyotnya, dia melihat ayahnya sedang menjemur bakul-bakul yang baru selesai dianyamnya. Bimantara segera berjalan ke arahnya dengan tongkat lalu memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, ayah!" Isak Bimantara. Amarah di diri Naga Wali mendadak p
Angin malam berhembus kencang. Menjadikan api dari kayu bakar semakin membumbung tinggi. Bimantara terus berlatih menyatukan tongkatnya dengan dirinya agar bisa melakukan gerakan kuda-kuda. Berkali-kali dia lakukan tapi selalu gagal. Tubuhnya selalu terjatuh karena tongkatnya tak berhasil membuat tubuhnya seimbang. Dua warga lewat sambil membawa obor. Mereka melihat ke arah Bimantara dengan heran. "Aku khawatir anak itu bisa gila," ucap seorang bapak-bapak pada bapak-bapak satunya. "Gila kenapa?" "Gila karena tidak kesampaian untuk menjadi murid di perguruan Matahari." Bapak-bapak yang mendengarnya kaget. "Memangnya dia mau ikut ke perguruan itu?" "Iya!" "Mimpi!" "Makanya aku takut dia gila karena tidak kesampaian." Mereka berdua tertawa lalu pergi begitu saja. Bimantara mendengarnya, dia sebenarnya kesal, namun berusaha untuk bersabar. Justru itu menjadi lecutan semangat baginya. Angin ma
Kakek Sangkala dan Bimantara duduk tercengang di dekat puing-puing gubuk reyot yang hancur diterpa angin puting beliung. Bimantara masih tak percaya dengan semuanya. Peti yang menjadi penyebab semua itu sudah dikubur bersama ayahnya agar tidak memunculkan bencana seperti yang ditakutkan mendiang ayahnya selama ini. "Ada apa dengan peti itu, Kek? Kenapa angin berpihak padaku ketika aku membuka peti itu?" tanya Bimantara dengan bingung. Kakek Sangkala menoleh pada Bimatara dengan bingung. "Kakek tak tahu, tapi mungkin peti itu tidak ada hubungannya dengan angin itu. Angin menjadi pertanda memang sudah waktunya dan kebetulan bersamaan dengan peti yang kamu buka," jelas kakek. "Apakah di masa lalu aku pengendali angin, Kek?" "Entahlah," jawab kakek yang masih bingung. "Sudah tiga abad, belum terdengar kabar bahwa ada Pendekar pengendali angin di bumi Nusantara ini." "Apakah pendekar pengendali angin termasuk pendekar yang paling heb
Tubuh kurus itu menyentuh permukaan Laut, lalu melesat cepat ke dalam laut. Di tangannya tongkat dari batang kayu dipegangnya erat-erat. Tak lama kemudian dia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menuju permukaan. Saat kepalanya sudah berhasil menyembul keluar, ombak tiba-tiba besar. Sekuat tenaga dia jaga tongkatnya agar tidak terlepas dari genggamannya. Bimantara berusaha memulai berenang menuju sebuah pulau di hadapannya yang samar terlihat. “Kenapa tidak ada keajaiban? Kenapa aku harus berenang secara normal? Apakah aku bukan manusia yang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari?” tanya Bimantara dalam benaknya. Dengan susah payah dia gerakkan tangan dan satu kakinya sambil memegang tongkat kayu dalam genggamannya di atas permukaan laut itu. Bimantara mulai kelelahan. Jaraknya masih sangat dekat dengan Dermaga. Orang-orang yang menyaksikannya di Dermaga tampak menyayangkannya. Mereka yakin apa yang dilakukan Bimantara adalah s
Dermaga kini dipenuhi oleh tangisan para remaja yang gagal menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala dan Dahayu semakin gelisah. Mereka masih mencemaskan Bimantara. Mereka masih tidak tahu apakah remaja itu sudah sampai ke pulau itu atau masih sedang berusaha berenang untuk sampai ke sana? Seketika suara terompet terdengar. Kakek Sangkala menoleh ke belakang. Dia kaget saat mendapati dua iring-iringan dari tiga kerajaan Nusantara Timur, Tengah dan Barat baru datang. Orang-orang langsung duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka. “Hidup, Yang Mulia! Hidup, Yang Mulia!” “Siapa mereka, Kek?” tanya Dahayu heran pada Kakek Sangkala. “Kita harus pergi dari sini, mereka adalah pasukan kerajaan Nusantara dari Timur, Tengah dan Barat. Mereka ke sini pasti sedang mengantar para Pangeran untuk memasukkan mereka ke Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala pada Dahayu. Dahayu mengangguk. Mereka berdua meninggalkan Dermaga untuk mencari temp
Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri. “Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih. Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah. “Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya. Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran. “Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari. “Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak. “Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya.
“Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya. Tabib tercengang mendengarnya. "Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?" Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya. “Berbaringlah,” pinta Tabib. Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib. “Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi. “Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana. Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun
Lelaki itu duduk di atas kasurnya sambil menatap kaki Bimantara yang hanya terlihat satu. “Iya. Aku dengar angin puting beliung yang membawa kamu ke Perguruan ini bersama seorang gadis,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Apakah gadis itu Dahayu?” tanya Bimantara. “Betul, nama gadis itu Dahayu. Dia cantik,” jawab lelaki itu. Dia tak percaya jika benar yang dikatakan lelaki itu bahwa angin puting beliung yang membawa dia dan Dahayu ke sana. Bimantara mengulurkan tangannya pada lelaki itu. “Aku Bimantara,” ucap Bimantara padanya. Lelaki itu menjabat tangan Bimantara. “Aku Sakai,” jawab lelaki itu. Bimantara terkejut mendengar nama itu. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang sering disebut-sebut orang-orang di kampungnya. “Sakai? Maksudmu… kamu… Pangeran Sakai?” tanya Bimantara memastikan. “Iya, aku Pangeran Sakai,” jawab lelaki itu dengan santai. Bima