Share

Bimantara Pendekar Kaki Satu
Bimantara Pendekar Kaki Satu
Penulis: Hakayi

1. Impian Bimantara

Penulis: Hakayi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-23 04:06:41

Tiga remaja berdiri di atas tebing. Dua lelaki dan satu perempuan. Mereka menatap pulau di seberang lautan. Di atasnya berdiri bangunan megah terbuat dari kayu dan bambu. Samar, tapi siluetnya tertangkap jelas. Menaranya tinggi menjulang hampir menembus langit. Itu adalah bangunan Perguruan Matahari. Berdiri sudah berabad-abad lamanya. Termasyhur di seantero Nusantara. Menjadi tujuan setiap remaja untuk bisa menimba ilmu bela diri di sana.

"Kenapa tidak semua orang bisa belajar ilmu bela diri di sana?"

"Hanya yang terpilih yang bisa menjadi murid di sana."

Bimantara lewat sambil menggiring kambing-kambingnya menuju kandang. Saat dia melihat Dahayu, dia meninggalkan kambing-kambingnya lalu berjalan ke arah mereka dengan langkah pincang. Dia hanya memiliki satu kaki, selalu dibantu dengan tongkatnya. Remaja berusia enam belas tahun yang malang. Senyumnya mengembang saat melihat Dahayu ada di sana. Seorang gadis yang semasa kecil menjadi teman dekatnya. Kini gadis itu telah menjauh darinya sejak dia kehilangan kaki sebelah. Dia masih penasaran apa alasan Dahayu tidak mau lagi berteman dengannya?

"Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya.

Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara itu Bimantara, dua remaja lelaki tertawa. Dahayu diam saja.

"Jangan mimpi! Memangnya kau bisa berenang ke sana? Murid baru yang diterima di sana hanya mereka yang mampu menempuh pulau itu tanpa bantuan perahu atau kapal layar!"

"Anak raja saja banyak yang gagal! Apalagi kamu!"

Dua remaja lelaki itu menertawainya. Bimantara tidak merasa sakit hati atas ejekan mereka. Dia malah semakin semangat untuk membuktikan pada mereka bahwa dia bisa diterima di sana dan akan menjadi pendekar termasyhur di seantero Nusantara.

"Lihat saja nanti!" tegas Bimantara dengan penuh percaya dirinya. Matanya mengarah pada Dahayu. Gadis itu menunduk, tak nyaman dipandang.

Seorang remaja lelaki mendekat padanya.

"Kau tidak lihat apa? Siapa dirimu? Berjalan saja susah, bagaimana mau jadi pendekar?"

Satu remaja lainnya menyahut dengan tertawa. Dahayu masih diam, bingung.

"Siapa bilang aku tidak bisa berenang? Tahun depan, kalau terompet sudah terdengar di pulau itu! Aku akan berenang ke sana dan pasti akan menjadi murid di sana!" tegas Bimantara dengan rasa percaya dirinya.

Sontak remaja lelaki yang ada di hadapannya itu langsung mendorong tubuh Bimantara ke bawah jurang, hingga dirinya terjatuh bersama tongkatnya dan tenggelam di lautan. Dahayu berteriak dengan panik.

"Kalian keterlaluan! Dia bisa mati!"

"Tenang Dahayu, dia tak akan mati, lihat ke bawah. Dia terjun ke lautan, tidak mengenai karang!"

Namun tetap saja Dahayu tampak panik sambil melihat-lihat ke bawah sana. Dia semakin gusar saat tidak melihat Bimantara di bawah sana.

Sementara itu Bimantara mencoba menggerakkan tubuhnya ke permukaan laut. Dia tenggelam dan sudah banyak menelan air laut. Saat tiba di permukaan laut, dia menatap ke atas tebing. Dilihatnya Dahayu dan dua remaja itu masih berdiri di atas tebing.

"Tolong! Tolong!" teriak Bimantara ke atas sana.

Dua remaja lelaki di atas tebing tertawa-tawa. Sementara Dahayu panik dan langsung pergi dari sana untuk mencari pertolongan.

"Katanya bisa berenang! Kenapa masih minta tolong!"

"Iya! Kalau tidak bisa, bilang saja tidak bisa!"

Dua remaja lelaki itu kembali menertawakan. Bimantara ketakutan. Dia berusaha berenang ke tepi namun ombak yang besar menggulung-gulung tubuhnya hingga dia tersedak dan hampir saja tidak bisa bernapas. Tubuhnya lemah hingga perlahan tenggelam menuju dasar lautan.

Kakek tua terjun ke lautan dari atas tebing. Saat tubuhnya berada di dalam laut, dia mencari-cari keberadaan Bimantara. Saat mendapati tubuh Bimantara yang sudah tidak sadarkan diri lagi dan menurun ke dasar lautan, kakek itu langsung melesat menujunya dan mengangkat tubuh Bimantara ke atas.

Beruntung, Kakek itu berhasil membawa tubuh Bimantara ke atas pasir di dekat dinding jurang. Dia lalu menekan-nekan dada Bimantara hingga air keluar dari mulutnya dan remaja itu akhirnya kembali bisa bernapas.

"Apa benar kau mau bunuh diri?" tanya kakek itu dengan marah.

"Tidak kek, mereka yang mendorong aku dari atas sana," jawab Bimantara lemah.

Kakek itu geram mendengarnya. "Kurang ajar! Mereka sudah membohongiku!"

"Aku yang salah kek," aku Bimantara dengan lemah.

"Kalau mereka yang mendorongmu, berarti mereka yang salah!"

"Aku sudah membuat mereka panas hati. Aku bilang ke mereka bahwa aku bisa berenang ke pulau perguruan Matahari di seberang sana untuk menjadi murid baru di sana tahun depan. Mereka mendorongku karena ingin membuktikan apakah aku bisa berenang atau tidak, Kek."

"Kau sama seperti ayahmu," ujar Kakek itu dengan kesal, "Selalu saja menantang orang-orang yang meremehkanmu. Ingat, adakalanya kita harus sadar diri. Jangan pancing orang-orang untuk membuktikan apa yang kita tidak bisa lalukan."

Air mata Bimantara tiba-tiba mengucur.

"Cengeng!"

"Maafkan aku, Kek. Aku sadar aku tidak akan pernah bisa menjadi murid di Perguruan Matahari, tapi jika aku bermimpi, aku tidak salah kan?" isak Bimantara.

Kakek itu bergeming. Mendadak dia kasihan melihat cucu kesayangannya itu. Dia menoleh ke sebuah pulau di ujung sana. Menatap bangunan perguruan Matahari yang samar di matanya. Kepala perguruan itu adalah Adji Darma, manusia tersakti di Nusantara yang selalu menggunakan topengnya dan tidak ada yang pernah tahu bagaimana rupa wajahnya. Guru-guru bela diri di sana adalah para pendekar terbaik yang dipilih dari seantero Nusantara. Ilmu bela diri mereka tak bisa diragukan lagi. Dan setiap setahun sekali, mereka meluluskan murid-muridnya dan menerima murid baru untuk belajar beladiri.

Tentu tidak mudah untuk bisa menjadi murid di perguruan Matahari. Calon murid harus bisa sampai ke pulau itu, tidak boleh menggunakan perahu. Mereka harus berenang ke sana.

Konon, di lautannya terdapat naga yang akan menenggelamkan perahu dan kapal yang ingin menuju pulau itu. Dan kabarnya, murid-murid yang diterima di sana memang sudah menjadi panggilan alam yang kelak akan diberi tanggung jawab untuk menjaga bumi Nusantara dari segala kejahatan dan angkara murka. Dan siapapun yang terpilih oleh alam untuk menjadi murid di sana, pasti akan mendapatkan kemudahan untuk tiba di pulau itu. Menurut pengakuan murid yang diterima di sana, mereka seperti mendapatkan penolong tak terlihat hingga mudah berenang ke pulau itu. Dan mereka yang tidak termasuk dari panggilan alam, bagaimana pun caranya tak akan pernah bisa sampai ke pulau itu.

Kakek itu masih diam, kemudian membantu Bimantara untuk berdiri. Dia akan menuntunnya untuk naik ke atas tebing melalui jalanan tangga yang sudah dibuat oleh penduduk di sana.

"Kenapa aku terlahir begini, Kek?" Tangis Bimantara pecah. "Kenapa aku tidak bisa menjadi murid di sana. Aku ingin menjadi pendekar, Kek. Pendekar yang menguasai semua ilmu yang diajarkan di sana. Agar tidak ada lagi yang berani mengejekku yang pincang begini. Agar tidak ada lagi yang merendahkan ayahku yang buta."

"Menjadi manusia sejati itu bukan hanya menjadi pendekar! Tapi manusia yang berbudi! Sudahlah, lupakan impianmu itu! Kau bisa mati ditelan lautan jika memaksakan kehendak! Sekarang ayo kita pulang. Ayahmu sudah menunggu di rumah."

Bimantara pasrah. Dia pun berjalan dituntun kakek menaiki tebing. Kakek itu bernama Sangkala. Dia adalah ayah dari ibunya yang meninggal karena melahirkannya. Bimantara tinggal berdua bersama ayahnya yang buta di gubuk reyot di perkampungan yang tak jauh dari sana. Sementara kakeknya tinggal sendirian di atas bukit.

Setiba di depan gubuk reyot itu, kakeknya pamit pulang. Ayahnya yang bernama Naga Wali keluar dari gubuk sambil mengulurkan bilah kayu yang panjang. Wajahnya terlihat marah.

"Kemana saja kamu?! Tadi Tuan pemilik domba mencarimu! Katanya kamu meninggalkan domba-dombanya di Padang rumput!"

Bimantara baru ingat akan kambing-kambingnya. "Maafkan aku ayah. Tadi aku..."

"Sudah ganti baju sana. Domba-dombanya sudah digiring oleh pemiliknya! Tubuhmu bau air laut! Kamu pasti meninggalkan domba-domba itu karena bermain air laut bersama teman-temanmu, kan?"

"Iya, Ayah." Mau tak mau Bimantara terpaksa berbohong. Dia tidak mau ayahnya tahu kalau tadi dia didorong teman-temannya ke lautan untuk membuktikan apakah dia bisa berenang atau tidak. Kalau sampai ayahnya tahu bahwa itu terjadi karena niatnya untuk memasuki perguruan Matahari, dia pasti akan kembali marah karena ayahnya tak pernah mengizinkannya untuk menjadi murid di sana. Itulah yang menguburkan mimpinya ke sana. Padahal Bimantara adalah remaja yang memiliki keingintahuan yang sangat tinggi. Dia kerap membuat orang-orang kesal dengan pertanyaan-pertanyaannya. Bimantara tak akan berhenti bertanya pada siapapun yang telah membuatnya penasaran. Dia akan mencecar orang-orang itu sampai dia menemukan jawabannya. Namun untuk urusan Perguruan Matahari, dia tak pernah ingin tahu lagi. Karena dia tidak ingin melawan satu-satunya manusia yang sangat dia sayangi dan hormati. Akan tetapi, kejadian tadi telah membuat semangatnya membara untuk bisa menjadi murid di Perguruan Matahari. Dia masih kesal diremehkan dan ditertawakan teman-temannya. Sekarang dia ingin membungkan mereka dengan membuktikan bahwa dia bisa menjadi murid di sana. Bimantara pun berjalan masuk menuju gubuknya dan mencari pakaian baru untuk dipakainya.

"Aku harus belajar berenang, agar nanti jika penerimaan murid baru sudah dibuka, aku bisa berenang menuju pulau itu dan menjadi murid perguruan Matahari," bisiknya dalam hati.

Hakayi

Mohon dukungan untuk memberikan vote, jika menyukai novel ini. Terima kasih.

| 7
Komen (22)
goodnovel comment avatar
Andriyanto Andriyanto
bagus cerita nya tidak membosankan
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
lanjukan broo
goodnovel comment avatar
Mango Gglk02
lama gak update
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   2. Pendekar Adji Darma

    Pagi sekali, Naga Wali sudah bersiap membawa bakul-bakul dari rotan untuk dijual keliling perkampungan dengan tongkatnya. "Jangan lupa gembalakan dompa Tuan kepala kampung jika ingin mendapatkan koin perak! Kamu sudah besar, harus bisa mencari koin sendiri," ucap Naga Wali pada Bimantara yang berniat untuk belajar berenang di hari itu. Niatnya sudah bulat untuk menjadi murid di perguruan Matahari. "Iya, Ayah." "Dan tolong, jangan mencoba untuk membuka peti di bawah tempat tidur ayah! Jika sampai kamu buka, kamu akan kualat!" "Baik, ayah." Naga Wali pun pergi membawa bakul-bakul rotan sambil meraba jalanan dengan tongkatnya. Bimantara langsung bersiap untuk belajar berenang di sungai yang terletak di ujung perkampungan. Saat dia hendak melangkah keluar gubuknya, dia melihat ada cahaya yang keluar di bawah tempat tidur ayahnya. Dengan bantuan tongkat, Bimantara mendekat ke arah tempat tidur ayahnya dengan penuh

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   3. Tongkat Sakti

    Bimantara berjalan tertatih dengan tongkatnya melewati perkampungan. Beberapa penduduk kampung melihatnya dengan heran. "Lihat saja! Bagaimana mau menjadi pendekar!" "Impiannya terlalu tinggi! Yang bisa berguru di perguruan Matahari hanya orang-orang yang memiliki bakat kesaktian saja! Kalau dia?!" Bimantara menahan kekesalannya pada umpatan penduduk yang didengarnya. Dia yakin kalau mereka yang mendorongnya ke lautan lah yang memberitahukan hal itu pada mereka hingga ejekan datang padanya. Dia selalu ingat pesan kakek Sangkala bahwa kesabaran akan memberinya kekuatan. Tiap kali dia bersabar maka kekuatan akan datang dari tiap cacian yang dia terima. Saat hampir sampai di gubuk reyotnya, dia melihat ayahnya sedang menjemur bakul-bakul yang baru selesai dianyamnya. Bimantara segera berjalan ke arahnya dengan tongkat lalu memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, ayah!" Isak Bimantara. Amarah di diri Naga Wali mendadak p

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   4. Kekuatan Angin

    Angin malam berhembus kencang. Menjadikan api dari kayu bakar semakin membumbung tinggi. Bimantara terus berlatih menyatukan tongkatnya dengan dirinya agar bisa melakukan gerakan kuda-kuda. Berkali-kali dia lakukan tapi selalu gagal. Tubuhnya selalu terjatuh karena tongkatnya tak berhasil membuat tubuhnya seimbang. Dua warga lewat sambil membawa obor. Mereka melihat ke arah Bimantara dengan heran. "Aku khawatir anak itu bisa gila," ucap seorang bapak-bapak pada bapak-bapak satunya. "Gila kenapa?" "Gila karena tidak kesampaian untuk menjadi murid di perguruan Matahari." Bapak-bapak yang mendengarnya kaget. "Memangnya dia mau ikut ke perguruan itu?" "Iya!" "Mimpi!" "Makanya aku takut dia gila karena tidak kesampaian." Mereka berdua tertawa lalu pergi begitu saja. Bimantara mendengarnya, dia sebenarnya kesal, namun berusaha untuk bersabar. Justru itu menjadi lecutan semangat baginya. Angin ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   5. Tiba Harinya

    Kakek Sangkala dan Bimantara duduk tercengang di dekat puing-puing gubuk reyot yang hancur diterpa angin puting beliung. Bimantara masih tak percaya dengan semuanya. Peti yang menjadi penyebab semua itu sudah dikubur bersama ayahnya agar tidak memunculkan bencana seperti yang ditakutkan mendiang ayahnya selama ini. "Ada apa dengan peti itu, Kek? Kenapa angin berpihak padaku ketika aku membuka peti itu?" tanya Bimantara dengan bingung. Kakek Sangkala menoleh pada Bimatara dengan bingung. "Kakek tak tahu, tapi mungkin peti itu tidak ada hubungannya dengan angin itu. Angin menjadi pertanda memang sudah waktunya dan kebetulan bersamaan dengan peti yang kamu buka," jelas kakek. "Apakah di masa lalu aku pengendali angin, Kek?" "Entahlah," jawab kakek yang masih bingung. "Sudah tiga abad, belum terdengar kabar bahwa ada Pendekar pengendali angin di bumi Nusantara ini." "Apakah pendekar pengendali angin termasuk pendekar yang paling heb

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   6. Ombak Laut

    Tubuh kurus itu menyentuh permukaan Laut, lalu melesat cepat ke dalam laut. Di tangannya tongkat dari batang kayu dipegangnya erat-erat. Tak lama kemudian dia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menuju permukaan. Saat kepalanya sudah berhasil menyembul keluar, ombak tiba-tiba besar. Sekuat tenaga dia jaga tongkatnya agar tidak terlepas dari genggamannya. Bimantara berusaha memulai berenang menuju sebuah pulau di hadapannya yang samar terlihat. “Kenapa tidak ada keajaiban? Kenapa aku harus berenang secara normal? Apakah aku bukan manusia yang terpilih untuk menjadi murid di Perguruan Matahari?” tanya Bimantara dalam benaknya. Dengan susah payah dia gerakkan tangan dan satu kakinya sambil memegang tongkat kayu dalam genggamannya di atas permukaan laut itu. Bimantara mulai kelelahan. Jaraknya masih sangat dekat dengan Dermaga. Orang-orang yang menyaksikannya di Dermaga tampak menyayangkannya. Mereka yakin apa yang dilakukan Bimantara adalah s

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   7. Dahayu

    Dermaga kini dipenuhi oleh tangisan para remaja yang gagal menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala dan Dahayu semakin gelisah. Mereka masih mencemaskan Bimantara. Mereka masih tidak tahu apakah remaja itu sudah sampai ke pulau itu atau masih sedang berusaha berenang untuk sampai ke sana? Seketika suara terompet terdengar. Kakek Sangkala menoleh ke belakang. Dia kaget saat mendapati dua iring-iringan dari tiga kerajaan Nusantara Timur, Tengah dan Barat baru datang. Orang-orang langsung duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka. “Hidup, Yang Mulia! Hidup, Yang Mulia!” “Siapa mereka, Kek?” tanya Dahayu heran pada Kakek Sangkala. “Kita harus pergi dari sini, mereka adalah pasukan kerajaan Nusantara dari Timur, Tengah dan Barat. Mereka ke sini pasti sedang mengantar para Pangeran untuk memasukkan mereka ke Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala pada Dahayu. Dahayu mengangguk. Mereka berdua meninggalkan Dermaga untuk mencari temp

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   8. Di Mana Aku?

    Sepasang suami istri berlari ke arah Kakek Sangkala. Mereka berteriak-teriak memanggil Dahayu. Kakek Sangakala berdiri. “Ikhlaskan Dahayu,” ucap Kakek dengan sedih. Sepasang suami istri itu mendekat ke Kakek Sangkala dengan marah. “Itu anak kami! Jika itu terjadi pada anakmu bagaimana?” teriak Sang Suami dengan marah. Sang Istri masih terisak di sebelahnya. Tak berapa lama kemudian, Kakek Sangkala melihat angin puting beliung itu berputar menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala berdiri dengan heran. “Dia tidak akan mati!” ucap Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu heran lalu ikut memandangi angin puting beliung yang menuju Pulau Perguruan Matahari. “Apa maksudnya Dahayu tak akan mati?” tanya Sang istri masih terisak. “Sepertinya angin puting beliung itu membawa Dahayu untuk menjadi murid di Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala. Sepasang suami istri itu tercengang tak percaya.

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-10
  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   9. Tabib Perguruan

    “Kamu sedang berada di Perguruan Matahari, anak muda,” jawab Tabib itu. Bimantara terkejut mendengarnya. “Benarkah? Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara tak percaya. Tabib tercengang mendengarnya. "Jadi, kamu memang berniat untuk menjadi murid di sini?" Bimantara mengangguk. Tabib terdiam lalu mencoba tersenyum padanya. “Berbaringlah,” pinta Tabib. Bimantara pun berbaring sambil menatap wajah Tabib. “Apa aku diterima di sini?” tanya Bimantara sekali lagi. “Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu diterima di Perguruan ini,” jawab Tabib. Dia memang sudah tahu kalau remaja lelaki itu sedang menjadi perdebatan di kalangan perguruan. Namun saat mendengar alasan remaja lelaki itu, dia tahu kalau Bimantara pasti akan diterima menjadi murid di sana, karena begitulah syarat yang diberikan Adji Darma meski angin yang membawanya ke sana. Tak berapa lama kemudian mata Bimantara langsun

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-10

Bab terbaru

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   582. ENDING : Pertemuan di Nusantara

    Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   581. Perang Besar Terakhir 8

    Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   580. Perang Besar Terakhir 7

    “Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   579. Perang Besar Terakhir 6

    “Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   578. Perang Besar Terakhir 5

    Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   577. Perang Besar Terakhir 4

    Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   576. Perang Besar Terakhir 3

    Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   575. Perang Besar Terakhir 2

    “Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   574. Perang Besar Terakhir 1

    Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it

DMCA.com Protection Status