Share

Bimantara Pendekar Kaki Satu
Bimantara Pendekar Kaki Satu
Penulis: Hakayi

1. Impian Bimantara

Tiga remaja berdiri di atas tebing. Dua lelaki dan satu perempuan. Mereka menatap pulau di seberang lautan. Di atasnya berdiri bangunan megah terbuat dari kayu dan bambu. Samar, tapi siluetnya tertangkap jelas. Menaranya tinggi menjulang hampir menembus langit. Itu adalah bangunan Perguruan Matahari. Berdiri sudah berabad-abad lamanya. Termasyhur di seantero Nusantara. Menjadi tujuan setiap remaja untuk bisa menimba ilmu bela diri di sana.

"Kenapa tidak semua orang bisa belajar ilmu bela diri di sana?"

"Hanya yang terpilih yang bisa menjadi murid di sana."

Bimantara lewat sambil menggiring kambing-kambingnya menuju kandang. Saat dia melihat Dahayu, dia meninggalkan kambing-kambingnya lalu berjalan ke arah mereka dengan langkah pincang. Dia hanya memiliki satu kaki, selalu dibantu dengan tongkatnya. Remaja berusia enam belas tahun yang malang. Senyumnya mengembang saat melihat Dahayu ada di sana. Seorang gadis yang semasa kecil menjadi teman dekatnya. Kini gadis itu telah menjauh darinya sejak dia kehilangan kaki sebelah. Dia masih penasaran apa alasan Dahayu tidak mau lagi berteman dengannya?

"Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya.

Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara itu Bimantara, dua remaja lelaki tertawa. Dahayu diam saja.

"Jangan mimpi! Memangnya kau bisa berenang ke sana? Murid baru yang diterima di sana hanya mereka yang mampu menempuh pulau itu tanpa bantuan perahu atau kapal layar!"

"Anak raja saja banyak yang gagal! Apalagi kamu!"

Dua remaja lelaki itu menertawainya. Bimantara tidak merasa sakit hati atas ejekan mereka. Dia malah semakin semangat untuk membuktikan pada mereka bahwa dia bisa diterima di sana dan akan menjadi pendekar termasyhur di seantero Nusantara.

"Lihat saja nanti!" tegas Bimantara dengan penuh percaya dirinya. Matanya mengarah pada Dahayu. Gadis itu menunduk, tak nyaman dipandang.

Seorang remaja lelaki mendekat padanya.

"Kau tidak lihat apa? Siapa dirimu? Berjalan saja susah, bagaimana mau jadi pendekar?"

Satu remaja lainnya menyahut dengan tertawa. Dahayu masih diam, bingung.

"Siapa bilang aku tidak bisa berenang? Tahun depan, kalau terompet sudah terdengar di pulau itu! Aku akan berenang ke sana dan pasti akan menjadi murid di sana!" tegas Bimantara dengan rasa percaya dirinya.

Sontak remaja lelaki yang ada di hadapannya itu langsung mendorong tubuh Bimantara ke bawah jurang, hingga dirinya terjatuh bersama tongkatnya dan tenggelam di lautan. Dahayu berteriak dengan panik.

"Kalian keterlaluan! Dia bisa mati!"

"Tenang Dahayu, dia tak akan mati, lihat ke bawah. Dia terjun ke lautan, tidak mengenai karang!"

Namun tetap saja Dahayu tampak panik sambil melihat-lihat ke bawah sana. Dia semakin gusar saat tidak melihat Bimantara di bawah sana.

Sementara itu Bimantara mencoba menggerakkan tubuhnya ke permukaan laut. Dia tenggelam dan sudah banyak menelan air laut. Saat tiba di permukaan laut, dia menatap ke atas tebing. Dilihatnya Dahayu dan dua remaja itu masih berdiri di atas tebing.

"Tolong! Tolong!" teriak Bimantara ke atas sana.

Dua remaja lelaki di atas tebing tertawa-tawa. Sementara Dahayu panik dan langsung pergi dari sana untuk mencari pertolongan.

"Katanya bisa berenang! Kenapa masih minta tolong!"

"Iya! Kalau tidak bisa, bilang saja tidak bisa!"

Dua remaja lelaki itu kembali menertawakan. Bimantara ketakutan. Dia berusaha berenang ke tepi namun ombak yang besar menggulung-gulung tubuhnya hingga dia tersedak dan hampir saja tidak bisa bernapas. Tubuhnya lemah hingga perlahan tenggelam menuju dasar lautan.

Kakek tua terjun ke lautan dari atas tebing. Saat tubuhnya berada di dalam laut, dia mencari-cari keberadaan Bimantara. Saat mendapati tubuh Bimantara yang sudah tidak sadarkan diri lagi dan menurun ke dasar lautan, kakek itu langsung melesat menujunya dan mengangkat tubuh Bimantara ke atas.

Beruntung, Kakek itu berhasil membawa tubuh Bimantara ke atas pasir di dekat dinding jurang. Dia lalu menekan-nekan dada Bimantara hingga air keluar dari mulutnya dan remaja itu akhirnya kembali bisa bernapas.

"Apa benar kau mau bunuh diri?" tanya kakek itu dengan marah.

"Tidak kek, mereka yang mendorong aku dari atas sana," jawab Bimantara lemah.

Kakek itu geram mendengarnya. "Kurang ajar! Mereka sudah membohongiku!"

"Aku yang salah kek," aku Bimantara dengan lemah.

"Kalau mereka yang mendorongmu, berarti mereka yang salah!"

"Aku sudah membuat mereka panas hati. Aku bilang ke mereka bahwa aku bisa berenang ke pulau perguruan Matahari di seberang sana untuk menjadi murid baru di sana tahun depan. Mereka mendorongku karena ingin membuktikan apakah aku bisa berenang atau tidak, Kek."

"Kau sama seperti ayahmu," ujar Kakek itu dengan kesal, "Selalu saja menantang orang-orang yang meremehkanmu. Ingat, adakalanya kita harus sadar diri. Jangan pancing orang-orang untuk membuktikan apa yang kita tidak bisa lalukan."

Air mata Bimantara tiba-tiba mengucur.

"Cengeng!"

"Maafkan aku, Kek. Aku sadar aku tidak akan pernah bisa menjadi murid di Perguruan Matahari, tapi jika aku bermimpi, aku tidak salah kan?" isak Bimantara.

Kakek itu bergeming. Mendadak dia kasihan melihat cucu kesayangannya itu. Dia menoleh ke sebuah pulau di ujung sana. Menatap bangunan perguruan Matahari yang samar di matanya. Kepala perguruan itu adalah Adji Darma, manusia tersakti di Nusantara yang selalu menggunakan topengnya dan tidak ada yang pernah tahu bagaimana rupa wajahnya. Guru-guru bela diri di sana adalah para pendekar terbaik yang dipilih dari seantero Nusantara. Ilmu bela diri mereka tak bisa diragukan lagi. Dan setiap setahun sekali, mereka meluluskan murid-muridnya dan menerima murid baru untuk belajar beladiri.

Tentu tidak mudah untuk bisa menjadi murid di perguruan Matahari. Calon murid harus bisa sampai ke pulau itu, tidak boleh menggunakan perahu. Mereka harus berenang ke sana.

Konon, di lautannya terdapat naga yang akan menenggelamkan perahu dan kapal yang ingin menuju pulau itu. Dan kabarnya, murid-murid yang diterima di sana memang sudah menjadi panggilan alam yang kelak akan diberi tanggung jawab untuk menjaga bumi Nusantara dari segala kejahatan dan angkara murka. Dan siapapun yang terpilih oleh alam untuk menjadi murid di sana, pasti akan mendapatkan kemudahan untuk tiba di pulau itu. Menurut pengakuan murid yang diterima di sana, mereka seperti mendapatkan penolong tak terlihat hingga mudah berenang ke pulau itu. Dan mereka yang tidak termasuk dari panggilan alam, bagaimana pun caranya tak akan pernah bisa sampai ke pulau itu.

Kakek itu masih diam, kemudian membantu Bimantara untuk berdiri. Dia akan menuntunnya untuk naik ke atas tebing melalui jalanan tangga yang sudah dibuat oleh penduduk di sana.

"Kenapa aku terlahir begini, Kek?" Tangis Bimantara pecah. "Kenapa aku tidak bisa menjadi murid di sana. Aku ingin menjadi pendekar, Kek. Pendekar yang menguasai semua ilmu yang diajarkan di sana. Agar tidak ada lagi yang berani mengejekku yang pincang begini. Agar tidak ada lagi yang merendahkan ayahku yang buta."

"Menjadi manusia sejati itu bukan hanya menjadi pendekar! Tapi manusia yang berbudi! Sudahlah, lupakan impianmu itu! Kau bisa mati ditelan lautan jika memaksakan kehendak! Sekarang ayo kita pulang. Ayahmu sudah menunggu di rumah."

Bimantara pasrah. Dia pun berjalan dituntun kakek menaiki tebing. Kakek itu bernama Sangkala. Dia adalah ayah dari ibunya yang meninggal karena melahirkannya. Bimantara tinggal berdua bersama ayahnya yang buta di gubuk reyot di perkampungan yang tak jauh dari sana. Sementara kakeknya tinggal sendirian di atas bukit.

Setiba di depan gubuk reyot itu, kakeknya pamit pulang. Ayahnya yang bernama Naga Wali keluar dari gubuk sambil mengulurkan bilah kayu yang panjang. Wajahnya terlihat marah.

"Kemana saja kamu?! Tadi Tuan pemilik domba mencarimu! Katanya kamu meninggalkan domba-dombanya di Padang rumput!"

Bimantara baru ingat akan kambing-kambingnya. "Maafkan aku ayah. Tadi aku..."

"Sudah ganti baju sana. Domba-dombanya sudah digiring oleh pemiliknya! Tubuhmu bau air laut! Kamu pasti meninggalkan domba-domba itu karena bermain air laut bersama teman-temanmu, kan?"

"Iya, Ayah." Mau tak mau Bimantara terpaksa berbohong. Dia tidak mau ayahnya tahu kalau tadi dia didorong teman-temannya ke lautan untuk membuktikan apakah dia bisa berenang atau tidak. Kalau sampai ayahnya tahu bahwa itu terjadi karena niatnya untuk memasuki perguruan Matahari, dia pasti akan kembali marah karena ayahnya tak pernah mengizinkannya untuk menjadi murid di sana. Itulah yang menguburkan mimpinya ke sana. Padahal Bimantara adalah remaja yang memiliki keingintahuan yang sangat tinggi. Dia kerap membuat orang-orang kesal dengan pertanyaan-pertanyaannya. Bimantara tak akan berhenti bertanya pada siapapun yang telah membuatnya penasaran. Dia akan mencecar orang-orang itu sampai dia menemukan jawabannya. Namun untuk urusan Perguruan Matahari, dia tak pernah ingin tahu lagi. Karena dia tidak ingin melawan satu-satunya manusia yang sangat dia sayangi dan hormati. Akan tetapi, kejadian tadi telah membuat semangatnya membara untuk bisa menjadi murid di Perguruan Matahari. Dia masih kesal diremehkan dan ditertawakan teman-temannya. Sekarang dia ingin membungkan mereka dengan membuktikan bahwa dia bisa menjadi murid di sana. Bimantara pun berjalan masuk menuju gubuknya dan mencari pakaian baru untuk dipakainya.

"Aku harus belajar berenang, agar nanti jika penerimaan murid baru sudah dibuka, aku bisa berenang menuju pulau itu dan menjadi murid perguruan Matahari," bisiknya dalam hati.

Hakayi

Mohon dukungan untuk memberikan vote, jika menyukai novel ini. Terima kasih.

| 5
Komen (22)
goodnovel comment avatar
Andriyanto Andriyanto
bagus cerita nya tidak membosankan
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
lanjukan broo
goodnovel comment avatar
Mango Gglk02
lama gak update
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status