Penduduk di tiga kerajaan Nusantara tampak heran melihat hujan dan petir tidak kunjung berhenti. Seharian ini membahasi bumi. Sebagian penduduk rela menembus hujan dan menghindari sambaran petir demi menengok ladang-ladang milik mereka. Mereka khawatir hujan akan menyebabkan banjir di ladang-ladang.Sementara penduduk istana tampak khawatir banjir akan menyerang kawasan istana. Raja Dawuh melongo ke jendela kamarnya. Dia menatap hujan semakin deras. Genangan air di taman-taman istana sudah hampir meninggi. Tak lama kemudian prajurit penjaga memberitahukan kedatangan pejabat istana yang menunggunya di depan pintu kamarnya. Sang Raja memintanya masuk.Pejabat Isatana masuk dan langsung berlutut penuh hormat pada Sang Raja.“Semua saluran air di kawasan istana sedang diurus para prajurit istana, yang mulia,” lapor pejabat istana padanya.“Hujan hari ini begitu aneh. Awannya menghitam dan petir tak juga berhenti hingga malam seperti ini,” ucap Raja Dawuh terheran-heran.“Semua juga mengat
Sementara itu, penduduk kerajaan Nusantara Timur dan Barat tampak kewalahan menghadapi hujan dan kilat yang belum juga berhenti. Sebagian wilayah sudah dibanjiri air dari arah sungai. Rumah-rumah penduduk di sekitar sungai tampak hanyut. Sebagian penduduk juga hilang terbawa arus air. Para prajurit dari kedua kerajaan itu tengah sibuk membantu penduduk di malam basah itu.Kancil berdiri di teras kamarnya di lantai paling tinggi di istananya. Dia menatap hujan dan cahaya-cahaya petir bersama gemuruh suaranya yang menyeramkan di ujung sana.“Apakah ini karena engkau, Bimantara?” tanya Kancil tak percaya. “Aku harap di sana kau baik-baik saja.”Sesaat kemudian dia mendengar suara ribut orang-orang di depan kamarnya. Kancil segera keluar. Dia heran melihat banyak prajurit tampak berjalan dengan panik ke arah luar istana.“Ada apa ini?” tanya Kancil heran.Seorang prajurit berhenti lalu berlutut hormat di hadapannya.“Satu perkampungan diserang banjir bandang, Pangeran. Rumah-rumah banyak
Wira berdiri dengan tenang. Di dunia ini memang tidak ada manusia bernama Wira. Dia adalah Dewa Angin yang sengaja menyamar menjadi manusia. Penyamaran itu pun untuk mengawasi Bimantara sejak dia tahu bahwa pemuda itu memiliki segala hal yang diperlukan untuk menadi Candaka Uddhiharta. Wira tak menyangka Bimantara bisa melihat gelagat anehnya. Mungkin karena dia terlalu banyak memberitahunya tentang rahasia.“Tenang, Bimantara! Aku Wira! Coba cubit aku kalau kau tidak percaya,” pinta Wira padanya.Bimantara masih mengulurkan pedangnya di alam gubuk itu. Hujan dan kilat masih terdengar menyambar-nyambar di luar sana.“Perlihatkan tanda perguruan matahari di lenganmu!” pinta Bimantara.Wira pun menyingkap pakaian di tangannya. Dia pun menunjukkan cap berlambang perguruan matahari di lengannya kepada Bimantara. Bimantara melihatnya dengan seksama. Lambang itu memang sama seperti yang melekat di lengannya. Namun Bimantara tidak mau percaya begitu saja. Dia pun langsung menyerang Wira deng
Bimantara dan Wira sudah bersiap dengan jurusnya. Mereka berdua menatap langit dengan awas.“Menurutmu suara apa itu?” tanya Bimantra.“Entahlah,” jawab Wira. “Mungkin suara roh-roh jahat yang sengaja dikirim Penguasa Kegelapan untukmu.”Bimantara terkejut mendengarnya.“Setelah melawan mayat hidup dan Gajendra, baru ini kita akan melawan roh jahat jika memang yang hendak datang itu adalah roh-roh jahat,” ucap Bimantara sedikit was-was.“Seperti yang diajarkan guru utama, kita harus memasang telinga dan kesadaran tingkat tinggi jika berhadapan dengan makhluk tak kasat mata,” ujar Wira.Bimantara menoleh ke tangan kosong Wira.“Kau tidak membawa senjata dari leluhur?” tanya Bimantara heran.Wira menepuk jidatnya.“Astaga! Aku lupa, Bimantara!”Bimantara menghela napas mendengarnya.“Kau yang menemukan tongkat hitamku tapi kau malah lupa dengan senjatamu sendiri,” umpat Bimantara. “Harusnya selalu kau bawa meski sedang mandi sekalipun!”“Maafkan aku,” ucap Wira menunjukkan wajah menyesa
Bimantara mencoba bangkit dengan tongkat hitamnya. Roh hitam yang menjelma menjadi manusia itu mendekat padanya pandangan melototnya. Di belakangnya berdatangan puluhan Roh hitam yang lainnya siap menyerang Bimantara.“Sial,” umpat Bimantara. “Aku harus menggunakan jurus itu untuk melawan mereka yang jumlahnya sangat banyak.”Bimantara sedikit memejamkan mata. Tiba-tiba kaki cahaya naganya menyala. Dia melempar tongkat hitamnya ke samping. Roh-Roh hitam itu heran apa yang akan dilakukan Bimantara pada mereka.“Hiaaaaaaaat!” teriak Bimantara sambil melompat ke atas dengan jurus meringankan tubuhnya. Tak lama kemudian Bimantara berputar bagai gasing di atas sana.Roh-Roh jahat itu mendongak ke atas dengan was-was.Sementara Dewa Angin di atas pohon tampak takjub melihatnya. Dewa Api dan Dewa Bumi yang masih di sebelah Dewa Angin tampak heran melihatnya.“Jurus apa yang dia gunakan?” tanya Dewa Api heran.“Itu jurus tendangan seribu,” jawab Dewa Angin. “Jurus andalan dan terhebat yang di
Dahayu membuka matanya. Dia terbangun dengan keringat mengucur di keningnya. Seketika Dahayu bangkit lalu duduk di tepi kasur dengan bingung. Dia menatap ke arah jendela kamarnya. Hujan tidak lagi terdengar. Suara kilat tidak lagi menggelegar.“Sertinya hujan sudah reda,” ucap Dahayu.Dia pun berlajan menuju jendela. Sesampainya di sana dia membuka jendela lalu menatap ke bawah sana. Pekarangan istana tampak sepi. Ada beberapa prajurit yang lalu lalang berjaga malam. Langit tampak sudah dipenuhi bintang-bintang.“Kau pasti sudah aman melakukan pengembaraan Bimantara,” gumam Dahayu. Seketika dia merasa tenang.Dahayu pun kembali menutup jendela kamar lalu berjalan ke arah kasur. Dia duduk di tepi kasur dengan bingung. Dahayu pun kembali bangkit lalu berjalan ke arah lemari. Di sana dia meraih selembar kain yang tampak lukisan wajah Bimantara di permukaannya. Dahayu membawa lukisan itu ke atas kasur kembali.Saat Dahayu sudah duduk di tepi kasur kembali, dia menatap lukisan itu dengan l
Pagi sekali Pangeran Sakai tiba di depan kediaman Penasehat Raja. Dia berdiri sendirian tanpa diikuti pengawalnya. Kediaman Penasehat Raja masih berada di kawasan istana. Penasehat sekaligus peramal istana yang banyak memberi petunjuk kepada Sang Raja.Angin pagi menyapu wajah Pangeran Sakai dengan lembut. Dia masih berdiri menunggu setelah prajurit masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangannya. Pintu kediaman terbuka. Penasehat Raja langsung berlutut hormat padanya. Dia terkejut melihat kedatangan Pangeran Sakai yang tiba-tiba.“Sungguh kehormatan yang besar bagiku bisa dikunjungi yang mulia,” ucap Penasehat Raja.“Aku ingi ingin meminta bantuanmu,” ucap Pangeran Sakai.“Hamba siap membantu apapun yang dibutuhkan yang mulia,” ucap Panasehat Raja. Dalam hatinya sangat penasaran. Apa yang hendak dimintai pertolongan dari Pangeran. Selama ini Pangeran tak pernah akrab dengannya dan tak pernah meminta pertolongan apapun padanya.Pangeran Sakai pun langsung masuk ke dalam. Penasehat R
Bimantara masih memacukan kudanya dengan kencang. Kini dia melewati jalanan yang di kiri dan kanannya banyak rawa-rawa. Kudanya berjalan pelan menghindari tanah gambut yang dikahwatirkan akan menenggelamkan mereka jika salah menginjak.Bimantara memandangi sekitar. Rawa-rawa itu begitu luas. Dia tidak tahu di mana letak bukit naga itu. Dia hanya percaya pada kudanya. Kudanya pasti akan mengantarnya sampai ke sana. Sama seperti saat dia mencari keberadaan lembah gunung Munara dahulu.Tak lama kemudian Bimantara mendengar suara langkah kuda di belakangnya. Bimantara menoleh ke belakang, dia terkejut mendapati seorang pemuda berambut panjang dengan ikat kepala dari bahan kain melilit di kepalanya. Pemuda itu memakai pakaian serba hitam.Bimantara langsung menghentikan kudanya lalu membelokkan kudanya untuk menghadap ke arah pemuda yang menunggangi kuda hitam itu. Pemuda itu heran, dia pun menghentikan kudanya juga.“Apakah kau sengaja mengikutiku?” tanya Bimantara curiga.Pemuda itu meng